Skip to main content

Elasmobranchii

 

Marine Worms


Makalah Marine Worms

1. PENDAHULUAN
1.1.  Latar Belakang
Produksi ikan dan udang di perairan laut sangat bergantung dengan produksi serasah yang dihasilkan oleh hutan mangrove (Coto et al., 1986). Kelompok moluska ekonomis juga sering ditemukan berasosiasi dengan tumbuhan penyusun hutan mangrove. Selain ikan, udang, dan moluska, biota yang juga banyak ditemukan di perairan pantai mangrove adalah cacing laut (polychaeta). Polychaeta secara ekologi berperan penting sebagai makanan hewan dasar seperti ikan dan udang (Bruno et al., 1998). Pada ekosistem terumbu karang, polychaeta turut menyumbang kalsium karbonat (CaCO3). Spesies tertentu seperti Capitella capitata dapat digunakan sebagai indikator pencemaran perairan (Poclington dan Wells, 1992).
Polychaeta adalah kelompok hewan invertebrata terbesar, yaitu sekitar 8000 spesies, kelompok terbesar ditemukan di laut.  Bentuk yang khas dari polychaeta adalah bentuk tubuhnya yang beruas-ruas dan setiap ruasnya terdapat sepasang parapodia.  Jenis cacing polychaeta umumnya banyak ditemui di daerah pantai, beberapa jenis hidup di bawah batu, dalam lubang dan liang di dalam batu karang, dalam lumpur dan lainnya hidup dalam tabung yang terbuat dalam bahan.  Cacing laut (Nereis sp.)  merupakan salah satu jenis  spesies dari kelas polycheata yang memiliki potensi cukup besar untuk dikembangkan karena jenis cacing ini tergolong ekonomis penting karena mempunyai nilai jual yang cukup tinggi. (Romimohtarto dan Juwana, 2001).

1.2.  Identifikasi Masalah
1.      Apa pengertian cacing laut ?
2.      Bagaimana habitat cacing laut ?
3.      Bagaimana morfologi dan anatomi cacing laut ?
4.      Bagaimana pengelompokan cacing laut ?
5.      Apa dampak dan manfaat cacing laut ?

1.3.  Maksud dan Tujuan
1.      Mengetahui definisi cacing laut
2.      Mengetahui habitat cacing laut
3.      Mengetahui morfologi dan anatomi cacing laut
4.      Mengetahui pengelompokan dan jenis cacing laut
5.      Mengetahui dampak dan manfaat cacing laut

2. TINJAUAN PUSTAKA 

2.1. Definisi Cacing Laut
 Cacing laut termasuk dalam filum Annelida kelas Polychaeta (Fauchald, 1977). Polychaeta berasal dari bahasa latin yang terdiri atas Poly dan chetae, poly artinya banyak sedangkan chetae merupakan bagian yang menyerupai rambut yang terletak di pinggir kanan dan kiri badan cacing. Ciri khas dari Polychaeta adalah banyaknya chetae yang terlihat seperti kaki-kaki di seluruh badannya. Anggota filum Annelida yang telah teridentifikasi sekitar 9.000 spesies dan sebagian besar terdiri atas Polychaeta sebanyak 8.000 spesies. Karena banyaknya spesies Polychaeta sehingga untuk membedakannya diperlukan keahlian antara spesies yang satu dengan yang lainnya. Bagian-bagian badan utama cacing laut pembeda famili dan genus adalah prostomium, peristomium, farink, parapodia, dan setae. Secara umum masyarakat mengenal cacing laut dengan nama lokal masing-masing daerah. Sebagian masyarakat mengenal cacing laut semua jenis dengan nama cacing Nereis.
morfologi polychaeta
Morfologi cacing laut polychaeta

Klasifikasi cacing laut (Nereis sp.) menurut Suwignyo dkk. (2005) adalah :
Kingdom         :  Animalia
Phylum           :  Annelida
Kelas               :  Polychaeta
Sub kelas         :  Errantia
Famili             :  Nereidae
Genus              :  Nereis                          
Spesies             :  Nereis sp.

