Skip to main content

Elasmobranchii

 

Teknik Pendinginan Produk Perikanan


teknik pendinginan produk perikanan

BAB I
PENDAHULUAN

1.1       Latar Belakang
Setelah meratifikasi Montreal Protocol pada tahun 1992 dan Kyoto Protocol pada tahun 1996, Indonesia juga tidak luput dari permasalahan global yang dihadapi oleh industri pendinginan dunia sebagai dampak dari kedua perjanjian internasional di atas. Dengan demikian, penelitian di bidang refrigeran dan pendinginan sangat penting dan bermanfaat dilakukan di Indonesia. Jenis refrigeran yang cocok diteliti kemungkinan pemakaiannya di lndonesia adalah refrigeran hidrokarbon, karena selain bersifat alami (natural) hidrokarbon juga tersedia sebagai sumber daya alam yang relatif besar. Penggunaan refrigeran hidrokarbon juga dapat menghemat energi bila dibanding refrigeran R12 (Maclaine dan Leonardi, 1997 dalam Sihaloho dan Tambunan, 2005). Aisbett dan Pham (1998) dalam Sihaloho dan Tambunan (2005) menyatakan bahwa penggunaan hidrokarbon sebagai refrigeran pengganti CFC dan HFC dapatmemberikan penghematan biaya yang signifikan untuk negara-negara di Asia Timur dan Asia Selatan, termasuk Indonesia.
Efek pendinginan kemungkinan besar telah diketahui sejak abad ke-4 karena saat itu Ibn Abi Usaibia, seorang penulis Arab, telah menuliskan efek pendinginan pada campuran air-garam di India. Meskipun demikian, perkembangan teknik pendinginan mulai mengalami kemajuan sejak abad ke-16 setelah Zimara (1530) dan Blas Villafranca (1 SO), masing-masing ahli fisika ltalia dan Spanyol mencatat penggunaan potasium nitrat pada pendinginan air di Padua dan Roma (Sihaloho dan Tambunan, 2005).
Perkembangan selanjutnya ditandai dengan penelitian mengenai refleksi yang disebabkan oleh panas dan dingin yang dilakukan oleh Robert Boyle (1627-1691), seorang filsuf dan ilmuwan Inggris, dan dilanjutkan oleh filsuf dan ilmuwan Rusia Mikhail Lomonossov (1711-1765). Penelitian di bidang termometri sebagai kelanjutan penelitian awal Galileo yang dilakukan oleh Isaac Newton (Inggris; 1642-1727), Guillaume Amontons (Prancis; 1663-1705), dan Rene de Reaumur (Prancis; 1683-1757) mememberipengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan teknik pendinginan. Penelitian tersebut akhirnya membawa ilmuwan Jerman yang bekerja di lnggris dan Belanda Daniel Fahrenheit (1686-1736) dan ilmuwan Swedia Anders Celsius (1701-1744) menemukan termometer. Pada tahun 1755, William Cullen (1710-1790) berhasil mendapatkan sejumlah kecil es dengan cara menguapkan air di dalam "labu uapV-dan menemukan bahwa penguapan ethyl ether selalu disertai oleh penurunan suhu. Hasil penelitian ini membawa Joseph Black (1728-1 799), seorang Skotlandia yang merupakan murid dan penerus Cullen, melakukan klarifikasi tentang istilah panas dan suhu dan dapat dianggap sebagai penemu kalorimetri (Sihaloho dan Tambunan, 2005)
Pada negara tropis yang masih sangat mengandalkan bidang pertanian dan perikanan seperti Indonesia, tentu saja refrigeran dan industri pendinginan mempunyai peranan yang sangat penting. Pendinginan dan pembekuan mempunyai peranan yang sangat penting dalam bidang pertanian serta perikanan. Pendinginan dan pembekuan digunakan untuk menjaga agar produk pertanian maupun perikanan yang mudah rusak tetap baik kualitasnya selama waktu tertentu sebelum produk tersebut akhirnya dikonsumsi. Penyimpanan dan transportasi bahan pangan, proses pengolahan makanan dan minuman, pembuatan es (ice making) merupakan beberapa contoh kegiatan yang memerlukan proses pendinginan dan pembekuan (Sihaloho dan Tambunan, 2005).

1.2    Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka dapat ditentukan rumusan masalah dalam makalah ini seperti berikut.
1.   Apa saja bidang kehidupan yang memanfaatkan pendinginan?
2.   Apa penyebab hasil perikanan perlu dilakukan pendinginan?
3.   Apa yang dimaksud pendinginan?
4.   Apa prinsip pendinginan?
5.   Apa saja jenis pendinginan?
6.   Bagaimana teknik pendinginan ikan menggunakan es?
7.   Bagaimana teknik pendinginan ikan menggunakan air dingin?
8.   Bagaimana teknik pendinginan ikan menggunakan udara dingin?
9.   Apa yang membedakan pendinginan dan pembekuan?
10.       Apa saja permasalahan, tantangan dan solusi yang dihadapi pada industri pendinginan?

1.3 Tujuan
Berdasarkan uraian rumusan masalah di atas maka dapat ditentukan tujuan dalam makalah ini seperti berikut.
1.   Mengetahui bidang kehidupan yang memanfaatkan pendinginan.
2.   Mengetahui penyebab hasil perikanan perlu dilakukan pendinginan.
3.   Mengetahui definisi pendinginan.
4.   Mengetahui prinsip pendinginan.
5.   Mengetahui jenis pendinginan.
6.   Memahami teknik pendinginan ikan menggunakan es.
7.   Memahami teknik pendinginan ikan menggunakan air dingin.
8.   Memahami teknik pendinginan ikan menggunakan udara dingin.
9.   Mengetahui perbedaan pendinginan dan pembekuan.
10.Mengetahui permasalahan, tantangan dan solusi yang dihadapi pada industri pendinginan.

  
BAB II
PEMBAHASAN

2.1    Bidang Kehidupan yang Memanfaatkan Pendinginan
Jenis bahan pangan yang dapat disimpan dingin dan dibekukan antara lain buah, sayuran, ikan segar, produk ikan, daging segar, produk daging susu dan roti. Saat ini teknologi pendinginan dan pembekuan telah berkembang dengan pesat, sehingga memungkinkan beragam jenis bahan pangan dapat disimpan dingin dan dibekukan (Rahayoe, 2004).

