BAB
I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ikan segar merupakan
salah satu komoditi yang mudah mengalami kerusakan (high perishable food).
Kandungan air hasil perikanan pada umumnya tinggi mencapai 56,79% sehingga
sangat memungkinkan terjadinya reaksi-reaksi biokimiawi oleh enzim yang
berlangsung pada tubuh ikan segar. Sementara itu, kerusakan secara
mikrobiologis disebabkan karena aktivitas mikroorganisme terutama bakteri.
Kandungan protein yang cukup tinggi pada ikan menyebabkan ikan mudah rusak bila
tidak segera dilakukan pengolahan dan pengawetan. Pengawetan bertujuan untuk
memperpanjang masa simpan bahan pangan tersebut. Salah satu usaha untuk
meningkatkan daya simpan dan daya awet pada produk ikan adalah dengan
pengalengan ikan (Winarno, 1980 dalam Wulandari
et al., 2009).
Teknik pengawetan
pangan yang dapat diterapkan dan banyak digunakan adalah pengawetan dengan suhu
tinggi, contohnya adalah pengalengan ikan sardine. Pengalengan merupakan salah
satu cara untuk menyelamatkan bahan makanan, terutama ikan dan hasil perikanan
lainnya, dari pembusukan. Dalam pengalengan ini daya awet ikan yang diawetkan
jauh lebih bagus dibandingkan pengawetan cara lain. Namun dalam hal ini
dibutuhkan penanganan yang lebih intensif serta ditunjang dengan peralatan yang
serba otomatis (Murniyati dan Sunarman, 2004
dalam Wulandari et al., 2009).
Pada era
perdagangan bebas, produk perikanan Indonesia menghadapi berbagai tantangan
untuk meningkatkan daya saing, baik dalam mutu produk maupun efisiensi dalam
produksi. Tantangan terbesar bagi produk pangan termasuk produk perikanan di
Indonesia yang paling utama adalah keamanan pangan. Indonesia telah mewajibkan rantai pasok perikanan menerapkan sistem mutu
HACCP melalui Program Manajemen Mutu Terpadu (PMMT) berdasarkan konsep HACCP
pada tahun 1998 (Kementan-RI, 1998 dalam Rahmawaty et al., 2013). Berdasarkan latar belakang betapa
pentingnya penerapan HACCP
pada industri perikanan salah satunya pengalengan ikan sarden. Maka penulis memaparkan manfaat serta
penjelasan lain mengenai HACCP.
Namun penulis terfokus
pada HACCP dengan
studi kasus di PT. Blambangan Foodpaker Indonesia, Banyuwangi dan di Tunisia.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka dapat ditentukan rumusan
masalah dalam makalah ini seperti berikut.
1. Apa yang dimaksud pengalengan?
2. Apa
saja jenis ikan yang
berpotensi dijadikan ikan kaleng?
3. Bagaimana proses produksi ikan
sarden kaleng?
4. Bagaimana penerapan HACCP (Hazard Analysis Critical
Control Point) pada
industri pengalengan ikan sarden?
5. Bagaimana penerapan HACCP (Hazard Analysis Critical Control
Point) pada
industri pengalengan ikan sarden di PT. Blambangan Foodpacker Indonesia,
Banyuwangi?
6. Bagaimana penerapan HACCP (Hazard Analysis Critical
Control Point) pada
industri pengalengan ikan sarden di Tunisia?
1.3 Tujuan
Berdasarkan uraian rumusan masalah di atas maka dapat ditentukan tujuan
dalam makalah ini seperti berikut.
1. Mengetahui
pengertian pengalengan.
2. Mengetahui
jenis ikan yang berpotensi
dijadikan ikan kaleng.
3. Mengetahui proses produksi ikan sarden kaleng.
4. Mengetahui
penerapan HACCP (Hazard Analysis Critical
Control Point) pada
industri pengalengan ikan sarden.
5. Mengetahui
penerapan HACCP (Hazard Analysis Critical
Control Point) pada
industri pengalengan ikan sarden di PT. Blambangan Foodpacker Indonesia,
Banyuwangi.
6. Mengetahui penerapan HACCP (Hazard Analysis Critical
Control Point) pada
industri pengalengan ikan sarden di Tunisia.
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Pengalengan
Pengalengan
merupakan salah satu cara untuk menyelamatkan bahan makanan, terutama ikan dan
hasil perikanan lainnya, dari pembusukan. Dalam pengalengan ini daya awet ikan
yang diawetkan jauh lebih bagus dibandingkan pengawetan cara lain. Namun dalam
hal ini dibutuhkan penanganan yang lebih intensif serta ditunjang dengan
peralatan yang serba otomatis. Sebab dalam proses pengalengan, ikan atau hasil
perikanan lain dimasukkan dalam suatu wadah yang ditutup rapat agar udara
maupun mikroorganisme perusak yang datang dari luar tidak dapat masuk. Selanjutnya
wadah dipanasi pada suhu tertentu dalam jangka waktu tertentu pula untuk
mematikan mikroorganisme yang ikut terbawa pada produk yang dikalengkan
(Murniyati dan Sunarman, 2004 dalam Wulandari
et al., 2009).
2.2 Jenis Ikan Kaleng
Produksi ikan tuna
kaleng cenderung meningkat yang ditunjukkan oleh trend yang meningkat dari
ekspor produk tuna kaleng. Ekspor tuna kaleng pada tahun 1999 sebanyak 36.264
ton dan meningkat menjadi 118.449 ton pada tahun 2004 dengan tingkat kenaikan
rata-rata 7,27% per tahun (Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, 2006 dalam Irianto dan Akbarsyah, 2007). Data
tersebut mengindikasikan bahwa pasar ekspor untuk produk tuna kaleng cukup baik
dan masih berpeluang untuk meningkat.
