Skip to main content

Elasmobranchii

 

TVBN, TMA, TMAO dan Histamin

tvbn tma tmao dan histamin

BAB I
PENDAHULUAN

1.1       Latar Belakang
Sebagai negara maritim, Indonesia memiliki garis pantai sepanjang kurang lebih 81.000 km. Luas wilayah laut, termasuk di dalamnya Zona ekonomi Eksklusif mencakup 5,8 juta kilometer persegi (Dahuri, 2001 dalam Haryono, 2005). Di dalam wilayah laut dan pesisir tersebut terkandung kekayaan sumber daya laut yang amat besar, mulai dari ikan, kepiting, udang, kerang dan berbagai sumber daya laut lainnya yang siap untuk dieksploitasi nelayan. Secara teoritis, dengan kekayaan laut yang demikian besar, nelayan mampu hidup berkecukupan (Haryono, 2005).
Ikan dikenal sebagai suatu komoditi yang mempunyai nilai gizi tinggi namun mudah busuk karena mengandung kadar protein yang tinggi dengan kandungan asam amino bebas yang digunakan untuk metabolisme mikroorganisme, produksi amonia, biogenik amin, asam organik, keton dan komponen sulfur (Liu et al. 2010 dalam Radjawane et al., 2016). Ikan termasuk dalam kategori makanan yang cepat busuk dan seperti yang telah diketahui bahwa bagi produk cepat busuk, nilai mutu kesegaran merupakan faktor yang penting untuk diperhatikan. Oleh karena penurunan nilai mutu kesegaran selain akan menurunkan nilai gizi atau nutriennya sebagai sumber pangan, juga akan menurunkan daya jual atau harga dari produk tersebut. Dengan demikian nilai mutu kesegaran dari produk yang cepat busuk perlu diperhatikan (Sulistijowati et al., 2011).
Ikan merupakan salah satu bahan pangan yang mudah rusak, terutama ikan segar (Hadiwiyoto, 1993 dalam Siburian et al., 2012). Ciri-ciri ikan segar antara lain mata jernih, kornea bening, pupil hitam, mata cembung dan insang merah segar. Jika kualitasnya menurun, insang berwarna keabuan, berlendir dan bau, sisik melekat kuat, mengkilap dan tertutup lendir jernih, aroma berbau khas ikan. Jika ikan tidak segar lagi, berbau busuk dan biasanya mengapung jika diletakkan di dalam air. Pada ikan yang masih segar, daging elastis dan bewarna cerah, dan jika ditekan tidak menimbulkan bekas permanen (Siburian et al., 2012).

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka dapat ditentukan rumusan masalah dalam makalah ini seperti berikut.
1.   Bagaimana perubahan dan proses terbentuknya TVBN, TMA, TMAO dan Histamin?
2.   Apa perbedaan TVBN, TMA, TMAO dan Histamin?
3.   Apa persamaan TVBN, TMA, TMAO dan Histamin?
4.   Bagaimana pengendalian TVBN, TMA, TMAO dan Histamin dalam penanganan pasca panen?
5.   Apa saja faktor yang berpengaruh terhadap fisiologi pasca panen?

1.3 Tujuan
Berdasarkan uraian rumusan masalah di atas maka dapat ditentukan tujuan dalam makalah ini seperti berikut.
1.   Memahami perubahan dan proses terbentuknya TVBN, TMA, TMAO dan Histamin.
2.   Mengetahui perbedaan TVBN, TMA, TMAO dan Histamin.
3.   Mengetahui persamaan TVBN, TMA, TMAO dan Histamin.
4.   Memahami pengendalian TVBN, TMA, TMAO dan Histamin dalam penanganan pasca panen.
5.   Mengetahui faktor yang berpengaruh terhadap fisiologi pasca panen.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1   Perubahan dan Proses Pembentukan
2.1.1TVBN
Prinsip penetapan TVB adalah menguapkan senyawa-senyawa volatile yang terbentuk karena penguraian asam-asam amino yang terdapat pada daging ikan (Hadiwiyoto, 1993 dalam Zakaria, 2008). Nilai TVB maksimum untuk ikan segar, yaitu 30 mg N/100g (Direktorat Jendral Perikanan, 2007 dalam Zakaria, 2008). Selain itu, kelebihan yang timbul dalam penggunaan metode TVB adalah nilai yang tidak meningkat banyak selama tahap awal dari proses penguraian dan hanya meningkat banyak secara nyata sebagai hasil aktivitas mikroba pada tahap lebih lanjut dari proses kemunduran mutu ikan (Hanna, 1992 dalam Zakaria, 2008). Pengujian bakteri yang terdapat pada daging ikan dapat dilakukan dengan metode TPC, yaitu perhitungan jumlah bakteri yang ditumbuhkan pada suatu media pertumbuhan (media agar) dan diinkubasi selama 24 jam. Batas maksimum bakteri untuk ikan segar yaitu 5x105 koloni/gram (SNI 01-2346-2006 dalam Zakaria, 2008).
Kadar TVB ini dipengaruhi oleh jumlah bakteri yang tahan hidup sehingga hasil metabolisme bakteri berupa TVB juga berbeda. Menurut Kerr et al. (2002); Anon (2006) dalam Pandit et al. (2007), TVB merupakan indikator kualitas ikan maksimum 200 mg/100 g merupakan batas layak dikonsumsi termasuk trimetilamin, dimetilamin, amonia dan basa-basa nitrogen lain yang merupakan hasil kerja bakteri dan enzim autolitik selama proses pembusukan. Perbedaan kadar TVB ini disebabkan oleh karena perbedaan populasi bakteri, dengan demikian jumlah metabolismenya dalam bentuk TVB juga berbeda dan terjadi peningkatan selama waktu pengamatan. TVB merupakan hasil dekomposisi protein oleh aktivitas bakteri dan enzim. Pemecahan protein dapat menghasilkan 95% amonia dan CO2, disamping itu akibat langsung pemecahan protein menjadi total N nonprotein tubuh ikan menjadi basis dengan pH 7,1-7,2. Hasil pemecahan protein bersifat volatile dan menimbulkan bau busuk seperti ammonia, H2S, merkaptan, phenol, kresol, indol dan skatol (Aurand et al, 1987 dalam Pandit et al., 2007). Berdasarkan penelitian Antoine et al. (2004) dalam Pandit et al. (2007), potongan daging ikan mahi-mahi yang disimpan pada suhu 5oC, kemudian diamati pada hari ke 3 diperoleh kadar TVB mencapai 30 mg/100 g.

