BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Setelah meratifikasi Montreal Protocol pada
tahun 1992 dan Kyoto Protocol pada tahun 1996, Indonesia juga tidak luput dari
permasalahan global yang dihadapi oleh industri pendinginan dunia sebagai
dampak dari kedua perjanjian internasional di atas. Dengan demikian, penelitian
di bidang refrigeran dan pendinginan sangat penting dan bermanfaat dilakukan di
Indonesia. Jenis refrigeran yang cocok diteliti kemungkinan pemakaiannya di
lndonesia adalah refrigeran hidrokarbon, karena selain bersifat alami (natural)
hidrokarbon juga tersedia sebagai sumber daya alam yang relatif besar.
Penggunaan refrigeran hidrokarbon juga dapat menghemat energi bila dibanding
refrigeran R12 (Maclaine dan Leonardi, 1997 dalam Sihaloho dan Tambunan, 2005).
Aisbett dan Pham (1998) dalam Sihaloho dan Tambunan (2005)
menyatakan bahwa penggunaan hidrokarbon sebagai refrigeran pengganti CFC dan
HFC dapatmemberikan penghematan biaya yang signifikan untuk negara-negara di
Asia Timur dan Asia Selatan, termasuk Indonesia.
Efek pendinginan kemungkinan besar telah diketahui
sejak abad ke-4 karena saat itu Ibn Abi Usaibia, seorang penulis Arab, telah
menuliskan efek pendinginan pada campuran air-garam di India. Meskipun
demikian, perkembangan teknik pendinginan mulai mengalami kemajuan sejak abad
ke-16 setelah Zimara (1530) dan Blas Villafranca (1 SO), masing-masing ahli
fisika ltalia dan Spanyol mencatat penggunaan potasium nitrat pada pendinginan
air di Padua dan Roma (Sihaloho
dan Tambunan, 2005).
Perkembangan selanjutnya ditandai dengan
penelitian mengenai refleksi yang disebabkan oleh panas dan dingin yang
dilakukan oleh Robert Boyle (1627-1691), seorang filsuf dan ilmuwan Inggris,
dan dilanjutkan oleh filsuf dan ilmuwan Rusia Mikhail Lomonossov (1711-1765). Penelitian
di bidang termometri sebagai kelanjutan penelitian awal Galileo yang dilakukan
oleh Isaac Newton (Inggris; 1642-1727), Guillaume Amontons (Prancis;
1663-1705), dan Rene de Reaumur (Prancis; 1683-1757) mememberipengaruh yang
sangat besar terhadap perkembangan teknik pendinginan. Penelitian tersebut
akhirnya membawa ilmuwan Jerman yang bekerja di lnggris dan Belanda Daniel
Fahrenheit (1686-1736) dan ilmuwan Swedia Anders Celsius (1701-1744) menemukan termometer.
Pada tahun 1755, William Cullen (1710-1790) berhasil mendapatkan sejumlah kecil
es dengan cara menguapkan air di dalam "labu uapV-dan menemukan bahwa
penguapan ethyl ether selalu disertai oleh penurunan suhu. Hasil penelitian ini
membawa Joseph Black (1728-1 799), seorang Skotlandia yang merupakan murid dan
penerus Cullen, melakukan klarifikasi tentang istilah panas dan suhu dan dapat dianggap
sebagai penemu kalorimetri (Sihaloho
dan Tambunan, 2005)
Pada negara tropis yang masih sangat mengandalkan bidang
pertanian dan perikanan seperti Indonesia, tentu saja refrigeran dan industri
pendinginan mempunyai peranan yang sangat penting. Pendinginan dan pembekuan
mempunyai peranan yang sangat penting dalam bidang pertanian serta perikanan.
Pendinginan dan pembekuan digunakan untuk menjaga agar produk pertanian maupun
perikanan yang mudah rusak tetap baik kualitasnya selama waktu tertentu sebelum
produk tersebut akhirnya dikonsumsi. Penyimpanan dan transportasi bahan pangan,
proses pengolahan makanan dan minuman, pembuatan es (ice making) merupakan beberapa contoh kegiatan yang memerlukan
proses pendinginan dan pembekuan (Sihaloho dan Tambunan, 2005).
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di
atas maka dapat ditentukan rumusan masalah dalam makalah ini seperti berikut.
1. Apa saja
bidang kehidupan yang memanfaatkan pendinginan?
2. Apa penyebab
hasil perikanan perlu dilakukan pendinginan?
3. Apa yang
dimaksud pendinginan?
4. Apa prinsip
pendinginan?
5. Apa saja
jenis pendinginan?
6. Bagaimana teknik
pendinginan ikan menggunakan es?
7. Bagaimana teknik
pendinginan ikan menggunakan air dingin?
8. Bagaimana teknik
pendinginan ikan menggunakan udara dingin?
9. Apa yang
membedakan pendinginan dan pembekuan?
10.
Apa saja permasalahan, tantangan dan solusi yang
dihadapi pada industri pendinginan?
1.3
Tujuan
Berdasarkan uraian rumusan masalah
di atas maka dapat ditentukan tujuan dalam makalah ini seperti berikut.
1. Mengetahui
bidang kehidupan yang memanfaatkan pendinginan.
2. Mengetahui
penyebab hasil perikanan perlu dilakukan pendinginan.
3. Mengetahui
definisi pendinginan.
4. Mengetahui
prinsip pendinginan.
5. Mengetahui
jenis pendinginan.
6. Memahami
teknik pendinginan ikan menggunakan es.
7. Memahami
teknik pendinginan ikan menggunakan air dingin.
8. Memahami
teknik pendinginan ikan menggunakan udara dingin.
9. Mengetahui
perbedaan pendinginan dan pembekuan.
10.Mengetahui permasalahan, tantangan dan solusi yang
dihadapi pada industri pendinginan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Bidang Kehidupan yang Memanfaatkan Pendinginan
Jenis bahan pangan yang dapat disimpan dingin
dan dibekukan antara lain buah, sayuran, ikan segar, produk ikan, daging segar,
produk daging susu dan roti. Saat ini teknologi pendinginan dan pembekuan telah
berkembang dengan pesat, sehingga memungkinkan beragam jenis bahan pangan dapat
disimpan dingin dan dibekukan (Rahayoe, 2004).
