MAHAsiswa |
Warning!!
Bacaan ini akan mengundang emosi bagi Anda yang “merasa” pernah melakukannya.
Menjadi seorang mahasiswa
adalah impian hampir semua siswa tingkat menengah. Menjadi seorang mahasiswa
adalah jalan untuk meraih cita-cita, katanya. Benarkah demikian? Dilihat dari
pengertiannya, mahasiswa adalah
seseorang yang sedang dalam proses menimba ilmu ataupun belajar dan terdaftar
sedang menjalani pendidikan pada salah satu bentuk perguruan tinggi yang
terdiri dari akademik, politeknik, sekolah tinggi, institut dan universitas
(Hartaji dan Damar,
2012). Dengan imbuhan kata “maha”, mahasiswa akan lebih “berbeda”.
Betapa beruntungnya seorang pelajar yang akhirnya berstatus MAHAsiswa. Maha untuk
berpendapat, Maha untuk belajar, Maha untuk berkreativitas dan Maha-Maha yang
lain, Maha diatas segalanya? Maka tak heran, persaingan masuk ke kampus
impian sangatlah ketat. Hingga harus merelakan uang, waktu dan cinta (yang pernah
minta putus dengan sang kekasih karena mau fokus UN/SBMPTN nih). Tak main-main,
ratusan ribu pelajar berebut kursi di perguruan tinggi negeri. Ada juga yang
memilih menggapai impian di negeri orang dan adapula yang akhirnya memilih di
kampus swasta. Tak ada yang salah…
Menyandang status sebagai mahasiswa, resmi ku miliki
pada Agustus 2015. Perjalanan cukup panjang memang, mulai dari perjuangan ujian
hingga gagal meraih “cita-cita yang
sesungguhnya”. Seperti yang pernah ku ceritakan di ”Kenapa Perikanan?”. Penyesalan
memang selalu datang diakhir. Namun karena tak ingin terus berlarut dalam
kesedihan. Kesempatan belajar gratis tak kusia-siakan. Mulai dari ikut
organisasi, kepanitiaaan, lomba dan lain-lain. Mungkin banyak pula di antara
kalian, yang pernah maupun sedang menjadi mahasiswa pasti melakukan hal yang
sama denganku. “Kegiatan yang lumrah”
bagi seorang mahasiswa. Saat masa ospek, mahasiswa di godog dengan kata-kata iron stock, agent of change dan
sebagainya. Tak heran banyak mahasiswa lebih mengikuti cara para pendahulunya
(red: senior). Demi mengasah hard skills dan soft skills, katanya.
Baca Juga : Mustahil untuk Bersikap Bodo Amat
Ada yang ingin menjadi aktivis dengan mengikuti
berbagai organisasi. Ada yang ikut kepanitiaan untuk menambah relasi dari berbagai
fakultas yang ada di kampus. Ada yang menjadi asisten praktikum di berbagai
mata kuliah supaya mampu mengaplikasikan teori yang didapatkan di semester
sebelumnya. Ada yang mengikuti berbagai kompetisi untuk modal memperoleh
beasiswa di jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Well, mari kita bahas satu per satu. Mengikuti organisasi dan berharap menjabat di posisi yang tak
main-main. Menjadi seorang pemimpin dan mendorong kinerja anggota. Namun,
mengikuti organisasi tak lebih seperti “seseorang
yang gila jabatan”. Ingin memperoleh keistimewaan, suatu hal yang “prestige”.
Namun kenyataannya datang rapat jika saat prokernya akan dilaksanakan saja
alias jarang datang rapat dan tak memperdulikan anggota yang lain. Padahal, salah
satu cara melihat kontribusi seseorang terhadap organisasi, yaitu “seberapa rajin
ia datang rapat”. Lalu, mengikuti kepanitiaan
sebenarnya tak lebih menjadi seorang budak
proker (program kerja). Rela rapat hingga larut malam dan memilih untuk
tidak masuk kelas di keesokan harinya. Tak lupa pula, rela menjadi seorang “pengamen”
demi menambah kekurangan dana yang diberikan kampus. Dan menjadi penjual gorengan
yang sering memaksa teman untuk membeli serta menjualnya dengan harga tiga kali
lipat. Pada akhirnya terpaksa membeli dagangan sendiri daripada basi dan rugi.