2.2. Habitat
Cacing laut (Nereis sp.) banyak ditemui di pantai, sangat banyak terdapat pada pantai cadas, paparan lumpur dan sangat umum ditemui di pantai pasir.  Beberapa jenis hidup di bawah batu, dalam lubang lumpur dan liang di dalam batu karang, dan ada juga yang terdapat pada air tawar  sampai 60 km dari laut, seperti di Bogor.  Jenis akuatik umumnya terdapat pada daerah dangkal yang kurang dari 1 m, beberapa membuat lubang dalam lumpur, atau sebagai aufwuchus pada tumbuhan air yang tenggelam, adapula yang membuat selubung menetap atau yang dapat dibawa-bawa (Suwignyo  dkk., 2005).

2.3. Morfologi dan Anatomi
Bentuk morfologi dan anatomi pada cacing laut sangat beragam.  Umumnya berukuran 5-10 cm dengan diameter 2-10 mm. Pada tiap sisi lateral ruas tubuhnya kecuali kepala dan bagian ujung posterior,  terdapat sepasang parapodia dengan sejumlah besar setae yang terdiri atas notopodium dan neuropodium, masing-masing disangga oleh sebuah batang khitin yang disebut acicula. Pada notopodium terdapat cirrus dorsal dan pada neuropodium terdapat cirrus ventral.  Bentuk parapodia dan setae pada setaip jenis tidak sama.  Pada prostomium terdapat mata, antena dan sepasang palp (Suwignyo dkk., 2005).

2.4 Reproduksi dan Daur Hidup
Reproduksi pada Cacing laut (Nereis sp.), terjadi baik secara aseksul maupun seksual.  Reproduksi seksual terjadi dengan cara pertunasan dan pembelahan, namun kebanyakan hanya  melakukan reproduksi secara seksual  saja dan biasanya pada dioecious.  Pada dasarnya hampir semua menghasilkan gamit, namun pada beberapa jenis hanya beberapa ruas saja.  Pada beberapa jenis cacing dengan gamit yang telah matang akan berenang menjadi cacing pelagis, setelah tubuhnya koyok-koyok dan gamit berhamburan di air laut maka cacing tersebut mati, pembuahan terjadi di air laut (Suwignyo  dkk., 2005)
Cara makan Cacing laut (Nereis sp.) bermacam-macam sesuai dengan kebiasaan hidupnya, karnivora, omnivora, herbivora dan adapula yang memakan detritus. Pemakan endapan secra langsung maupun tidak langsung, secara langsung dengan menelan pasir dan lumpur dalam lorongnya (sarangnya). Mangsa terdiri dari berbagai  avertebrata kecil, yang ditangkap dengan pharynx atau probosis yang dijulurkan. Umumnya cacing tanah (L. terestris) mendapat makanan dengan cara menelan substrat, dimana bahan organik yang melalui saluran pencernaan akan dicerna,  kemudian tanah beserta sisa pencernaan dibuang melalui anus.  Adakalanya makanan itu terdiri dari ganggang filamen, detritus atau diatom (Aslan  dkk., 2007).

