BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sebagai negara maritim,
Indonesia memiliki garis pantai sepanjang kurang lebih 81.000 km. Luas wilayah
laut, termasuk di dalamnya Zona ekonomi Eksklusif mencakup 5,8 juta kilometer
persegi (Dahuri, 2001 dalam Haryono, 2005). Di dalam wilayah laut dan
pesisir tersebut terkandung kekayaan sumber daya laut yang amat besar, mulai
dari ikan, kepiting, udang, kerang dan berbagai sumber daya laut lainnya yang
siap untuk dieksploitasi nelayan. Secara teoritis, dengan kekayaan laut yang
demikian besar, nelayan mampu hidup berkecukupan (Haryono, 2005).
Ikan dikenal sebagai suatu komoditi yang mempunyai nilai gizi
tinggi namun mudah busuk karena mengandung kadar protein yang tinggi dengan
kandungan asam amino bebas yang digunakan untuk metabolisme mikroorganisme,
produksi amonia, biogenik amin, asam organik, keton dan komponen sulfur (Liu et
al. 2010 dalam Radjawane et al., 2016). Ikan termasuk dalam kategori
makanan yang cepat busuk dan seperti yang telah diketahui bahwa
bagi produk cepat busuk, nilai mutu kesegaran merupakan faktor
yang penting untuk diperhatikan. Oleh karena penurunan
nilai mutu kesegaran selain akan menurunkan nilai gizi atau
nutriennya sebagai sumber pangan, juga akan menurunkan daya
jual atau harga dari produk tersebut. Dengan demikian nilai
mutu kesegaran dari produk yang cepat busuk perlu
diperhatikan (Sulistijowati et al., 2011).
Ikan merupakan salah satu bahan pangan yang mudah rusak,
terutama ikan segar (Hadiwiyoto, 1993 dalam Siburian et al.,
2012). Ciri-ciri ikan segar antara lain mata jernih, kornea bening, pupil
hitam, mata cembung dan insang merah segar. Jika kualitasnya menurun, insang
berwarna keabuan, berlendir dan bau, sisik melekat kuat, mengkilap dan tertutup
lendir jernih, aroma berbau khas ikan. Jika ikan tidak segar lagi, berbau busuk
dan biasanya mengapung jika diletakkan di dalam air. Pada ikan yang masih
segar, daging elastis dan bewarna cerah, dan jika ditekan tidak menimbulkan
bekas permanen (Siburian et al., 2012).
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka dapat ditentukan rumusan
masalah dalam makalah ini seperti berikut.
1. Bagaimana perubahan dan proses terbentuknya TVBN, TMA,
TMAO dan Histamin?
2. Apa perbedaan TVBN, TMA, TMAO dan Histamin?
3. Apa persamaan TVBN, TMA, TMAO dan Histamin?
4. Bagaimana pengendalian TVBN, TMA, TMAO dan Histamin
dalam penanganan pasca panen?
5. Apa saja faktor yang berpengaruh terhadap fisiologi
pasca panen?
1.3
Tujuan
Berdasarkan uraian rumusan masalah di atas maka dapat ditentukan tujuan
dalam makalah ini seperti berikut.
1. Memahami perubahan dan proses terbentuknya TVBN, TMA,
TMAO dan Histamin.
2. Mengetahui perbedaan TVBN, TMA, TMAO dan Histamin.
3. Mengetahui persamaan TVBN, TMA, TMAO dan Histamin.
4. Memahami pengendalian TVBN, TMA, TMAO dan Histamin
dalam penanganan pasca panen.
5. Mengetahui faktor yang berpengaruh terhadap fisiologi
pasca panen.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Perubahan dan Proses
Pembentukan
2.1.1TVBN
Prinsip penetapan TVB adalah
menguapkan senyawa-senyawa volatile yang terbentuk karena penguraian asam-asam
amino yang terdapat pada daging ikan (Hadiwiyoto, 1993 dalam Zakaria, 2008).
Nilai TVB maksimum untuk ikan segar, yaitu 30 mg N/100g (Direktorat Jendral
Perikanan, 2007 dalam Zakaria, 2008). Selain itu, kelebihan yang timbul
dalam penggunaan metode TVB adalah nilai yang tidak meningkat banyak selama
tahap awal dari proses penguraian dan hanya meningkat banyak secara nyata
sebagai hasil aktivitas mikroba pada tahap lebih lanjut dari proses kemunduran
mutu ikan (Hanna, 1992 dalam Zakaria, 2008). Pengujian bakteri yang
terdapat pada daging ikan dapat dilakukan dengan metode TPC, yaitu perhitungan
jumlah bakteri yang ditumbuhkan pada suatu media pertumbuhan (media agar) dan
diinkubasi selama 24 jam. Batas maksimum bakteri untuk ikan segar yaitu 5x105
koloni/gram (SNI 01-2346-2006 dalam Zakaria, 2008).
Kadar
TVB ini dipengaruhi oleh jumlah bakteri yang tahan hidup sehingga hasil
metabolisme bakteri berupa TVB juga berbeda. Menurut Kerr et al. (2002);
Anon (2006) dalam Pandit et al. (2007), TVB merupakan indikator
kualitas ikan maksimum 200 mg/100 g merupakan batas layak dikonsumsi termasuk
trimetilamin, dimetilamin, amonia dan basa-basa nitrogen lain yang merupakan
hasil kerja bakteri dan enzim autolitik selama proses pembusukan. Perbedaan
kadar TVB ini disebabkan oleh karena perbedaan populasi bakteri, dengan
demikian jumlah metabolismenya dalam bentuk TVB juga berbeda dan terjadi
peningkatan selama waktu pengamatan. TVB merupakan hasil dekomposisi protein
oleh aktivitas bakteri dan enzim. Pemecahan protein dapat menghasilkan 95%
amonia dan CO2, disamping itu akibat langsung pemecahan protein
menjadi total N nonprotein tubuh ikan menjadi basis dengan pH 7,1-7,2. Hasil
pemecahan protein bersifat volatile dan menimbulkan bau busuk seperti ammonia,
H2S, merkaptan, phenol, kresol, indol dan skatol (Aurand et al,
1987 dalam Pandit et al., 2007). Berdasarkan penelitian Antoine et
al. (2004) dalam Pandit et al. (2007), potongan daging ikan
mahi-mahi yang disimpan pada suhu 5oC, kemudian diamati pada hari ke
3 diperoleh kadar TVB mencapai 30 mg/100 g.