2.2 Penyebab Hasil Perikanan Perlu Dilakukan
Pendinginan
Ikan dan hasil-hasil
perikanan lainnya merupakan highly perisable food, maka nilai pasar
hasil awetan dan olahannya ditentukan oleh derajat kesegaran dan daya awetnya
(Hadiwiyoto, 1993 dalam Susanti dan
Purba, 2008). Salah satu hal untuk mengatasi hal tersebut adalah metode
pengawetan (Hudaya dan Darajad, 1982 dalam
Susanti dan Purba, 2008). Salah satu faktor penentu kualitas ikan ialah kesegarannya.
Pada produksi hasil laut perubahan kualitas dari segi rasa, bau, tekstur dan
warna dapat terjadi akibat pertumbuhan bakteri. Perubahan kualitas tersebut
kecepatannya tergantung dari kadar bakteri awal, kondisi penyimpanan, suhu,
kelembaban dan tekanan atmosfir.
Menurut Susanti dan
Purba (2008), produk hasil laut bersifat lebih mudah terdekomposisi dibandingkan
produk berprotein tinggi lainnya. Hal disebabkan karena:
a.
Beberapa
produk hasil laut mengandung kadar osmoregulator tinggi dalam bentuk non
protein nitrogen seperti trimetil amin, urea, asam amino dan lain sebagainya
yang merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri.
b.
Produksi
hasil laut dipanen dari air yang dingin sehingga flora bakteri tidak mudah
dihambat oleh perlakuan suhu dingin dibanding flora hewan atau tanaman.
2.3 Definisi Pendinginan
Pengawetan
ikan dengan suhu rendah merupakan suatu proses pengambilan atau pemindahan
panas dari tubuh ikan ke bahan lain. Ada pula yang mengatakan bahwa pendinginan
adalah proses pengambilan panas dari suatu ruangan yang terbatas untuk
menurunkan dan mempertahankan suhu di ruangan tersebut bersama isinya agar
selalu lebih rendah dari pada suhu diluar ruangan. Kelebihan pengawetan ikan
dengan pendinginan adalah sifat-sifat asli ikan tidak mengalami perubahan
tekstur, rasa dan bau (Adawiyah, 2007 dalam
Santoso, 2013).
Pendinginan adalah
penyimpanan bahan pangan di atas
suhu pembekuan yaitu -2 sampai +10C. Pendinginan yang biasa dilakukan sehari-hari dalam lernari es
pada umumnya mencapai suhu 5-80C. Meskipun air murni membeku pada suhu O0C,
tetapi beberapa makanan ada yang tidak membeku sampai suhu –20C atau di
bawah, hal ini terutama disebabkan oleh pengaruh kandungan zat-zat di dalam makanan tersebut
(Koswara, 2009).
Pendinginan yang
diungkapkan Kepala Pusat Penyuluhan Kelautan dan Perikanan (2011) dalam Sandra dan Rahwan (2015) adalah suatu
proses pemindahan panas dari tubuh ikan ke tubuh ikan yang lain. Pendinginan
tersebut ada pula yang berpendapat bahwa suatu proses pengambilan panas dari
suatu ruangan terbatas yang khusus untuk menurunkan dan mempertahankan suhu
ruangan tersebut beserta isinya agar tetap lebih rendah dari suhu di luar
ruangan.
2.4 Prinsip Pendinginan
Prinsip proses
pendinginan dan pembekuan adalah mengurangi atau menginaktifkan enzim dan bakteri
pembusuk dalam tubuh ikan (Sofyan, 1983 dalam
Ismanto et al., 2013). Bahan-bahan
yang dapat digunakan sebagai media pendingin untuk penanganan ikan diantaranya
adalah es basah, es kering, air dingin, es ditambah garam, air laut yang
didinginkan dengan es, air laut yang didinginkan secara mekanis dan udara
dingin (Baheramsyah, 2007 dalam
Ismanto et al., 2013). Penanganan
hasil tangkapan ikan menggunakan kapal ikan tradisional biasanya menggunakan
pendinginan dengan es basah atau es batu. Penggunaan es merupakan salah satu
cara yang paling mudah dilakukan. Penggunaan es juga relatif murah dan mudah.
Namun penggunaan es basah ini akan menyebabkan beban pada kapal lebih besar dan
ruang muat untuk ikan menjadi berkurang. Dengan demikian ikan hasil tangkapan
yang dapat dimuat dalam kapal menjadi lebih sedikit. Selain itu pendinginan
dengan menggunakan es basah hanya dapat mempertahankan suhu rendah dalam waktu
yang singkat. Menurut penelitian dari Aziz (2012) dalam Ismanto et al.
(2013) penggunaan es basah untuk penanganan ikan mampu mempertahankan suhu
hingga 200C selama 35 jam dengan suhu -10C dan berat ikan
sebanyak 78 Kg (Kurniawan, 2011 dalam
Ismanto et al., 2013).
Pada prinsipnya
pendinginan adalah mendinginkan ikan secepat mungkin ke suhu serendah mungkin,
tetapi tidak sampai menjadi beku. Pada umumnya, pendinginan tidak dapat
mencegah pembusukan secara total, tetapi semakin dingin suhu ikan, semakin
besar penurunan aktivitas bakteri dan enzim. Dengan demikian melalui
pendinginan proses bakteriologi dan biokimia pada ikan hanya tertunda, tidak
dihentikan. Untuk mendinginkan ikan, seharusnya ikan diselimuti oleh medium
yang lebih dingin darinya, dapat berbentuk cair, padat, atau gas (Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik
dan Tenaga Kependidikan Pertanian,
2010).
2.5 Jenis Pendinginan
Banyak cara untuk
menurunkan suhu ikan segar. Cara paling sederhana adalah menutupi ikan dengan
terpal atau karung basah (dengan menguapnya air pada terpal, suhu ikan akan
turun). Cara lain, yaitu dengan pengesan (dalam keranjang berlapis daun pisang segar
atau dalam cool box), perendaman dengan air atau air laut yang
didinginkan (iced sea water atau refrigerated sea water = RSW)
atau penyimpanan dalam kamar dingin (cool room) (Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik
dan Tenaga Kependidikan Pertanian, 2010).
Menurut Kiryanto dan Supriyanto (2011) beberapa metode atau sistem pendingin
ikan di kapal adalah:
·
Pendingin
Ikan dengan es atau pengesan (icing).
