Skip to main content

Elasmobranchii

 

Ku Gapai Langit-Langitku

cita-setinggi-langit

Artikel ini berisi:
  1. MAU SUKSES? KAMU PERLU INI
  2. DUNIA ITU TAK PERNAH ADIL, BOS!

Sudah tidak dipungkiri bahwa status sosial dan ekonomi menjadi pendorong pergerakan individu. Pergerakan untuk memperoleh kehidupan yang katanya lebih baik. Orang “kecil” akan terpacu untuk keluar dari gelar miskin yang disandang. Orang kaya berusaha memupuk simpanan hartanya agar tak berkurang malah semakin bertambah. Sayangnya, katanya yang kaya akan semakin kaya dan yang miskin akan semakin miskin. Mengapa demikian? Kembali ke awal pernyataan, yaitu adanya gap status sosial dan ekonomi. Bukan rahasia lagi jika orang kaya akan lebih mudah meraih keinginannya. Tidak setuju?


Sewaktu kecil, seorang anak diajarkan bagaimana caranya bermain dan beraktivitas dengan baik. Seorang anak juga mulai diperkenalkan dengan berbagai macam bidang profesi. Sehingga ada sebuah cita-cita kecil yang menjadi sebuah pegangan agar kelak hal tersebut bisa terwujud. Namun, seiring berjalannya waktu tidak semua yang di cita-cita kan setiap individu mampu terealisasikan. Banyak faktor baik eksternal dan internal yang mempengaruhi individu untuk mencari kembali atau merubah cita-citanya (Setiawan dan Sanjaya, 2016). 


Baca Juga : Cinta Tak Selalu Abadi



MAU SUKSES? KAMU PERLU INI

Jika ingin hidup sukses di dunia ini maka perlu 3 syarat. Mengapa hanya tiga? Karena tiga poin ini adalah pokok dari kehidupan. Apa saja itu? Harta, tahta dan dukungan orang tercinta. Tapi tenang, cukup satu saja yang terpenuhi maka hidupmu akan berjalan dengan baik. Mengapa ketiga poin ini sangat berpengaruh bahkan penentu kesuksesan?


  1. Harta

Siapa yang tak setuju jika semua manusia yang hidup di bumi ini membutuhkan uang? Loh loh, ada kok. Ini nih…


Punya banyak harta bukan jaminan seseorang bisa hidup bahagia. Nyatanya, ada juga beberapa miliarder yang harus mengakhiri hidup dengan cara tragis. Scot Young mengalami permasalahan keuangan dan pernikahan yang begitu rumit. Adolf Merckle menderita kerugian ketika kehilangan uang sebesar 400 juta poundsterling. Otto Beishem memutuskan untuk mengakhiri hidupnya pada 2013 setelah lama menderita penyakit yang tidak diketahui dan tidak dapat disembuhkan. Xu Ming, mantan miliarder asal China yang didakwa atas kasus penyuapan dikabarkan meninggal dunia dalam penjara. Serta Jesse Livermore pialang saham yang dinyatakan bangkrut pada 1934. (Muliana, 2017)


Wait a minute. Dari pernyataan tersebut bukankah kematian para miliarder itu disebabkan karena hilangnya harta mereka? Artinya mereka malah menderita karena sudah tak punya kekayaan yang sudah lama dinikmati. Masih kurang sreg nih? Eits, masih ada lagi.


Bagi yang pernah membaca buku atau menonton film Jon Krakauer berjudul Into the Wild akan mengingatkan kita pada Christopher McCandless. Ketika berusia 24 tahun, ia meninggalkan kehidupan kotanya dan menyumbang 24 dolar AS (Rp 364 juta) dalam bentuk tabungan untuk amal. Ia berkelana ke Alaska pada April 1992 hanya bermodalkan persediaan berupa beras sekitar 4 kilogram, senapan semi-otomatis Remington dengan 400 butir amunisi, beberapa buku dan peralatan camping. Ayahnya bekerja sebagai spesialis antena untuk NASA, sementara ibunya bekerja sebagai sekretaris di Hughes Aircraft. McCandless berburu hewan seperti landak, tupai, ptarmigan dan angsa Kanada untuk dikonsumsi. Pada suatu waktu, McCandless mencoba kembali tetapi terjebak air dari es yang mencari di musim panas. Tak mungkin baginya untuk menyeberang. McCandless tinggal di dalam bus tua yang diberi nama “Bus Ajaib” selama total 113 hari. Ketika ditemukan, ia mati dalam keadaan kelaparan, beratnya hanya 30 kilogram (Kulsum, 2019). Selama menjalani kehidupan malangnya dalam sebuah kesendirian. Ia rutin menuliskan aktivitas hariannya dalam sebuah catatan kecil. Dan tahu apa yang ia tulis sebelum ajal menjemputnya? “HELP”.