2.1.2 TMA
Menurut Hui (1992), Botta (1994) dalam Santoso et al. (2008), TMA dibentuk oleh aksi bakteri pembusuk yang menguraikan TMAO menjadi TMA, termasuk bakteri yang memproduksi TMA seperti jenis Pseudomonas. Peningkatan nilai TMA daging lumat selama penyimpanan disebabkan karena aktivitas mikroba yang menguraikan bagian tubuh ikan setelah ikan mati. Penguraian TMAO menjadi TMA setelah ikan mati akan memproduksi amonia yang mempengaruhi aroma dan flavor (Clucas, 1981 dalam Santoso et al., 2008).
TMA ini merupakan bagian dari TVB oleh sebab itu kandungan TMA selalu lebih rendah dari TVB. TMA ini merupakan hasil dari reduksi TMAO oleh enzim. Pada kasus pembusukan ikan, mikroorganisme memanfaatkan atom oksigen yang disumbangkan oleh TMAO dalam kondisi anaerob dan mengakibatkan peningkatan pembentukan TMA (Adams dan Moss, 2008 dalam Murtini et al., 2014). Jenis mikroba yang berperan pada proses pembusukan ikan sebagian besar terdiri dari bakteri gram-negatif dari jenis Pseudomonas, Alteromonas, Shewanella, Moraxella, Acinetobacter, Vibrio, Flavobacterium dan Cytophaga. Jenis mikroba pembusuk aerob dari ikan yang disimpan di es terdiri terutama dari jenis Pseudomonas spp. dan Shewanella putrefaciens (Levin, 1968; Gram et al., 1987 dalam Murtini et al., 2014).

2.1.3 TMAO
Kandungan lemak daging berkorelasi langsung dengan total mikrobial yang tumbuh pada daging ikan. Pada tahapan tertentu dari proses pembusukan mikrobial, enzim lipase diproduksi dalam jumlah banyak yang lebih lanjut enzim tersebut akan memecah lemak menjadi asam lemak bebas, gliserol, dan senyawa lain. Kemungkinan penguraian lebih lanjut asam amino bebas menjadi kolin yang kemudian diuraikan menjadi TMAO oleh enzim dehidrogenase, dan berlanjut pada pembentukan formaldehid dan DMA akibat penguraian TMAO secara enzimatis (Susanti, 2013 dalam Murtini et al., 2014). Hal ini kemungkinan merupakan jalur pola pembentukan formaldehid yang menjadi sebab mengapa kandungan formaldehid alami pada ikan dengan kadar lemak yang tinggi cenderung lebih tinggi pula dibandingkan dengan ikan yang berkadar lemak rendah (Noordiana et al., 2011 dalam Murtini et al., 2014).
Dalam ikan khususnya ikan laut selalu mengandung TMAO yang kadarnya berbeda-beda yaitu:
- Ikan bertulang keras antara 100-400 mg/100 g daging.
- Ikan elasmobranch (sebangsa cucut) 500-1500 mg/100 g daging.
- Crustaseae sampai 250 mg/100 g daging.
- Mollusca sampai 250 mg/100 g daging.
- Ikan air tawar sangat kecil.
Perubahan kimiawi TMAO dapat dibagi menjadi 2 jenis, yaitu: mikrobiologis dan autolysis (Gambar 1).
perubahan tmao

Gambar 1. Perubahan kimiawi TMAO secara mikrobiologis dan autolisis
(Sumber: Sulistijowati et al., 2011)


2.1.4 Histamin
Ikan tongkol yang tergolong famili scombroidae, jika dibiarkan pada suhu kamar, maka segera akan terjadi proses penurunan mutu, menjadi tidak segar lagi dan jika ikan tongkol ini dikonsumsi akan menimbulkan keracunan. Keracunan ini disebabkan oleh kontaminasi bakteri pathogen seperti Escherichia coli, Salmonella, Vibrio cholerae, Enterobacteriacea dan lain-lain. Salah satu jenis keracunan yang sering terjadi pada ikan tongkol adalah keracunan histamin (scombroid fish poisoning) karena ikan jenis ini mengandung asam amino histidin yang dikontaminasi oleh bakteri dengan mengeluarkan enzim histidin dekarboksilase sehingga menghasilkan histamin. Bakteri ini banyak terdapat pada anggota tubuh manusia yang tidak higienis, kotoran/tinja, isi perut ikan serta peralatan yang tidak bersih (Pandit et al., 2007). Hasil pembusukan berupa histamin oleh bakteri optimal pada temperatur 30°C dan menurun pada temperatur dingin yaitu 0-5°C (Lehane and Olley, 2000 dalam Pandit et al., 2007). Kose et al. (2003) dalam Pandit et al. (2007), melaporkan produksi histamin sebesar 80,96 mg/100 g pada ikan mackerel yang disimpan pada suhu 15oC selama 1 minggu. Hasil penelitian Aflal et al. (2005) dalam Pandit et al. (2007), menemukan konsentrasi kadar histamin sebesar 77,7 mg/100 g pada ikan sardine yang disimpan pada suhu 30oC selama 24 jam.
Bakteri utama yang merupakan bakteri histidin dekarboksilase, yang dapat meningkatkan kandungan histamin pada ikan, yaitu Proteus morganii, Klebsiella pneumonia dan Hafnia alvei (Taylor, 1983 dalam Wicaksono, 2009). Keer et al., (2002) dalam Wicaksono (2009), menambahkan jenis bakteri yang mampu memproduksi histamin dari histidin dalam jumlah tinggi, yaitu Proteus morganii (bigeye, skipjack), Enterobacteri aerogenes (skipjack), Clostridium perfringens (skipjack). Hampir semua mikroba pembentuk histamin bersifat gram negatif dan berbentuk batang (Gambar 2). Enzim lebih stabil dibandingkan bakteri pada suhu beku dan dapat bereaksi dengan sangat cepat setelah thawing. Histamin dapat terakumulasi di dalam daging ikan karena adanya kesalahan penanganan bahan baku sebelum dan sesudah pembekuan. Enzim yang terdapat pada ikan sebelum pembekuan dapat meneruskan pembentukan histamin di dalam daging ikan walaupun sel bakteri telah rusak selama penyimpanan beku (Keer et al., 2002 dalam Wicaksono, 2009).
spesies bakteri histamin