2.5 Manfaat
Cacing polychaeta merupakan makanan alami yang baik bagi udang windu (Peneaeus monodon) di tambak, menjadikan warna udang lebih cemerlang sehingga menigkatkan mutu dan nilai jual udang tersbut (Aslan  dkk., 2007).
Pada pengamatan Cacing laut (Nereis sp.) nampak bentuk morfologinya yaitu tentakel prostomial, tentakel peristomial, palpus, mata, prostomium, setae, somit, parapodium, rahang, faring dan anus.  Menurut pernyataan Aslan dkk. (2005) bahwa mata pada cacing laut (Nereis sp.) berfungsi sebagai fotoreceptor.  Setae pada tiap jenis berbeda, sehingga biasa dipakai sebagai identifikasi jenis-jenis polychaeta. Rahang digunakan untuk memotong ganggang. Anus digunakan untukmengeluarkan partikel mineral bersama dengan sisa-sisa pencernaan. Faring digunakan untuk menangkap mangsa yang biasanya terdiri dari avertebrata kecil.  Parapodium selain berfungsi sebagai alat gerak juga berfungsi sebagai alat pernafasan bantuan. Prostomium sebagai alat pertukaran gas, jadi semacam insang. Tentakel berfungsi untuk mendeteksi makanan dan lingkungan.

2.6. Klasifikasi Cacing Laut
2.6.1 Filum Echiura
Filum Echiura Terdapat sekitar 150 species dan semuanya hidup di laut. Panjang probosisnya bervariasi namun umumnya lebih pendek daripada badannya. Panjang tubuhnya sekitar 40 cm dan panjang probosisnya 1,5 cm. Warna umumya kusam coklat atau kelabu, beberapa hijau atau merah dan transparan. Reproduksi secara seksual yaitu dioecious. Pembuahan terjadi secara eksternal di air laut kecuali Bonellia. Contoh species Echiura adalah Ikeda (dari pantai Jepang).
Bentuk tubuh Echiura adalah bulat panjang dan mempunyai probosis seperti sendok namun tidak dapat ditarik ke dalam badannya. Permukaan tubuhnya halus atau ditutupi kutil-kutil yang tersusun melingkar atau tidak beraturan. Sebagian besar Echiura memakan detritus yang masuk terperangkap oleh lendir di bagian dalam probosis. Hasil reproduksi seksual Echiura berupa telur yang menetas menjadi larva trocophore yang berenang bebas sebagai meroplankton kemudian turun ke dasar laut dan tumbuh menjadi Echiura muda yang hidup sebagai benthos.

 2.6.2. Filum Sipuncula
Sipuncula merupakan biota laut yang biasa dinamakan cacing kacang (peanut worm) adalah biota laut yang sedikit ” kontrovertif”. Dalam bahasa inggris, Sipuncula disebut dengan istilah peanut worm karena bentuk tubuhnya yang menyerupai cacing tanah. Selain itu beberapa literatur juga menyebut hewan ini dengan sebutan ” usegmented marine worm” atau cacing laut tak bersegmen (Hutching dan Johnson, 2003).
Kehadiran Sipuncula pada ekosistem laut dan estuaria memang relatif kurang dikenal jika dibandingkan dengan cacing laut Polychaeta. Sebab jika Polychaeta telah diketahui kegunaan dan nilai ekonomisnya, yakni sebagai bioindikator pencemaran dan pakan alami tinggi protein bagi ikan atau udang-udangan. Sipuncula tidaklah demikian, hanya jenis tertentu dari biota ini yang dimanfaatkan (Ager, 2004).
Hewan ini dapat dijumpai setiap saat (tidak tergantung musim) manakala air laut surut di daerah berpasir yang sedikit berlamun, dan keberadaannya dalam jumlah yang melimpah. Walaupun keberadaannya melimpah yang mampu mengenali kehadirannya hanya orang-orang tertentu saja (sudah terbiasa).
 
