Selama kita hidup di dunia ini, maka kita wajib untuk selalu berlomba menjadi yang terbaik daripada yang lainnya. Seperti halnya kompetisi antara Thomas Alfa Edison dan George Westinghouse untuk menciptakan sebuah produk yang mampu menerangi dunia, yaitu lampu. Dimana saja dan kapan saja, kita akan selalu bersaing. Bahkan saat membeli sayur di pasar saja kita ngotot kepada penjual untuk mendapatkan harga lebih murah. Kemenangan merupakan sebuah identitas yang diinginkan siapapun. Sudah menjadi kodratnya jika semua manusia akan suka dipuji.
Begitu pula dengan mahasiswa dituntut untuk melebihi standar. Ia tak hanya diwajibkan untuk belajar. Namun sebagai ajang pembuktian diri, mahasiswa akan berusaha mengumpulkan keberhasilan. Kita sebut hal itu dengan nama prestasi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, prestasi diartikan sebagai hasil usaha yang dicapai dari apa yang dikerjakan atau yang diusahakan. Seseorang dianggap berprestasi, jika dia telah meraih sesuatu hasil dari apa yang diusahakannya, baik karena hasil belajar, bekerja atau berlatih keterampilan dalam bidang tertentu.
Baca Juga : Jenggelek Crispy
MERAIH PRESTASI
Menurut Saleh (2014) dalam Indriana et al. (2016), pada tingkat pendidikan tinggi, mahasiswa dituntut untuk aktif dalam proses belajar mengajar melalui media yang ada, seperti perpustakaan, jurnal maupun internet. Hampir semua tugas yang diberikan di pendidikan tinggi umumnya menuntut mahasiswa untuk mencari literatur dan mengembangkan pola pikirnya sendiri guna penyelesaian tugas secara efektif. Lebih lanjut persyaratan akademik di pendidikan tinggi bukan sekedar mengikuti perkuliahan saja, tetapi ada ketentuan-ketentuan lain seperti presentase kehadiran dalam perkuliahan, penyelesaian tugas-tugas dan ikut aktif dalam kegiatan akademik lainnya (diskusi, presentasi, mengkuti ujian dan kuis).
Prestasi adalah kemampuan nyata yang merupakan hasil interaksi antara berbagai faktor yang memengaruhi baik dari dalam maupun dari luar individu dalam belajar (Sardiman, 2001 dalam Retnowati et al., 2016). Prestasi diraih dari hasil keuletan kerja, dimana setiap orang mengejar prestasi menurut bidang dan kemampuan masing-masing. Prestasi dapat dikatakan sebagai suatu hasil yang telah dicapai seseorang sebagai bukti usaha yang telah dilakukan. Berdasarkan definisi prestasi, bahwa prestasi diri meliputi prestasi belajar atau sering disebut prestasi akademik dan prestasi non akademik.
Prestasi Akademik
Prestasi akademik atau prestasi belajar adalah proses belajar yang dialami siswa dan menghasilkan perubahan dalam bidang pengetahuan, pemahaman, penerapan, daya analisis, sintesis dan evaluasi. Berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh Bloom, prestasi akademik mahasiswa adalah sebuah proses yang dilakukan oleh mahasiswa untuk memperoleh dan mencapai tujuan yang diinginkan atau dalam hal ini, yaitu nilai akademik, yang diikuti oleh mahasiswa selama masa perkuliahan (Retnowati et al., 2016). Faktor akademik mahasiswa merupakan faktor yang berhubungan dengan intelegensi mahasiswa. Prestasi akademik, yaitu hasil dari kegiatan belajar untuk mengetahui sejauh mana seseorang menguasai bahan pelajaran yang diajarkan serta mengungkapkan keberhasilan yang dicapai oleh orang tersebut (Tjalla, 2008 dalam Anjarwani, 2014).
Keberhasilan mahasiswa dalam bidang akademik ditandai dengan prestasi akademik yang dicapai, ditunjukkan melalui Indeks Prestasi (IP) maupun indeks Prestasi Kumulatif serta ketepatan dalam menyelesaikan studi (Retnowati et al., 2016).
Prestasi Non Akademik
Selain prestasi akademik, adapula prestasi non akademik mahasiswa dimana prestasi tersebut bisa melalui UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) merupakan kegiatan ektrakurikuler atau aktivitas non akademik yang ada dalam perguruan tinggi untuk melatih kemampuan atau keterampilan mahasiswa dalam suatu organisasi. UKM merupakan tempat untuk mengasah kemampuan dan juga keterampilan mahasiswa (Retnowati et al., 2016).