Menjadi seorang asisten praktikum
tak lebih dari ajang senioritas bagi
praktikan yang notabene-nya adalah sang junior (angkatan lebih muda). Dan cara
termudah mendekati dosen agar
memperoleh nilai A, lebih-lebih bisa menjadi asisten dosen yang pada akhirnya
hanya sebatas “pembantu” yang sukarela memberikan jasanya. Mengikuti lomba di berbagai perguruan tinggi baik nasional hingga
internasional demi mengharumkan nama kampus tercinta. Tak lebih hanya untuk mengharumkan namanya sendiri (red:
mahasiswa), katanya agar berprestasi. Hingga rela meninggalkan kelas dan
berakhir pada nilai yang buruk di KHS (Kartu Hasil Studi). Lantas apakah pantas
disebut berprestasi? Dari semuanya tak lebih dari menginginkan sertifikat!!!
Semua itu adalah dinamika kehidupan seorang mahasiswa yang jujur apa adanya.
Dibalik “keunikan” itulah yang membedakan pelajar dengan mahasiswa.
Memang nikmat nan mantap menjadi seorang mahasiswa. Memilih
waktu belajar di kelas sesuai keinginan. Walaupun pada kenyataannya beberapa mahasiswa
menerima pil pahit dengan pergantian kelas di pagi hari akibat kesibukan dosen.
Bisa melakukan kegiatan apapun tanpa ada hambatan akibat larangan orang tua yang
notabenenya mayoritas mahasiswa adalah seorang perantau. Banyak sekali
kesempatan-kesempatan yang ada di kampus tak mungkin diperoleh di bangku
sekolah. Alhasil banyak mahasiswa yang memanfaatkan “jatah” selama 14 semester
atau 7 tahun sebelum di Drop Out (mungkin di setiap kampus
berbeda ketentuan waktu DO). Alasan skripsi yang sulit, dosen yang sulit. Padahal
hanya menutupi alasan “malas”. Sebenarnya
sesulit-sulitnya skripsi akan selesai jika dikerjakan. Karena nyatanya cara cepat
menyelesaikan skripsi hanya ada satu poin, yaitu “Skripsi yang Baik adalah Skripsi yang Dikerjakan dan Cepat Selesai”.
Tak peduli sebagus apapun judulnya, seruwet apapun variabelnya, ataupun seunik
apapun penelitiannya. Jika tidak dikerjakan, ya sama saja, gak akan selesai!!! Dibalik
cerita FTV tentang menjadi seorang mahasiswa. Realitasnya sangat berkebalikan.
Namun itu yang membuat indah dan tak ada duanya. Karena tak ada duanya hingga
banyak yang rela menua di kampus dan memperoleh gelar sebagai mahasiswa veteran. Sehingga banyak
mahasiswa yang mau dipanggil bu/pak dosen saat ketemu maba di kampus karena
mukanya sudah tua? Umurnya juga :D. Bagaimana dengan tujuan awal kuliahmu?
Jangan sia-siakan uangmu untuk membayar UKT hingga semester dua digit. Masih kurang
puas jadi mahasiswa? Kan bisa lanjut S2 dan S3. Beda? Terus kapan kamu bisa menerima kenyataan? “Bukan
lagi waktunya bermain-main”. Saatnya
melepas gelar mahasiswa veteranmu.
Referensi:
Hartaji dan Damar, A. 2012. Motivasi Berprestasi pada
Mahasiswa yang Berkuliah dengan Jurusan Pilihan Orang Tua. Fakultas Psikologi
Universitas Gunadarma (tidak diterbitkan).
Comments
Post a Comment