·
Pendingin
ikan dengan udara dingin (chilling in cold air).
·
Pendinginan
ikan dengan es air laut
·
Pendinginan
ikan dengan air yang didinginkan (chilling in water)
·
Pendinginan
ikan dengan es kering
· Pendingin ikan dengan teknologi refrigerasi
Menurut Astawan
terdapat empat teknik pendinginan yang umum diberikan pada hasil perikanan,
yaitu:
· Peniupan
udara dingin, metode ini tidak dianjurkan karena ikan akan mengalami
dehidrasi/pengeringan.
·
Introduksi
es, metode ini paling baik untuk diterapkan.
·
Larutan
yang didinginkan.
·
Perpaduan
antara pemberian es dan pemberian larutan yang didinginkan.
2.6 Teknik Pendinginan Ikan Menggunakan Es
Pendinginan dengan es umumnya ditujukan untuk
memasarkan ikan dalam keadaan basah dengan menurunkan suhu pusat daging ikan
sampai -1 sampai -2'C. Fungsi dari es untuk mempertahankan ikan tetap segar,
mencegah pembusukan sehingga nilai gizi dapat dipertahankan. Disamping itu
lelehan es mencuci lendir, sisa darah bersama bakteri dan kotoran lain akan terhanyut
(Sanger, 2010).
2.6.1 Jenis Es
2.6.1.1 Es Basah dan Es Kering
Metode pendinginan selain dengan menggunakan es
basah, juga dapat ditambah dengan menggunakan campuran es basah dan es kering.
Aziz (2012) dalam Ismanto et al. (2013) juga menyebutkan bahwa
penggunaan campuran es basah dan es kering dapat mempertahankan suhu hingga 200C
hingga 52 jam yang mencapai suhu terendah sampai -20C dengan berat
ikan sebanyak 95kg. Salah satu bentuk metode pendingin yang lebih efektif
dibandingkan dengan metode yang telah ada adalah metode dengan menggunakan es
basah, es kering, serta ditambah dengan gel. Ardianto (2012) dalam Ismanto et al. (2013) menyatakan bahwa penggunaan es basah, es kering dan
gel dengan campuran CaCl2 mampu mempertahankan suhu rendah hingga -20C
dan mencapai suhu 200C setelah 122 jam (Maulidy, 2011 dalam Ismanto et al., 2013). Gel cold ice merupakan bahan yang mampu
menurunkan suhu. Bahan penyusun cold ice dapat berupa propylene
glycol yang dicampur dengan air. Penggunaan propylene glycol dalam
sistem pendingin ikan ini tidak menimbulkan masalah lingkungan, karena propylene
glycol bersifat biodegradable sehingga mudah terurai. Propylene
glycol juga tidak bersifat toksik atau racun terhadap organisme perairan
terutama hasil perikanan (Maulidy, 2011 dalam
Ismanto et al., 2013). Selain itu propylene
glycol dapat menurunkan suhu hingga mencapai -510C atau -600F
sehingga bahan ini digunakan sebagai bahan pendingin.
2.6.1.2 Es Air Tawar dan Air
Laut
Secara operational dalam penangkapan,
penanganan dan pengolahan ikan maka air yang didinginkan dapat didefinisikan
sebagai jenis air tawar atau air asin yang mempunyai mutu kesehatan yang diizinkan
yang didinginkan dengan cara penambahan es atau direfrigersi secara mekanik.
Penurunan suhu daging ikan yang didinginkan dengan cara pendinginan air laut yang
dicampur es (ALDI) adalah lebih cepat daripada pendinginan dengan es maupun pendinginan
dengan udara dingin. Penggunaan ALDI (brine) dilakukan dengan cara mencelupkan
atau menyemprot dengan brine dingin pada tumpukan ikan (Sanger, 2010).
Penurunan suhu daging ikan dengan cara pendinginan
dalam air laut yang dicampur dengan es adalah lebih cepat dari pendinginan
dengan es maupun pendinginan dengan udara dingin. Pendinginan suhu tubuh ikan
dengan menggunakan ALDI (Brine) sering dilakukan dengan cara mencelupkan atau
penyemprotan dengan brine dingin pada tumpukan ikan. Garam akan menghambat
terjadinya autolisis maupun pembusukan, dimana garam sifat tekanan osmotik yang
tinggi yang menyebabkan plasmolisis pada dinding sel bakteri. Disamping itu
garcm juga menghambat berubahnya protein oleh adanya aktifitas enzim (Sanger,
2010). Es batu dari air tawar adalah bahan pendingin ikan yang paling banyak
dipakai di banyak negara, karena es mendinginkan dengan cepat tanpa banyak
mempengaruhi keadaan ikan, dengan biaya yang relatif lebih murah (Murniyati dan
Sunarman, 2000 dalam Ibrahim dan
Dewi, 2008).
Menurut hasil penelitian Mulyanto (2005) dalam Ibrahim dan Dewi (2008), ikan Tuna
yang disimpan dalam es air laut selama 5 hari mempunyai mutu yang tidak berbeda
dengan ikan Tuna yang disimpan dalam es air tawar, baik dari segi jumlah koloni
bakteri maupun nilai organoleptik. Pada proses penyimpanan tersebut dilakukan
penambahan es setiap 24 jam sekali pada masing-masing perlakuan. Dari pustaka
belum diperoleh publikasi tentang sifat-sifat es air laut serta perbandingan
antara ikan dan es air laut yang sesuai. Berdasarkan hal tersebut perlu
diadakan penelitian tentang pendinginan ikan dengan es air laut.
Es biasa atau es air tawar (“fresh water ice”)
mempunyai titik cair 0oC, sedangkan es air laut (“sea water ice”)
mempunyai kadar garam 2,5% hingga 3% dan titik cair (-2oC) (Ilyas
dan Junizal, 1971 dalam Ibrahim dan
Dewi, 2008). Es air laut juga mempunyai sifat anomali, yaitu tidak mempunyai
titik cair yang tepat dikarenakan kadar garam yang terkandung dalam air laut.
Berbeda dengan es air tawar yang selalu mencair pada titik 0oC
(Ibrahim dan Dewi, 2008).
2.6.1.3 Es Ditambah Garam
Kemampuan media pendingin es ditambah garam
dalam mempercepat penurunan suhu ikan dan menghasilkan suhu akhir ikan yang
rendah berdampak positif terhadap upaya mempertahankan kesegaran ikan.