Di dalam statistik
perikanan Indonesia, tuna digunakan sebagai nama grup dari beberapa jenis ikan
yang terdiri dari jenis tuna besar dan jenis ikan mirip tuna. Jenis ikan yang
termasuk ke dalam tuna besar (Thunnus spp.) adalah yellow fin tuna,
big eye, southern bluefin tuna, dan albacore. Sedangkan yang
tergolong dalam jenis ikan mirip tuna (tuna-like species) adalah marlin,
sailfish, dan swordfish. Skipjack tuna sering digolongkan
sebagai cakalang, sedangkan istilah tongkol umumnya digunakan untuk jenis eastern
little tuna (Euthynus spp), frigate dan bullet tuna (Auxis
spp) dan longtail tuna (Thunnus tonggol) (Departemen
Kelautan dan Perikanan, 2005 dalam Irianto dan Akbarsyah, 2007).
Selain
itu, menurut Yovita (2017), bahan baku yang dapat diolah menjadi ikan kaleng,
yaitu berupa ikan sarden dengan jenis Sardinella sp. namun pada umumnya Sardinella
lemuru. Klasifikasi dari Sardinella lemuru, yaitu:
Kingdom :
Animalia
Filum :
Chordata
Sub Filum :
Vertebrata
Kelas :
Pisces
Sub Kelas :
Actinopterygii
Ordo :
Cluspeiformes
Famili :
Cluspeidae
Genus :
Sardinella
Spesies : Sardinella
lemuru
Jenis Sardina
pilchardus yang memiliki ciri menyerupai sarden, perbedaannya dapat dilihat
pada bagian tubuh ikan yang adanya bintik berwarna hitam. Ikan Sardina
pilchardus berukuran antara 7.5-25 cm (Ainsworth, 2010 dalam Yovita,
2017). Penggunaan ikan Sardina pilchardus umumnya oleh permintaan
pasar atau dapat karena tidak tersedianya ikan jenis Sardinella lemuru.
Ikan Sardina pilchardus biasanya terdapat pada perairan Mediterania
(Ainsworth, 2010 dalam Yovita, 2017).
Klasifikasi ikan Sardina pilchardus antar lain, yaitu:
Kingdom :
Animal
Filum :
Chordata
Sub Filum :
Vertebrata
Kelas :
Pisces
Sub Kelas :
Actinopterygii
Ordo :
Cluspeiformes
Famili :
Cluspeidae
Genus :
Sardina
Spesies :
Sardina pilchardus
2.3 Proses Produksi Ikan Sarden Kaleng
Gambar 1. Diagram alir produksi ikan sarden dalam kaleng
Secara umum proses
produksi ikan kaleng menurut Yovita (2017) sebagai
berikut.
2.3.1 Penerimaan Bahan Baku
2.3.1.1 Ikan Segar
Bahan baku berupa ikan
segar berasal dari perairan sekitar pulau Jawa yaitu di sekitar pesisir laut
Selat Bali, dan sekitar laut Jawa. Ikan segar yang didapat kemudian dapat
langsung diolah sebagai bahan baku segar atau dikumpulkan di ruang pendingin.
Umumnya ikan segar yang didapat dari sekitar pesisir di Indonesia sudah
mengandung garam karena pengawetan yang dilakukan oleh sebagian nelayan saat
masih di dalam perahu, sehingga pada saat pembuatan media, garam akan
dikurangi. Sesuai SNI 2712-2013 suhu sesuai untuk penanganan ikan segar adalah
0oC-4,4oC.
2.3.1.2 Ikan Beku
Ikan
beku didapat dari perairan luar dan umumnya berasal dari perairan di Timur
Tengah. Ikan sarden yang didapat umumnya berasal dari daerah Oman dan Yaman.
Ikan yang didapat dari jenis Sardinella lemuru dengan ukuran size 8.
Istilah size 8 berarti terdapat 8 ikan utuh dalam 1 kg berat ikan. Ikan
dengan size 8 dapat dikatakan ikan dalam ukuran tepat sehingga umumnya
digunakan untuk sarden dalam kaleng ukuran besar. Sesuai SNI 2712-2013 suhu
sesuai untuk menangani ikan beku -18oC.
2.3.1.3 Pelepasan Karton
Pada
tahap ini, hanya dilakukan terhadap bahan baku berupa ikan yang berasal tidak
dari perairan Indonesia dan datang dalam keadaan beku. Pelepasan karton
dilakukan sebelum tahapan produksi.
2.3.2 Pelelehan (Thawing)
Pada
tahap pelelehan dilakukan khusus pada bahan baku ikan beku. Pelelehan terbagi
dalam 2 jenis, yaitu pelelehan kering dan pelelehan basah.
2.3.2.1 Pelelehan Kering
Pelelehan kering yaitu
dengan menggunakan udara dengan kurun waktu pelelehan ± 10 jam untuk
menghasilkan ikan yang dapat dipotong pada tahap selanjutnya.
2.3.2.2 Pelelehan
Basah
Pelelehan
basah yaitu pelelehan dengan menggunakan air sehingga lebih cepat bila
dibandingkan dengan pelelehan kering yaitu dengan kurun waktu ± 2-2,5 jam.
Proses pelelehan basah diharapkan dapat menekan pertumbuhan bakteri karena
hanya memakan waktu singkat sehingga mencegah adanya penurunan suhu ikan yang
drastis.
2.3.3 Pencucian I
Pencucian
ini dilakukan khusus untuk ikan yang segar karena ikan segar yang berasal dari
sekitar Muncar lebih kotor dan banyak mengandung pengotor dibandingkan ikan
beku yang diimpor. Pada ikan beku tidak dilakukan pencucian karena ikan yang
didapat sudah dalam keadaan bersih dari pengotor sehingga dapat langsung
dilakukan pemotongan. Selama tahap ini suhu maksimal pada ikan yang dapat naik
yaitu sebesar 4,4oC.