Gambar 2. Bakteri penghasil histamin yang terdapat pada ikan laut
(Sumber: Martin et al., 1982 dalam Wicaksono, 2009)


2.2     Perbedaan
2.2.1  TVBN
Komponen utama Total Volatile Base (TVB) adalah NH3, TMA dan DMA. Beberapa spesies ikan ditemukan mempunyai korelasi/hubungan antara kandungan TVB dan penilaian organoleptik. TVB dapat dijadikan sebagai indeks kesegaran ikan semenjak basa volatile terakumulasi dalam daging ikan sampai dalam tahap akhir pembusukan. Adapun batas penerimaan ikan ditinjau dari kandungan TVB tergantung pada spesies ikan tersebut, batas penerimaan pada ikan, yaitu bila mempunyai kandungan TVB sebesar 20-30 mg/00 g ikan (Soekarto, 1990 dalam Wangsadinata, 2009).
Senyawa yang mudah menguap memberi kesan daging ikan telah menjadi busuk. Oleh karena itu, kadar senyawa-senyawa ini dipakai ebagai indeks kemunduran mutu ikan. Kadar senyawa menguap ini dapat ditentukan secara laboratoris yang disebut dengan “penentuan kadar TVB-N” (Suwetja, 1993 dalam Laismina et al., 2014). Penentuan kadar TVB-N merupakan metode uji kesegaran bakteriologis yang berkaitan dengan pengujian organoleptik dan penentuan pH. Semakin besar nilai kadar TVB-N maka semakin tinggi pula nilai pH-nya. Ini berbanding terbalik dengan penentuan organoleptik yang semakin kecil derajat penerimaannya oleh panelis (Laismina et al., 2014).

2.2.2 TMA
Menurut Hui (199); Botta (1994) TMA dibentuk oleh aksi bakteri pembusuk yang menguraikan TMAO menjadi TMA, termasuk bakteri yang memproduksi TMA seperti jenis Pseudomonas. Peningkatan nilai TMA daging lumat selama penyimpanan disebabkan karena aktivitas mikroba yang menguraikan bagian tibuh ikan setelah ikan mati. Penguraian TMAO menjadi TMA setelah ikan mati akan memproduksi amonia yang mempengaruhi aroma dan flavor (Santoso et al., 2008).
Analisis ragam menunjukkan suhu penyimpanan dan penyiangan berpengaruh nyata (P<0,05). Perbedaan kadar TMA ini disebabkan oleh perbedaan populasi bakteri. TMA merupakan hasil pembusukan spesifik terhadap produk ikan laut yang mengandung senyawa trimetilamin oksida (TMAO) dan senyawa nonprotein nitrogen lainnya, kemudian oleh bakteri dan enzim direduksi menjadi TMA (Ilyas, 1983 dalam Pandit et al., 2007). Jumlah TMA pada tiap perlakuan sangat berkaitan erat dengan jumlah bakteri. Menurut Kerr et al. (2002) dalam Pandit et al. (2007), kadar TMA pada produk perikanan yang layak untuk dikonsumsi tidak melebihi 100 mg/100 g.

2.2.3 TMAO
Secara alamiah formaldehid pada ikan terbentuk melalui reaksi reduksi trimetilamin oksida (TMAO) menjadi formaldehid secara enzimatik dengan hasil samping dimetilamin/DMA (Satelo et al., 1995 dalam Murtini et al., 2014). TMAO seperti kebanyakan metilamin berasal dari derivat trimetilamonium dari grup kolin, sementara kolin sendiri dalam ikan akan dioksidasi lebih lanjut menjadi trimetilamin (TMA) oleh bakteri yang ada dalam usus hewan laut. TMA akan terakumulasi dalam ikan busuk sebagai hasil degradasi bakteri kolin serta pemecahan TMAO ke TMA (Seibel & Walsh, 2002 dalam Murtini et al., 2014). Semua basa-basa volatil (yang terdeteksi sebagai TVBN), TMAO, TMA, DMA, dan formaldehid merupakan senyawa-senyawa yang muncul sebagai hasil penguraian daging ikan baik oleh bakteri ataupun enzim (Seibel dan Walsh, 2002 dalam Murtini et al., 2014).
Selain kandungan kimiawi makro (air, protein, lemak dan mineral) atau disebut proximate composition, ikan juga mengandung bahan kimia yang sedikit jumlahnya tetapi sangat berpengaruh terhadap kecepatan pembusukan. Bahan kimia tersebut adalah senyawa nitrogenous terlarut tergolong pada nonprotein nitrogen berupa trymethylamin oksida TMAO, trymethylamin (TMA), asam amino bebas, karnosin, anserine, senyawa nitrogen lain dan asam nukleat. Senyawa-senyawa ini merupakan faktor utama yang menyuguhkan bau dan cita rasa pada ikan, selain itu mempunyai arti yang sangat besar pada saat kemunduran mutu berlangsung (bakterilogis dan kimiawi). Asam amino bebas kadarnya sangat kecil pada ikan yang baru ditangkap, tetapi kadarnya segera meningkat setelah ikan mati/post mortem. Suatu kekecualian pada ikan tuna ialah dagingnya mengandung kadar histidin yang sangat tinggi (Harikedua, 1994; Sunarya, 1996 dalam Sulistijowati et al., 2011).