Kita memang bagian dari alam. Namun, jangan sekali-kali menantang alam. Penyesalan yang ia terima karena lupa bahwa memang manusia tak bisa hidup tanpa harta. Next, poin kedua…


  1. Tahta

Tidak dapat diragukan lagi bahwa tahta atau status sosial sangatlah penting. Tahta atau jabatan ini akan berkaitan dengan harta. Benar? Masih tidak setuju? Contoh yang sangat mudah, “Apakah gaji seorang manajer akan sama dengan seorang staf biasa?” Sudah dapat dipastikan jawabannya tidak. Dan barang tentu semakin tinggi level jabatan seseorang akan diikuti dengan semakin tinggi pula feedback yang ia peroleh (red: gaji). Jabatan disini tak hanya berkaitan dengan status seseorang dalam sebuah perusahaan atau instansi. Status sosial dari kedua atau salah satu orang tua akan berpengaruh pada bagaimana sang anak di masa depan.


Status sosial ekonomi dapat dilihat dari pekerjaan, pendidikan dan pendapatan serta status sosial orangtua di lingkungan masyarakat. Semua hal tersebut tentu akan memengaruhi anak dalam menyusun orientasi masa depannya. Menurut Nurmi et al. (1994) dalam Nurmasari et al. (2016), orientasi masa depan ini sangat erat kaitannya dengan harapan-harapan, tujuan, standar serta rencana dan strategi yang dilakukan untuk mencapai sebuah tujuan, mimpi-mimpi dan cita-cita (Triana, 2013 dalam Nurmasari et al., 2016).


Maka tak mengherankan jika pernyataan Aisandy (2020) ini tak bisa dielak. Orang pintar itu lebih banyak berasal dari orang yang kaya dibandingkan orang yang miskin. Jadi kalau kamu kaya, sangat disayangkan apabila tidak pintar. Tahu Maudy Ayunda? Tahu Tasya Kamila? Mereka cantik, pintar juga. Tapi tidak terlalu “Wow” rasanya kalau mereka kuliah di universitas ternama, kalau mereka jadi wanita pintar. Mengapa demikian? Mereka berasal dari keluarga yang memiliki lebih dari cukup uang untuk mengenyam pendidikan di tempat yang berkualitas bagus. Ditambah, mereka mampu untuk biaya les privat dimana-mana sehingga dapat mengenyam pendidikan tambahan.  


Selain contoh diatas, berdasarkan penelitian yang dilakukan Din dan Masykur (2016) mengenai dinamika psikologis mahasiswa berprestasi. Dengan subjek pertama (DW) adalah mahasiswa berprestasi Universitas Gadjah Mada. Subjek kedua (UP) merupakan mahasiswa berprestasi Institut Teknologi Bandung. Adapun subjek ketiga (MG) adalah mahasiswa berprestasi Universitas Diponegoro. Menyatakan bahwa ketiga subjek mampu berprestasi karena adanya dukungan materiil dan moriil. Mereka memperoleh akses untuk mengikuti kursus atau les yang mungkin teman sebayanya jarang melakukan hal sama.


Tapi kan, banyak juga kok anak orang miskin yang bisa punya gelar hingga profesor. Banyak kok dokter dari keluarga kurang mampu. Ya, benar… Hal ini erat kaitannya dengan dukungan orang tercinta yang akan kita bahas di poin ketiga. Memang bejibun berita yang mungkin sering kita dengar, seperti ini. Hebat! Anak petani ini bisa kuliah S3 di Inggris. Jika ditelusuri lebih jauh, eh ternyata makna petani disini bukanlah seorang buruh tani yang menggarap sawah milik orang. Bukanlah seorang pekerja dengan upah harian dan berpanas-panasan dibawah terik matahari. Label petani disini adalah berarti memiliki sawah berhektar-hektar. Tak jarang pula banyak orang tua yang “memalsukan” pekerjaannya. Mengatakan seorang wirausahawan yang penghasilannya tak menentu. Tapi tak disangka ia pengusaha batubara. Seringkali tahta yang rendah alias miskin dijadikan sebuah modus penipuan agar terhindar dari biaya pendidikan yang mahal. Atau menjadi trik licik untuk mendapatkan sebuah beasiswa. 