Rendahnya suhu dan kecepatan penurunan suhu ikan dapat menghambat proses
biokimia dan pertumbuhan bakteri pembusuk (Junianto, 2003 dalam Prayogi, 2009). Menurut Irawan (1995) dalam Prayogi (2009), pendinginan ikan dengan media es ditambah
garam dapat menurunkan suhu mendekati titik beku ikan sekitar -1,2°C. Namun
demikian kecepatan pendinginan sangat tergantung dari konduktivitas termal dari
media pendingin (Holman,1996 dalam
Prayogi, 2009).
Penambahan garam pada air yang dibekukan dapat
menurunkan temperatur coolbox ikan di bwah 0oC. Semakin
tinggi konsentrasi garam dalam air yang dibekukan maka temperatur semakin
rendah dan semakin tinggi konsentrasi garam maka temperaturnya akan cepat
meningkat. Pada percobaan yang telah dilakukan temperatur terendah untuk
percobaan tanpa beban dengan konsentrasi garam 3% mencapai -2oC.
penambahan garam ini selain dapat menurunkan temperatur juga dapat menghambat
pertumbuhan mikrobia karena garam mempunyai daya penghambat racun yang tinggi
dan dapat memblokir sistem respirasinya (Prayogi, 2009).
Ditinjau dari mutu ikan media pendingin yang
paling baik adalah es air + garam dengan kandungan 99% +1% karena kandungan
protein dalam tubuh ikan paling tinggi yaitu sebesar 11,8% dan temperaturnya
masih dalam batas pendinginan yang baik. Penambahan garam pada media pendingin
ikan dapat menurunkan temperatur coolbox dibawah 0°C, semakin tinggi
konsetrasi garam dalam air maka temperatur coolbox akan semakin rendah
dan semakin tinggi konsentrasi garam dalam air maka peningkatan temperatur coolbox
akan semakin cepat. Temperatur terendah dari air tawar adalah 0°C dan akan
konstan sampai es mencair semua. Tetapi bila dibebani dengan ikan, maka suhu
terendah adalah 1°C. Air laut yang dibekukan suhu terendah adalah -30C
dan temperaturnya naik dengan cepat sehingga suhu dalam coolbox tidak
stabil (Prayogi, 2009).
2.6.2 Cara Pendinginan
Menggunakan Es
Menurut Astawan cara penyimpanan
ikan di dalam palka adalah sebagai berikut.
· Shelfing. Dilakukan untuk ikan-ikan berukuran besar.
Ikan yang satu dengan yang lain harus dibatasi dengan es, dan tidak bersentuhan
dengan badan ikan yang lain. Ikan disusun dalam rak-rak yang hanya menampung
satu lapis ikan saja.
· Bulking. Tidak dianjurkan, biasanya untuk ikan-ikan
yang mempunyai harga ekonomi rendah. Ikan dengan es batu disusun berlapis-lapis
dalam sebuah wadah/rak.
· Boxing. Di dalam palka kapal, disediakan peti-peti
penyimpanan ikan, misalnya satu peti hanya untuk diisi 1-2 ekor ikan yang sudah
dicampur dengan es curai.
2.6.3 Jumlah Es yang
Diperlukan
Menurut Murniyati dan Sunarman (2000) dalam Ibrahim dan Dewi (2008), hukum
kekekalan energi untuk menghitung jumlah es yang dibutuhkan guna mendinginkan
ikan pada proses yang melibatkan perubahan suhu yaitu: Q = m x Δt x c, dimana Q
= beban penerimaan panas yang diterima es dari tubuh ikan, m = berat ikan, Δt =
selisih antara suhu thermal ikan dengan suhu es dan c = panas spesifik ikan.
Dari sifat es air laut dan rumus tersebut diduga proses pendinginan ikan
membutuhkan jumlah es air laut yang lebih banyak dibandingkan dengan
menggunakan es air tawar. Perbandingan antara ikan dan es harus benar-benar
diperhatikan, karena perbandingan yang tidak optimal yaitu jumlah ikan yang
terlalu banyak dan es yang terlalu sedikit dapat mengakibatkan suhu di dalam
wadah kurang optimal yang menyebabkan ikan cepat mengalami kebusukan (Ilyas,
1988 dalam Ibrahim dan Dewi, 2008).
Perbandingan ideal
antara jumlah es dengan ikan untuk mempertahankan suhunya adalah 1:1.
Penggunaan jumlah es tersebut akan lebih cepat dalam menurunkan suhu ikan sehingga
mutu ikan akan lebih baik (Yunizal dan Wibowo, 1998 dalam Munandar et al.,
2009).
2.6.4
Kelebihan dan Kekurangan
Proses penanganan ikan dengan pendinginan
merupakan metode yang paling efektif serta banyak dilakukan. Penggunaan es
untuk mendinginkan ikan telah dianggap sebagai metode paling efektif untuk
mempertahankan kesegaran ikan, selain itu juga tidak menimbulkan perubahan
fisik pada ikan (Ilyas, 1983 dalam
Sayekti et al., 2011). Pemberian es
juga harus sesuai dengan kondisi ikan. Selama ini perlakuan yang dilakukan di
warung makan dan tempat penjualan ikan belum menggunakan patokan atau standar,
yang penting pemakaian es banyak dan menutupi seluruh bagian ikan. Padahal
kecukupan pemberian es merupakan hal yang penting untuk mempertahankan
kesegaran ikan. Pemberian es yang kurang maupun berlebihan akan merusak tekstur
dan menyebabkan kebusukan pada ikan (Sayekti et al., 2011).
Menurut Astawan metode pendinginan dengan
pemberian es dianggap paling menguntungkan, karena:
· Dapat
menurunkan suhu tubuh ikan dengan cepat.
· Biaya
lebih murah.
· Tidak
merusak fisik ikan secara berlebihan.
· Membersihkan
kotoran-kotoran ikan.