2.3.4 Pemotongan Kepala,
Ekor dan Pembuangan Isi Perut
Pada tahap ini dilakukan
pemotongan bagian kepala dan ekor serta pembuangan isi perut. Pemotongan
dilakukan sedikit sehingga tidak mengurangi nilai rendemen pada ikan yang
terlalu besar. Pada tahap ini juga dilakukan pemotongan pada ikan tujuannya
agar ikan yang digunakan tidak terlalu besar untuk diisi ke dalam kaleng. Suhu
ikan maksimal yang dapat naik selama proses yaitu sebesar 4,4oC.
Maksimal suhu tersebut dilakukan karena sesuai SNI 2712-2013 suhu sesuai untuk
pengolahan adalah 0oC-4,4oC. Selama tahap pelepasan
karton sampai dengan tahap pemotongan ikan, suhu ikan maksimal, yaitu 4oC,
tujuannya untuk mencegah pertumbuhan bakteri dan menjaga kualitas pada daging
ikan.
2.3.5 Pencucian II
Tahap ini dilakukan untuk
membersihkan sisa kotoran dan darah akibat proses pada tahap sebelumnya.
Pencucian dilakukan dalam dua macam yaitu pencucian secara manual dan pencucian
secara mekanik. Secara manual yaitu dengan orang yang menyiramkan air pada
potongan ikan yang telah dibersihkan bagian badannya, sedangkan mekanik yaitu
menggunakan rotary drum washer. Penggunaannya dibedakan yaitu untuk ikan
utuh yang akan dimasukkan dalam kaleng 155 gram danikan yang dipotong untuk
dimasukkan dalam kaleng 155 gram menggunakan proses pencucian secara manual dan
ikan yang berukuran besar dan tidak dipotong untuk dimasukkan dalam kaleng 425
gram menggunakan pencucian mekanik dengan rotary drum washer. Tujuan
pencucian setelah penghilangan bagian badan yang tidak dibutuhkan adalah untuk
menghilangkan sisik dan menghilangkan sisa darah.
2.3.6 Perendaman dalam
Larutan Garam (Opsional)
Tahap
ini tidak dilakukan untuk ikan sarden dalam media saus melainkan untuk ikan
sarden dalam media 100% minyak. Proses ini dilakukan dengan menggunakan larutan
air garam yang telah disiapkan dan ikan sarden yang siap diisikan ke dalam
kaleng.
2.3.7 Pendeteksian Fragmen
Logam
Tahap ini dilakukan untuk
mencegah adanya logam berbahaya yang dapat masuk ke dalam tubuh ikan dan ikut
termakan saat menjadi produk. Proses ini dilakukan dengan menggunakan alat metal
detector. Alat metal detector membantu dalam pendeteksian fragmen
logam pada ikan sarden. Cara pendeteksian fragmen logam, yaitu dengan melewatkan
bahan baku ikan sarden melewati alat metal detector yang diposisikan
diatas menggantung. Ikan sarden akan dilewatkan dengan conveyor.
2.3.8 Pengisian dalam
Kaleng
Tahap
ini ikan sarden akan dimasukkan ke dalam kaleng dengan jumlah per pengisian
yang berbeda tergantung ukuran kaleng. Pada kaleng sarden merk GAGA atau
sejenisnya ukuran berat 155 gram dilakukan pengisian seberat 100 gram ± 5 gram.
Sedangkan pada sarden GAGA ukuran 425 gram dilakukan pengisian seberat 255 gram
± 5 gram. Kaleng yang digunakan, yaitu jenis round can untuk ikan sarden
dalam media saus dan club can untuk ikan sarden dalam media minyak. Pada
jenis round can terdapat 2 jenis ukuran berat dalam pengisian, yaitu
untuk 155 gram dan 425 gram.
2.3.9 Pemasakan Pendahuluan
Tahap ini dilakukan dengan
menggunakan alat exhaust box dengan suhu 90-100oC selama 15
menit dan suhu saat keluar exhaust box sebesar ± 70oC. Tujuan
dari pemasakan pendahuluan yaitu untuk mematangkan ikan sarden sehingga ikan
sarden memiliki tekstur yang lebih liat dan siap diberi media saus. Selain itu,
tujuan pemasakan pendahuluan, yaitu mencegah adanya pertumbuhan bakteri akibat
ikan sarden yang belum matang. Namun umumnya pemasakan pendahuluan menggunakan
suhu sebesar 98oC selama lebih dari 15 menit karena terkadang conveyor
yang membawa ikan diberhentikan sekitar 30 detik sampai 1 menit sebagai
akibat adanya penumpukan pada saat pengisian media.
2.3.10 Penirisan (Dripping)
Tahap
ini dilakukan untuk membuang sisa air dan minyak yang dimungkinkan terdapat di
dalam kaleng bersama ikan sarden yang telah dimatangkan pada tahap pemasakan
penduhuluan. Penirisan ini dilakukan pada sudut ± 45o secara manual
oleh orang. Tujuan penirisan pada sudut 45o, yaitu mencegah bahan
tumpah dan meniriskan produk dari air yang masih menggenang.
2.3.11 Pengisian Media
Pada tahap ini media yang
diisikan merupakan media yang telah dimatangkan terlebih dahulu. Suhu media
yang akan dimasukkan dalam kaleng, yaitu 80-90oC. Pengisian
dilakukan hingga penuh kemudian kaleng akan dimiringkan pada sudut 30o
yang bertujuan untuk memberikan ruang atau rongga yang disebut head space.
Sisa media yang terbuang akan ditampung kembali untuk digunakan dalam pengisian
berikutnya. Tinggi rongga atau head space yang disarankan oleh
perusahaan yaitu antara/dari tinggi kaleng. Tujuan pemberian head space, yaitu
untuk mencegah adanya penggelembungan kaleng atau kebocoran kaleng saat
dilakukan sterilisasi.