2.2.4 Histamin
Histidin banyak terdapat pada ikan tuna, tongkol dan mackerel. Karena aktivitas bakteriologis terutama Proteus morgani akan mengubah histidin menjadi histamin (Gambar 3). Oleh sebab itu, kadar histamin dapat dipakai sebagai indikator sanitasi dan hygiene. Walaupun pada kadar 20 mg persen belum menimbulkan keracunan tetapi dengan histamin sebesar 20 mg persen tersebut mencerminkan penanganan/pengolahan yang tidak higienis. Sedangkan bila kadar histamin ≥ 100 mg persen biasanya menyebabkan keracunan bila dimakan. Untuk orang-orang yang sensitif dengan kadar 50 mg persen sudah dapat merasakan adanya keracunan (Sulistijowati et al., 2011).
histamin

Gambar 3. Histamin
(Sumber: Sulistijowati et al., 2011)


Keracunan disebabkan oleh kontaminasi bakteri pathogen seperti Escherichia coli, Salmonella, Vibrio cholerae, Enterobacteriacea dan lain-lain. Keracunan yang sering terjadi pada ikan tongkol yaitu keracunan histamin (scombroid fish poisoning). Ikan jenis ini mengandung asam amino histidin yang dikontaminasi oleh bakteri dengan mengeluarkan enzim histidin dekarboksilase sehingga menghasilkan histamin (Meryandini et al., 2009 dalam Kurniawan et al., 2012). Menurut Madigan dan Martiko (2003) dalam Kurniawan et al. (2012), histamin merupakan modifikasi dari asam amino yang mengakibatkan alergi dengan gejala-gejala, seperti sulit bernafas, kulit merah/panas, gatal-gatal, timbul lendir, kudis dan mata berair.

2.3    Persamaan TVBN, TMA, TMAO dan Histamin
Ikan laut mempunyai senyawa NPN yang berfungsi sebagai pengatur tekanan sel sehingga ikan dapat berenang di permukaan atau di bagian dalam air laut. Jenis dan jumlah kandungan NPN sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu jenis ikan, seks, umur, musim dan lingkungan di mana ikan itu hidup dan beberapa senyawa sangat berpengaruh terhadap pembusukan yaitu: TMAO, asam nukleat, senyawa lain (urea) dan asam amino bebas. Kadar NPN berbeda-beda dan besarnya sampai 30 persen dari total nitrogen pada ikan (Sulistijowati et al., 2011).
Ikan elasmobranchii (tulang rawan) mempunyai kandungan NNP yang lebih tinggi daripada ikan bertulang keras. Menurut Simidu (1961) dalam Yasin (2005), kandungan NNP pada ikan bertulang keras berkisar antara 9,2–18,3 % dari total nitrogen, dan pada ikan bertulang rawan berkisar antara 33-38,6 %. Menurut Simidu (1961) dalam Yasin (2005), senyawa yang terdapat pada fraksi NNP dapat dikelompokkan sebagai berikut: (a) basa volatil (amonia, mono, di-, dan trimetilamin); (b) basa trimetilamonium (trimetilamin oksida dan betain); (c) turunan guanidin (kreatin dan arginin); (e) variasi (urea, asam amino, dan turunan purin). Kandungan NNP dari setiap spesies ikan adalah berbeda (Gambar 4).
nnp ikan

Gambar 4. Distribusi dari senyawa NNP (%) pada beberapa spesies ikan
(Sumber: Shahidi, 1994 dalam Yasin, 2005)


2.4    Pengendalian dalam Penanganan Pasca Panen
2.4.1 Suhu Rendah
Ikan segar atau ikan basah adalah ikan yang belum atau tidak diawetkan dengan bahan apapun kecuali didinginkan dengan es. Penanganan ikan segar dilakukan pada ikan sejak ditangkap sampai diterima konsumen (Murniyati dan Sunarman, 2000 dalam Siburian et al., 2012). Proses pembusukan lebih cepat pada suhu tinggi sehingga proses pembusukan dapat dihambat dengan suhu rendah. Menurut Junianto (2003) dalam Siburian et al. (2012), kesegaran ikan tidak dapat ditingkatkan tetapi hanya dapat dipertahankan. Proses pengawetan ikan dengan cara pendinginan dapat mempertahankan masa kesegaran (shelf life) ikan selama 12-18 hari, tergantung jenis ikan, cara penanganan, tingkat kesegaran ikan yang akan diinginkan dan suhu yang digunakan. Pendinginan ikan merupakan salah satu proses yang umum digunakan untuk mengatasi pembusukan ikan, baik selama penangkapan, pengangkutan, maupun penyimpanan sementara sebelum diolah menjadi produk lain (Siburian et al., 2012).
Pendinginan merupakan suatu proses pengawetan ikan dengan suhu rendah, yaitu antara -1°C sampai 5°C. Pendinginan disebut chilling yang mempunyai tujuan utama untuk menghambat proses kemunduran mutu ikan yang disebabkan oleh aktivitas mikroorganisme dan proses kimia maupun fisis sehingga ikan tetap dalam kondisi segar sampai jangka waktu yang cukup lama (Gelman et al., 2004 dalam Zakaria, 2008). Perkembangbiakan bakteri pada ikan sangat dipengaruhi oleh suhu. Semakin rendah suhu yang digunakan, pertumbuhan bakteri semakin dihambat. Bakteri dapat tumbuh dalam deret suhu yang besar, yaitu dari 0 oC-45oC. Proses pendinginan yang diberikan pada saat proses pembusukan sudah mulai kurang efektif dalam hubungannya dengan pencegahan pertumbuhan mikroorganisme dan akan memberikan hasil yang kurang memuaskan (Ilyas, 1983 dalam Zakaria, 2008).