2.7 Teknik Pendinginan Ikan Menggunakan Air Dingin
Penyimpanan ikan di
dalam palka menggunakan teknik penyimpanan dengan menggunakan air yang
didinginkan (chilling water). Teknik chilling water ada dua
macam. Teknik pertama adalah, dengan memasukkan ikan ke dalam palka yang telah
diisi es curah dan dicampur dengan air laut. Teknik yang kedua, yaitu
penyimpanan dalam palka yang diisi air laut dan didinginkan dengan menggunakan
mesin serta dijaga suhunya tetap pada 0oC. Teknik ini disebut juga
ALDI (air laut yang didinginkan) atau RSW (refrigerated sea water). Pada
teknik ALDI/RSW, kontrol suhu harus terus dila-kukan, ikan dijaga tidak boleh
sampai membeku. Teknik penanganan ikan dengan sistem ALDI/RSW mulai banyak
digunakan oleh kapal-kapal tuna longline pada beberapa tahun ter-akhir,
dengan semakin lamanya trip operasi pe-nangkapan ikan dan semakin jauhnya fishing
ground yang ditempuh. Teknik ALDI/RSW membutuhkan biaya tambahan bagi
operasional kapal longline, namun memberikan jaminan terhadap kualitas ikan
dengan lebih baik (Nurani et al.,
2013).
Penggunaan hydrogen peroksida (H2O2)
yang dicampur pada proses pendinginan ikan layang ini melalui proses
pengenceran terlebih dahulu. Konsentrasi air yang digunakan oleh pemilik usaha dagang
untuk mengencerkan hydrogen peroksida (H2O2) adalah 3
liter air dalam 1 kuintal ikan layang sedangkan dosis atau takaran hydrogen
peroksida yang digunakan pada proses pengenceran tersebut adalah 50 ml. Namun
pemakaian hydrogen peroksida ini hanya digunakan ketika ikan yang akan diperjualbelikan
keadaan fisiknya memang kurang stabil seperti halnya diakibatkan penangkapan
ikan yang kurang baik yang dilakukan oleh para nelayan sehingga ikan terlihat
lembek dan lain hal. Jika ikan layang tersebut kondisi fisiknya masih baik dan
segar maka untuk memelihara agar ikan tetap segar cukup menggunakan es atau
penambahan garam, tanpa menggunakan atau mencampurkan hydrogen peroksida pada
ikan layang tersebut (Sandra dan Rahwan, 2015).
Seiring dengan perkembangan teknologi, muncul suatu
sistem pendingin RSW (Refrigerated Sea
Water). Yang mana pada sistem tesebut memang sangat efektif dalam penggunaannya.
Tidak perlu mambawa es batu dalam jumlah besar dari darat, melainkan
memanfaatkan pendinginan yang langsung dipompa dari air laut. Sistem tersebut
memang sangat efektif bila digunakan pada ikan yang berdimensi besar seperti
tuna, akan tetapi pada ikan yang dimensinya lebih kecil akan timbul
permasalahan baru yaitu rasa ikan yang sangat asin. Hal tersebut sangat-sangatlah
merugikan bagi konsumen, yang mana sudah berusaha membeli tapi rasa yang
diharapkan kurang maksimal dikarenakan rasa yang sangat asin. Melihat pada
peristiwa tersebut, dapat dikembangkan contoh inovasi yang dapat meminimalisir
rasa asin yang timbul pada sistem pendinginan ikan dengan RSW. Yaitu dengan
sistem RSW Spray. Sistem tersebut diharapkan mengurangi rasa asin yang
berlebihan yang disebabkan oleh sistem pendinginan menggunakan air laut
(Kurniawan et al., 2014).
Gambar 1. Desain Sistem Spray RSW (Refrigerated Sea Water)
(Sumber: Kurniawan et al., 2014)
|
Refrigerator
Sea Water (RSW) adalah sebuah teknologi penanganan hasil
tangkap yang dirancang khusus, dipasang sebagai tempat menampung ikan /palka
kapal sehingga ikan hasil tangkapan khususnya jenis ikan tertentu yang mempunyai
nilai ekonomis antara lain tengiri, tongkol, remang, kakap dan lain-lain dapat
dipertahankan kualitasnya. Sistem RSW juga dapat diartikan sebagai suatu system
pendingin dengan menggunakan air laut untuk menyediakan air laut dingin dengan
menggunakan sebuah mesin mechanical refrigeration (Riyadi et al., 2016). Menurut Ilyas (1988) dalam Riyadi
et al. (2016), sistem RSW ini mempunyai beberapa keuntungan
diantaranya adalah:
· Dapat
memperpanjang tingkat kesegaran ikan/waktu penyimpanan lebih lama.
· Menghindari adanya kerusakan
fisik karena ikan tidak mendapat tekanan dari ikan yang ada di atasnya atau dari
es sebagaimana menggunakan es.
· Penurunan
suhu akan berlangsung cepat karena seluruh ikan kontak dengan pendingin/proses
pendinginan cepat.
· Prosedur penanganan ikan lebih
mudah dan cepat, baik dalam pengisian/ pembongkaran sehingga akan menghemat
waktu dan tenaga kerja
·
Mutu ikan yang dihasilkan
lebih bagus fisiknya.
2.8 Teknik Pendinginan Ikan Menggunakan Udara Dingin
Penggunaan
ozon dalam memperpanjang daya simpan ikan segar merupakan salah satu teknologi
pengawetan pangan yang menjanjikan. Disamping itu, ozon tidak menghasilkan
residu beracun dalam lingkungan setelah perlakuannya (Pastoriza et al.,
2008 dalam Rahmahidayati et al., 2014) dan telah dinyatakan aman
oleh panel ahli untuk digunakan dalam pengolahan makanan. Sejak itu ozon telah
digunakan dalam beberapa penelitian untuk mengurangi kontaminasi pada ikan
segar yang baru saja ditangkap, produk peternakan, daging dan susu
(Manousaridis et al., 2005 dalam
Rahmahidayati et al., 2014). Hal
tersebut juga telah diterapkan pada ikan Hake (Pastoriza et al.,
2008 dalam Rahmahidayati et al., 2014) dan Shucked Mussels untuk
mempertahankan kualitasnya selama penyimpanan dingin (Manousaridis et al.,
2005). Penggunaannya pada beberapa ikan komersial juga dikombinasikan dengan es
slurry. Finfish dan Albacore yang disimpan dalam sistem
tersebut memiliki kualitas lebih baik dibandingkan metode pendinginan lain.
Kombinasi ini merupakan salah satu sistem penyimpanan dingin baru yang dapat
memperlambat mekanisme hidrolisis dan oksidasi lemak pada ikan Farmed Turbot
(Campos et al., 2006 dalam
Rahmahidayati et al., 2014).