Sejak awal masa orientasi kampus, mahasiswa diperkenalkan dengan istilah agent of change, social control dan iron stock. Sayangnya dalam kegiatan perkuliahan, tak akan diajarkan poin tersebut. Karena belajar di kelas hanya berdasar pada suatu potensi mahasiswa dalam meraih nilai yang ditunjukkan dari besar atau tingginya Indeks Prestasi Kumulatif. Maka tak mengherankan jika para senior sungguh getol mengajak juniornya untuk ikut serta dalam aktivitas berorganisasi. Baik itu organisasi intra kampus atau UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa). Maupun organisasi ekstra kampus yang cukup menjadi “teror” tersendiri apalagi jika berbau agama.
MAHASISWA BERPRESTASI
Sudah kita ketahui jika ada dua jenis prestasi yang identik dengan mahasiswa. Yaitu prestasi akademik dan prestasi non akademik. Jika selama kita belajar di bangku sekolah akan familiar dengan istilah “Siswa Teladan”. Dimana ia begitu berhasil dengan segudang prestasi dibandingkan teman sebayanya. Maka di bangku perguruan tinggi juga ada sebutan Mahasiswa Berprestasi yang biasa disingkat mawapres atau mapres.
Menjadi seorang mapres harus dapat melewati beberapa persyaratan. Persyaratan di setiap kampus bahkan tingkat jurusan akan berbeda. Namun nantinya “Duta Kampus Berprestasi” ini menjadi perwakilan almamaternya dalam ajang Pemilihan Mahasiswa Berprestasi Tingkat Nasional. Maka tentu saja mereka harus memenuhi persyaratannya. Jika ingin mengetahui apa saja syaratnya, kalian bisa menemukan file yang bertebaran di internet. Berikut adalah salah satu contoh peryaratan mengikuti seleksi mawapres di salah satu fakultas perguruan tinggi.
Mahasiswa aktif semester 4
Aktif organisasi
Pernah memenangkan perlombaan karya tulis atau semacamnya
Memiliki IPK lebih dari 3,00
Menyiapkan karya tulis dan PPT untuk dipresentasikan
Sedikit informasi, Indeks Prestasi (IP) merupakan angka yang menunjukkan prestasi atau kemajuan belajar mahasiswa. Adapun predikat kelulusan program diploma dan sarjana menurut Pusdiknakes (2003), yaitu
(1) IPK 2,00-2,74 dengan predikat memuaskan,
(2) IPK 2,75-3,50 dengan predikat sangat memuaskan,
(3) IPK 3,51-4,00 dengan predikat dengan pujian (cum laude).
Penetapan predikat kelulusan dengan pujian (cum laude) ini dilakukan dengan memperhatikan masa studi maksimum, yaitu masa studi minimum ditambah satu tahun.
SIAP MENJADI MAHASISWA BERPRESTASI
Predikat mahasiswa berprestasi merupakan sebuah kebanggaan, sehingga banyak mahasiswa yang menginginannya. Fenomena mahasiswa berprestasi yang cukup prestisius di kalangan mahasiswa tersebut terdapat tantangan untuk mewujudkannya, yaitu harus dapat menyeimbangkan kegiatan akademik dan kegiatan non akademik yang masing-masing kegiatan memiliki tantangannya sendiri. Mendapatakan predikat sebagai mahasiswa berprestasi, diwajibkan agar dapat optimal di kedua sisi baik akademik maupun non-akademik (Din dan Masykur, 2016).
Mahasiswa Berprestasi, sebagai fenomena yang menarik. Mereka adalah gambaran mahasiswa yang berprestasi ideal, yaitu sukses dalam tugas akademik maupun kehidupan nonakademiknya; menguasai bidang ilmu yang ditekuninya, mencapai nilai hasil belajar yang sangat baik dan meningkatkan keterampilan, mengembangkan minat dan mengasah bakat dan potensi dirinya dengan aktif dalam berbagai kegiatan ekstrakurikuler (Dirjen Dikti, 2010 dalam Husna et al., 2013). Di tengah kondisi di mana kebanyakan mahasiswa merasa cukup dengan mencapai yang biasa-biasa saja, Mahasiswa Berprestasi justru berusaha sekeras mungkin untuk mencapai yang terbaik.