2.2   Penyebab Hasil Perikanan Perlu Dilakukan Pendinginan
Ikan dan hasil-hasil perikanan lainnya merupakan highly perisable food, maka nilai pasar hasil awetan dan olahannya ditentukan oleh derajat kesegaran dan daya awetnya (Hadiwiyoto, 1993 dalam Susanti dan Purba, 2008). Salah satu hal untuk mengatasi hal tersebut adalah metode pengawetan (Hudaya dan Darajad, 1982 dalam Susanti dan Purba, 2008). Salah satu faktor penentu kualitas ikan ialah kesegarannya. Pada produksi hasil laut perubahan kualitas dari segi rasa, bau, tekstur dan warna dapat terjadi akibat pertumbuhan bakteri. Perubahan kualitas tersebut kecepatannya tergantung dari kadar bakteri awal, kondisi penyimpanan, suhu, kelembaban dan tekanan atmosfir.
Menurut Susanti dan Purba (2008), produk hasil laut bersifat lebih mudah terdekomposisi dibandingkan produk berprotein tinggi lainnya. Hal disebabkan karena:
a.   Beberapa produk hasil laut mengandung kadar osmoregulator tinggi dalam bentuk non protein nitrogen seperti trimetil amin, urea, asam amino dan lain sebagainya yang merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri.
b.   Produksi hasil laut dipanen dari air yang dingin sehingga flora bakteri tidak mudah dihambat oleh perlakuan suhu dingin dibanding flora hewan atau tanaman.

2.3   Definisi Pendinginan
Pengawetan ikan dengan suhu rendah merupakan suatu proses pengambilan atau pemindahan panas dari tubuh ikan ke bahan lain. Ada pula yang mengatakan bahwa pendinginan adalah proses pengambilan panas dari suatu ruangan yang terbatas untuk menurunkan dan mempertahankan suhu di ruangan tersebut bersama isinya agar selalu lebih rendah dari pada suhu diluar ruangan. Kelebihan pengawetan ikan dengan pendinginan adalah sifat-sifat asli ikan tidak mengalami perubahan tekstur, rasa dan bau (Adawiyah, 2007 dalam Santoso, 2013).
Pendinginan adalah penyimpanan bahan pangan di atas suhu pembekuan yaitu -2 sampai +10C. Pendinginan yang biasa dilakukan sehari-hari dalam lernari es pada umumnya mencapai suhu 5-80C. Meskipun air murni membeku pada suhu O0C, tetapi beberapa makanan ada yang tidak membeku sampai suhu –20C atau di bawah, hal ini terutama disebabkan oleh pengaruh kandungan zat-zat di dalam makanan tersebut (Koswara, 2009).
Pendinginan yang diungkapkan Kepala Pusat Penyuluhan Kelautan dan Perikanan (2011) dalam Sandra dan Rahwan (2015) adalah suatu proses pemindahan panas dari tubuh ikan ke tubuh ikan yang lain. Pendinginan tersebut ada pula yang berpendapat bahwa suatu proses pengambilan panas dari suatu ruangan terbatas yang khusus untuk menurunkan dan mempertahankan suhu ruangan tersebut beserta isinya agar tetap lebih rendah dari suhu di luar ruangan.

2.4   Prinsip Pendinginan
Prinsip proses pendinginan dan pembekuan adalah mengurangi atau menginaktifkan enzim dan bakteri pembusuk dalam tubuh ikan (Sofyan, 1983 dalam Ismanto et al., 2013). Bahan-bahan yang dapat digunakan sebagai media pendingin untuk penanganan ikan diantaranya adalah es basah, es kering, air dingin, es ditambah garam, air laut yang didinginkan dengan es, air laut yang didinginkan secara mekanis dan udara dingin (Baheramsyah, 2007 dalam Ismanto et al., 2013). Penanganan hasil tangkapan ikan menggunakan kapal ikan tradisional biasanya menggunakan pendinginan dengan es basah atau es batu. Penggunaan es merupakan salah satu cara yang paling mudah dilakukan. Penggunaan es juga relatif murah dan mudah. Namun penggunaan es basah ini akan menyebabkan beban pada kapal lebih besar dan ruang muat untuk ikan menjadi berkurang. Dengan demikian ikan hasil tangkapan yang dapat dimuat dalam kapal menjadi lebih sedikit. Selain itu pendinginan dengan menggunakan es basah hanya dapat mempertahankan suhu rendah dalam waktu yang singkat. Menurut penelitian dari Aziz (2012) dalam Ismanto et al. (2013) penggunaan es basah untuk penanganan ikan mampu mempertahankan suhu hingga 200C selama 35 jam dengan suhu -10C dan berat ikan sebanyak 78 Kg (Kurniawan, 2011 dalam Ismanto et al., 2013).
Pada prinsipnya pendinginan adalah mendinginkan ikan secepat mungkin ke suhu serendah mungkin, tetapi tidak sampai menjadi beku. Pada umumnya, pendinginan tidak dapat mencegah pembusukan secara total, tetapi semakin dingin suhu ikan, semakin besar penurunan aktivitas bakteri dan enzim. Dengan demikian melalui pendinginan proses bakteriologi dan biokimia pada ikan hanya tertunda, tidak dihentikan. Untuk mendinginkan ikan, seharusnya ikan diselimuti oleh medium yang lebih dingin darinya, dapat berbentuk cair, padat, atau gas (Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Pertanian, 2010).

2.5   Jenis Pendinginan
Banyak cara untuk menurunkan suhu ikan segar. Cara paling sederhana adalah menutupi ikan dengan terpal atau karung basah (dengan menguapnya air pada terpal, suhu ikan akan turun). Cara lain, yaitu dengan pengesan (dalam keranjang berlapis daun pisang segar atau dalam cool box), perendaman dengan air atau air laut yang didinginkan (iced sea water atau refrigerated sea water = RSW) atau penyimpanan dalam kamar dingin (cool room) (Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Pertanian, 2010).
Menurut Kiryanto dan Supriyanto (2011) beberapa metode atau sistem pendingin ikan di kapal adalah:
·      Pendingin Ikan dengan es atau pengesan (icing).
·      Pendingin ikan dengan udara dingin (chilling in cold air).
·      Pendinginan ikan dengan es air laut
·      Pendinginan ikan dengan air yang didinginkan (chilling in water)
·      Pendinginan ikan dengan es kering
·      Pendingin ikan dengan teknologi refrigerasi
Menurut Astawan terdapat empat teknik pendinginan yang umum diberikan pada hasil perikanan, yaitu:
·  Peniupan udara dingin, metode ini tidak dianjurkan karena ikan akan mengalami dehidrasi/pengeringan.
·           Introduksi es, metode ini paling baik untuk diterapkan.
·           Larutan yang didinginkan.
·           Perpaduan antara pemberian es dan pemberian larutan yang didinginkan.