sipuncula
Sipuncula yang biasa di tangkap di Pulau Nusalaut

Sipuncula bisa dijadikan sebagai bahan makanan, selain itu juga dikumpulkan untuk pakan umpan. Di Pulau Nusalaut, Maluku Tengah, misalnya Sipuncula dari jenis Sipunculus. sp menjadi salah satu bahan pangan alternatif yang cukup disukai dan kerap diburu di sepanjang daerah padang lamun manakala air laut sedang surut. Bagi masyarakat, sipuncula merupakan makanan laut yang lezat termasuk bila dimakan dalam keadaan segar. Secara tidak langsung cacing kacang ini telah memberikan sumbangan yang besar bagi masyarakat setempat karena bukan merupakan makanan musiman.
Pada umumnya, sipunculla dikonsumsi dengan cara diolah dalam beberapa jenis olahan seperti kare, kecap, goreng, dan dibuat bumbu kacang dengan cara ditumis dengan bumbu-bumbu. Karena tubuhnya mengandung sejumlah besar pasir, sebelum dikonsumsi, harus dibersihkan terlebih dahulu.  Setelah dipastikan bersih, hewan ini dapat langsung dimakan mentah. Jika akan diolah lanjut (dimasak), dapat dirajang kecil-kecil.
Baca Juga : Cacing Laut Siasia

2.6.3. Filum Nemerta
Nemertea sehari-hari dikenal sebagai cacing pita. Sebagian besar spesies filum Nemertea berada di laut dengan perkiraan 900 spesies, namun nemertea dapat juga hidup di habitat air tawar dan darat. Cacing pita mempunyai ukuran dari 1 cm sampai beberapa meter. Mereka menunjukkan simetri bilateral dan sifat kontraktil yang luar biasa. Karena kontraktilitas mereka, mereka dapat mengubah presentasi morfologi mereka dalam menanggapi isyarat lingkungan. Hewan di filum Nemertea juga menunjukkan morfologi rata, mereka datar dari depan ke belakang, seperti tabung pipih.
Ciri-ciri dari filum ini adalah adanya belalai tertutup dalam rhynchocoel. Belalai berfungsi untuk menangkap makanan dan dapat dihiasi dengan duri pada beberapa spesies. Rhynchocoel adalah rongga berisi cairan yang memanjang dari kepala ke hampir dua pertiga dari panjang usus pada hewan tersebut. Pada Nemertea (Cacing pita) menunjukkan sistem pencernaan yang sangat berkembang dengan baik. Mulut membuka untuk rhynchocoel mengarah ke usus. Usus berada dalam bentuk kantong divertikular yang berakhir pada rektum yang terbuka melalui anus. Gonad yang diselingi dengan kantong divertikular usus, membuka ke arah luar melalui pori-pori genital. 
Hewan di filum Nemertea menunjukkan dimorfisme seksual, meskipun spesies air tawar lainnya mungkin hermafrodit. Telur dan sperma dilepaskan ke dalam air; pembuahan terjadi secara eksternal. Zigot berkembang menjadi jenis khusus larva nemertean disebut larva planuliform. Pada beberapa spesies nemertea, larva lain khusus untuk nemerteas, pilidium, dapat berkembang di dalam cacing muda dari serangkaian cakram imaginal. Bentuk larva ini, ciri-cirinya berbentuk seperti topi pemburu rusa, memakan jaringan dari cacing muda untuk bertahan hidup sebelum metamorfosa ke morfologi dewasa.

2.6.4. Filum Pogonophora
Pogonophora berasal dari kata pogon yang artinya jenggot dan phora yang artinya membawa. Morfologi pogonophora sangatlah menarik, karena binatang ini tidak mempunyai mulut, anus serta usus. Tubuh pogonophora dibagi dalam 3 bagian atau segmen, yaitu :
(1)  Bagian depan atau protosome yang kecil dan mempunyai tonjolan sebagai kepala (cephalic lobe) dan “kumis” (tentakel)
(2)    Bagian tengah yang agak lebih besar (mesosome) yang merupakan “leher”, dan
(3)    Metasome yang mewakili seluruh badan.
Seluruh tubuhnya dibungkus oleh selapis epitelia yang kaya akan kelenjar dan ditutup oleh cuticula.
           