2.1.2 TMA
Menurut
Hui (1992), Botta (1994) dalam Santoso et al. (2008), TMA
dibentuk oleh aksi bakteri pembusuk yang menguraikan TMAO menjadi TMA, termasuk
bakteri yang memproduksi TMA seperti jenis Pseudomonas. Peningkatan
nilai TMA daging lumat selama penyimpanan disebabkan karena aktivitas mikroba
yang menguraikan bagian tubuh ikan setelah ikan mati. Penguraian TMAO menjadi
TMA setelah ikan mati akan memproduksi amonia yang mempengaruhi aroma dan
flavor (Clucas, 1981 dalam Santoso et al., 2008).
TMA
ini merupakan bagian dari TVB oleh sebab itu kandungan TMA selalu lebih rendah
dari TVB. TMA ini merupakan hasil dari reduksi TMAO oleh enzim. Pada kasus
pembusukan ikan, mikroorganisme memanfaatkan atom oksigen yang disumbangkan
oleh TMAO dalam kondisi anaerob dan mengakibatkan peningkatan
pembentukan TMA (Adams dan Moss, 2008 dalam Murtini et al.,
2014). Jenis mikroba yang berperan pada proses pembusukan ikan sebagian besar
terdiri dari bakteri gram-negatif dari jenis Pseudomonas, Alteromonas, Shewanella,
Moraxella, Acinetobacter, Vibrio, Flavobacterium dan Cytophaga.
Jenis mikroba pembusuk aerob dari ikan yang disimpan di es terdiri
terutama dari jenis Pseudomonas spp. dan Shewanella putrefaciens
(Levin, 1968; Gram et al., 1987 dalam Murtini et al.,
2014).
2.1.3
TMAO
Kandungan
lemak daging berkorelasi langsung dengan total mikrobial yang tumbuh pada
daging ikan. Pada tahapan tertentu dari proses pembusukan mikrobial, enzim
lipase diproduksi dalam jumlah banyak yang lebih lanjut enzim tersebut akan memecah
lemak menjadi asam lemak bebas, gliserol, dan senyawa lain. Kemungkinan
penguraian lebih lanjut asam amino bebas menjadi kolin yang kemudian diuraikan
menjadi TMAO oleh enzim dehidrogenase, dan berlanjut pada pembentukan formaldehid
dan DMA akibat penguraian TMAO secara enzimatis (Susanti, 2013 dalam Murtini
et al., 2014). Hal ini kemungkinan merupakan jalur pola pembentukan formaldehid
yang menjadi sebab mengapa kandungan formaldehid alami pada ikan dengan kadar
lemak yang tinggi cenderung lebih tinggi pula dibandingkan dengan ikan yang
berkadar lemak rendah (Noordiana et al., 2011 dalam Murtini et
al., 2014).
Dalam
ikan khususnya ikan laut selalu mengandung TMAO yang kadarnya berbeda-beda
yaitu:
- Ikan bertulang keras antara
100-400 mg/100 g daging.
- Ikan elasmobranch (sebangsa
cucut) 500-1500 mg/100 g daging.
- Crustaseae sampai 250
mg/100 g daging.
- Mollusca sampai 250 mg/100
g daging.
- Ikan air tawar sangat
kecil.
Perubahan kimiawi TMAO dapat
dibagi menjadi 2 jenis, yaitu: mikrobiologis dan autolysis (Gambar 1).
Gambar 1. Perubahan kimiawi TMAO secara mikrobiologis dan autolisis
(Sumber: Sulistijowati et al., 2011)
|
2.1.4
Histamin
Ikan
tongkol yang tergolong famili scombroidae, jika dibiarkan pada suhu kamar, maka
segera akan terjadi proses penurunan mutu, menjadi tidak segar lagi dan jika
ikan tongkol ini dikonsumsi akan menimbulkan keracunan. Keracunan ini
disebabkan oleh kontaminasi bakteri pathogen seperti Escherichia coli, Salmonella,
Vibrio cholerae, Enterobacteriacea dan lain-lain. Salah satu jenis
keracunan yang sering terjadi pada ikan tongkol adalah keracunan histamin (scombroid
fish poisoning) karena ikan jenis ini mengandung asam amino histidin yang
dikontaminasi oleh bakteri dengan mengeluarkan enzim histidin dekarboksilase
sehingga menghasilkan histamin. Bakteri ini banyak terdapat pada anggota tubuh
manusia yang tidak higienis, kotoran/tinja, isi perut ikan serta peralatan yang
tidak bersih (Pandit et al., 2007). Hasil pembusukan berupa histamin
oleh bakteri optimal pada temperatur 30°C dan menurun pada temperatur dingin
yaitu 0-5°C (Lehane and Olley, 2000 dalam Pandit et al., 2007).
Kose et al. (2003) dalam Pandit et al. (2007), melaporkan
produksi histamin sebesar 80,96 mg/100 g pada ikan mackerel yang disimpan pada
suhu 15oC selama 1 minggu. Hasil penelitian Aflal et al.