2.6   Teknik Pendinginan Ikan Menggunakan Es
Pendinginan dengan es umumnya ditujukan untuk memasarkan ikan dalam keadaan basah dengan menurunkan suhu pusat daging ikan sampai -1 sampai -2'C. Fungsi dari es untuk mempertahankan ikan tetap segar, mencegah pembusukan sehingga nilai gizi dapat dipertahankan. Disamping itu lelehan es mencuci lendir, sisa darah bersama bakteri dan kotoran lain akan terhanyut (Sanger, 2010).

2.6.1 Jenis Es
2.6.1.1 Es Basah dan Es Kering
Metode pendinginan selain dengan menggunakan es basah, juga dapat ditambah dengan menggunakan campuran es basah dan es kering. Aziz (2012) dalam Ismanto et al. (2013) juga menyebutkan bahwa penggunaan campuran es basah dan es kering dapat mempertahankan suhu hingga 200C hingga 52 jam yang mencapai suhu terendah sampai -20C dengan berat ikan sebanyak 95kg. Salah satu bentuk metode pendingin yang lebih efektif dibandingkan dengan metode yang telah ada adalah metode dengan menggunakan es basah, es kering, serta ditambah dengan gel. Ardianto (2012) dalam Ismanto et al. (2013) menyatakan bahwa penggunaan es basah, es kering dan gel dengan campuran CaCl2 mampu mempertahankan suhu rendah hingga -20C dan mencapai suhu 200C setelah 122 jam (Maulidy, 2011 dalam Ismanto et al., 2013). Gel cold ice merupakan bahan yang mampu menurunkan suhu. Bahan penyusun cold ice dapat berupa propylene glycol yang dicampur dengan air. Penggunaan propylene glycol dalam sistem pendingin ikan ini tidak menimbulkan masalah lingkungan, karena propylene glycol bersifat biodegradable sehingga mudah terurai. Propylene glycol juga tidak bersifat toksik atau racun terhadap organisme perairan terutama hasil perikanan (Maulidy, 2011 dalam Ismanto et al., 2013). Selain itu propylene glycol dapat menurunkan suhu hingga mencapai -510C atau -600F sehingga bahan ini digunakan sebagai bahan pendingin.

2.6.1.2 Es Air Tawar dan Air Laut
Secara operational dalam penangkapan, penanganan dan pengolahan ikan maka air yang didinginkan dapat didefinisikan sebagai jenis air tawar atau air asin yang mempunyai mutu kesehatan yang diizinkan yang didinginkan dengan cara penambahan es atau direfrigersi secara mekanik. Penurunan suhu daging ikan yang didinginkan dengan cara pendinginan air laut yang dicampur es (ALDI) adalah lebih cepat daripada pendinginan dengan es maupun pendinginan dengan udara dingin. Penggunaan ALDI (brine) dilakukan dengan cara mencelupkan atau menyemprot dengan brine dingin pada tumpukan ikan (Sanger, 2010).
Penurunan suhu daging ikan dengan cara pendinginan dalam air laut yang dicampur dengan es adalah lebih cepat dari pendinginan dengan es maupun pendinginan dengan udara dingin. Pendinginan suhu tubuh ikan dengan menggunakan ALDI (Brine) sering dilakukan dengan cara mencelupkan atau penyemprotan dengan brine dingin pada tumpukan ikan. Garam akan menghambat terjadinya autolisis maupun pembusukan, dimana garam sifat tekanan osmotik yang tinggi yang menyebabkan plasmolisis pada dinding sel bakteri. Disamping itu garcm juga menghambat berubahnya protein oleh adanya aktifitas enzim (Sanger, 2010). Es batu dari air tawar adalah bahan pendingin ikan yang paling banyak dipakai di banyak negara, karena es mendinginkan dengan cepat tanpa banyak mempengaruhi keadaan ikan, dengan biaya yang relatif lebih murah (Murniyati dan Sunarman, 2000 dalam Ibrahim dan Dewi, 2008).
Menurut hasil penelitian Mulyanto (2005) dalam Ibrahim dan Dewi (2008), ikan Tuna yang disimpan dalam es air laut selama 5 hari mempunyai mutu yang tidak berbeda dengan ikan Tuna yang disimpan dalam es air tawar, baik dari segi jumlah koloni bakteri maupun nilai organoleptik. Pada proses penyimpanan tersebut dilakukan penambahan es setiap 24 jam sekali pada masing-masing perlakuan. Dari pustaka belum diperoleh publikasi tentang sifat-sifat es air laut serta perbandingan antara ikan dan es air laut yang sesuai. Berdasarkan hal tersebut perlu diadakan penelitian tentang pendinginan ikan dengan es air laut.
Es biasa atau es air tawar (“fresh water ice”) mempunyai titik cair 0oC, sedangkan es air laut (“sea water ice”) mempunyai kadar garam 2,5% hingga 3% dan titik cair (-2oC) (Ilyas dan Junizal, 1971 dalam Ibrahim dan Dewi, 2008). Es air laut juga mempunyai sifat anomali, yaitu tidak mempunyai titik cair yang tepat dikarenakan kadar garam yang terkandung dalam air laut. Berbeda dengan es air tawar yang selalu mencair pada titik 0oC (Ibrahim dan Dewi, 2008).