2.4.2 Pengolahan
Pengawetan atau pengolahan hasil perikanan bertujuan untuk menghambat atau menghentikan kegiatan zat-zat dan mikroorganisme yang dapat menimbulkan pembusukan (kemunduran mutu) dan kerusakan (Moeljanto, 2002 dalam Siburian et al., 2012). Memperpanjang daya simpan dan untuk mengatasi masalah pembusukan ikan (selama penangkapan, pengangkutan, penyimpanan dan pemasaran) diperlukan media pendingin untuk mempertahankan kesegaran ikan dalam waktu tertentu (Siburian et al., 2012).
Pengolahan merupakan salah satu cara untuk mempertahankan daya awet dan juga meningkatkan nilai ekonomis ikan. Pengolahan ikan menjadi produk gel merupakan salah satu alternatif penganekaragaman produk perikanan yang diharapkan dapat diterima masyarakat. Salah satu usaha penyediaan hasil olahan perikanan yang dapat dikembangkan adalah pasta ikan. Pasta ikan merupakan salah satu makanan yang berasal dari bahan baku lumatan daging ikan yang ditambahkan dengan tepung, garam dan berbagai jenis sayuran. Dengan berbagai perkembangan ilmu dan tekonologi, pasta ikan tersebut berkembang sesuai dengan selera dan budaya dari berbagai bangsa dan negara (Istihastuti et al., 1997 dalam Wibowo et al., 2014).

2.4.3 Minuman Berkarbonasi
Dari laporan penelitian Suwandi et al. (2008) dalam Jayanti et al. (2012) mengatakan bahwa bahwa terdapat cara lain dalam menjaga kesegaran ikan hasil tangkapan yaitu dilakukan dengan menggunakan minuman ringan berkarbonasi 30% yang direndam selama 30 menit untuk menghambat kemunduran mutu ikan. Fungsi dari larutan minuman ringan berkarbonasi adalah terletak pada kandungan karbondioksida serta asam karbonat yang terkandung dalam minuman tersebut, sehingga menyebabkan pH larutan menjadi asam. Suasana asam dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme pembusuk. Karbondioksida juga memiliki fungsi spesifik sebagai bakteriostatik sehingga dapat bereaksi langsung dengan bakteri dalam penghambatan pertumbuhannya. Karbondioksida memiliki efek bakteriostatik pada bakteri (Soccol dan Oetterer, 2003 dalam Jayanti et al., 2012).

2.4.4 Glyroxyl
Glyroxyl adalah salah satu bahan yan diklaim memiliki potensi bakterisidal (Tap, 2002 dalam Ariyani et al., 2007) dengan bahan aktif H2O2 yang diberi penstabil gliserin. Bahan ini dipromosikan mampu menekan/membunuh bakteri Gram positif maupun Gram negatif. Dalam penggunaannya, glyroxyl dirancang sebagai pembebas kuman maupun desinfektan. Beberapa percobaan untuk mengetahui efektivitas penggunaan glyroxyl sebagai anti bekterisida telah dilakukan terhadap berbagai jenis biakan, demikian juga penggunaan peralatan. Namun demikian efektivitas glyroxyl dalam mencegah kerusakan ikan khususnya di daerah tropis belum banyak dilakukan. Untuk itu, uji aplikasi glyroxyl untuk penanganan ikan yang dilengkapi dengan uji laboratorium perlu dilakukan (Ariyani et al., 2007).

2.4.5 Bahan Alami
Kesadaran penggunaan bio-presevative dari bahan alami pada bahan pangan mulai meningkat agar bahan pangan aman dikonsumsi (Roller, 1995 dalam Susanto et al., 2011). Penelitian penggunaan bahan alami pada ikan sebagai bahan pengawet telah dilakukan oleh berbagai peneliti antara lain serbuk biji buah atung (Parinarium glaberium HASSK) (Moniharapon et al., 1993 dalam Susanto et al., 2011), lengkuas, jambu mete, mahkota dewa dan lidah buaya (Agustini et al., 2007; Agustini et al., 2011 dalam Susanto et al., 2011), ekstrak tanaman (Quitral et al., 2009 dalam Susanto et al., 2011), teh (Fan et al., 2008 dalam Susanto et al., 2011), serbuk thyme (Attauchi & Saloua, 2009 dalam Susanto et al., 2011), madu (Nagai, et al., 2006 dalam Susanto et al., 2011), ekstrak daun oregano (Origanum vulgare) dan rosemary (Rosmarinus offi cinalis) (Quitral et al., 2009 dalam Susanto et al., 2011) dan Cinamon pada fillet ikan (Lu et al., 2010 dalam Susanto et al., 2011). Penggunaan bahan alami tersebut mampu memperpanjang shelf-life ikan (Susanto et al., 2011)

2.5    Faktor yang Berpengaruh Terhadap Fisiologi Pasca Panen
2.5.1 Internal
Faktor internal yang mempengaruhi kemunduran mutu ikan (Junianto, 2003 dalam Zakaria, 2008), yaitu:
a. Jenis ikan. Jenis ikan pelagis cenderung lebih cepat mengalami kemunduran mutu dibanding ikan demersal dan ikan air tawar cenderung lebih cepat mencapai kemunduran mutu dibanding ikan air laut.
b. Umur dan ukuran ikan. Ikan dewasa dengan ukuran yang besar lebih lama mengalami kemunduran mutu daripada ikan kecil.
c. Kandungan lemak. Ikan yang mengandung lemak tinggi cenderung lebih cepat mengalami kemunduran mutu dibanding ikan-ikan berlemak rendah.
d. Kondisi fisikal ikan. Kondisi fisik yang lemah sebelum ditangkap karena kurang bergizi makanannya, baru menelurkan dan sebagainya akan berpengaruh terhadap waktu memasuki tahap rigor.
e. Karakteristik kulit dan bentuk tubuh. Ikan yang memiliki kulit yang tebal akan cenderung lebih lama laju kemunduran mutunya dibanding ikan yang memiliki kulit yang tipis, begitu juga dengan ikan yang bentuk tubuhnya bulat lebih lama kemunduran mutunya dibanding ikan yang bentuknya pipih.