Penggunaan ozon dengan kombinasi es slurry juga telah dimanfaatkan untuk
memperpanjang daya simpan ikan Nila Merah (Nur et al., 2013 dalam
Rahmahidayati et al., 2014).
2.8.1 Prinsip Kerja Sistem Udara Dingin
Cara kerja mesin pendingin ini dapat dijelaskan
sebagai berikut, kompresor yang ada pada sistem pendingin dipergunakan sebagai
alat untuk memampatkan fluida kerja (refrigeran), jadi refrigeran yang masuk kedalam
kompresor oleh kompresor tersebut akan dimampatkan sehingga tekanan dan temperaturnya
akan naik kemudian dialirkan ke kondensor.
Gambar 2. Siklus kerja sistem pendingin dan komponen utamanya
(Sumber: Kiryanto dan Supriyanto, 2011)
|
2.8.2 Diagram Blok Rancangan Mesin Pendingin
Gambar 3. Diagram blok rancangan mesin pendingin
(Sumber: Kiryanto dan Supriyanto, 2011)
|
Keterangan:
· Kompresor
difungsikan untuk menghisap uap refrigeran yang bertekanan rendah dan dalam
keadaan dingin dari evaporator dan
memampatkannya sehingga mengkompresinya menjadi uap bertekanan tinggi sehingga
uap akan tersirkulasi.
· Jika
minyak pelumas kompresor terlalu banyak ikut dalam aliran uap refrigeran keluar
dari kompresor, maka dalam waktu singkat kompresor akan kekurangan minyak pelumas,
sehingga pelumasannya kurang baik. Di samping itu, miyak pelumas tersebut akan
masuk ke dalam kondensor dan kemudian ke evaporator, sehingga akan mengganggu
proses perpindahan kalornya. Untuk mencegah terjadinya ganguan tersebut maka
perlu di pasang pemisah minyak pelumas (oil
separator) di antara kompresor dan kondensor. Dalam hal tersebut, pemisah
minyak pelumas akan memisahkan minyak pelumas dari refrigeran dan
mengalirkannya kembali kedalam ruang engkol.
· Kondensor
berfungsi untuk mengembunkan refrigeran.
· Internal
heat exchanger berfungsi untuk menurunkan suhu refrigeran yang keluar dari kondensor
agar lebih dingin. Pendinginan ini menggunakan refrigeran yang bertemperatur rendah
yang keluar dari evaporator.
· Katup
ekspansi berfungsi untuk mengatur pemasukan refrigeran yang akan masuk ke evaporator
sesuai dengan beban pendinginan yang harus dilayani evaporator. Pada katup ekspansi
tekanan dan temperatur refrigeran diturunkan.
· Terjadi
perpindahan kalor pada heat exchanger
dari refrigeran yang keluar dari kondensor ke refrigeran yang keluar dari
evaporator menyebabkan refrigeran yang keluar dari evaporator akan lebih panas.
Uap yang menuju kompresor yang lebih panas dapat menyebabkan partikel cairan
yang mungkin ikut terbawa akan menguap sehingga akan membantu kerja kompresor.
2.8.3 Perbandingan Metode Pendinginan Palka Ikan
Gambar 4. Perbandingan metode pendinginan palka ikan
(Sumber: Kiryanto dan Supriyanto, 2011)
|
2.9 Perbedaan Pendinginan dan Pembekuan
Pendinginan adalah proses pengambilan panas
dari suatu benda sehingga suhunya akan menjadi lebih rendah dari sekelilingnya.
Bila medium pendingin mengadakan kontak dengan bahan pangan maka terjadilah
pemindahan panas (energi) dari bahan pangan tersebut ke medium pendingin tadi
sampai keduanya mempunyai suhu yang sama atau hampir sama. Sedangkan pembekuan
adalah proses penurunan suhu bahan sampai suhu di bawah titik beku atau air di
dalam bahan berubah menjadi es. Pembekuan merupakan proses yang kompleks akibat
adanya bahan terlarut yang mengakibatkan penurunan titik beku dan pengambilan
panas laten yang gayut dengan suhu (Rahayoe, 2004).
Pendinginan dilakukan
pada temperatur 4°C sampai -1°C. Dengan menggunakan cara ini pertumbuhan mikroorganisme
akan terhambat sehingga kesegaran ikan dapat dipertahankan untuk beberapa waktu
yang singkat. Sedangkan pembekuan dilakukan pada suhu -18°C sampai -30°C.
Dengan disimpan pada suhu
serendah itu, pertumbuhan mikroorganisme akan benar-benar dapat terhenti dan
ikan dapat disimpan dalam jangka waktu yang lebih lama (Puspitasari, 2012).
Pendinginan merupakan
metode pengawetan pangan (food preservation) yang paling banyak
digunakan. Pendinginan dilakukan dengan tujuan untuk menghambat
terjadinya proses kerusakan yang menyebabkan penurunan mutu pada bahan
pangan. Pendinginan akan dapat mempertahankan kesegaran serta dapat
memperpanjang masa simpan suatu bahan pangan (Desrosier dan Desrosier,
1977 dalam Saptarini, 2009).
Pembekuan dalam teknologi makanan adalah serangkaian proses penggunaan
suhu rendah di bawah titik beku untuk mengolah atau mengawetkan bahan
makanan. Secara mikrobiologis, pembekuan dimaksudkan agar aktivitas
metabolisme mikroorganisme pada makanan dapat diperlambat atau
dihentikan sama sekali. Seperti diketahui aktivitas metabolisme
organisme merupakan reaksi yang dikatalisis oleh enzim-enzim dan
kecepatan reaksi ini sangat dipengaruhi oleh suhu. Bila suhu meningkat, kecepatan
reaksi akan meningkat dan bila suhu menurun, kecepatan reaksi menurun
pula. Pada sistem biologi, peningkatan suhu sebesar 10°C pada tingkat
yang tepat akan meningkatkan kecepatan reaksi sebesar dua kali. Demikian pula
sebaliknya, setiap penurunan suhu sebesar 10°C mengakibatkan penurunan
kecepatan reaksi sebesar dua kali. Penurunan suhu sampai taraf tertentu
dapat menyebabkan terhentinya metabolisme mikroorganisme, yang
selanjutnya berakibat kerusakan atau kematian sel (Fennema et al.,
1976 dalam Saptarini, 2009).