2.6.1.3 Es Ditambah Garam
Kemampuan media pendingin es ditambah garam dalam mempercepat penurunan suhu ikan dan menghasilkan suhu akhir ikan yang rendah berdampak positif terhadap upaya mempertahankan kesegaran ikan. Rendahnya suhu dan kecepatan penurunan suhu ikan dapat menghambat proses biokimia dan pertumbuhan bakteri pembusuk (Junianto, 2003 dalam Prayogi, 2009). Menurut Irawan (1995) dalam Prayogi (2009), pendinginan ikan dengan media es ditambah garam dapat menurunkan suhu mendekati titik beku ikan sekitar -1,2°C. Namun demikian kecepatan pendinginan sangat tergantung dari konduktivitas termal dari media pendingin (Holman,1996 dalam Prayogi, 2009).
Penambahan garam pada air yang dibekukan dapat menurunkan temperatur coolbox ikan di bwah 0oC. Semakin tinggi konsentrasi garam dalam air yang dibekukan maka temperatur semakin rendah dan semakin tinggi konsentrasi garam maka temperaturnya akan cepat meningkat. Pada percobaan yang telah dilakukan temperatur terendah untuk percobaan tanpa beban dengan konsentrasi garam 3% mencapai -2oC. penambahan garam ini selain dapat menurunkan temperatur juga dapat menghambat pertumbuhan mikrobia karena garam mempunyai daya penghambat racun yang tinggi dan dapat memblokir sistem respirasinya (Prayogi, 2009).
Ditinjau dari mutu ikan media pendingin yang paling baik adalah es air + garam dengan kandungan 99% +1% karena kandungan protein dalam tubuh ikan paling tinggi yaitu sebesar 11,8% dan temperaturnya masih dalam batas pendinginan yang baik. Penambahan garam pada media pendingin ikan dapat menurunkan temperatur coolbox dibawah 0°C, semakin tinggi konsetrasi garam dalam air maka temperatur coolbox akan semakin rendah dan semakin tinggi konsentrasi garam dalam air maka peningkatan temperatur coolbox akan semakin cepat. Temperatur terendah dari air tawar adalah 0°C dan akan konstan sampai es mencair semua. Tetapi bila dibebani dengan ikan, maka suhu terendah adalah 1°C. Air laut yang dibekukan suhu terendah adalah -30C dan temperaturnya naik dengan cepat sehingga suhu dalam coolbox tidak stabil (Prayogi, 2009).

2.6.2 Cara Pendinginan Menggunakan Es
Menurut Astawan cara penyimpanan ikan di dalam palka adalah sebagai berikut.
·   Shelfing. Dilakukan untuk ikan-ikan berukuran besar. Ikan yang satu dengan yang lain harus dibatasi dengan es, dan tidak bersentuhan dengan badan ikan yang lain. Ikan disusun dalam rak-rak yang hanya menampung satu lapis ikan saja.
·  Bulking. Tidak dianjurkan, biasanya untuk ikan-ikan yang mempunyai harga ekonomi rendah. Ikan dengan es batu disusun berlapis-lapis dalam sebuah wadah/rak.
·    Boxing. Di dalam palka kapal, disediakan peti-peti penyimpanan ikan, misalnya satu peti hanya untuk diisi 1-2 ekor ikan yang sudah dicampur dengan es curai.

2.6.3 Jumlah Es yang Diperlukan
Menurut Murniyati dan Sunarman (2000) dalam Ibrahim dan Dewi (2008), hukum kekekalan energi untuk menghitung jumlah es yang dibutuhkan guna mendinginkan ikan pada proses yang melibatkan perubahan suhu yaitu: Q = m x Δt x c, dimana Q = beban penerimaan panas yang diterima es dari tubuh ikan, m = berat ikan, Δt = selisih antara suhu thermal ikan dengan suhu es dan c = panas spesifik ikan. Dari sifat es air laut dan rumus tersebut diduga proses pendinginan ikan membutuhkan jumlah es air laut yang lebih banyak dibandingkan dengan menggunakan es air tawar. Perbandingan antara ikan dan es harus benar-benar diperhatikan, karena perbandingan yang tidak optimal yaitu jumlah ikan yang terlalu banyak dan es yang terlalu sedikit dapat mengakibatkan suhu di dalam wadah kurang optimal yang menyebabkan ikan cepat mengalami kebusukan (Ilyas, 1988 dalam Ibrahim dan Dewi, 2008).
Perbandingan ideal antara jumlah es dengan ikan untuk mempertahankan suhunya adalah 1:1. Penggunaan jumlah es tersebut akan lebih cepat dalam menurunkan suhu ikan sehingga mutu ikan akan lebih baik (Yunizal dan Wibowo, 1998 dalam Munandar et al., 2009).

2.6.4 Kelebihan dan Kekurangan
Proses penanganan ikan dengan pendinginan merupakan metode yang paling efektif serta banyak dilakukan. Penggunaan es untuk mendinginkan ikan telah dianggap sebagai metode paling efektif untuk mempertahankan kesegaran ikan, selain itu juga tidak menimbulkan perubahan fisik pada ikan (Ilyas, 1983 dalam Sayekti et al., 2011). Pemberian es juga harus sesuai dengan kondisi ikan. Selama ini perlakuan yang dilakukan di warung makan dan tempat penjualan ikan belum menggunakan patokan atau standar, yang penting pemakaian es banyak dan menutupi seluruh bagian ikan. Padahal kecukupan pemberian es merupakan hal yang penting untuk mempertahankan kesegaran ikan. Pemberian es yang kurang maupun berlebihan akan merusak tekstur dan menyebabkan kebusukan pada ikan (Sayekti et al., 2011).
Menurut Astawan metode pendinginan dengan pemberian es dianggap paling menguntungkan, karena:
·      Dapat menurunkan suhu tubuh ikan dengan cepat.
·      Biaya lebih murah.
·     Tidak merusak fisik ikan secara berlebihan.
·      Membersihkan kotoran-kotoran ikan.