Selain itu, orang yang memiliki “nama” misalnya dalam sebuah partai politik atau organisasi. Sangat sering kita dengar pasti mempunyai privilege. Sudah biasa kan melihat seorang anak dengan mudahnya diterima bekerja di sebuah perusahaan karena peran orang tuanya alias orang dalam. Ternyata eh ternyata, orang tuanya walikota. Mau jadi salah satu pimpinan organisasi? Bisa terwujud kalau kamu teman ketua organisasi. Mau jadi pengusaha muda? Mencoba satu kali gagal, kedua kali juga gagal dan ketiga kali berhasil. Eh kalau gagal dibantu orang tua yang kayanya melintir. Yang lagi viral, Di Riau, istri, kakak, adik hingga menantu Gubernur dilantik jadi pejabat”. Masih mau menampik kalau tahta adalah segalanya?


  1. Dukungan Orang Tercinta

Tak punya tahta apalagi harta? Gimana dong. Cukup punya orang yang selalu mendukungmu maka hidupmu lumayan bahagia. Mengapa lumayan? Karena tanpa adanya usaha untuk meraih harta apalagi tahta sama saja kamu akan mati karena kelaparan. Mati tak bahagia karena perut keroncongan. Support system bisa dari siapa saja, orang tua, pasangan ataupu teman terdekat. Menyinggung kembali mengenai pendidikan orang miskin.


Pendidikan merupakan hal yang bersifat mutlak bagi setiap manusia. Pendidikan membentuk pribadi-pribadi yang tangguh, berkualitas dan memiliki ilmu pengetahuan yang tinggi (Hidayatullah et al., 2016). Semakin tinggi status ekonomi orang tua, maka semakin positif sikap mereka terhadap pendidikan, sedangkan keluarga dengan status ekonomi rendah cenderung memandang pendidikan secara negatif. Dengan status sosial ekonomi orang tua yang tinggi, orang tua dapat mencukupi segala kebutuhan anaknya khususnya pendidikan seperti alat tulis, seragam sekolah dan memberikan bimbingan belajar diluar sekolah, sedangkan status sosial ekonomi orang tua yang rendah lebih terbatas untuk mencukupi kebutuhan anaknya dalam pendidikan (Supriyanto et al., 2014).


Mengetahui perihal pendidikan yang begitu penting. Sudah banyak orang tua yang sadar akan hal tersebut. Berangkat dari keprihatinan nasib yang diderita orang tua. Memunculkan sebuah impian besar terhadap anak untuk mengenyam pendidikan minimal sedikit lebih tinggi dari orang tuanya. Supaya anak katanya bisa sukses dan dapat mengangkat derajat keluarga di rumah. Berdasarkan penelitian Indriana et al. (2016) rata-rata perolehan indeks prestasi kumulatif menunjukkan bahwa mahasiswa yang memperoleh dukungan dari orang tua memiliki indeks prestasi akademik yang lebih tinggi.



DUNIA ITU TAK PERNAH ADIL, BOS!

Sudah miskin, orang tua bukan orang terpandang? Masih ditambah lagi tak ada orang yang menyayangi dan mengasihi. Lengkap sudah penderitaanmu bro. Mau belajar sampai perguruan tinggi? Bermodalkan kepintaran saja? Haduhhh, susah guys. Orang miskin jika ingin memperoleh beasiswa, tetap harus mengeluarkan uang. Banyak beasiswa yang mewajibkan sertifikat TOEFL atau IELTS sebagai syarat dasar administrasi. Sudah tau kan kalau biaya tesnya bisa sampai jutaan rupiah. Belum lagi jika harus mengikuti kursus ini itu. Setelah lolos administrasi masih harus tes interview dan tes kesehatan. Juga butuh uang untuk ongkos. 