2.10 Permasalahan, Tantangan dan Solusi Untuk Industri
Pendinginan
Pendinginan atau chilling ikan secara sederhana murah serta praktis dapat dilakukan
dengan menggunakan es saja. Hanya penerapannya sering tidak efisien. Faktor
penyebabnya antara lain suhu udara yang panas di daerah tropis seperti
Indonesia dapat mengakibatkan es cepat mencair (Moeljanto, 1982 dalam Susanti dan Purba, 2008).
Untuk mempertahankan ikan yang telah didinginkan agar suhunya tetap rendah,
perlu suatu wadah yang dapat menahan terobosan panas dari luar (Margaretha,
2000 dalam
Susanti dan Purba, 2008). Hal ini mengingat tempat berjualan
para pedagang yang tidak tetap dan tanpa terlindungi dari sengatan terik
matahari. Mengingat hal-hal diatas perlu diteliti dan dibuat kotak ikan berinsulasi
untuk pengawetan ikan pada suhu rendah. Kotak dapat dibuat dari kayu yang
diinsulasi dengan stereofoam dan fiberglass (Susanti dan Purba, 2008).
Pada saat ini kapal nelayan di Indonesia hanya
dilengkapi dengan tempat pendingin (cold storage) untuk mendinginkan ikan
sehingga kualitas kesegaran ikan masih bisa terjaga, namun hal tersebut masih kurang
maksimal karena sebagian besar nelayan masih menggunakan balok-balok es yang
biasanya dibeli dari darat kemudian dibawa kelaut untuk mendinginkan ikan hasil
tangkapannya. Namun balok-balok es tersebut mempunyai keterbatasan, karena
hanya singkat balok-balok es tersebut akan mencair. Dan biasanya terkadang para
nelayan menggunakan zat kimia seperti formalin untuk mengawetkan ikan, formalin
merupakan zat yang sangat berbahaya bagi tubuh manusia. Oleh sebab itu diperlukan
peralatan tambahan yang digunakan untuk sistem pendingin (Anshori dan Alam, 2007).
Cara yang umum dalam menangani permasalahan ini
adalah dengan sistem pendinginan. Pendinginan yang sering digunakan oleh para nelayan
tradisional menggunakan es basah (es balok). Pendinginan ikan dengan es balok
masih memiliki kelemahan. Selain cepat mencair, es balok juga memiliki berat
yang tinggi dan memerlukan ruang yang cukup yang berimbas pada berkurangnya
hasil tangkapan. Hal tersebut sesuai dengan penelitian sebelumnya, dimana
dengan cara ini pendinginan hanya bertahan hingga 2110 menit (35 jam 20 menit)
(Putra et al., 2013).
Cara lain yaitu dengan penggabungan beberapa
media antara es basah dan es kering. Penambahan es kering ini dapat memperlama
masa mencair es basah, sehingga waktu pendinginannya lebih lama. Penelitian
sebelumnya dengan cara ini terbukti memperlama hingga 3110 menit (51 jam 50 menit).
Seiring berkembangnya zaman dan semakin majunya teknologi, penambahan eutatic gel
pada es kering juga menjadi solusi. Eutatic gel merupakan hasil pencampuran
CaCl2 dengan pengental CMC. Hasil penelitian sebelumnya didapat lama
pendinginannya adalah 8090 menit atau setara 135 jam 1 menit dengan suhu
pendinginan hingga -2oC. Namun dengan cara-cara tersebut, suhu
pendinginan masih dapat naik sehingga diperlukan inovasi lain yang dapat
membantu permasalahan ini (Putra et al.,
2013).
Inovasi yang dapat dilakukan pada coolbox
tersebut adalah dengan memodifikasi ruang muatnya. Pemodifikasian ini dilakukan
dengan harapan menjaga temperatur dari es balok yang telah dikombinasikan
dengan es kering. Selain itu, juga agar waktu pendinginan ikan akan semakin
lama. Caranya dengan memodifikasi coolbox berisi ikan dan es balok dengan
insulasi vakum yang telah diteliti dalam tugas akhir sebelumnya yang waktu
pendinginannya 7260 menit (121 jam) dan suhu pendinginan hingga -2oC.
Dengan cara ini suhu pendinginan sampai -2oC saja (Putra et al., 2013).
Inovasi ini bisa dikembangkan dengan memasukkan
refrigerant berupa freon pada ruang insulasi coolbox beban pendingin berisi
ikan dan es basah. Sehingga dapat diketahui pengaruh dari teknologi insulasi
vakum ini terhadap temperatur dan waktu pendinginan coolbox. Memodifikasi coolbox
dengan insulasi freon ini diharapkan suhu pendinginan semakin kecil dan waktu
pendinginan semakin lama (Putra et al.,
2013).
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut.
· Bahan pangan (pertanian,
perikanan dan peternakan) memerlukan pendinginan untuk memperpanjang daya
simpan.
· Ikan
dan hasil-hasil perikanan lainnya merupakan highly perisable food sehingga memerlukan pendinginan.
· Pendinginan adalah penyimpanan
bahan pangan di atas
suhu pembekuan yaitu -2 sampai +10C.
· Pada prinsipnya pendinginan
adalah mendinginkan ikan secepat mungkin ke suhu serendah mungkin, tetapi tidak
sampai menjadi beku.
· Jenis pendinginan terdiri dari
pendinginan menggunakan es, air dingin dan udara dingin.
· Pendinginan dengan es umumnya ditujukan
untuk memasarkan ikan dalam keadaan basah dengan menurunkan suhu pusat daging
ikan sampai -1 sampai -2'C.
· Teknik chilling water ada
dua macam, yaitu dengan memasukkan ikan ke dalam palka yang telah diisi es
curah dan dicampur dengan air laut. Serta teknik yang kedua, yaitu penyimpanan
dalam palka yang diisi air laut dan didinginkan dengan menggunakan mesin serta
dijaga suhunya tetap pada 0oC.
· Teknik pendinginan menggunakan
menggunakan udara dingin, yaitu memanfaatkan ozon dalam memperpanjang daya simpan ikan segar.