2.7   Teknik Pendinginan Ikan Menggunakan Air Dingin
Penyimpanan ikan di dalam palka menggunakan teknik penyimpanan dengan menggunakan air yang didinginkan (chilling water). Teknik chilling water ada dua macam. Teknik pertama adalah, dengan memasukkan ikan ke dalam palka yang telah diisi es curah dan dicampur dengan air laut. Teknik yang kedua, yaitu penyimpanan dalam palka yang diisi air laut dan didinginkan dengan menggunakan mesin serta dijaga suhunya tetap pada 0oC. Teknik ini disebut juga ALDI (air laut yang didinginkan) atau RSW (refrigerated sea water). Pada teknik ALDI/RSW, kontrol suhu harus terus dila-kukan, ikan dijaga tidak boleh sampai membeku. Teknik penanganan ikan dengan sistem ALDI/RSW mulai banyak digunakan oleh kapal-kapal tuna longline pada beberapa tahun ter-akhir, dengan semakin lamanya trip operasi pe-nangkapan ikan dan semakin jauhnya fishing ground yang ditempuh. Teknik ALDI/RSW membutuhkan biaya tambahan bagi operasional kapal longline, namun memberikan jaminan terhadap kualitas ikan dengan lebih baik (Nurani et al., 2013).
Penggunaan hydrogen peroksida (H2O2) yang dicampur pada proses pendinginan ikan layang ini melalui proses pengenceran terlebih dahulu. Konsentrasi air yang digunakan oleh pemilik usaha dagang untuk mengencerkan hydrogen peroksida (H2O2) adalah 3 liter air dalam 1 kuintal ikan layang sedangkan dosis atau takaran hydrogen peroksida yang digunakan pada proses pengenceran tersebut adalah 50 ml. Namun pemakaian hydrogen peroksida ini hanya digunakan ketika ikan yang akan diperjualbelikan keadaan fisiknya memang kurang stabil seperti halnya diakibatkan penangkapan ikan yang kurang baik yang dilakukan oleh para nelayan sehingga ikan terlihat lembek dan lain hal. Jika ikan layang tersebut kondisi fisiknya masih baik dan segar maka untuk memelihara agar ikan tetap segar cukup menggunakan es atau penambahan garam, tanpa menggunakan atau mencampurkan hydrogen peroksida pada ikan layang tersebut (Sandra dan Rahwan, 2015).
Seiring dengan perkembangan teknologi, muncul suatu sistem pendingin RSW (Refrigerated Sea Water). Yang mana pada sistem tesebut memang sangat efektif dalam penggunaannya. Tidak perlu mambawa es batu dalam jumlah besar dari darat, melainkan memanfaatkan pendinginan yang langsung dipompa dari air laut. Sistem tersebut memang sangat efektif bila digunakan pada ikan yang berdimensi besar seperti tuna, akan tetapi pada ikan yang dimensinya lebih kecil akan timbul permasalahan baru yaitu rasa ikan yang sangat asin. Hal tersebut sangat-sangatlah merugikan bagi konsumen, yang mana sudah berusaha membeli tapi rasa yang diharapkan kurang maksimal dikarenakan rasa yang sangat asin. Melihat pada peristiwa tersebut, dapat dikembangkan contoh inovasi yang dapat meminimalisir rasa asin yang timbul pada sistem pendinginan ikan dengan RSW. Yaitu dengan sistem RSW Spray. Sistem tersebut diharapkan mengurangi rasa asin yang berlebihan yang disebabkan oleh sistem pendinginan menggunakan air laut (Kurniawan et al., 2014).
refrigerated sea water

Gambar 1. Desain Sistem Spray RSW (Refrigerated Sea Water)
(Sumber: Kurniawan et al., 2014)


Refrigerator Sea Water (RSW) adalah sebuah teknologi penanganan hasil tangkap yang dirancang khusus, dipasang sebagai tempat menampung ikan /palka kapal sehingga ikan hasil tangkapan khususnya jenis ikan tertentu yang mempunyai nilai ekonomis antara lain tengiri, tongkol, remang, kakap dan lain-lain dapat dipertahankan kualitasnya. Sistem RSW juga dapat diartikan sebagai suatu system pendingin dengan menggunakan air laut untuk menyediakan air laut dingin dengan menggunakan sebuah mesin mechanical refrigeration (Riyadi et al., 2016). Menurut Ilyas (1988) dalam Riyadi et al. (2016), sistem RSW ini mempunyai beberapa keuntungan diantaranya adalah:
·     Dapat memperpanjang tingkat kesegaran ikan/waktu penyimpanan lebih lama.
·    Menghindari adanya kerusakan fisik karena ikan tidak mendapat tekanan dari ikan yang ada di atasnya atau dari es sebagaimana menggunakan es.
·     Penurunan suhu akan berlangsung cepat karena seluruh ikan kontak dengan pendingin/proses pendinginan cepat.
·  Prosedur penanganan ikan lebih mudah dan cepat, baik dalam pengisian/ pembongkaran sehingga akan menghemat waktu dan tenaga kerja
·      Mutu ikan yang dihasilkan lebih bagus fisiknya.

2.8   Teknik Pendinginan Ikan Menggunakan Udara Dingin
Penggunaan ozon dalam memperpanjang daya simpan ikan segar merupakan salah satu teknologi pengawetan pangan yang menjanjikan. Disamping itu, ozon tidak menghasilkan residu beracun dalam lingkungan setelah perlakuannya (Pastoriza et al., 2008 dalam Rahmahidayati et al., 2014) dan telah dinyatakan aman oleh panel ahli untuk digunakan dalam pengolahan makanan. Sejak itu ozon telah digunakan dalam beberapa penelitian untuk mengurangi kontaminasi pada ikan segar yang baru saja ditangkap, produk peternakan, daging dan susu (Manousaridis et al., 2005 dalam Rahmahidayati et al., 2014). Hal tersebut juga telah diterapkan pada ikan Hake (Pastoriza et al., 2008 dalam Rahmahidayati et al., 2014) dan Shucked Mussels untuk mempertahankan kualitasnya selama penyimpanan dingin (Manousaridis et al., 2005). Penggunaannya pada beberapa ikan komersial juga dikombinasikan dengan es slurry. Finfish dan Albacore yang disimpan dalam sistem tersebut memiliki kualitas lebih baik dibandingkan metode pendinginan lain. Kombinasi ini merupakan salah satu sistem penyimpanan dingin baru yang dapat memperlambat mekanisme hidrolisis dan oksidasi lemak pada ikan Farmed Turbot (Campos et al., 2006 dalam Rahmahidayati et al., 2014). Penggunaan ozon dengan kombinasi es slurry juga telah dimanfaatkan untuk memperpanjang daya simpan ikan Nila Merah (Nur et al., 2013 dalam Rahmahidayati et al., 2014).

2.8.1 Prinsip Kerja Sistem Udara Dingin
Cara kerja mesin pendingin ini dapat dijelaskan sebagai berikut, kompresor yang ada pada sistem pendingin dipergunakan sebagai alat untuk memampatkan fluida kerja (refrigeran), jadi refrigeran yang masuk kedalam kompresor oleh kompresor tersebut akan dimampatkan sehingga tekanan dan temperaturnya akan naik kemudian dialirkan ke kondensor.
siklus kerja sistem pendingin

Gambar 2. Siklus kerja sistem pendingin dan komponen utamanya
(Sumber: Kiryanto dan Supriyanto, 2011)


2.8.2 Diagram Blok Rancangan Mesin Pendingin
rancangan mesin pendingin

Gambar 3. Diagram blok rancangan mesin pendingin
(Sumber: Kiryanto dan Supriyanto, 2011)