2.3.12 Penutupan Kaleng
Pada tahap ini dilakukan
penutupan pada suhu media sekitar 70oC dengan menggunakan metode
penutupan double seaminging. Metode ini mencegah adanya kontaminasi dari
mikroorganisme selama di dalam kaleng. Kaleng yang telah terisi media dan telah
melewati pemberian head space ditutup menggunakan mesin penutup kaleng.
Mesin penutup kaleng dapat menutup kaleng sebanyak 5-6 kaleng dalam satu kali
waktu. Dalam 1 jam dapat menutup sebanyak 100 kaleng untuk ukuran 425 gram dan
150 kaleng untuk ukuran 155 gram.
2.3.13 Pencucian
Produk Kaleng
Pencucian
kaleng dilakukan setelah tahap penutupan dengan menggunakan sabun khusus
kaleng. Pencucian dilakukan dengan menyemprotkan cairan sabun pada kaleng yang
lewat melalui conveyor. Kemudian kaleng akan langsung masuk ke dalam
keranjang retort yang diletakkan di dalam bak air. Tujuan peletakan
keranjang di dalam air yaitu untuk mencegah adanya benturan keras antar kareng
yang dapat membuat kaleng mengalami kecacatan pada produk akhir.
2.3.14 Sterilisasi
Tahap
ini dilakukan dengan suhu awal produk sebesar ± 40oC. Proses ini
dilakukan berbeda tergantung jenis kaleng yang digunakan. Pada kaleng jenis round
can untuk ukuran berat 425 gram dilakukan sterilisasi pada suhu 118oC
selama 110 menit. Pada kaleng ukuran berat 155 gram dilakukan sterilisasi pada
suhu 118oC selama 90 menit. Standar sterilisasi dilakukan
berdasarkan standar aman untuk mencegah pertumbuhan bakteri Clostridium
botulinum.
2.3.15 Pendinginan
Pendinginan
dilakukan untuk menurunkan suhu kaleng setelah sterilisasi. Pendinginan
dilakukan sebelum retort dibuka. Pendinginan dilakukan agar pada saat
sebelum retort terbuka suhu panas tidak terlalu banyak keluar. Selain
itu, uap panas dari suhu tinggi yang dikeluarkan sesaat setelah sterilisasi
dapat membahayakan karena juga memiliki tekanan yang tinggi, sehingga dilakukan
pendinginan selama 10-30 menit sebelum retort dibuka.
2.3.16 Post Retort
Tahapan ini dilakukan
setelah keranjang retort berisi kaleng dikeluarkan dari retort. Pada
tahap ini kaleng yang telah mengalami sterilisasi akan dibawa menuju gudang
untuk dipersiapkan pada proses pelabelan. Keranjang retort dikeluarkan
dari retort dengan menggunakan bridge crane untuk dipindah ke
atas pallet dan dibawa menggunakan pallet truck.
2.3.17 Pembersihan
dan Pengeringan Produk
Saat
tahap ini, keranjang yang berisi kaleng sarden akan dikosongkan. Tiap kaleng
diambil dan dibersihkan secara manual oleh karyawan borongan dengan menggunakan
kain untuk menghilangkan sisa air dan noda akibat proses sterilisasi. Kaleng
yang telah dibersihkan dan dihilangkan nodanya akan dipindah langsung di meja
untuk ditangani pada tahap berikutnya.
2.3.18 Pengkodean
Pada tahap ini, kaleng
sarden yang bersih diberi kode sesuai kode yang telah ditentukan dalam
pembuatan sarden. Kode akan berbeda dari segi jenis produk dan tanggal produksi
sesuai kode Julian date. Julian date adalah jenis pengkodean
dalam perhitungan hari yaitu dalam satu tahun ada 365 hari. Selain itu,
penggunaan retort selama pemanasan menentukan kode di kaleng sarden.
Pengkodean dilakukan dengan menggunakan mesin khusus yang dapat digunakan untuk
mencetak kode.
2.3.19 Pelabelan
Tahap
ini dilakukan bertujuan untuk memberikan label pada kaleng sarden yang awalnya
tidak diberi merk, yaitu produk sarden lokal non merk GAGA. Pelabelan
menggunakan kertas yang telah cetakkan sesuai merk dagang yang dipesan.
Produksi sarden dengan label kertas sesuai dengan pesanan karena keterbatasan
bahan baku. Pelabelan dilakukan dengan menggunakan mesin khusus.
2.3.20 Inkubasi
Tahap ini dilakukan
sebelum produk barang dapat dipasarkan. Kaleng sarden yang telah diberi label
dan dimasukkan dalam kardus selama satu minggu untuk mengetahui kontaminasi
yang dimungkinkan dapat terjadi pada kaleng ikan sarden. Selain kontaminasi
juga adanya kerusakan dan kesalahan selama proses pengolahan. Setelah satu
minggu, produk sarden dalam kaleng dicek kembali untuk melihat apakah terdapat
kecacatan pada produk. Proses cek dilakukan secara visual oleh pekerja dan di
awasi oleh pengawas gudang. Produk yang tidak lolos cek dipisah dari produk
yang lolos. Jumlah ketidaksesuaian maksimum 5% per pallet.
2.3.21 Pengepakan
Tahap
ini dilakukan setelah tahap inkubasi. Kaleng yang telah bersih dan lolos
pengecekan dimasukkan dalam kardus. Kardus berisi kaleng sarden kemudian
disusun di atas pallet dan siap untuk proses selanjutnya.
2.3.22 Penyimpanan
Pallet yang telah berisi kardus sarden dipindah dengan menggunakan fork lift.
Penyusunan dilakukan disesuaikan menurut produk yang terbaru diproduksi. Barang
yang lebih baru diproduksi diletakkan dibelakang untuk memudahkan pengambilan
barang stok lama yaitu barang yang sudah lebih dulu diproduksi. Barang disimpan
sesuai jenis produk dan merk dagang.