Mau bekerja pun tetap harus mempunyai modal untuk mencetak lembar lamaran kerja, CV, portfolio dan semacamnya. Belum lagi menerima penolakan sejalan dengan hilangnya uang ongkos. Sudah diterima di sebuah perusahaan impian juga masih harus keluar duit. Modal untuk bayar sewa indekos dan makan. Kan nunggu satu bulan dulu semenjak kerja baru dapat gaji. Lalu dapat darimana uangnya? Kalau tidak utang ya nyari uang dulu. Nyari dijalan mungkin ada uang jatuh...


Merasa tak ada orang peduli? Tenang, masih ada cara, yaitu mencari bantuan profesional melalui psikolog atau psikiater. Tapi butuh uang juga alias gak gratis. Untuk biaya sekali konsultasi saja merogoh kantong hingga ratusan ribu rupiah. Kalau orang kaya mau ke psikiater berkali-kali pun bisa. Bagaimana dengan rakyat dengan penghasilan minim yang lebih rentan memiliki tekanan hidup. Seharusnya orang-orang seperti itu yang berhak memiliki akses terhadap pemulihan kesehatan mental. Tenang ada BPJS. Ya kalau punya, bagaimana kalau tidak? 


Benar juga kata salah satu guru di bangku SMP dulu. “Kalau mimpi cukup setinggi langit-langit atap rumah. Karena kalau jatuh (tidak terwujud) gak akan terlalu sakit.” Orang miskin jangan mimpi terlalu tinggi, sadar diri lah! 

DUNIA INI KEJAM


Referensi:

Arisandy, A. 2020. Apakah kalian setuju dengan istilah "Dunia ini kejam maka biasakanlah"? Jika setuju contoh apa yang bisa kalian berikan?. https://id.quora.com/Apakah-kalian-setuju-dengan-istilah-Dunia-ini-kejam-maka-biasakanlah-Jika-setuju-contoh-apa-yang-bisa-kalian-berikan. Diakses pada 12 Mei 2020 pukul 00:35 WIB.

Din, R. M. G. P. dan A. M. Masykur. 2016. Dinamika psikologis mahasiswa berprestasi: studi kualitatif deskriptif. Jurnal Empati. 5 (1): 50-54.

Hidayatullah, M. S., D. Manda dan Suardi. 2016. Status sosial orang tua dan prestasi akademik siswa. Jurnal Equilibrium Pendidikan Sosiologi. 4 (2): 194-202.

Indriana, D. TL, A. I. Widowati dan Surjawati. 2016. Faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi akademik : studi kasus pada mahasiswa Program Studi Akuntansi Universitas Semarang. Jurnal Dinamika Sosial Budaya. 18 (1): 40-48.

Kulsum, M. U. 2019. Kisah Christopher McCandless, tinggalkan ingar bingar kota dan hidup di tengah hutan selama 113 hari lalu mati kelaparan. https://suar.grid.id/amp/201672302/kisah-christopher-mccandless-tinggalkan-ingar-bingar-kota-dan-hidup-di-tengah-hutan-selama-113-hari-lalu-mati-kelaparan?page=all. Diakses pada 12 Mei 2020 pukul 00:32 WIB.

Lesmana, A. S. 2020. Di Riau, istri, kakak, adik hingga menantu Gubernur dilantik jadi pejabat. https://suara.com/news/2020/01/10/162910/di-riau-istri-kakak-adik-hingga-menantu-gubernur-dilantik-jadi-pejabat. Diakses pada 12 Mei 2020 pukul 02:30 WIB.

Muliana, V. A. 2017. Tragis, kisah 5 miliarder yang akhiri hidup dengan bunuh diri. https://m.liputan6.com/bisnis/read/3031627/tragis-kisah-5-miliarder-yang-akhiri-hidup-dengan-bunuh-diri. Diakses pada 12 Mei 2020 pukul 00:30 WIB.

Nurmasari, R., H. Wahyono dan A. Haryono. 2016. Peran status sosial ekonomi orangtua dalam penyusunan orientasi masa depan anak. Jurnal Pendidikan: Teori, Penelitian. dan Pengembangan. 1 (11): 2236-2240.