Keterangan:
·   Kompresor difungsikan untuk menghisap uap refrigeran yang bertekanan rendah dan dalam keadaan dingin dari evaporator dan memampatkannya sehingga mengkompresinya menjadi uap bertekanan tinggi sehingga uap akan tersirkulasi.
·  Jika minyak pelumas kompresor terlalu banyak ikut dalam aliran uap refrigeran keluar dari kompresor, maka dalam waktu singkat kompresor akan kekurangan minyak pelumas, sehingga pelumasannya kurang baik. Di samping itu, miyak pelumas tersebut akan masuk ke dalam kondensor dan kemudian ke evaporator, sehingga akan mengganggu proses perpindahan kalornya. Untuk mencegah terjadinya ganguan tersebut maka perlu di pasang pemisah minyak pelumas (oil separator) di antara kompresor dan kondensor. Dalam hal tersebut, pemisah minyak pelumas akan memisahkan minyak pelumas dari refrigeran dan mengalirkannya kembali kedalam ruang engkol.
·      Kondensor berfungsi untuk mengembunkan refrigeran.
·   Internal heat exchanger berfungsi untuk menurunkan suhu refrigeran yang keluar dari kondensor agar lebih dingin. Pendinginan ini menggunakan refrigeran yang bertemperatur rendah yang keluar dari evaporator.
·  Katup ekspansi berfungsi untuk mengatur pemasukan refrigeran yang akan masuk ke evaporator sesuai dengan beban pendinginan yang harus dilayani evaporator. Pada katup ekspansi tekanan dan temperatur refrigeran diturunkan.
·   Terjadi perpindahan kalor pada heat exchanger dari refrigeran yang keluar dari kondensor ke refrigeran yang keluar dari evaporator menyebabkan refrigeran yang keluar dari evaporator akan lebih panas. Uap yang menuju kompresor yang lebih panas dapat menyebabkan partikel cairan yang mungkin ikut terbawa akan menguap sehingga akan membantu kerja kompresor.
  
2.8.3 Perbandingan Metode Pendinginan Palka Ikan
perbandingan metode pendinginan

Gambar 4. Perbandingan metode pendinginan palka ikan
(Sumber: Kiryanto dan Supriyanto, 2011)


2.9    Perbedaan Pendinginan dan Pembekuan
Pendinginan adalah proses pengambilan panas dari suatu benda sehingga suhunya akan menjadi lebih rendah dari sekelilingnya. Bila medium pendingin mengadakan kontak dengan bahan pangan maka terjadilah pemindahan panas (energi) dari bahan pangan tersebut ke medium pendingin tadi sampai keduanya mempunyai suhu yang sama atau hampir sama. Sedangkan pembekuan adalah proses penurunan suhu bahan sampai suhu di bawah titik beku atau air di dalam bahan berubah menjadi es. Pembekuan merupakan proses yang kompleks akibat adanya bahan terlarut yang mengakibatkan penurunan titik beku dan pengambilan panas laten yang gayut dengan suhu (Rahayoe, 2004).
Pendinginan dilakukan pada temperatur 4°C sampai -1°C. Dengan menggunakan cara ini pertumbuhan mikroorganisme akan terhambat sehingga kesegaran ikan dapat dipertahankan untuk beberapa waktu yang singkat. Sedangkan pembekuan dilakukan pada suhu -18°C sampai -30°C. Dengan disimpan pada suhu serendah itu, pertumbuhan mikroorganisme akan benar-benar dapat terhenti dan ikan dapat disimpan dalam jangka waktu yang lebih lama (Puspitasari, 2012).
Pendinginan merupakan metode pengawetan pangan (food preservation) yang paling banyak digunakan. Pendinginan dilakukan dengan tujuan untuk menghambat terjadinya proses kerusakan yang menyebabkan penurunan mutu pada bahan pangan. Pendinginan akan dapat mempertahankan kesegaran serta dapat memperpanjang masa simpan suatu bahan pangan (Desrosier dan Desrosier, 1977 dalam Saptarini, 2009). Pembekuan dalam teknologi makanan adalah serangkaian proses penggunaan suhu rendah di bawah titik beku untuk mengolah atau mengawetkan bahan makanan. Secara mikrobiologis, pembekuan dimaksudkan agar aktivitas metabolisme mikroorganisme pada makanan dapat diperlambat atau dihentikan sama sekali. Seperti diketahui aktivitas metabolisme organisme merupakan reaksi yang dikatalisis oleh enzim-enzim dan kecepatan reaksi ini sangat dipengaruhi oleh suhu. Bila suhu meningkat, kecepatan reaksi akan meningkat dan bila suhu menurun, kecepatan reaksi menurun pula. Pada sistem biologi, peningkatan suhu sebesar 10°C pada tingkat yang tepat akan meningkatkan kecepatan reaksi sebesar dua kali. Demikian pula sebaliknya, setiap penurunan suhu sebesar 10°C mengakibatkan penurunan kecepatan reaksi sebesar dua kali. Penurunan suhu sampai taraf tertentu dapat menyebabkan terhentinya metabolisme mikroorganisme, yang selanjutnya berakibat kerusakan atau kematian sel (Fennema et al., 1976 dalam Saptarini, 2009).