2.5.1.1 Enzimatis atau Autolisis
Perubahan enzimatik berhubungan dengan tingkat kesegaran ikan dan perubahan mutu oleh bakteri. Dalam beberapa jenis ikan (cumi-cumi, herring), perubahan enzimatik terjadi paling awal dan mendominasi pembusukan ikan yang disimpan pada suhu dingin. Autolisis berperan dalam bermacam-macam tingkat pembusukan secara keseluruhan dan sebagai media pertumbuhan bakteri (FAO, 1995 dalam Zakaria, 2008). Autolisis dimulai bersamaan dengan menurunnya pH. Mula-mula, protein dipecah menjadi molekul-molekul makro yang menyebabkan peningkatan dehidrasi protein dan molekul-molekulnya pecah menjadi pepton, polipeptida dan akhirnya menjadi asam amino. Di samping itu dihasilkan pula sejumlah kecil pirimidin dan purin basa yang dibebaskan pada waktu asam nukleat memecah. Bersamaan dengan itu, hidrolisis lemak menghasilkan asam lemak bebas dan gliserol (Murniyati dan Sunarman, 2000 dalam Zakaria, 2008).
Katepsin merupakan salah satu enzim yang berperan penting dalam proses kemunduran mutu ikan selama post mortem. Ketika ikan mati (fase pre rigor), maka kondisi menjadi anaerob dan ATP terurai oleh enzim yang terdapat dalam tubuh ikan dengan melepaskan energi. Proses ini kemudian diikuti dengan peristiwa glikolisis yang akan menguraikan glikogen menjadi asam laktat. Pembentukan asam laktat menyebabkan terjadinya penurunan pH, dan jaringan otot tidak mampu mempertahankan kekenyalannya. Kondisi inilah yang dikenal dengan istilah rigor mortis. Nilai pH yang semakin menurun mengakibatkan katepsin yang terdapat dalam jaringan otot menjadi aktif (Afrianto dan Liviawaty, 1989 dalam Zakaria, 2008).

2.5.1.2 Bakteriolisis
Menurut Supardi dan Sukamto (1999) dalam Siburian et al. (2012), proses pembusukan ikan oleh bakteri dan fungi dapat dihambat dengan penyimpanan ikan pada suhu 0°C atau lebih rendah lagi. Fungi memiliki aktivitas air (aw) pada 0,87-0,80. Penyimpanan pada suhu dingin dapat mempertahankan mutu (jangka pendek atau beberapa hari) dan apabila disimpan pada suhu beku dapat bertahan dalam jangka waktu sampai selama satu tahun. Penyimpanan dengan suhu dingin dan beku juga dapat menghancurkan mikroba-mikroba pembusuk. Pada suhu dingin dan beku, terjadi kenaikan konsentrasi padatan intraseluler sehingga mengakibatkan perubahan fisik dan kimia sel-sel bakteri dan fungi penyebab busuk (Khomsan, 2004 dalam Siburian et al., 2012). Mikroorganisme yang terdapat di perairan payau dapat menginfeksi ikan bandeng yang hidup di dalamnya (Feliatra, 2002 dalam Siburian et al., 2012). Ikan yang terkontaminasi mikroorganisme akan mengalami proses pembusukan, ditandai adanya aktivitas enzimatik dari bakteri atau fungi yang merombak komponen daging ikan sehingga terbentuk senyawa yang aromanya menyengat. Aroma tersebut merupakan gabungan dari sejumlah senyawa hasil pembusukan. Ikan busuk tidak layak jual sehingga merugikan pedagang dan juga tidak layak konsumsi (Siburian et al., 2012).
Aktivitas bakteri dapat menyebabkan berbagai perubahan biokimiawi dan fisikawi yang pada akhirnya menjurus pada kerusakan secara menyeluruh yang disebut sebagai ”busuk” (Lan et al., 2007 dalam Zakaria, 2008). Jumlah bakteri yang terdapat pada tubuh ikan ada hubungannya dengan kondisi perairan tempat ikan tersebut hidup. Bakteri yang umumnya ditemukan pada ikan adalah bakteri Pseudomonas, Alcaligenes, Sarcina, Vibrio, Flavobacterium, Serratia dan Bacillus. Pengelompokan mikroorganisme berdasarkan suhu pertumbuhannya dapat dilihat pada Gambar 5.
mikroorganisme berdasarkan suhu pertumbuhan

Gambar 5. Pengelompokan mikroorganisme berdasarkan suhu pertumbuhannya
(Sumber: Lan et al., 2007 dalam Zakaria, 2008)


2.5.2 Eksternal
Faktor-faktor eksternal yang paling berpengaruh terhadap kemunduran mutu ikan (Junianto, 2003 dalam Zakaria, 2008) adalah:
a. Penggunaan alat tangkap. Jenis da teknik penangkapan akan berpengaruh pada derajat keletihan ikan. Ikan yang berjuang keras lama menghadapi kematiannya dalam jaring sebelum ditarik ke kapal akan kehabisan banyak cadangan tenaga sehingga lebih cepat memasuki masa rigor. Alat tangkap yang baik adalah yang dapat menekan tingkat stres pada ikan dan mengurangi gerakan ikan (meronta-ronta) sebelum mati.
b. Penanganan pasca-panen yang dilakukan oleh para nelayan. Untuk memperoleh ikan yan bermutu dan daya awet panjang, pokok utama dalam menangani ikan adalah bekerja cepat, cermat, bersih dan pada suhu rendah.
c. Musim. Daya simpan ikan pada musim panas yang hangat sering lebih pendek. Daya awet ikan berfluktuasi secara musiman menurut suhu.
d. Wilayah penangkapan. Perbedaan dalam wilayah penangkapan dapat juga berpengaruh terhadap daya awet.
e. Suhu air saat ikan ditangkap. Air yang bersuhu tinggi apalagi ikan agak lama tinggal dalam air sebelum diangkat dapat mempercepat proses penurunan mutunya.

2.5.2.1 Penanganan Pasca Panen
Cara penanganan ikan setelah ditangkap juga memiliki peran penting terhadap kualitas produk perikanan. Penanganan yang kurang baik sejak ikan tertangkap sampai ikan tiba di pelabuhan sangat penting agar tidak terjadinya kontaminasi terhadap ikan. Proses distribusi produk perikanan dari pelabuhan hingga sampai ke tempat-tempat penjualan juga sangat mempengaruhi kualitas produk perikanan. Kerusakan ikan dapat dicegah dengan menggunakan suhu rendah (dibekukan) saat disimpan. Tempat penyimpanan ikan harus sesuai dengan banyaknya ikan yang disimpan. Tempat yang terlalu kecil jika dipakai untuk menyimpan ikan dengan kapasitas yang banyak akan merusak fisik dari ikan tersebut (Milo et al., 2012).