(2005) dalam Pandit et al. (2007), menemukan konsentrasi kadar
histamin sebesar 77,7 mg/100 g pada ikan sardine yang disimpan pada suhu 30oC
selama 24 jam.
Bakteri
utama yang merupakan bakteri histidin dekarboksilase, yang dapat meningkatkan
kandungan histamin pada ikan, yaitu Proteus morganii, Klebsiella pneumonia
dan Hafnia alvei (Taylor, 1983 dalam Wicaksono, 2009). Keer et
al., (2002) dalam Wicaksono (2009), menambahkan jenis bakteri yang
mampu memproduksi histamin dari histidin dalam jumlah tinggi, yaitu Proteus
morganii (bigeye, skipjack), Enterobacteri aerogenes (skipjack),
Clostridium perfringens (skipjack). Hampir semua mikroba pembentuk histamin
bersifat gram negatif dan berbentuk batang (Gambar 2). Enzim lebih stabil
dibandingkan bakteri pada suhu beku dan dapat bereaksi dengan sangat cepat
setelah thawing. Histamin dapat terakumulasi di dalam daging ikan karena
adanya kesalahan penanganan bahan baku sebelum dan sesudah pembekuan. Enzim
yang terdapat pada ikan sebelum pembekuan dapat meneruskan pembentukan histamin
di dalam daging ikan walaupun sel bakteri telah rusak selama penyimpanan beku
(Keer et al., 2002 dalam Wicaksono, 2009).
Gambar 2. Bakteri penghasil histamin yang terdapat pada ikan laut
(Sumber: Martin et al., 1982 dalam Wicaksono, 2009)
|
2.2 Perbedaan
2.2.1 TVBN
Komponen
utama Total Volatile Base (TVB) adalah NH3, TMA dan DMA.
Beberapa spesies ikan ditemukan mempunyai korelasi/hubungan antara kandungan
TVB dan penilaian organoleptik. TVB dapat dijadikan sebagai indeks kesegaran
ikan semenjak basa volatile terakumulasi dalam daging ikan sampai dalam tahap
akhir pembusukan. Adapun batas penerimaan ikan ditinjau dari kandungan TVB tergantung
pada spesies ikan tersebut, batas penerimaan pada ikan, yaitu bila mempunyai
kandungan TVB sebesar 20-30 mg/00 g ikan (Soekarto, 1990 dalam Wangsadinata,
2009).
Senyawa yang mudah menguap memberi kesan
daging ikan telah menjadi busuk. Oleh karena itu, kadar senyawa-senyawa ini
dipakai ebagai indeks kemunduran mutu ikan. Kadar senyawa menguap ini dapat
ditentukan secara laboratoris yang disebut dengan “penentuan kadar TVB-N” (Suwetja,
1993 dalam Laismina et al., 2014). Penentuan kadar TVB-N merupakan
metode uji kesegaran bakteriologis yang berkaitan dengan pengujian organoleptik
dan penentuan pH. Semakin besar nilai kadar TVB-N maka semakin tinggi pula
nilai pH-nya. Ini berbanding terbalik dengan penentuan organoleptik yang
semakin kecil derajat penerimaannya oleh panelis (Laismina et al.,
2014).
2.2.2
TMA
Menurut Hui (199); Botta (1994) TMA dibentuk oleh aksi
bakteri pembusuk yang menguraikan TMAO menjadi TMA, termasuk bakteri yang
memproduksi TMA seperti jenis Pseudomonas. Peningkatan nilai TMA daging
lumat selama penyimpanan disebabkan karena aktivitas mikroba yang menguraikan
bagian tibuh ikan setelah ikan mati. Penguraian TMAO menjadi TMA setelah ikan
mati akan memproduksi amonia yang mempengaruhi aroma dan flavor (Santoso et
al., 2008).
Analisis
ragam menunjukkan suhu penyimpanan dan penyiangan berpengaruh nyata
(P<0,05). Perbedaan kadar TMA ini disebabkan oleh perbedaan populasi
bakteri. TMA merupakan hasil pembusukan spesifik terhadap produk ikan laut yang
mengandung senyawa trimetilamin oksida (TMAO) dan senyawa nonprotein nitrogen
lainnya, kemudian oleh bakteri dan enzim direduksi menjadi TMA (Ilyas, 1983 dalam
Pandit et al., 2007). Jumlah TMA pada tiap perlakuan sangat
berkaitan erat dengan jumlah bakteri. Menurut Kerr et al. (2002) dalam
Pandit et al. (2007), kadar TMA pada produk perikanan yang layak
untuk dikonsumsi tidak melebihi 100 mg/100 g.
2.2.3
TMAO
Secara
alamiah formaldehid pada ikan terbentuk melalui reaksi reduksi trimetilamin oksida
(TMAO) menjadi formaldehid secara enzimatik dengan hasil samping
dimetilamin/DMA (Satelo et al., 1995 dalam Murtini et al.,
2014). TMAO seperti kebanyakan metilamin berasal dari derivat trimetilamonium
dari grup kolin, sementara kolin sendiri dalam ikan akan dioksidasi lebih
lanjut menjadi trimetilamin (TMA) oleh bakteri yang ada dalam usus hewan laut.
TMA akan terakumulasi dalam ikan busuk sebagai hasil degradasi bakteri kolin serta
pemecahan TMAO ke TMA (Seibel & Walsh, 2002 dalam Murtini et al.,
2014). Semua basa-basa volatil (yang terdeteksi sebagai TVBN), TMAO, TMA, DMA,
dan formaldehid merupakan senyawa-senyawa yang muncul sebagai hasil penguraian
daging ikan baik oleh bakteri ataupun enzim (Seibel dan Walsh, 2002 dalam
Murtini et al., 2014).