pogonophora
Pogonophora

Pogonophora hidupnya di dalam pipa, dan pipa ini ada yang mempunyai warna jernih, keruh serta ada yang rapuh. Ciri-ciri pipa tersebut merupakan salah satu tanda pengenal dalam determinasi. Di luar pipa, binatang ini tidak dapat bergerak, tetapi di dalam pipa dia dapat bergerak cepat. Kalau di luar ada bahaya.
Berdasrkan makanan dan cara makannya maka bintang ini cenderung untuk hidup pada dasar lumpur dimana terdapat arus tetap yang membawa makanan. Daerah semacam ini biasanya dekat daratan (pulau). Dengan alasan ini dibuktikan mengapa di dasar laut terbuka yang jauh dari daratan tidak ditemukan Pogonophora. Lebih separuh dari seluruh jenis ditemukan pada daerah yang mempunyai kedalaman lebih dari 3.000 meter. Pada tempat-tempat tertentu banyak ditemukan pipa bekas Pogonophora yang mempunyai peranan besar pada pembentukan endapan. Beberapa jenis ada yang dapat hidup di dasar perairan dangkal hingga kedalaman palung, misalnya Siboglinum caulleryi di laut Akhots hidup pada kedalaman 20 - 8.100 meter. Pogonophora mempunyai persyaratan hidup yang khusus yaitu suhu yang rendah dengan salinitas normal. Oleh karenanya binatang ini banyak terdapat di belahan bumi sebelah utara.

2.6.5. Filum Vestimentifera
Filum vestimentifera adalah cacing tersegmentasi yang memiliki anatomi yang tidak biasa dan bergantung pada bakteri simbiotik untuk memperoleh makan. Mereka hampir selalu ditemukan di perairan dalam. Berikut adalah ciri-cirinya.
·  Bentuk Vestimentiferans memanjang silinder seperti cacing badan.
·  Selalu ditemukan hidup dalam tabung.
·  Hemoglobin dalam darah merah memberikan warna cerah pada bulunya.
· Bagian depan vestimentum bentuk kerah. Ini adalah wilayah yang dapat digunakan untuk sekresi tabung.
Vestimentiferans hidup di lingkungan laut dalam, dengan sebagian besar ditemukan pada kedalaman > 1000 m. Ventilasi hidrotermal ditemukan menyebarkan di pegunungan aktif antara lempeng benua. Yang utama di seluruh dunia di mana vestimentiferans telah ditemukan adalah timur Samudra Pasifik, pertengahan Atlantik, dan retakan Galapagos.
Vestimentiferans memiliki jenis kelamin terpisah dengan gamet yang diproduksi di trunk. Jantan menghasilkan massa bundel sperma atau sperma yang dikeluarkan dalam air dan berakhir di tabung betina. Pembuahan terjadi di dalam atau di  luar saluran telur. Vestimentiferans melepaskan embrio awal ke dalam plankton. Tidak ada larva yang pernah ditemukan dalam tabung betina, juga tidak ada pengasuhan. Hal ini berbeda dengan pogonophores lain di mana mengasuh larva dalam tabung betina.