PIKIR DULU SEBELUM DAFTAR!
Jika kita biasanya begitu mudah untuk menemukan situs yang memberikan tips dan trik menjadi mahasiswa berprestasi. Pada kesempatan kali ini, kita akan membahas hal yang sedikit berbeda. Memikirkan matang-matang sebelum berniat menjadi seorang mahasiswa berprestasi…
Gelar mahasiswa berprestasi akan melekat pada diri. Bahkan saat kita telah meninggalkan bangku perguruan tinggi alias lulus. Kemanapun kita pergi, pandangan orang akan berbeda. Entah itu orang yang mengenal kita atau yang tidak kita ketahui sama sekali. Tak heran jika banyak orang yang takjub, seperti mengatakan. “Wah ada mapres lewat nih”. Saat proses belajar-mengajar di dalam kelas tentunya ada interaksi antara dosen dan mahasiswa. Kita sebagai mahasiswa tidak hanya mendengarkan dosen “ceramah”. Namun mahasiswa juga dituntut aktif. Keaktifan tersebut dapat dilihat dengan salah satu caranya, yaitu kesigapan mahasiswa untuk bertanya atau menjawab pertanyaan. Sebagai seorang mahasiswa “berprestasi” sudah menjadi hal lumrah jika teman sebaya kita akan menganggap mapres ini lebih. Lebih pintar, lebih aktif dan lebih hebat. Padahal mapres juga manusia biasa, tempat salah dan lupa. Mapres memiliki hak untuk tidak tahu! Jika sekali saja mapres tak bisa menjawab pertanyaan, pasti akan mendapatkan hujatan, “mapres kok gak bisa jawab sih”. Malu dong jadi mawapres tetapi gak bisa ini, gak bisa itu?
Sebelum mendaftar menjadi mapres, harus siap konsekuensinya. Karana label atau branding kita yang akan menjadi ciri khas. Misal Najwa Shihab sebagai seorang jurnalis handal, Ibu Sri Mulyani sebagai Menteri sekaligus Ahli di bidang Ekonomi dan Ibu Susi Pudjiastuti dengan slogan Tenggelamkan! Jangan hanya karena keinginan mempercantik CV apalagi tergiur hadiah.
Sebagaimana kita ketahui bahwa acuan menjadi mawapres adalah kepemilikan piagam penghargaan yang berlembar-lembar, piala berjejer di rak meja belajar dan nama baik yang terang benderang (red: hits). Berdasarkan persyaratan menjadi mapres yang telah disebutkan diatas. Pokok penilaiannya adalah harus memiliki banyak sertifikat lomba juga pandai berpresentasi. Pada akhir seleksi, calon mapres dituntut untuk mempresentasikan karya ilmiahnya. Para audiens akan takjub dengan cara mereka (calon mapres) menyampaikan hasil karyanya. Tak jarang jika politik kampus begitu kuat. Usaha yang telah diberikan akan kalah dengan nama yang sudah ditentukan siapa “pemenangnya” atau siapa yang akan menyandang gelar mapres. Begitulah politik kampus! Lalu bagaimana dengan mereka yang begitu semangat mendalami bidang ilmunya hingga lebih memilih untuk fokus belajar? Mahasiswa yang sering mendapatkan sebutan mahasiswa kupu-kupu (kuliah pulang atau kuliah kuper). Dibandingkan harus ikut lomba sana-sini, memimpin organisasi kampus atau memiliki kemampuan public speaking yang mumpuni. Tentu saja mereka kalah!! Banyak kasus mahasiswa yang begitu pandai dengan bidang ilmunya, ikut penelitian bermacam-macam tetapi akan kalah pamor dengan yang punya “nama”. Banyak pula kasus mahasiswa yang semangat mengikuti kompetisi hanya untuk memperoleh penghargaan dengan karya yang terkesan asal-asalan. Misalnya saja mahasiswa sastra inggris membuat obat kanker. What??