2.3.23 Pengiriman
Pengiriman
barang dilakukan terhadap barang yang telah disimpan lebih lama atau mengunakan
sistem FIFO (First In First Out). Pengiriman barang dilakukan sesuai
dengan pesanan dengan menggunakan peti kemas. Ukuran peti kemas biasanya.
2.4 HACCP Pada Industri Pengalengan Ikan Sarden
Kelayakan dasar unit
pengolahan merupakan prasyarat awal dalam memulai apakah suatu unit pengolahan
mampu mengembangkan dan menerapkan program HACCP atau tidak. PMMT atau HACCP tidak
merupakan suatu program yang berdiri sendiri tetapi merupakan bagian dari suatu
sistem yang lebih besar dalam sistem pengawasan. Fungsi penerapan PMMT/HACCP
dapat berjalan lebih efektif, setiap unit pengolahan yang akan menerapkan HACCP
harus memenuhi persyaratan kelayakan dasar (pre-requisite program)
yang terdiri dari 2 (dua) bagian pokok, yaitu GMP dan SSOP (Direktorat Jendral
Perikanan, 1999 dalam Wulandari et al., 2009).
Untuk memproduksi produk
pangan yang aman dikonsumsi, perlu menggunakan standar-standar keamanan pangan
(Badan Standarisasi Nasional, 1998 dalam Yuniarti
et al., 2015). Salah satu standar
keamanan pangan yang diakui adalah Hazard Analysis and Critical
Control Point (HACCP). HACCP merupakan suatu piranti (sistem) yang
digunakan untuk menilai bahaya dan menetapkan sistem pengendalian yang
memfokuskan pada pencegahan. HACCP diterapkan pada seluruh mata rantai proses
pengolahan produk pangan (Thaheer, 2005
dalam Yuniarti et al., 2015).
Program persyaratan dasar merupakan cara produksi makanan yang baik (Good
Manufacturing Practice, GMP) atau praktik higiene yang baik (Good
Hygiene Practice, GHP) yang akan dipatuhi oleh semua pelaku bisnis makanan,
yang memiliki reputasi baik untuk memastikan bahwa makanan yang diberikan pada
konsumen adalah makanan yang sehat dan aman (Prasetyo, 2000 dalam Yuniarti et al., 2015). Sistem manajemen mutu berfungsi sebagai kerangka
acuan yang didalamnya setiap kegiatan proses dapat dikelola, termasuk sistem
HACCP (Nurmawati, 2012 dalam Yuniarti
et al., 2015).
Dalam mewujudkan
jaminan mutu dan keamanan pangan, maka sistem manajemen mutu dan kemanan pangan
yang diterapkan saat ini adalah HACCP (Hazard Analysis Critical
Control Point), yaitu suatu sistem jaminan mutu yang berdasarkan pada
kesadaran atau penghayatan bahwa bahaya dapat timbul di berbagai titik atau
tahap produksi tertentu, tetapi dapat dilakukan pengendalian untuk mengontrol
bahaya-bahaya tersebut (Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2010 dalam Sutresni et
al., 2015). Menurut Wiryanti dan Witjaksono (2001) dalam
Sutresni et al. (2015), HACCP
sebagai suatu sistem pengendalian mutu tidak dapat berdiri sendiri, tetapi
harus ditunjang oleh faktor-faktor lain yang menjadi dasar dalam menganalisis besar
kecilnya resiko terjadinya bahaya. Faktor penunjang yang menjadi prasyarat
keefektifan penerapan HACCP sebagai sebuah sistem pengendalian mutu adalah
terpenuhinya persyaratan kelayakan dasar unit pengolahan yang meliputi; a) Cara
berproduksi yang baik dan benar (Good
Manufacturing Practices/GMP), b) Standar prosedur operasi sanitasi (Sanitation Standard Operating Procedure/SSOP).
2.5 HACCP Pada Industri Pengalengan Ikan Sarden di PT. Blambangan Foodpacker,
Banyuwangi
PT. Blambangan
Foodpackers Indonesia merupakan salah satu industri penghasil produk olahan
ikan berbentuk kaleng, salah satu produk unggulannya adalah sarden. Industri
ini di rintis sejak tahun 1972 yang mengkhususkan diri dalam pengolahan
makanan, sarden kaleng dan tuna, bayi jagung dan berbagai produk makanan
lainnya. Perusahaan ini juga telah memberikan produk yang tidak hanya bergerak
di bidang pengalengan sardiness dan pengalengan tuna. Namun terdapat
pembuatan bakso ikan, nugget dan tepung ikan. Perusahaan ini berproduksi untuk
memenuhi order dari seluruh daerah di Indonesia. Produk-produk sarden yang
diproduksi oleh PT. Blambangan Foodpackers Indonesia diantaranya sarden merek
ABC, sardinessCIP, sardiness Nafo, sardiness Bandung, sardiness Kiku, sardiness
Sampit, sardiness Yoko. Bahan baku utama yang digunakan pada PT. Blambangan
Foodpackers Indonesia adalah ikan lemuru (Sardinella longiceps) dan ikan
tuna (Thunnus). Sedangkan bahan pembantu yang dibutuhkan antara lain:
kaleng, pasta tomat, tepung terigu dan bumbu-bumbu (Maharani et al.,
2015).