Selain
kandungan kimiawi makro (air, protein, lemak dan mineral) atau disebut proximate
composition, ikan juga mengandung bahan kimia yang sedikit jumlahnya tetapi
sangat berpengaruh terhadap kecepatan pembusukan. Bahan kimia tersebut adalah
senyawa nitrogenous terlarut tergolong pada nonprotein nitrogen berupa
trymethylamin oksida TMAO, trymethylamin (TMA), asam amino bebas, karnosin,
anserine, senyawa nitrogen lain dan asam nukleat. Senyawa-senyawa ini merupakan
faktor utama yang menyuguhkan bau dan cita rasa pada ikan, selain itu mempunyai
arti yang sangat besar pada saat kemunduran mutu berlangsung (bakterilogis dan
kimiawi). Asam amino bebas kadarnya sangat kecil pada ikan yang baru ditangkap,
tetapi kadarnya segera meningkat setelah ikan mati/post mortem. Suatu
kekecualian pada ikan tuna ialah dagingnya mengandung kadar histidin yang
sangat tinggi (Harikedua, 1994; Sunarya, 1996 dalam Sulistijowati et
al., 2011).
2.2.4
Histamin
Histidin
banyak terdapat pada ikan tuna, tongkol dan mackerel. Karena aktivitas
bakteriologis terutama Proteus morgani akan mengubah histidin menjadi
histamin (Gambar 3). Oleh sebab itu, kadar histamin dapat dipakai sebagai
indikator sanitasi dan hygiene. Walaupun pada kadar 20 mg persen belum
menimbulkan keracunan tetapi dengan histamin sebesar 20 mg persen tersebut
mencerminkan penanganan/pengolahan yang tidak higienis. Sedangkan bila kadar
histamin ≥ 100 mg persen biasanya menyebabkan keracunan bila dimakan. Untuk
orang-orang yang sensitif dengan kadar 50 mg persen sudah dapat merasakan
adanya keracunan (Sulistijowati et al., 2011).
Gambar 3. Histamin
(Sumber: Sulistijowati et al., 2011)
|
Keracunan
disebabkan oleh kontaminasi bakteri pathogen seperti Escherichia coli,
Salmonella, Vibrio cholerae, Enterobacteriacea dan lain-lain. Keracunan
yang sering terjadi pada ikan tongkol yaitu keracunan histamin (scombroid
fish poisoning). Ikan jenis ini mengandung asam amino histidin yang
dikontaminasi oleh bakteri dengan mengeluarkan enzim histidin dekarboksilase
sehingga menghasilkan histamin (Meryandini et al., 2009 dalam
Kurniawan et al., 2012). Menurut Madigan dan Martiko (2003) dalam
Kurniawan et al. (2012), histamin merupakan modifikasi dari asam amino
yang mengakibatkan alergi dengan gejala-gejala, seperti sulit bernafas, kulit
merah/panas, gatal-gatal, timbul lendir, kudis dan mata berair.
2.3 Persamaan TVBN, TMA,
TMAO dan Histamin
Ikan
laut mempunyai senyawa NPN yang berfungsi sebagai pengatur tekanan sel sehingga
ikan dapat berenang di permukaan atau di bagian dalam air laut. Jenis dan
jumlah kandungan NPN sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu jenis ikan,
seks, umur, musim dan lingkungan di mana ikan itu hidup dan beberapa senyawa
sangat berpengaruh terhadap pembusukan yaitu: TMAO, asam nukleat, senyawa lain
(urea) dan asam amino bebas. Kadar NPN berbeda-beda dan besarnya sampai 30
persen dari total nitrogen pada ikan (Sulistijowati et al., 2011).
Ikan elasmobranchii (tulang rawan) mempunyai kandungan NNP yang
lebih tinggi daripada ikan bertulang keras. Menurut Simidu (1961) dalam Yasin
(2005), kandungan NNP pada ikan bertulang keras berkisar antara 9,2–18,3 % dari
total nitrogen, dan pada ikan bertulang rawan berkisar antara 33-38,6 %.
Menurut Simidu (1961) dalam Yasin (2005), senyawa yang terdapat pada
fraksi NNP dapat dikelompokkan sebagai berikut: (a) basa volatil (amonia, mono,
di-, dan trimetilamin); (b) basa trimetilamonium (trimetilamin oksida dan
betain); (c) turunan guanidin (kreatin dan arginin); (e) variasi (urea, asam
amino, dan turunan purin). Kandungan NNP dari setiap spesies ikan adalah berbeda
(Gambar 4).
Gambar 4. Distribusi dari senyawa NNP (%) pada beberapa spesies ikan
(Sumber: Shahidi, 1994 dalam Yasin, 2005)
|
2.4 Pengendalian dalam Penanganan Pasca Panen
2.4.1 Suhu
Rendah
Ikan segar atau ikan basah adalah ikan yang belum atau tidak
diawetkan dengan bahan apapun kecuali didinginkan dengan es. Penanganan ikan
segar dilakukan pada ikan sejak ditangkap sampai diterima konsumen (Murniyati
dan Sunarman, 2000 dalam Siburian et al., 2012). Proses
pembusukan lebih cepat pada suhu tinggi sehingga proses pembusukan dapat
dihambat dengan suhu rendah. Menurut Junianto (2003) dalam Siburian et
al. (2012), kesegaran ikan tidak dapat ditingkatkan tetapi hanya dapat
dipertahankan. Proses pengawetan ikan dengan cara pendinginan dapat
mempertahankan masa kesegaran (shelf life) ikan selama 12-18 hari, tergantung
jenis ikan, cara penanganan, tingkat kesegaran ikan yang akan diinginkan dan
suhu yang digunakan. Pendinginan ikan merupakan salah satu proses yang umum
digunakan untuk mengatasi pembusukan ikan, baik selama penangkapan,
pengangkutan, maupun penyimpanan sementara sebelum diolah menjadi produk lain
(Siburian et al., 2012).