2.5.2.2 Penggunaan Alat Tangkap
Penurunan mutu dan tingginya kerusakan pascapanen diakibatkan oleh antara lain cara penangkapan, cara penanganan yang buruk, panjangnya rantai suplai, tidak memadainya fasilitas penanganan. Cara penangkapan (jenis alat tangkap) secara langsung berhubungan dengan cara matinya ikan dan cara matinya ikan berhubungan dengan proses-proses fisik dan kimiawi yang dialami tubuh ikan dimana proses-proses tersebut berpengaruh langsung terhadap mutu ikan pasca tangkap. Hal ini diperparah oleh cara penanganan ikan yang dilakukan tergolong masih buruk karena masih dilakukan seadanya tanpa memperhatikan syarat-syarat yang harus dipenuhi, baik menyangkut fasilitas penanganan maupun cara penanganan, termasuk penggunaan es sebagai bahan pendingin ikan (Metusalach et al., 2014). 


BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut.
a.   Perubahan dan proses pembentukan TVBN, TMA, TMAO dan histamin sebagai berikut.
·  Kadar TVB ini dipengaruhi oleh jumlah bakteri yang tahan hidup sehingga hasil metabolisme bakteri berupa TVB juga berbeda.
·      TMA dibentuk oleh aksi bakteri pembusuk yang menguraikan TMAO menjadi TMA.
·      TMAO diuraikan oleh enzim dehidrogenase dari asam amino bebas menjadi kolin.
·   Asam amino histidin yang dikontaminasi oleh bakteri dengan mengeluarkan enzim histidin dekarboksilase sehingga menghasilkan histamin.
b.   Perbedaan TVBN, TMA, TMAO dan histamin sebagai berikut.
·   Kadar TVB dapat dijadikan sebagai indeks kesegaran ikan semenjak basa volatile terakumulasi dalam daging ikan sampai dalam tahap akhir pembusukan.
·     Perbedaan kadar TMA disebabkan oleh perbedaan populasi bakteri.
·    TMA akan terakumulasi dalam ikan busuk sebagai hasil degradasi bakteri kolin serta pemecahan TMAO ke TMA.
·     Histamin merupakan modifikasi dari asam amino yang mengakibatkan alergi
c. TVBN, TMA, TMAO dan histamin merupakan Non Protein Nitrogen (NPN) yang kadarnya berbeda-beda pada setiap jenis ikan dan besarnya sampai 30 persen dari total nitrogen.
d.   Pengendalian TVBN, TMA, TMAO dan histamin dalam penanganan pasca panen dapat dilakukan dengan penerapah suhu rendah, pengolahan, penggunaan minuman berkarbonasi, glyroxyl dan bahan alami.
e.   Faktor yang berpengaruh terhadap fisiologi pasca panen dibedakan menjadi dua, yaitu faktor internal dan eksternal.


DAFTAR PUSTAKA

Ariyani, F., J. T. Murtini, N. Indriati, Dwiyitno dan Y. Yenni. 2007. Penggunaan glyroxyl untuk menghambat penurunan mutu ikan mas (Cyprinus carpio) segar. Jurnal Perikanan. 9 (1): 125-133.
Haryono, T. J. S. 2005. Strategi kelangsungan hidup nelayan studi tentang diversifikasi pekerjaan keluarga nelayan sebagai salah satu strategi dalam mempertahankan kelangsungan hidup. Jurnal Berkala Ilmiah Kependudukan. 7 (2): 119-128.
Jayanti, S., M. Ilza dan Desmelati. 2012. Pengaruh penggunaan minuman berkarbonasi untuk menghambat kemunduran mutu ikan gurami (Osphronemus gouramy) pada suhu kamar. Jurnal Perikanan dan Kelautan. 17 (2): 71-87.
Kurniawan, R., D. Yoswaty dan S. Nedi. 2012. Analisis bakteri pembentuk histamin pada ikan tongkol di Perairan Pasie Nan Tigo Koto Tangah Padang, Sumatera Barat. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Riau.
Laismina, A. N., L. A. D. Y. Montolalu dan F. Mentang. 2014. Kajian mutu ikan tuna (Thunnus albacares) segar di Pasar Bersehati Kelurahan Calaca Manado. Jurnal Media Teknologi Hasil Perikanan. 2 (2):15-19.
Metulasach, Kasmiati, Fahrul dan I. Jaya. 2014. Pengaruh cara penangkapan, fasilitas penanganan dan cara penanganan ikan terhadap kualitas ikan yang dihasilkan. Jurnal IPTEK PSP. 1 (1): 40-52.
Milo, M. S., L. M. E. Purwijantiningsih dan F. S. Pranata. 2012. Mutu ikan tongkol (Euthynnusa affinis C.) di Kabupaten Gunungkidul dan Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta. Fakultas Teknobiologi, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta.
Murtini, J. T., R. Riyanto., N. Priyanto dan I. Hermana. 2014. Pembentukan formaldehid alami pada beberapa jenis ikan laut selama penyimpanan dalam es curai. JPB Perikanan. 9 (2): 143–151.
Pandit, I. G. S., N. T. Suryadhi, I. B. Arka dan N. Adiputra. 2007. Pengaruh penyiangan dan suhu penyimpanan terhadap mutu kimiawi, mikrobiologis dan organoleptik ikan tongkol (Auxis tharzard, Lac). Fakultas Pertanian, Universitas Warmadewa.
Radjawane, C., Y. S. Darmanto dan F. Swastawati. 2016. Kajian kandungan histamin ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) segar dan asap pada sentral pengolahan ikan asap di Kota Ambon. Prosiding Seminar Nasional Kelautan Universitas Trunojoyo Madura.
Santoso, J., A. W. N. Yasin dan Santoso. 2008. Perubahan karakteristik surimi ikan cucut dan ikan pari akibat pengaruh pengkomposisian dan penyimpanan dingin daging lumat. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan. 19 (1): 57-66.
Siburian, E. T. P., P. Dewi dan N. Kariada. 2012. Pengaruh suhu dan waktu penyimpanan terhadap pertumbuhan fungi ikan bandeng. Unnes Journal of Life Science. 1 (2): 101-105.
Sulistijowati, R., O. S. Djunaedi, J. Nurhajati, E. Afrianto dan Z. Udin. 2011. Mekanisme Pengasapan Ikan. UNPAD PRESS.
Susanto, E., T. W. Agustini, F. Swastawati, T. Surti, A. S. Fahmi, M. F. Albar dan M. K. Nafis. 2011. Pemanfaatan bahan alami untuk memperpanjang umur simpan ikan kembung (Rastrelliger neglectus). Jurnal Perikanan. 13 (2): 60-69.
Wangsadinata, V. 2009. Sistem pengendalian mutu ikan swanggi (Priacanthus macracanthus) (studi kasus di CV. Bahari Express, Pelabuhan Ratu, Sukabumi). Skripsi. Institut Pertanian Bogor.
Wibowo, I. R., YS. Darmanto dan A. D. Anggo. 2014. Pengaruh cara kematian dan tahapan penurunan kesegaran ikan terhadap kualitas pasta ikan nila (Oreochromis niloticus). Jurnal Pengolahan dan Bioteknologi Hasil Perikanan. 3 (3): 95-103.
Wicaksono, D. 2009. Asesmen risiko histamin selama proses pengolahan pada industri tuna loin. Skripsi. Program Studi Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Yasin, A. W. N. 2005. Pengaruh pengkomposisian dan penyimpanan dingin daging lumat ikan cucut pisang (Carcharinus falciformis) dan ikan pari kelapa (Trygon sephen) terhadap karakteristik surimi yang dihasilkan. Skripsi. Program Studi Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Zakaria, R. 2008. Kemunduran mutu ikan gurami (Osphronemus gouramy) pasca panen pada penyimpanan suhu chilling. Skripsi. Program Studi Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Comments