Tujuan dari HACCP adalah untuk memaksimalkan kesegaran, kualitas
ikan dan adanya penanganan yang tepat selama pendinginan, pengolahan,
pengemasan, transportasi dan penyimpanan harus menjaga kesegaran dan umur simpan
(Lauzon et al., 2010; Jayasinghe
dan Rajakaruna, 2005 dalam Herdiana et al., 2015). Kualitas kesegaran ikan memainkan peran penting dalam
kesehatan manusia dan penerimaan konsumen serta dalam perdagangan perikanan
internasional (Cheng et al., 2013 dalam Herdiana et al., 2015). Kualitas dan keamanan pangan di olahan ikan akan dipertahankan,
jika produsen menerapkan tujuh prinsip HACCP dalam konsep manajemen keamanan
pangan pada rantai makanan secara keseluruhan dari produsen, distributor ke
konsumen. ISO 2000 dengan perkembangan keamanan pangan menjadi semakin terpadu
untuk pengembangan dan pelaksanaan program HACCP di beberapa industri
pengolahan ikan (Herdiana et al., 2015).
PT.
Blambangan
Foodpackers Indonesia adalah sebuah industri yang bergerak di bidang
manufaktur, yang mengelola ikan menjadi makanan kaleng. PT.
Blambangan Foodpackers Indonesia setiap hari dapat mengolah 20 sampai 40 ton ikan. PT. Blambangan
Foodpackers Indonesia menerapkan standar untuk keamanan
pangan dengan sistem HACCP namun masih banyak cacat pada produk,
karena proses produksi kurang terkontrol dengan baik. Penelitian
ini dilaksanakan di Juli-Agustus 2014. Analisis data menggunakan peta kendali
C. Peta kendali C berfungsi untuk mendeteksi atau memisahkan penyebab tak terduga
variabilitas kualitas, sehingga dapat menemukan dan memperbaiki gangguan yang
timbul selama proses produksi. Grafik bentuk dasar terdiri dari tiga band horisontal, yang berisi garis
tengah dan dua garis kontrol. Garis tengah adalah nilai rata-rata karakteristik
kualitas dan dua garis kontrol berfungsi sebagai batas kendali atas dan batas
kendali bawah. Garis kontrol jarak dari garis tengah dihitung berdasarkan teori
statistik, oleh karena itu, jika proses di bawah kendali maka semua titik
sampel akan jatuh antara dua garis (Gaspersz, 2002 dalam Herdiana et al., 2015). Pengolahan data diikuti dengan menggunakan enam sigma
untuk menghitung nilai DPMO (Defects Per
Million Opportunities). Perhitungan DPMO diperoleh dari rumus:
DPMO = [Banyak produk yang cacat / (Banyak produk yang
diperiksa x CTQ Potensial)] x 1.000.000
Setelah
perhitungan dengan menggunakan metode six
sigma, diikuti dengan analisis kausal menggunakan diagram fish bone.
2.5.1 Penerimaan Bahan Baku
Hasil analisis menunjukkan bahwa kontrol C yang berada di luar
batas kontrol (out of control) yang
berada di atas batas kendali atas dan batas kendali bawah adalah di bawah hasil
batas kendali atas di 111,26, rata-rata 83,8 dan kontrol batas bawah di 56,34,
perlu untuk melakukan pemeriksaan dalam proses produksi untuk menemukan penyebab
data keluar dari batas kontrol. Hasil pemeriksaan data di luar kendali karena
kekuatan menurun dari tenaga kerja manusia dan bahan baku. Jumlah semua jenis
bahan baku ikan cacat selama 25 hari di PT. Blambangan Foodpackers
Indonesia ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel
1. Data semua jenis kerusakan pada bahan baku ikan
No. |
Jenis
Kerusakan |
Total
kerusakan (jumlah kaleng) |
Presentase
(%) |
1 |
Kulit pucat |
260 |
12.4 |
2 |
Sisik mudah terlepas |
267 |
12.8 |
3 |
Mata cekung |
269 |
12.8 |
4 |
Insang coklat keruh |
273 |
13 |
5 |
Ketika ditekan tidak kembali |
256 |
12.2 |
6 |
Daging mudah terlepas dari tulang |
335 |
16 |
7 |
Lendir berlebihan dan bau busuk |
435 |
20.8 |
|
Total |
2,095 |
100 |
Tabel 1 adalah tabel jumlah produk yang rusak termasuk kulit
pucat, sisik mudah lepas, mata cekung, insang cokelat keruh, kesan
daging saat ditekan, daging mudah
terlepas dari
tulang, lendir dan berbau busuk pada penerimaan bahan baku ikan
25 hari di PT. Blambangan Foodpackers Indonesia dengan total 10.000
kaleng sarden. Selanjutnya, melalui konversi DPMO ke sigma, diketahui bahwa
untuk DPMO = 29,928.57 adalah yang paling dekat dengan DPMO = 301,532 pada
nilai sigma = 2,02. Karena jumlah ini kurang dari 6 sigma, perlu untuk
memperbaiki. Untuk langkah selanjutnya adalah dengan menggunakan diagram fish bone. Gambar 1 menunjukkan analisis
kausal cacat dalam proses menerima bahan baku ikan di PT. Blambangan Foodpackers
Indonesia.
Gambar 2 menunjukkan bahwa penyebab cacat dalam proses penerimaan
bahan baku ikan di PT. Blambangan Foodpackers Indonesia: 1) penggunaan bahan baku
juga perlu dipertimbangkan dan harus disesuaikan dengan bahan baku lainnya,
karena ini adalah penyebab paling signifikan dari cacat dalam pembuatan atau
pengolahan produk sarden dan 2) kondisi manusia juga harus benar-benar terjaga
ketika manusia lalai dalam memilah ikan yang terkontaminasi akan menyebabkan
produk yang cacat. Bahan baku penanganan ikan, terutama ikan tuna baik pada saat
penangkapan akan sangat mempengaruhi kualitas atau ikan untuk pengolahan (Silva
et al., 2011 dalam Herdiana et al., 2015) dan meneyebabkan keracunan histamin (Guillier et al., 2011 dalam Herdiana et al., 2015). Pengendalian Salmonella
pada bahan baku dan olahan ikan, terutama untuk bahan baku pengalengan
ikan masih harus dipertimbangkan, karena akan memberikan dampak negatif
terhadap lingkungan dan kesehatan manusia (Amagliani et al., 2012 dalam Herdiana et al., 2015). Pemeriksaan dengan HACCP penting untuk menghasilkan
kualitas yang baik, terutama ikan tuna. Kegiatan pemeriksaan dimulai dari
pemeriksaan bahan baku, membersihkan, pendinginan, pembekuan, precooking dan penyegelan (Li et
al., 2013;. Sakul dan Gosal, 2014 dalam Herdiana et al., 2015).