Pendinginan merupakan suatu proses
pengawetan ikan dengan suhu rendah, yaitu antara -1°C sampai 5°C. Pendinginan
disebut chilling yang mempunyai tujuan utama untuk menghambat proses
kemunduran mutu ikan yang disebabkan oleh aktivitas mikroorganisme dan proses
kimia maupun fisis sehingga ikan tetap dalam kondisi segar sampai jangka waktu
yang cukup lama (Gelman et al., 2004 dalam Zakaria, 2008).
Perkembangbiakan bakteri pada ikan sangat dipengaruhi oleh suhu. Semakin rendah
suhu yang digunakan, pertumbuhan bakteri semakin dihambat. Bakteri dapat tumbuh
dalam deret suhu yang besar, yaitu dari 0 oC-45oC. Proses
pendinginan yang diberikan pada saat proses pembusukan sudah mulai kurang
efektif dalam hubungannya dengan pencegahan pertumbuhan mikroorganisme dan akan
memberikan hasil yang kurang memuaskan (Ilyas, 1983 dalam Zakaria, 2008).
2.4.2
Pengolahan
Pengawetan atau pengolahan hasil perikanan bertujuan untuk
menghambat atau menghentikan kegiatan zat-zat dan mikroorganisme yang dapat
menimbulkan pembusukan (kemunduran mutu) dan kerusakan (Moeljanto, 2002 dalam
Siburian et al., 2012). Memperpanjang daya simpan dan untuk mengatasi
masalah pembusukan ikan (selama penangkapan, pengangkutan, penyimpanan dan
pemasaran) diperlukan media pendingin untuk mempertahankan kesegaran ikan dalam
waktu tertentu (Siburian et al., 2012).
Pengolahan
merupakan salah satu cara untuk mempertahankan daya awet dan juga meningkatkan
nilai ekonomis ikan. Pengolahan ikan menjadi produk gel merupakan salah satu
alternatif penganekaragaman produk perikanan yang diharapkan dapat diterima
masyarakat. Salah satu usaha penyediaan hasil olahan perikanan yang dapat
dikembangkan adalah pasta ikan. Pasta ikan merupakan salah satu makanan yang
berasal dari bahan baku lumatan daging ikan yang ditambahkan dengan tepung,
garam dan berbagai jenis sayuran. Dengan berbagai perkembangan ilmu dan
tekonologi, pasta ikan tersebut berkembang sesuai dengan selera dan budaya dari
berbagai bangsa dan negara (Istihastuti et al., 1997 dalam Wibowo
et al., 2014).
2.4.3 Minuman
Berkarbonasi
Dari
laporan penelitian Suwandi et al. (2008) dalam Jayanti et al.
(2012) mengatakan bahwa bahwa terdapat cara lain dalam menjaga kesegaran ikan
hasil tangkapan yaitu dilakukan dengan menggunakan minuman ringan berkarbonasi
30% yang direndam selama 30 menit untuk menghambat kemunduran mutu ikan. Fungsi
dari larutan minuman ringan berkarbonasi adalah terletak pada kandungan karbondioksida
serta asam karbonat yang terkandung dalam minuman tersebut, sehingga
menyebabkan pH larutan menjadi asam. Suasana asam dapat menghambat pertumbuhan
mikroorganisme pembusuk. Karbondioksida juga memiliki fungsi spesifik sebagai
bakteriostatik sehingga dapat bereaksi langsung dengan bakteri dalam
penghambatan pertumbuhannya. Karbondioksida memiliki efek bakteriostatik pada
bakteri (Soccol dan Oetterer, 2003 dalam Jayanti et al., 2012).
2.4.4 Glyroxyl
Glyroxyl adalah salah satu bahan yan diklaim memiliki potensi
bakterisidal (Tap, 2002 dalam Ariyani et al., 2007) dengan bahan
aktif H2O2 yang diberi penstabil gliserin. Bahan ini
dipromosikan mampu menekan/membunuh bakteri Gram positif maupun Gram negatif.
Dalam penggunaannya, glyroxyl dirancang sebagai pembebas kuman maupun
desinfektan. Beberapa percobaan untuk mengetahui efektivitas penggunaan
glyroxyl sebagai anti bekterisida telah dilakukan terhadap berbagai jenis
biakan, demikian juga penggunaan peralatan. Namun demikian efektivitas glyroxyl
dalam mencegah kerusakan ikan khususnya di daerah tropis belum banyak
dilakukan. Untuk itu, uji aplikasi glyroxyl untuk penanganan ikan yang
dilengkapi dengan uji laboratorium perlu dilakukan (Ariyani et al.,
2007).