Menjadi seorang mahasiswa berprestasi identik dengan akademisi. Orang-orang ini begitu suka membaca jurnal-jurnal penelitian. Bukan hal yang mengagetkan jika mapres lebih memilih untuk melanjutkan pendidikan ke level yang lebih dan paling tinggi, yaitu magister dan doktoral. Memiliki tiga gelar sekaligus (S1, S2 dan S3) menyakinkan diri mereka jika di masa depan akan menjadi seorang pendidik alias dosen. Padahal kita ketahui bahwa nama besar perguruan tinggi dibentuk dari bertahun-tahun perjalanannya. Artinya, untuk menjadi kampus ternama tak butuh waktu yang singkat. Jumlah perguruan tinggi di Indonesia, setiap tahunnya bertambah. Namun tetap kampus itu-itu saja yang menjadi favorit dan terbaik. Jadi, jelas saja jika ingin bekerja menjadi dosen pada kampus terbaik yang notabene jumlahnya tetap. Maka harus siap bersaing! Jumlah lulusan pasca sarjana tidak lagi bisa dihitung jari. Karena jumlahnya saat ini seperti buih di lautan, melimpah. Dengan bekal sebagai mahasiswa berprestasi tidak akan mampu menjadi seorang dosen jika tidak memiliki relasi. Pandai saja tidak cukup!
Dengan gelar mahasiswa berprestasi yang tersemat menciptakan keinginan belajar bahkan melancong ke luar negeri. Keyakinan tinggi untuk memperoleh beasiswa melanjutkan studi? Jangan optimis dulu. Banyak kasus mahasiswa berprestasi yang kalah dengan orang “lebih beruntung”. Mapres belum tentu lulus cepat dan tepat waktu. Bahkan bisa saja tidak lolos sidang skripsi. Ada saja yang lebih memilih “menghindar” dari kenyataan setelah lulus dengan memperlambat waktu studi. Menjadi mapres akan lebih mudah diterima bekerja pada perusahaan bonafit? Jangan mimpi di siang bolong! Ada mapres yang lebih memilih menikah setelah lulus kuliah dan menjadi ibu rumah tangga. Ada pula yang merintis usaha dari nol agar memiliki gelar sebagai pengusaha. Tidak ada yang salah!
Yang menjadi permasalahan adalah harapan, impian dan cita-cita yang diinginkan jika menjadi seorang mahasiswa berprestasi. Jangan terlalu berekspektasi tinggi ya, guys. Jangan karena menjadi mapres membuat kita menjadi kendor dalam berusaha. Menjadi mapres, cobaan dan rintangannya lebih berat. So, hati-hati. Tidak ingin kan jika di masa depan grafik kehidupan kita menurun bahkan menjadi lebih buruk dibandingkan di masa sekarang atau di masa lalu? Tentunya harus ada progress. Menjadi mahasiswa berprestasi tak perlu memiliki gelar mahasiswa berprestasi. Biar kita sendiri yang mengetahui segala perjuangan dan usaha kita. Seperti kata pepatah, “jika tangan kanan melakukan, usahakan tangan kiri jangan sampai tahu”. Menyalonkan diri menjadi mapres merupakan hak semua mahasiswa. Mendaftar pun karena kesadaran diri dan tanpa ada paksaan siapapun. Atas dasar inisiatif diri-sendiri. Maka lebih baik tentukan dahulu apa niat kita sebelum menjadi mahasiswa berprestasi. Jangan hanya mendambakan kilau permata tetapi harus siap dengan bebas psikologisnya! Ayo berprestasi!
Referensi:
Anjarwani, R. 2014. Kajian faktor-faktor akademik dan non akademik mahasiswa biologi berkesulitan belajar di Universitas Negeri Semarang. Skripsi. Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Semarang.
Din, R. M. G. P. dan A. M. Masykur. 2016. Dinamika psikologis mahasiswa berprestasi: studi kualitatif deskriptif. Jurnal Empati. 5 (1): 50-54.
Husna, A. N., Frieda NRH dan J. Ariati. 2013. Regulasi diri mahasiswa berprestasi. Fakultas Psikologi, Universitas Diponegoro, Semarang.
Indriana, D. TL, A. I. Widowati dan Surjawati. 2016. Faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi akademik : studi kasus pada mahasiswa Program Studi Akuntansi Universitas Semarang. Jurnal Dinamika Sosial Budaya. 18 (1): 40-48.
Pusdiknakes, 2003. Pedoman Operasional Sistem Kredit pada Sekolah dan Akademi di Lingkungan Depkes RI. Jakarta.
Retnowati, D. R., A. Fatchan dan I K. Astina. 2016. Prestasi akademik dan motivasi berprestasi mahasiswa S1 Pendidikan Geografi Universitas Negeri Malang. Jurnal Pendidikan: Teori, Penelitian dan Pengembangan. 1 (3): 521-525.
Comments
Post a Comment