· Perbedaan
pendinginan dan pembekuan terletak pada suhu yang digunakan dan kualitas ikan
yang diperoleh. Pendinginan dilakukan
pada temperatur 4°C sampai -1°C. Sedangkan pembekuan dilakukan pada suhu -18°C
sampai -30°C.
· Industri pendinginan memiliki
kendala dalam proses mendinginkan ikan karena penggunaan es yang tidak tahan
lama. Dan biasanya terkadang para nelayan menggunakan zat kimia seperti
formalin untuk mengawetkan ikan Oleh sebab itu diperlukan inovasi teknologi
yang tepat.
DAFTAR PUSTAKA
Anshori, M. I. dan B. Alam. 2007. Analisa desain dan performa kondensor pada sistem
refrigerasi absorpsi untuk kapal perikanan.
Astawan,
M. Penanganan dan pengolahan hasil perikanan di atas kapal.
Ibrahim, R. dan E. N. Dewi. 2008. Pendinginan ikan bandeng (Chanos chanos Forsk.) dengan es air laut serpihan
(sea water flake ice) dan analisis mutunya. Jurnal Saintek Perikanan. 3 (2): 27-32.
Ismanto,
D. T., T. F. Nugroho dan A. Baheramsyah. 2013. Desain sistem pendingin ruang
muat kapal ikan tradisional menggunakan es kering dengan penambahan campuran
silika gel. Jurnal Teknik Pomits. 2 (2): 177-180.
Kiryanto
dan H. Supriyanto. 2011. Analisa teknis
dan ekonomis perencanaan sistem pendingin
ruang palkah ikan dengan sistem kompresi uap menggunakan refrigeran R22 (monokloro difluro metana). Kapal. 8 (1): 6-15.
Koswara, S. 2009. Pengolahan pangan dengan suhu rendah. www.ebookpangan.com
Kurniawan,
M. A., A. Baheramsyah dan SoemartojoWA. 2014. Desain sistem spray RSW (Refrigerated Sea Water) untuk
ruang palka kapal purse seine 40 GT. Jurnal Teknik Pomits. 3 (1): 124-128.
Munandar, A., Nurjanah dan M. Nurilmala. 2009.
Kemunduran mutu Ikan nila (Oreochromis niloticus) pada
penyimpanan suhu rendah dengan
perlakuan cara kematian dan
penyiangan. Jurnal Teknologi Pengolahan
Hasil Perikanan Indonesia. 11 (2): 88-101.
Nurani,
T. W., R. P. S. Murdaniel dan M. H. Harahap. 2013. Upaya penanganan mutu ikan tuna segar hasil tangkapan kapal tuna longline
untuk tujuan ekspor. Marine Fisheries. 4 (2): 153-162.
Prayogi,
U. 2009. Penentuan perbandingan media
pendingin ikan untuk kapal ikan tradisional. Neptunus. 15 (2): 48-56.
Pusat Pengembangan dan
Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga
Kependidikan Pertanian. 2010. Penanganan dan penyimpanan hasil tangkap. Mata Diklat.
Puspitasari,
S. 2012. Pengawetan suhu rendah pada
ikan dan daging. Makalah. Program
Studi Ilmu Gizi, Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro.
Putra,
I. D., A. Baheramsyah dan B. Cahyono. 2013. Modifikasi coolbox dengan insulasi pendinginan freon pada ruang muat kapal ikan tradisional. Jurnal Teknik Sistem Perkapalan. 1 (1): 1-5.
Rahayoe,
S. 2004. Teknik pendinginan dan
pembekuan. Penataran Penyusunan RPKPS dan
Bahan Ajar. Universitas
Gadjah Mada.
Rahmahidayati, I., T. W. Agustini dan M. Nur. 2014.
Pengaruh penambahan ozon selama penyimpanan
dingin terhadap kadar asam lemak bebas Ikan nila merah (Oreochromis
niloticus). Jurnal Pengolahan dan
Bioteknologi Hasil Perikanan. 3 (3): 16-22.
Riyadi,
M., U. Budiarto dan A. W. B. Santosa. 2016. Analisa teknis dan ekonomis penggunaan sistem pendingin Refrigerated Sea
Water (RSW) pada kapal ikan tradisional. Jurnal Teknik Perkapalan. 4 (1): 101-112.
Sandra L. dan Rahwan. 2015. Penggunaan H2O2
pada proses pendinginan ikan layang (Decapterus sp.). Jurnal Ilmu
Perikanan. 6 (2): 99-108.
Sanger, G. 2010. Mutu
kesegaran ikan tongkol (Auxis tozord)
selama penyimpanan dingin. Warta WIPTEK.
35: 39-43.
Santoso,
H. 2013. Alat pendingin ikan portabel menggunakan energi listrik tenaga surya. Skripsi. Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Saptarini, K. 2009. Isolasi Salmonella spp.
pada sampel daging sapi di wilayah bogor serta uji ketahanannya terhadap proses
pendinginan dan pembekuan. Skripsi. Fakultas
Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Sayekti,
A., Ag. Suryandono dan M. P. Kurniawan. 2011. Evaluasi penanganan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) di tingkat
pedagang pesisir pantai melalui analisis kemunduran mutu fisik, pembiayaan, dan
perbandingan es pada kotak pendingin. Seminar Nasional: Reformasi Pertanian Terintegrasi Menuju Kedaulatan
Pangan.
Sihaloho,
P. T. E. dan A. H. Tambunan. 2005. Perkembangan
teknik refrlgerasl dan pemanfaatan hidrokarbon sebagai refrigeran untuk mesln pembeku. Review. Jurnal Keteknikan
Pertanian. 19 (2): 83-90.
Susanti,
M. T. dan P. Purba. 2008. Rancang bangun kotak penyimpan ikan berinsulasi untuk mempertahankan kualitas ikan
dengan proses pendinginan serta
aplikasinya pada ikan tongkol (Auxis thazard). Teknik. 29 (2): 143-148.
Oleh: Mery Betty Purba,
Jefri Nurman Faizi, Kholifatul Zahro, Melynda Dwi Puspita, Akhmad Gofur, Siti Nurulhuda,
Nurul Burhanul Fitroh, Arwin Adiwinata, Andi Thezart Rappe A, Faizatus Sholihah,
Arif Yusuf Julionarta, Muhammad Awwaluddin Hakim dan Arief Pandu Wahyuadi.
terimakasih,sngt bermanfaat, keren bngt
ReplyDelete