2.5.2 Proses Double Seaming
Pada tahap dilakukan pengamatan dengan indikator penyok, tergores, cekung,
selip, cembung dan bocor. Hasil analisis menunjukkan bahwa kontrol C data peta yang
berada di luar batas kontrol (out of
control) yang berada di atas batas kendali atas dan bawah batas kendali
bawah dengan hasil dari batas kendali atas di 50,38, rata-rata 33,12 dan
kontrol batas bawah di 15,86.
Tabel
2. Data semua jenis kerusakan pada proses double seaming
No. |
Jenis
Kerusakan |
Total
kerusakan (jumlah kaleng) |
Presentase
(%) |
1 |
Penyok |
219 |
26.4 |
2 |
Tergores |
151 |
18.2 |
3 |
Cekung |
169 |
20.4 |
4 |
Selip |
97 |
11.7 |
5 |
Kembung |
78 |
9.45 |
6 |
Bocor |
114 |
13.8 |
|
Total |
828 |
100 |
Tabel 2 menunjukkan jumlah jenis produk cacat. Hasil
analisis kausal menunjukkan bahwa penyebab cacat produk dalam proses penutupan
atau double
seaming kaleng di PT. Blambangan Foodpackers Indonesia, antara lain:
a.
Penurunan kinerja karyawan.
b.
Maintenance mesin double seaming masih
kurang.
c.
Kondisi peralatan.
d. Sempitnya lingkungan kerja,
pencahayaan yang buruk, kurangnya ventilasi, dan tingginya suhu ruang sehingga dapat menghambat kinerja para pekerja.
2.5.3 Perencanaan HACCP
Tabel
3. Rencana HACCP PT. Blambangan Foodpacker Indonesia
Bahaya (resiko) |
Batas Kritis |
Pemantauan |
Tindakan Perbaikan |
Pembuktian |
|||
Apa |
Bagaimana |
Kapan |
Siapa |
||||
Parasit pada ikan |
Diatas batas kontrol: 111,26 Dibawah batas kontrol: 56,34 |
Penerimaan bahan baku ikan |
Pengujian sampel ikan |
Penerimaan bahan baku masing-masing ikan |
Staf penerimaan bagan baku dan laroran |
Mencari supplier
baru |
Pengujan bahan baku ikan sebelum di proses |
Pertumbuhan bakteri |
Diatas batas kontrol: 111,26 Dibawah batas kontrol: 56,34 |
Penutupan kaleng double
seaming |
Pengujian mesin double
seaming |
2 jam selama proses |
Operator dan Staf QC |
Mesin Seamer harus
diatur ulang |
QC dan inspeksi oleh operator secara visual |
Rencana HACCP berdasarkan hasil analisis maka
diperlukan
perbaikan dalam proses produksi dengan mencari pemasok
bahan baku ikan
baru, mengoptimalkan tenaga kerja yang ada, perawatan rutin pada mesin double seaming dan peningkatan pengawasan yang sesuai dengan HACCP pada proses
produksi sarden untuk menghasilkan produk yang berkualitas.
2.6 HACCP Pada Industri
Pengalengan Ikan Sarden di Tunisia
Di Tunisia, ekspor sarden kaleng dan ikan asin, meningkat dari 650 ton
pada tahun 2003 menjadi 5.000 ton pada tahun 2009 bersama-sama dengan perkembangan
total kapasitas pengolahan 70-110 ton antara tahun 2004 dan 2009 (Bank Sentral
Tunisia, 2013
dalam Boubaker et al., 2014). Di Tunisia, konsumsi
sarden dalam minyak atau saus tomat adalah hal umum. Namun, konsumsi
sarden dalam saus harissa atau lada kurang terkenal (Sahli et al., 2006 dalam Boubaker et al., 2014).
Saus
harissa terbuat dari cabe merah yang diproduksi
sesuai dengan spesifikasi NT 52,07 (2005). Dalam penelitian ini
diganti
lada: Capsicum annuum
(Solanaceae). Saus harissa terdiri dari 18% harissa; 97 dari air; 25 minyak zaitun dan 1,03 garam.
Tabel 4. Rencana HACCP dengan jumlah resiko dan
identifikasi CCP
No. CCP |
Tanda |
Bahaya |
Tindakan Kontrol |
Parameter Pengawasan |
Batas Kritis |
CCP1 |
Memeriksa pada resep (kesegaran) |
Kelembutan dan irisan daging |
Penolakan barang |
Kesegaran daging |
<2% Sardinella |
CCP2 |
Memeriksa
segel kaleng |
Biologi (kontaminasi
mikrobiologi: kebocoran kardus) |
Penolakan
kardus |
*
diameter dan tinggi box *
ketebalan box * tinggi
dan tebal segel * body hook * overlap |
Melihat
petunjuk kontrol segel (kardus bocor <2%) |
CCP3 |
Pengawasan sterilisasi |
Biologi (jumlah besar mikroba setelah sterilisasi) |
Pemeriksaan aturan sterilisasi dan pengujian stabilitas (oven) |
Suhu Waktu Tekanan |
Mengikuti aturan sterilisasi |
Tabel 1 menjelaskan rencana HACCP, bahaya yang signifikan dan CCP yang ditetapkan
oleh keputusan codex Alimentarius (2004) dalam Boubaker et al. (2014). Identifikasi 3 CCP dengan penjelasan bahwa CCP1 adalah kontrol dari kesegaran sarden pada penerimaan, CCP2 adalah kontrol segel dan CCP3 adalah pemantauan sterilisasi. CCP1 yang menyangkut
kesegaran ikan, membuat kontribusi besar untuk kualitas ikan atau produk
perikanan dan menentukan kualitas ikan. Kualitas awal bahan baku
mempertimbangkan kesegaran, aktivitas mikrobiologi dan kerusakan fisik
(Fuselli et al., 1994 dalam Boubaker et al., 2014). CCP2 (kontrol segel) dilakukan secara teratur untuk mencegah kemungkinan
kontaminasi dari lingkungan (kebocoran). CCP3
(sterilisasi) dipantau secara teratur. Bahaya timbul, yaitu menyangkut kelangsungan hidup spora Clostridium botulinum dan Bacillus termofilik.