2.10 Permasalahan, Tantangan dan Solusi Untuk Industri Pendinginan
Pendinginan atau chilling ikan secara sederhana murah serta praktis dapat dilakukan dengan menggunakan es saja. Hanya penerapannya sering tidak efisien. Faktor penyebabnya antara lain suhu udara yang panas di daerah tropis seperti Indonesia dapat mengakibatkan es cepat mencair (Moeljanto, 1982 dalam Susanti dan Purba, 2008). Untuk mempertahankan ikan yang telah didinginkan agar suhunya tetap rendah, perlu suatu wadah yang dapat menahan terobosan panas dari luar (Margaretha, 2000 dalam Susanti dan Purba, 2008). Hal ini mengingat tempat berjualan para pedagang yang tidak tetap dan tanpa terlindungi dari sengatan terik matahari. Mengingat hal-hal diatas perlu diteliti dan dibuat kotak ikan berinsulasi untuk pengawetan ikan pada suhu rendah. Kotak dapat dibuat dari kayu yang diinsulasi dengan stereofoam dan fiberglass (Susanti dan Purba, 2008).
Pada saat ini kapal nelayan di Indonesia hanya dilengkapi dengan tempat pendingin (cold storage) untuk mendinginkan ikan sehingga kualitas kesegaran ikan masih bisa terjaga, namun hal tersebut masih kurang maksimal karena sebagian besar nelayan masih menggunakan balok-balok es yang biasanya dibeli dari darat kemudian dibawa kelaut untuk mendinginkan ikan hasil tangkapannya. Namun balok-balok es tersebut mempunyai keterbatasan, karena hanya singkat balok-balok es tersebut akan mencair. Dan biasanya terkadang para nelayan menggunakan zat kimia seperti formalin untuk mengawetkan ikan, formalin merupakan zat yang sangat berbahaya bagi tubuh manusia. Oleh sebab itu diperlukan peralatan tambahan yang digunakan untuk sistem pendingin (Anshori dan Alam, 2007).
Cara yang umum dalam menangani permasalahan ini adalah dengan sistem pendinginan. Pendinginan yang sering digunakan oleh para nelayan tradisional menggunakan es basah (es balok). Pendinginan ikan dengan es balok masih memiliki kelemahan. Selain cepat mencair, es balok juga memiliki berat yang tinggi dan memerlukan ruang yang cukup yang berimbas pada berkurangnya hasil tangkapan. Hal tersebut sesuai dengan penelitian sebelumnya, dimana dengan cara ini pendinginan hanya bertahan hingga 2110 menit (35 jam 20 menit) (Putra et al., 2013).
Cara lain yaitu dengan penggabungan beberapa media antara es basah dan es kering. Penambahan es kering ini dapat memperlama masa mencair es basah, sehingga waktu pendinginannya lebih lama. Penelitian sebelumnya dengan cara ini terbukti memperlama hingga 3110 menit (51 jam 50 menit). Seiring berkembangnya zaman dan semakin majunya teknologi, penambahan eutatic gel pada es kering juga menjadi solusi. Eutatic gel merupakan hasil pencampuran CaCl2 dengan pengental CMC. Hasil penelitian sebelumnya didapat lama pendinginannya adalah 8090 menit atau setara 135 jam 1 menit dengan suhu pendinginan hingga -2oC. Namun dengan cara-cara tersebut, suhu pendinginan masih dapat naik sehingga diperlukan inovasi lain yang dapat membantu permasalahan ini (Putra et al., 2013).
Inovasi yang dapat dilakukan pada coolbox tersebut adalah dengan memodifikasi ruang muatnya. Pemodifikasian ini dilakukan dengan harapan menjaga temperatur dari es balok yang telah dikombinasikan dengan es kering. Selain itu, juga agar waktu pendinginan ikan akan semakin lama. Caranya dengan memodifikasi coolbox berisi ikan dan es balok dengan insulasi vakum yang telah diteliti dalam tugas akhir sebelumnya yang waktu pendinginannya 7260 menit (121 jam) dan suhu pendinginan hingga -2oC. Dengan cara ini suhu pendinginan sampai -2oC saja (Putra et al., 2013).
Inovasi ini bisa dikembangkan dengan memasukkan refrigerant berupa freon pada ruang insulasi coolbox beban pendingin berisi ikan dan es basah. Sehingga dapat diketahui pengaruh dari teknologi insulasi vakum ini terhadap temperatur dan waktu pendinginan coolbox. Memodifikasi coolbox dengan insulasi freon ini diharapkan suhu pendinginan semakin kecil dan waktu pendinginan semakin lama (Putra et al., 2013).


BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
       Dari pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut.
· Bahan pangan (pertanian, perikanan dan peternakan) memerlukan pendinginan untuk memperpanjang daya simpan.
·  Ikan dan hasil-hasil perikanan lainnya merupakan highly perisable food sehingga memerlukan pendinginan.
·   Pendinginan adalah penyimpanan bahan pangan di atas suhu pembekuan yaitu -2 sampai +10C.
·  Pada prinsipnya pendinginan adalah mendinginkan ikan secepat mungkin ke suhu serendah mungkin, tetapi tidak sampai menjadi beku.
·    Jenis pendinginan terdiri dari pendinginan menggunakan es, air dingin dan udara dingin.
·  Pendinginan dengan es umumnya ditujukan untuk memasarkan ikan dalam keadaan basah dengan menurunkan suhu pusat daging ikan sampai -1 sampai -2'C.
·   Teknik chilling water ada dua macam, yaitu dengan memasukkan ikan ke dalam palka yang telah diisi es curah dan dicampur dengan air laut. Serta teknik yang kedua, yaitu penyimpanan dalam palka yang diisi air laut dan didinginkan dengan menggunakan mesin serta dijaga suhunya tetap pada 0oC.
·    Teknik pendinginan menggunakan menggunakan udara dingin, yaitu memanfaatkan ozon dalam memperpanjang daya simpan ikan segar.
·    Perbedaan pendinginan dan pembekuan terletak pada suhu yang digunakan dan kualitas ikan yang diperoleh. Pendinginan dilakukan pada temperatur 4°C sampai -1°C. Sedangkan pembekuan dilakukan pada suhu -18°C sampai -30°C.
·     Industri pendinginan memiliki kendala dalam proses mendinginkan ikan karena penggunaan es yang tidak tahan lama. Dan biasanya terkadang para nelayan menggunakan zat kimia seperti formalin untuk mengawetkan ikan Oleh sebab itu diperlukan inovasi teknologi yang tepat.