2.4.5 Bahan
Alami
Kesadaran
penggunaan bio-presevative dari bahan alami pada bahan pangan mulai meningkat
agar bahan pangan aman dikonsumsi (Roller, 1995 dalam Susanto et al.,
2011). Penelitian penggunaan bahan alami pada ikan sebagai bahan pengawet telah
dilakukan oleh berbagai peneliti antara lain serbuk biji buah atung (Parinarium
glaberium HASSK) (Moniharapon et al., 1993 dalam Susanto et
al., 2011), lengkuas, jambu mete, mahkota dewa dan lidah buaya (Agustini et
al., 2007; Agustini et al., 2011 dalam Susanto et al.,
2011), ekstrak tanaman (Quitral et al., 2009 dalam Susanto et
al., 2011), teh (Fan et al., 2008 dalam Susanto et al.,
2011), serbuk thyme (Attauchi & Saloua, 2009 dalam Susanto et al.,
2011), madu (Nagai, et al., 2006 dalam Susanto et al.,
2011), ekstrak daun oregano (Origanum vulgare) dan rosemary (Rosmarinus
offi cinalis) (Quitral et al., 2009 dalam Susanto et
al., 2011) dan Cinamon pada fillet ikan (Lu et al., 2010 dalam
Susanto et al., 2011). Penggunaan bahan alami tersebut mampu
memperpanjang shelf-life ikan (Susanto et al., 2011)
2.5 Faktor yang Berpengaruh Terhadap Fisiologi Pasca
Panen
2.5.1
Internal
Faktor internal yang mempengaruhi
kemunduran mutu ikan (Junianto, 2003 dalam Zakaria, 2008), yaitu:
a. Jenis ikan. Jenis ikan pelagis cenderung lebih cepat mengalami kemunduran mutu
dibanding ikan demersal dan ikan air tawar cenderung lebih cepat mencapai
kemunduran mutu dibanding ikan air laut.
b.
Umur dan ukuran ikan. Ikan dewasa dengan ukuran yang besar lebih lama mengalami
kemunduran mutu daripada ikan kecil.
c. Kandungan lemak. Ikan yang mengandung lemak tinggi cenderung lebih cepat
mengalami kemunduran mutu dibanding ikan-ikan berlemak rendah.
d.
Kondisi fisikal ikan. Kondisi fisik yang lemah sebelum ditangkap karena kurang
bergizi makanannya, baru menelurkan dan sebagainya akan berpengaruh terhadap
waktu memasuki tahap rigor.
e.
Karakteristik kulit dan bentuk tubuh. Ikan yang memiliki kulit yang tebal akan
cenderung lebih lama laju kemunduran mutunya dibanding ikan yang memiliki kulit
yang tipis, begitu juga dengan ikan yang bentuk tubuhnya bulat lebih lama
kemunduran mutunya dibanding ikan yang bentuknya pipih.
2.5.1.1
Enzimatis atau Autolisis
Perubahan enzimatik berhubungan
dengan tingkat kesegaran ikan dan perubahan mutu oleh bakteri. Dalam beberapa
jenis ikan (cumi-cumi, herring), perubahan enzimatik terjadi paling awal dan
mendominasi pembusukan ikan yang disimpan pada suhu dingin. Autolisis berperan
dalam bermacam-macam tingkat pembusukan secara keseluruhan dan sebagai media
pertumbuhan bakteri (FAO, 1995 dalam Zakaria, 2008). Autolisis dimulai
bersamaan dengan menurunnya pH. Mula-mula, protein dipecah menjadi
molekul-molekul makro yang menyebabkan peningkatan dehidrasi protein dan
molekul-molekulnya pecah menjadi pepton, polipeptida dan akhirnya menjadi asam
amino. Di samping itu dihasilkan pula sejumlah kecil pirimidin dan purin basa
yang dibebaskan pada waktu asam nukleat memecah. Bersamaan dengan itu,
hidrolisis lemak menghasilkan asam lemak bebas dan gliserol (Murniyati dan
Sunarman, 2000 dalam Zakaria, 2008).
Katepsin merupakan salah satu enzim
yang berperan penting dalam proses kemunduran mutu ikan selama post mortem.
Ketika ikan mati (fase pre rigor), maka kondisi menjadi anaerob dan ATP
terurai oleh enzim yang terdapat dalam tubuh ikan dengan melepaskan energi. Proses
ini kemudian diikuti dengan peristiwa glikolisis yang akan menguraikan glikogen
menjadi asam laktat. Pembentukan asam laktat menyebabkan terjadinya penurunan
pH, dan jaringan otot tidak mampu mempertahankan kekenyalannya. Kondisi inilah
yang dikenal dengan istilah rigor mortis. Nilai pH yang semakin menurun
mengakibatkan katepsin yang terdapat dalam jaringan otot menjadi aktif (Afrianto
dan Liviawaty, 1989 dalam Zakaria, 2008).
2.5.1.2
Bakteriolisis
Menurut Supardi dan Sukamto (1999) dalam Siburian et al.
(2012), proses pembusukan ikan oleh bakteri dan fungi dapat dihambat dengan
penyimpanan ikan pada suhu 0°C atau lebih rendah lagi. Fungi memiliki aktivitas
air (aw) pada 0,87-0,80. Penyimpanan pada suhu dingin dapat
mempertahankan mutu (jangka pendek atau beberapa hari) dan apabila disimpan
pada suhu beku dapat bertahan dalam jangka waktu sampai selama satu tahun.
Penyimpanan dengan suhu dingin dan beku juga dapat menghancurkan
mikroba-mikroba pembusuk. Pada suhu dingin dan beku, terjadi kenaikan konsentrasi
padatan intraseluler sehingga mengakibatkan perubahan fisik dan kimia sel-sel
bakteri dan fungi penyebab busuk (Khomsan, 2004 dalam Siburian et al.,
2012). Mikroorganisme yang terdapat di perairan payau dapat menginfeksi ikan
bandeng yang hidup di dalamnya (Feliatra, 2002 dalam Siburian et al.,
2012). Ikan yang terkontaminasi mikroorganisme akan mengalami proses
pembusukan, ditandai adanya aktivitas enzimatik dari bakteri atau fungi yang
merombak komponen daging ikan sehingga terbentuk senyawa yang aromanya
menyengat. Aroma tersebut merupakan gabungan dari sejumlah senyawa hasil
pembusukan. Ikan busuk tidak layak jual sehingga merugikan pedagang dan juga
tidak layak konsumsi (Siburian et al., 2012).