 2.6.6. Filum Bryozoa
Ciri-ciri Bryozoa sebagai berikut.
1. Tubuh simetri bilateral, tidak beruas-ruas.
2. Hidup berkoloni; sessile, menempel pada batu, benda dan tumbuhan air di perairan jernih dan dangkal, serta tidak tercemar.
3.  Hidup berkoloni dan hidup bebas di air laut.
4.  Mirip dengan beberapa koral, bunga karang dan algae.
5.  Umumnya memiliki kerangka keras yang membatu.
6.  Biasanya sering ditemukan di bebatuan.
7.  Memiliki lubang-lubang kecil dipermukaan tubuhnya.
8. Variasi bentuk tubuhnya bermacam-macam misalnya, bentuk ranting, bentuk bercabang, dan menyerupai tenda.
Masing-masing individu hidup (polypide) terdapat dalam zooecium, ukuran 1–3 mm.  Bentuk zooecium seperti kotak, jambangan atau pembuluh. Beberapa jenis laut polymorfik, mempunyai autozooid dan heterozooid (tangkai, akar, avicularium, vibraculum, ovicell). Saluran pencernaan lengkap, seperti bentuk huruf U. Mulut dikelilingi lophophore yang retraktil.   Lophophore terdiri atas calyx dan tentakel bercilia.  Anus di luar lophophore. Coelom tumbuh sempurna.  Sistem pernafasan, peredaran darah dan ekskresi tidak ada. Syaraf ganglion terletak di antara mulut dan anus.
            Biasanya hermaprodit, gonad terbentuk dari peritoneum; pembuahan dalam coelom atau di luar; jenis laut mempunyai larva trochophore; telur dierami dalam ovicell (ooecium). Reproduksi aseksual pada bryozoa air tawar selain dengan cara pertunasan, juga menghasilkan statoblast, satu sampai beberapa butir pada funiculus.
Bryozoa bereproduksi secara seksual dan aseksual. Semua Bryozoa air tawar dan kebanyakan Bryozoa air laut yang fertilisasi dalam pertumbuhannya di dalam tubuh. Telur dan sperma dihasilkan secara bergantian, adakalanya protandri. Testis pada funiculus, ovari terletak pada lophophore. Pada spesies dioceus, zooid jantan dan betina terdapat satu koloni atau pada koloni lain. Gonoduct tidak ada, telur dan sperma berhamburan dalam coelom atau dilepas di air. Beberapa spesies laut mengerami telurnya, semisalnya dalam saluran pencernaan yang mengalami degenerasi atau ovicell.
Reproduksi Aseksual pada bryozoa air tawar selain dengan cara pertunasan, juga dengan menghasilkan statoblast, satu sampai beberapa butir pada funiculus. Statoblast tahan terhadap kekeringan, panas dan dingin. Struktur dan bentuk statoblast di pakai untuk identifikasi genus dan spesies.
Bryozoa merupakan makanan dari turbelaria, siput, oligochaeta, larva trichoptera dan ikan kecil. Koloni spesies fosil pada stenolaemata mempunyai zoecia dari kapur padat, sehingga meninggalkan lapisan kapur yang tebal. Hal ini berarti spesies tersebut turut membantu terjadinya periode geologis yang pendek, namun penyebaran geologisnya luas, spesies tersebut berguna sebagai petunjuk lapisan geologis untuk mempelajari batuan-batuan dalam uji pengeboran untuk mencari minyak.

 2.6.7 Filum Brachiopoda
Berasal dari bahasa latin “Bracchium” : lengan (arm) dan “Poda” : kaki (foot). Artinya hewan ini merupakan suatu kesatuan tubuh yang difungsikan sebagai kaki dan lengan. Phylum ini merupakan salah satu phylum kecil dari invertebrata bentic. Hingga saat ini terdapat sekitar 300 spesies dari phylum ini yang mampu bertahan dan sekitar 30.000 fosilnya telah dinamai. Ciri-cirinya adalah :
1. Simetri bilateral
2. Tubuh mempunai dua lapisan (bilayer), jaringan dan organ
3. Mempunyai selom
4. Sistem syaraf dengan menggunaka ganglion – cincin oesophagal
5. Sistem sirkulasi terbuka dengan jantung satu atau lebih
6. Tidak mempunyai alat pertukaran gas
7. Reproduksi secara seksual dan gonochorist, tapi tanpa menggunakan gonad sejati
8. Makan partikel di air dan semuanya hidup di lingkungan laut.
  
Hidup di air laut >> benthos secyl. Ada yang hidup di air tawar, namun sangat jarang. Mampu hidup pada kedalaman hingga 5.600 m secara benthos secyl. Genus Lingula hanya hidup pada daerah tropis/hangat dengan kedalaman maksimal 40 m. Hingga saat ini diketahui memiliki sekitar 300 spesies dari Brachiopoda. Brachiopoda modern memiliki ukuran cangkang rata-rata dari 5 mm hingga 8 cm.