Popular posts from this blog

Teknik Pendinginan Produk Perikanan

BAB I PENDAHULUAN 1.1         Latar Belakang Setelah meratifikasi Montreal Protocol pada tahun 1992 dan Kyoto Protocol pada tahun 1996, Indonesia juga tidak luput dari permasalahan global yang dihadapi oleh industri pendinginan dunia sebagai dampak dari kedua perjanjian internasional di atas. Dengan demikian, penelitian di bidang refrigeran dan pendinginan sangat penting dan bermanfaat dilakukan di Indonesia. Jenis refrigeran yang cocok diteliti kemungkinan pemakaiannya di lndonesia adalah refrigeran hidrokarbon, karena selain bersifat alami (natural) hidrokarbon juga tersedia sebagai sumber daya alam yang relatif besar. Penggunaan refrigeran hidrokarbon juga dapat menghemat energi bila dibanding refrigeran R12 (Maclaine dan Leonardi, 1997 dalam Sihaloho dan Tambunan, 2005 ). Aisbett dan Pham (1998) dalam Sihaloho dan Tambunan (2005) menyatakan bahwa penggunaan hidrokarbon sebagai refrigeran pengganti CFC dan HFC dapatmemberikan penghematan biaya yang signifikan untuk

Ikan Sebelah (Psettodes erumei)

1.   PENDAHULUAN 1.1   Latar Belakang Kekayaan alam laut Indonesia yang luas berpotensi menghasilkan hasil laut yang beraneka ragam dengan jumlah yang cukup besar yaitu sebanyak 6,26 juta ton per tahun. Hasil produksi perikanan laut ( marine fisheries ) di Indonesia mengalami peningkatan dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2012 mencapai 3,24 %, dimana pada tahun 2012 hasil produksi ikan laut sebanyak 5.829.194 ton. Hasil laut terutama ikan diolah untuk menjadi bahan pangan masyarakat (Purba et al., 2015). Tingkat konsumsi ikan Indonesia setiap tahun mengalami peningkatan, dimana pada tahun 2013 mencapai 35,62 kilogram per kapita dari tahun 2012, yaitu sebanyak 33,14 kilogram per kapita (Purba et al., 2015). Indonesia memiliki wilayah perairan tropis yang terkenal kaya dalam perbendaharaan jenis-jenis ikannya. Berdasarkan penelitian dan beberapa literatur diketahui tidak kurang dari 3.000 jenis ikan yang hidup di Indonesia.Dari 3.000 jenis tersebut sebanyak 2.700 jenis (90%) hidup di p

Enzim Transferase

BAB I PENDAHULUAN 1.1   Latar Belakang Indonesia mengimpor hampir seluruh kebutuhan enzim (sekitar 90%) dari luar negeri. Dari aspek pasar, kebutuhan enzim di Indonesia terus meningkat sebagaimana dapat dilihat dari nilai impor. Menurut Badan Pusat Statistik, impor untuk produksi farmasetika tahun 2007 adalah sebesar 2,988 trilyun rupiah, tahun 2008 menjadi 3,391 trilyun rupiah dan pada tahun 2011 diperkirakan menjadi 4,55 trilyun rupiah. Kebutuhan enzim dunia terus meningkat yaitu sebesar 6,5% per tahun dan menjadi $5,1 miliar pada tahun 2009 (Trismilah et al. , 2014).   Enzim adalah protein yang berfungsi sebagai katalisator untuk reaksi-reaksi kimia didalam sistem biologi. Katalisator mempercepat reaksi kimia. Walaupun katalisator ikut serta dalam reaksi, ia kembali ke keadaan semula bila reeaksi telah selesai. Enzim adalah katalisator protein untuk reaksi-reaksi kimia pasa sistem biologi. sebagian besar reaksi tersebut tidak dikatalis oleh enzim (Indah, 2004). E