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari pembahasan
diatas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut.
· Pengalengan merupakan cara pengawetan bahan makanan,
terutama ikan dan hasil perikanan lainnya, dari pembusukan.
· Jenis ikan yang dapat dimanfaatkan menjadi ikan
kaleng adalah jenis ikan yang termasuk ke dalam tuna. Selain itu, Sardinella
lemuru dan Sardina
pilchardus pula.
·
Alur produksi pengalengan ikan terdiri dari penerimaan
bahan baku, pelelehan/thawing, pencucian I, pemotongan
bagian tidak diperlukan,
pencucian II, perendaman
dalam larutan garam (opsional), pendeteksian fragmen logam, pengisian dalam
kaleng, pemasakan pendahuluan, penirisan (dripping), pengisian media, penutupan
kaleng, pencucian produk kaleng, sterilisasi, pendinginan, post retort, pembersihan
dan pengeringan produk, pengkodean, pelabelan, inkubasi, pengepakan, penyimpanan serta pengiriman.
· Penerapan sistem HACCP (Hazard Analysis Critical
Control Point), yaitu untuk menjamin mutu berdasarkan kesadaran atau
penghayatan terhadap bahaya yang dapat timbul di berbagai titik atau tahap
produksi tertentu.
· PT. Blambangan Foodpackers Indonesia merupakan
salah satu industri penghasil produk olahan ikan sarden berbentuk kaleng yang
telah menerapkan HACCP.
· Negara Tunisia merupakan negara
dengan ekspor
sarden kaleng dan ikan asin mencapai 5.000 ton pada tahun 2009 yang telah menerapkan HACCP pada proses produksinya.
3.2 Saran
Adanya
ketidaksetaraan standar dan regulasi Indonesia dengan negara
lain seperti Tunisia menimbulkan dampak perbedaan kualitas ikan sarden
kaleng yang dihasilkan. Penyebabnya terkait dengan praktek GMP, sanitasi dan penerapan
HACCP. Penerapan HACCP di Indonesia belum menerapkan 7 (tujuh) prinsip. Maka diharapkan peningkatan kualitas ikan sarden kaleng dengan
HACCP yang tepat dapat mewujudkan peningkatan kerjasama internasional dan memperkokoh posisi
Indonesia dalam menghadapi era globalisasi perdagangan.
DAFTAR PUSTAKA
Boubaker,
K., Eltaief, K. and A. Sami. 2014.
Conception and development of a new
product: canned sardines with red pepper or with harissa sauce. International
Food Research Journal. 21
(2): 823-829.
Herdiana,
D.S. 2015. Sardines product quality control in terms
of HACCP to improve food security in Blambangan Foodpacker Indonesia company
limited, Banyuwangi. International Food
Research Journal. 22 (4): 1507-1512.
Irianto,
H. E. dan T. M. I. Akbarsyah. 2007. Pengalengan
Ikan Tuna Komersial. Jurnal Squalen.
2 (2): 43-50.
Maharani,
A., D. E. Julianto, Y. D. Handini. 2015. Implementasi diversifikasi produk pada PT. Blambangan Foodpackers Indonesia Muncar Banyuwangi. Jurnal e- SOSPOL. 30: 1-15.
Rahmawaty, L., W. P. Rahayu dan H. D. Kusumaningrum.
2013. Pengembangan strategi keamanan produk
perikanan untuk ekspor ke Amerika Serikat. Jurnal Standardisasi. 16
(2): 95-102.
Sutresni, N., M. S. Mahendra dan I W. R. Aryanta. 2015. Penerapan Hazard Analysis Critical Control
Point (HACCP) pada proses pengolahan produk ikan tuna beku di unit pengolahan ikan Pelabuhan Benoa-Bali.
Jurnal Ecotrophic. 10 (1): 41-45.
Wulandari, D. A., I. W. Abida dan A. Farid. 2009.
Kualitas mutu bahan mentah dan produk akhir pada unit pengalengan ikan sardine
di PT. Karya Manunggal Prima Sukses Muncar Banyuwangi. Jurnal Kelautan.
2 (1): 40-49.
Yovita, G. 2017. Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) plan pada proses produksi ikan sarden dalam kaleng di CV.
Pasific Harvest. Laporan Kerja
Praktek. Program Studi Teknologi
Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Katolik Soegijapranata,
Semarang.
Yuniarti, R., W. Azlia dan R. A. Sari. 2015. Penerapan Sistem Hazard
Analysis Critical Control Point (HACCP) pada proses pembuatan keripik tempe. Jurnal
Ilmiah Teknik Industri. 14 (1):
86-95.
Oleh: Ayub Kristianto, Chintiasari C, Roihanatun Pertiwi, Jefri Nurman Faizi, Kholifatul Zahro, Abdi Nugroho, Melynda Dwi Puspita dan Nurul Burhanul Fitroh.
Comments
Post a Comment