 2.6.8. Filum Pentastomida
Secara etimologi berasal dari bahasa Yunani yaitu “Pente” yang artinya lima dan “stoma” yang artinya mulut. Pentastoma, atau Pentastomida adalah sebuah filum bertubuh kecil dengan lebih dari 100 spesies yang ditahui. Semua spesies yang dikenal adalah parasit dari saluran pernapasan vertebrata dalam bentuk dewasa. Ciri-cirinya adalah :
1. Tubuh bilateral simetris dan berbentuk ulat.
2. Badan memiliki lebih dari dua sel lapisan, jaringan dan organ.
3. Rongga tubuh pseudocoelom.
4. Kebanyakan memiliki usus lurus dengan anus.
5. Tubuh monomer.
6. Sistem nervous termasuk otak dan chord saraf ventral.
7. Tidak memiliki sistem peredaran darah atau pernapasan.
8. Tidak memiliki organ ekskresi.
9. Reproduksi biasanya seksual dan gonochoristic.
10. Semua adalah parasit pada vertebrata.

Morfologi dari pentastomid bervariasi dalam ukuran dan bentuk sesuai dengan spesies mereka. Mereka biasanya tidak berwarna atau kuning. Betina jauh lebih besar dari jantan, dan dapat mencapai hingga panjang 130 mm dan lebar 10 mm. Jantan tumbuh sampai panjang 30 mm. Rongga tubuh tersegmented dan kurangnya sistem peredaran darah dan pernafasan, meskipun mereka memiliki pencernaan sederhana dan sistem saraf. Anatomi dari pentastomid ujung anterior tubuh ruang lima tonjolan, empat di antaranya adalah kaki cakar, sedangkan yang kelima ruang mulut. Tubuh tersegmentasi dan ditutupi kutikula chitinous. Saluran pencernaan sederhana dan tubular, karena binatang sepenuhnya pemakan darah, meskipun mulut agak dimodifikasi sebagai pompa otot. Sistem saraf adalah mirip dengan arthropoda lainnya, termasuk tali saraf ventral dengan ganglia di setiap segmen. Meskipun tubuh berisi haemocoel, tidak memiliki sistem sirkulasi, pernapasan, atau organ ekskresi.
Pentastomid sebagian besar adalah parasit, dimana sebagian besar menyerang atau menginfeksi saluran pernafasan inangnya. Penyakit yang ditimbulkanya adalah Pentastomosis atau Linguatulosis. Biasanya menyerang mamalia karnivora (anjing, rubah, dan serigala) yang dijadikan sebagai inang utamanya. Gejala yang disebabkan nafsu makan berkurang, dehidrasi, kondisi tubuh yang buruk dan keluar eksudat darah dari hidung.

 2.6.9. Filum Priapulida
Priapulida (cacing priapulid atau cacing penis) adalah kelompok kecil spesies cacing laut yang ditemukan terutama di perairan dingin (hanya terdapat 16 spesies). Cacing priapulid tinggal didalam lumpur dan pasir di dasar laut hingga kedalaman beberapa ribu meter. Nama Priapulida berhubungan dengan dewa kesuburan Yunani, karena bentuk umum mereka yang seperti penis. Cacing priapulid hidup dalam lumpur (yang mereka makan) dan di perairan yang relatif dangkal hingga 90 meter (300 kaki). Beberapa spesies priapulida menunjukkan toleransi luar biasa untuk hidrogen sulfida dan anoksia.
pergerakan cacing priapulid

Cacing priapulid memiliki tubuh silinder dengan ukuran mulai dari 0,5 mm sampai 30 cm, ditutupi oleh kutikula yang tipis, dan dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: belalai yang seperti tabung (Proboscis), batang tubuh (Trunk) dan ekor tambahan yang berduri (Caudal appendage). Tubuh cacing priapulid terlihat seperti memiliki cincin dan biasanya memiliki lingkaran berduri, yang menghubungkannya ke dalam faring protrusible. Cacing priapulid bergerak dengan kulit (seperti cacing pada umumnya) yang dibantu oleh otot yang berlapis lapis.
cacingpriapulid