Setiawan, P. A. dan T. Sanjaya. 2016. Cerita dan cita-cita. Jurnal Tingkat Sarjana Senirupa dan Desain. 1: 1-7.

Supriyanto, Aminuyati dan F. Y. Khosmas. 2014. Pengaruh status sosial ekonomi orang tua terhadap hasil belajar SMA Muhammadiyah 1 Pontianak. Artikel Penelitian. Program Studi Pendidikan Ekonomi, Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Tanjungpura, Pontianak.

Comments

Popular posts from this blog

Teknik Pendinginan Produk Perikanan

BAB I PENDAHULUAN 1.1         Latar Belakang Setelah meratifikasi Montreal Protocol pada tahun 1992 dan Kyoto Protocol pada tahun 1996, Indonesia juga tidak luput dari permasalahan global yang dihadapi oleh industri pendinginan dunia sebagai dampak dari kedua perjanjian internasional di atas. Dengan demikian, penelitian di bidang refrigeran dan pendinginan sangat penting dan bermanfaat dilakukan di Indonesia. Jenis refrigeran yang cocok diteliti kemungkinan pemakaiannya di lndonesia adalah refrigeran hidrokarbon, karena selain bersifat alami (natural) hidrokarbon juga tersedia sebagai sumber daya alam yang relatif besar. Penggunaan refrigeran hidrokarbon juga dapat menghemat energi bila dibanding refrigeran R12 (Maclaine dan Leonardi, 1997 dalam Sihaloho dan Tambunan, 2005 ). Aisbett dan Pham (1998) dalam Sihaloho dan Tambunan (2005) menyatakan bahwa penggunaan hidrokarbon sebagai refrigeran pengganti CFC dan HFC dapatmemberikan penghematan biaya yang signifikan untuk

Ikan Sebelah (Psettodes erumei)

1.   PENDAHULUAN 1.1   Latar Belakang Kekayaan alam laut Indonesia yang luas berpotensi menghasilkan hasil laut yang beraneka ragam dengan jumlah yang cukup besar yaitu sebanyak 6,26 juta ton per tahun. Hasil produksi perikanan laut ( marine fisheries ) di Indonesia mengalami peningkatan dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2012 mencapai 3,24 %, dimana pada tahun 2012 hasil produksi ikan laut sebanyak 5.829.194 ton. Hasil laut terutama ikan diolah untuk menjadi bahan pangan masyarakat (Purba et al., 2015). Tingkat konsumsi ikan Indonesia setiap tahun mengalami peningkatan, dimana pada tahun 2013 mencapai 35,62 kilogram per kapita dari tahun 2012, yaitu sebanyak 33,14 kilogram per kapita (Purba et al., 2015). Indonesia memiliki wilayah perairan tropis yang terkenal kaya dalam perbendaharaan jenis-jenis ikannya. Berdasarkan penelitian dan beberapa literatur diketahui tidak kurang dari 3.000 jenis ikan yang hidup di Indonesia.Dari 3.000 jenis tersebut sebanyak 2.700 jenis (90%) hidup di p

Enzim Transferase

BAB I PENDAHULUAN 1.1   Latar Belakang Indonesia mengimpor hampir seluruh kebutuhan enzim (sekitar 90%) dari luar negeri. Dari aspek pasar, kebutuhan enzim di Indonesia terus meningkat sebagaimana dapat dilihat dari nilai impor. Menurut Badan Pusat Statistik, impor untuk produksi farmasetika tahun 2007 adalah sebesar 2,988 trilyun rupiah, tahun 2008 menjadi 3,391 trilyun rupiah dan pada tahun 2011 diperkirakan menjadi 4,55 trilyun rupiah. Kebutuhan enzim dunia terus meningkat yaitu sebesar 6,5% per tahun dan menjadi $5,1 miliar pada tahun 2009 (Trismilah et al. , 2014).   Enzim adalah protein yang berfungsi sebagai katalisator untuk reaksi-reaksi kimia didalam sistem biologi. Katalisator mempercepat reaksi kimia. Walaupun katalisator ikut serta dalam reaksi, ia kembali ke keadaan semula bila reeaksi telah selesai. Enzim adalah katalisator protein untuk reaksi-reaksi kimia pasa sistem biologi. sebagian besar reaksi tersebut tidak dikatalis oleh enzim (Indah, 2004). E