Aktivitas bakteri dapat menyebabkan
berbagai perubahan biokimiawi dan fisikawi yang
pada akhirnya menjurus pada kerusakan secara menyeluruh yang disebut
sebagai ”busuk” (Lan et al., 2007 dalam Zakaria, 2008). Jumlah
bakteri yang terdapat pada tubuh ikan ada hubungannya dengan
kondisi perairan tempat ikan tersebut hidup. Bakteri
yang umumnya ditemukan pada ikan adalah bakteri Pseudomonas, Alcaligenes,
Sarcina, Vibrio, Flavobacterium, Serratia dan
Bacillus. Pengelompokan mikroorganisme
berdasarkan suhu pertumbuhannya dapat dilihat pada
Gambar 5.
Gambar 5. Pengelompokan mikroorganisme berdasarkan suhu pertumbuhannya
(Sumber: Lan et al., 2007 dalam Zakaria, 2008)
|
2.5.2
Eksternal
Faktor-faktor eksternal yang paling
berpengaruh terhadap kemunduran mutu ikan (Junianto, 2003 dalam Zakaria,
2008) adalah:
a.
Penggunaan alat tangkap. Jenis da teknik penangkapan akan berpengaruh pada
derajat keletihan ikan. Ikan yang berjuang keras lama menghadapi kematiannya
dalam jaring sebelum ditarik ke kapal akan kehabisan banyak cadangan tenaga
sehingga lebih cepat memasuki masa rigor. Alat tangkap yang baik adalah yang
dapat menekan tingkat stres pada ikan dan mengurangi gerakan ikan
(meronta-ronta) sebelum mati.
b.
Penanganan pasca-panen yang dilakukan oleh para nelayan. Untuk memperoleh ikan
yan bermutu dan daya awet panjang, pokok utama dalam menangani ikan adalah
bekerja cepat, cermat, bersih dan pada suhu rendah.
c.
Musim. Daya simpan ikan pada musim panas yang hangat sering lebih pendek. Daya
awet ikan berfluktuasi secara musiman menurut suhu.
d.
Wilayah penangkapan. Perbedaan dalam wilayah penangkapan dapat juga berpengaruh
terhadap daya awet.
e.
Suhu air saat ikan ditangkap. Air yang bersuhu tinggi apalagi ikan agak lama
tinggal dalam air sebelum diangkat dapat mempercepat proses penurunan mutunya.
2.5.2.1
Penanganan Pasca Panen
Cara penanganan ikan setelah ditangkap juga memiliki peran
penting terhadap kualitas produk perikanan. Penanganan yang kurang baik sejak
ikan tertangkap sampai ikan tiba di pelabuhan sangat penting agar tidak
terjadinya kontaminasi terhadap ikan. Proses distribusi produk perikanan dari
pelabuhan hingga sampai ke tempat-tempat penjualan juga sangat mempengaruhi
kualitas produk perikanan. Kerusakan ikan dapat dicegah dengan menggunakan suhu
rendah (dibekukan) saat disimpan. Tempat penyimpanan ikan harus sesuai dengan
banyaknya ikan yang disimpan. Tempat yang terlalu kecil jika dipakai untuk
menyimpan ikan dengan kapasitas yang banyak akan merusak fisik dari ikan
tersebut (Milo et al., 2012).
2.5.2.2
Penggunaan Alat Tangkap
Penurunan mutu dan tingginya kerusakan pascapanen
diakibatkan oleh antara lain cara penangkapan, cara penanganan yang buruk,
panjangnya rantai suplai, tidak memadainya fasilitas penanganan. Cara
penangkapan (jenis alat tangkap) secara langsung berhubungan dengan cara
matinya ikan dan cara matinya ikan berhubungan dengan proses-proses fisik dan
kimiawi yang dialami tubuh ikan dimana proses-proses tersebut berpengaruh
langsung terhadap mutu ikan pasca tangkap. Hal ini diperparah oleh cara
penanganan ikan yang dilakukan tergolong masih buruk karena masih dilakukan
seadanya tanpa memperhatikan syarat-syarat yang harus dipenuhi, baik menyangkut
fasilitas penanganan maupun cara penanganan, termasuk penggunaan es sebagai
bahan pendingin ikan (Metusalach et al., 2014).
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari
pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut.
a.
Perubahan dan proses pembentukan
TVBN, TMA, TMAO dan histamin sebagai berikut.
· Kadar
TVB ini dipengaruhi oleh jumlah bakteri yang tahan hidup sehingga hasil
metabolisme bakteri berupa TVB juga berbeda.
·
TMA
dibentuk oleh aksi bakteri pembusuk yang menguraikan TMAO menjadi TMA.
·
TMAO
diuraikan oleh enzim dehidrogenase dari asam amino bebas menjadi kolin.
· Asam
amino histidin yang dikontaminasi oleh bakteri dengan mengeluarkan enzim
histidin dekarboksilase sehingga menghasilkan histamin.
b.
Perbedaan TVBN, TMA, TMAO dan
histamin sebagai berikut.
· Kadar
TVB dapat dijadikan sebagai indeks kesegaran ikan semenjak basa volatile
terakumulasi dalam daging ikan sampai dalam tahap akhir pembusukan.
· Perbedaan
kadar TMA disebabkan oleh perbedaan populasi bakteri.
· TMA
akan terakumulasi dalam ikan busuk sebagai hasil degradasi bakteri kolin serta
pemecahan TMAO ke TMA.
· Histamin
merupakan modifikasi dari asam amino yang mengakibatkan alergi
c. TVBN, TMA, TMAO dan histamin
merupakan Non
Protein Nitrogen (NPN) yang kadarnya berbeda-beda pada setiap jenis ikan dan
besarnya sampai 30 persen dari total nitrogen.
d.