DAFTAR PUSTAKA

Anshori, M. I. dan B. Alam. 2007. Analisa desain dan performa kondensor pada sistem refrigerasi absorpsi untuk kapal perikanan.
Astawan, M. Penanganan dan pengolahan hasil perikanan di atas kapal.
Ibrahim, R. dan E. N. Dewi. 2008. Pendinginan ikan bandeng (Chanos chanos Forsk.) dengan es air laut serpihan (sea water flake ice) dan analisis mutunya. Jurnal Saintek Perikanan. 3 (2): 27-32.
Ismanto, D. T., T. F. Nugroho dan A. Baheramsyah. 2013. Desain sistem pendingin ruang muat kapal ikan tradisional menggunakan es kering dengan penambahan campuran silika gel. Jurnal Teknik Pomits. 2 (2): 177-180.
Kiryanto dan H. Supriyanto. 2011. Analisa teknis dan ekonomis perencanaan sistem pendingin ruang palkah ikan dengan sistem kompresi uap menggunakan refrigeran R22 (monokloro difluro metana). Kapal. 8 (1): 6-15.
Koswara, S. 2009. Pengolahan pangan dengan suhu rendah. www.ebookpangan.com
Kurniawan, M. A., A. Baheramsyah dan SoemartojoWA. 2014. Desain sistem spray RSW (Refrigerated Sea Water) untuk ruang palka kapal purse seine 40 GT. Jurnal Teknik Pomits. 3 (1): 124-128.
Munandar, A., Nurjanah dan M. Nurilmala. 2009. Kemunduran mutu Ikan nila (Oreochromis niloticus) pada penyimpanan suhu rendah dengan perlakuan cara kematian dan penyiangan. Jurnal Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia. 11 (2): 88-101.
Nurani, T. W., R. P. S. Murdaniel dan M. H. Harahap. 2013. Upaya penanganan mutu ikan tuna segar hasil tangkapan kapal tuna longline untuk tujuan ekspor. Marine Fisheries. 4 (2): 153-162.
Prayogi, U. 2009. Penentuan perbandingan media pendingin ikan untuk kapal ikan tradisional. Neptunus. 15 (2): 48-56.
Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Pertanian. 2010. Penanganan dan penyimpanan hasil tangkap. Mata Diklat.
Puspitasari, S. 2012. Pengawetan suhu rendah pada ikan dan daging. Makalah. Program Studi Ilmu Gizi, Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro.
Putra, I. D., A. Baheramsyah dan B. Cahyono. 2013. Modifikasi coolbox dengan insulasi pendinginan freon pada ruang muat kapal ikan tradisional. Jurnal Teknik Sistem Perkapalan. 1 (1): 1-5.
Rahayoe, S. 2004. Teknik pendinginan dan pembekuan. Penataran Penyusunan RPKPS dan Bahan Ajar. Universitas Gadjah Mada.
Rahmahidayati, I., T. W. Agustini dan M. Nur. 2014.  Pengaruh penambahan ozon selama penyimpanan dingin terhadap kadar asam lemak bebas Ikan nila merah (Oreochromis niloticus). Jurnal Pengolahan dan Bioteknologi Hasil Perikanan. 3 (3): 16-22.
Riyadi, M., U. Budiarto dan A. W. B. Santosa. 2016. Analisa teknis dan ekonomis penggunaan sistem pendingin Refrigerated Sea Water (RSW) pada kapal ikan tradisional. Jurnal Teknik Perkapalan. 4 (1): 101-112.
Sandra L. dan Rahwan. 2015. Penggunaan H2O2 pada proses pendinginan ikan layang (Decapterus sp.). Jurnal Ilmu Perikanan. 6 (2): 99-108.
Sanger, G. 2010. Mutu kesegaran ikan tongkol (Auxis tozord) selama penyimpanan dingin. Warta WIPTEK. 35: 39-43.
Santoso, H. 2013.  Alat pendingin ikan portabel menggunakan energi listrik tenaga surya. Skripsi.  Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Saptarini, K. 2009. Isolasi Salmonella spp. pada sampel daging sapi di wilayah bogor serta uji ketahanannya terhadap proses pendinginan dan pembekuan. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Sayekti, A., Ag. Suryandono dan M. P. Kurniawan. 2011. Evaluasi penanganan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) di tingkat pedagang pesisir pantai melalui analisis kemunduran mutu fisik, pembiayaan, dan perbandingan es pada kotak pendingin. Seminar Nasional: Reformasi Pertanian Terintegrasi Menuju Kedaulatan Pangan.
Sihaloho, P. T. E. dan A. H. Tambunan. 2005. Perkembangan teknik refrlgerasl dan pemanfaatan hidrokarbon sebagai refrigeran untuk mesln pembeku. Review. Jurnal Keteknikan Pertanian. 19 (2): 83-90.
Susanti, M. T. dan P. Purba. 2008. Rancang bangun kotak penyimpan ikan berinsulasi untuk mempertahankan kualitas ikan dengan proses pendinginan serta aplikasinya pada ikan tongkol (Auxis thazard). Teknik. 29 (2): 143-148.


Oleh: Mery Betty Purba, Jefri Nurman Faizi, Kholifatul Zahro, Melynda Dwi Puspita, Akhmad Gofur, Siti Nurulhuda, Nurul Burhanul Fitroh, Arwin Adiwinata, Andi Thezart Rappe A, Faizatus Sholihah, Arif Yusuf Julionarta, Muhammad Awwaluddin Hakim dan Arief Pandu Wahyuadi.

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Ikan Sebelah (Psettodes erumei)

1.   PENDAHULUAN 1.1   Latar Belakang Kekayaan alam laut Indonesia yang luas berpotensi menghasilkan hasil laut yang beraneka ragam dengan jumlah yang cukup besar yaitu sebanyak 6,26 juta ton per tahun. Hasil produksi perikanan laut ( marine fisheries ) di Indonesia mengalami peningkatan dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2012 mencapai 3,24 %, dimana pada tahun 2012 hasil produksi ikan laut sebanyak 5.829.194 ton. Hasil laut terutama ikan diolah untuk menjadi bahan pangan masyarakat (Purba et al., 2015). Tingkat konsumsi ikan Indonesia setiap tahun mengalami peningkatan, dimana pada tahun 2013 mencapai 35,62 kilogram per kapita dari tahun 2012, yaitu sebanyak 33,14 kilogram per kapita (Purba et al., 2015). Indonesia memiliki wilayah perairan tropis yang terkenal kaya dalam perbendaharaan jenis-jenis ikannya. Berdasarkan penelitian dan beberapa literatur diketahui tidak kurang dari 3.000 jenis ikan yang hidup di Indonesia.Dari 3.000 jenis tersebut sebanyak 2.700 jenis (90%) hidup di p

Enzim Transferase

BAB I PENDAHULUAN 1.1   Latar Belakang Indonesia mengimpor hampir seluruh kebutuhan enzim (sekitar 90%) dari luar negeri. Dari aspek pasar, kebutuhan enzim di Indonesia terus meningkat sebagaimana dapat dilihat dari nilai impor. Menurut Badan Pusat Statistik, impor untuk produksi farmasetika tahun 2007 adalah sebesar 2,988 trilyun rupiah, tahun 2008 menjadi 3,391 trilyun rupiah dan pada tahun 2011 diperkirakan menjadi 4,55 trilyun rupiah. Kebutuhan enzim dunia terus meningkat yaitu sebesar 6,5% per tahun dan menjadi $5,1 miliar pada tahun 2009 (Trismilah et al. , 2014).   Enzim adalah protein yang berfungsi sebagai katalisator untuk reaksi-reaksi kimia didalam sistem biologi. Katalisator mempercepat reaksi kimia. Walaupun katalisator ikut serta dalam reaksi, ia kembali ke keadaan semula bila reeaksi telah selesai. Enzim adalah katalisator protein untuk reaksi-reaksi kimia pasa sistem biologi. sebagian besar reaksi tersebut tidak dikatalis oleh enzim (Indah, 2004). E