Pengendalian
TVBN, TMA, TMAO dan histamin dalam penanganan pasca panen dapat dilakukan dengan
penerapah suhu rendah, pengolahan, penggunaan minuman berkarbonasi, glyroxyl
dan bahan alami.
e.
Faktor yang
berpengaruh terhadap fisiologi pasca panen dibedakan menjadi dua, yaitu faktor
internal dan eksternal.
DAFTAR PUSTAKA
Ariyani,
F., J. T. Murtini, N. Indriati, Dwiyitno dan Y. Yenni. 2007. Penggunaan glyroxyl
untuk menghambat penurunan mutu ikan mas (Cyprinus carpio) segar. Jurnal
Perikanan. 9 (1): 125-133.
Haryono,
T. J. S. 2005. Strategi kelangsungan hidup nelayan studi tentang diversifikasi
pekerjaan keluarga nelayan sebagai salah satu strategi dalam mempertahankan
kelangsungan hidup. Jurnal Berkala Ilmiah Kependudukan. 7
(2): 119-128.
Jayanti,
S., M. Ilza dan Desmelati. 2012. Pengaruh penggunaan minuman berkarbonasi untuk
menghambat kemunduran mutu ikan gurami (Osphronemus gouramy) pada suhu
kamar. Jurnal Perikanan dan Kelautan. 17 (2): 71-87.
Kurniawan,
R., D. Yoswaty
dan S. Nedi. 2012. Analisis bakteri pembentuk
histamin pada ikan tongkol di Perairan Pasie
Nan Tigo Koto Tangah Padang,
Sumatera Barat. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Riau.
Laismina,
A. N., L. A. D.
Y. Montolalu dan F. Mentang. 2014. Kajian mutu ikan tuna (Thunnus albacares)
segar di Pasar Bersehati Kelurahan Calaca Manado. Jurnal Media Teknologi
Hasil Perikanan. 2 (2):15-19.
Metulasach, Kasmiati, Fahrul
dan I. Jaya. 2014. Pengaruh cara penangkapan, fasilitas penanganan dan cara
penanganan ikan terhadap kualitas ikan yang dihasilkan. Jurnal IPTEK PSP. 1 (1): 40-52.
Milo,
M. S., L. M. E. Purwijantiningsih dan F. S. Pranata.
2012. Mutu ikan tongkol (Euthynnusa affinis C.) di Kabupaten
Gunungkidul dan Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta. Fakultas
Teknobiologi, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta.
Murtini, J. T., R. Riyanto.,
N. Priyanto dan I. Hermana. 2014. Pembentukan formaldehid alami pada beberapa
jenis ikan laut selama penyimpanan dalam es
curai. JPB Perikanan. 9 (2): 143–151.
Pandit, I. G. S., N. T.
Suryadhi, I. B. Arka dan N. Adiputra. 2007. Pengaruh penyiangan dan suhu
penyimpanan terhadap mutu kimiawi, mikrobiologis dan organoleptik ikan tongkol (Auxis
tharzard, Lac). Fakultas Pertanian, Universitas Warmadewa.
Radjawane, C., Y. S. Darmanto
dan F. Swastawati. 2016. Kajian kandungan histamin ikan cakalang (Katsuwonus
pelamis) segar dan asap pada sentral pengolahan ikan asap di Kota Ambon. Prosiding
Seminar Nasional Kelautan Universitas Trunojoyo Madura.
Santoso, J., A.
W. N. Yasin dan Santoso. 2008. Perubahan karakteristik surimi ikan cucut dan
ikan pari akibat pengaruh pengkomposisian dan penyimpanan dingin daging lumat. Jurnal
Teknologi dan Industri Pangan. 19 (1): 57-66.
Siburian, E. T.
P., P. Dewi dan N. Kariada. 2012. Pengaruh suhu dan waktu penyimpanan terhadap
pertumbuhan fungi ikan bandeng. Unnes Journal of Life Science. 1
(2): 101-105.
Sulistijowati, R., O. S. Djunaedi, J.
Nurhajati, E. Afrianto dan Z. Udin. 2011. Mekanisme Pengasapan Ikan. UNPAD
PRESS.
Susanto, E., T. W. Agustini,
F. Swastawati, T. Surti, A. S. Fahmi, M. F. Albar dan M. K. Nafis. 2011. Pemanfaatan
bahan alami untuk memperpanjang umur simpan ikan kembung (Rastrelliger
neglectus). Jurnal Perikanan. 13 (2): 60-69.
Wangsadinata, V. 2009. Sistem
pengendalian mutu ikan swanggi (Priacanthus macracanthus) (studi kasus di
CV. Bahari Express, Pelabuhan Ratu, Sukabumi). Skripsi. Institut
Pertanian Bogor.
Wibowo, I. R., YS. Darmanto dan A.
D. Anggo. 2014. Pengaruh cara kematian dan
tahapan penurunan kesegaran ikan terhadap kualitas pasta ikan nila (Oreochromis
niloticus). Jurnal Pengolahan dan Bioteknologi Hasil Perikanan. 3 (3): 95-103.
Wicaksono, D. 2009. Asesmen risiko
histamin selama proses pengolahan pada industri tuna loin. Skripsi.
Program Studi Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Institut Pertanian Bogor.
Yasin, A. W. N. 2005. Pengaruh pengkomposisian dan penyimpanan dingin daging
lumat ikan cucut pisang (Carcharinus falciformis) dan ikan pari kelapa (Trygon sephen) terhadap
karakteristik surimi yang dihasilkan. Skripsi. Program Studi
Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut
Pertanian Bogor.
Zakaria,
R. 2008. Kemunduran mutu ikan gurami (Osphronemus gouramy) pasca panen
pada penyimpanan suhu chilling. Skripsi. Program Studi Teknologi Hasil Perairan,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Comments
Post a Comment