Cacing priapulid atau di kenal dengan nama cacing penis ini adalah salah satu filum dari cacing laut dengan tentakel yang dapat di panjangkan. Tubuh cacing priapulid terdiri atas dua bagian, yakni prosoma (terdiri dari proboscis dan trunk) dan tentakel (Caudal appendage). Prosoma seringkali di sebut dengan introvert. Prosoma dapat di gambarkan berupa batang yang dapat di tarik sehingga di sebut introvert. Pada prosoma terdapat mulut di bagian akhir tubuhnya. Cacing priapulid kebanyakan merugikan bagi manusia  karena umumnya bersifat parasigen.

3. Penutup
3.1 Kesimpulan
Cacing laut termasuk dalam filum Annelida kelas Polychaeta. Ciri khas dari Polychaeta adalah banyaknya chetae yang terlihat seperti kaki-kaki di seluruh badannya. Bagian-bagian badan utama cacing laut pembeda famili dan genus adalah prostomium, peristomium, farink, parapodia, dan setae. Sebagian masyarakat mengenal cacing laut semua jenis dengan nama cacing Nereis. Cacing laut (Nereis sp.) banyak ditemui di pantai, sangat banyak terdapat pada pantai cadas, paparan lumpur dan sangat umum ditemui di pantai pasir.
Bentuk morfologi dan anatomi pada cacing laut sangat beragam.  Umumnya berukuran 5-10 cm dengan diameter 2-10 mm.  Pada tiap sisi lateral ruas tubuhnya kecuali kepala dan bagian ujung posterior,  terdapat sepasang parapodia. Reproduksi pada Cacing laut (Nereis sp.), terjadi baik secara aseksul maupun seksual.  Reproduksi seksual terjadi dengan cara pertunasan dan pembelahan. Cacing polychaeta merupakan makanan alami yang baik bagi udang windu (Peneaeus monodon)  di tambak, menjadikan warna udang lebih cemerlang sehingga menigkatkan mutu dan nilai jual udang tersebut.

 3.2 Saran
Untuk pembuatan makalah selanjutnya diharapkan dalam pembuatan makalah lebih diperhatikan lagi dalam penulisan dan lebih teliti lagi agar isi tidak keluar dari topik permasalahan. Lebih dijelaskan lagi detil-detil dari sub bab agar lebih lengkap dan jelas.


DAFTAR PUSTAKA


Hutching, P.A and R.T. Johnson. 2003. Australian Aphroditidae (Polychaeta) Delta database. In R.S. Wilson, P.A. Hutchings dan C.J. Glasby (eds). Polychaetes: An Interactive Identification. Csiro, Melbourne.
Ager, O. 2004. Aquaculture. The Marine Life Informasion Network for Britain and Ireland: 5 pp
Silahooy, F. 2008. Analisa Kandungan Asam Amino dan Asam Lemak Cacing Laut. Skripsi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Pattimura.
Silaban, B. B. dan E.E.E.M. Nanlohy. 2011. Profil Nutrisi Sipuncula (Cacing Kacang) : Biota Laut Yang Kontrovertif Di Pulau Nusalaut, Maluku Tengah. Jurnal TRITON Volume 7, Nomor 2, Oktober 2011, hal. 32 – 41 35. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan : Universitas Pattimura.
Fauchald, K. 1977. The Polychaeta worms definition and keys to the orders, famili and genera. Natural History Museum. Los Angeles, 198 pp.
Bruno C, M.B. Cousseau, and C. Bremec. 1998. Contribution of Polychaetous annelid to the diet of Cheilodactylus berghi (Pisces, Cheilodactilidae). Abstract of 6th International Polychaete Conference. Brazil, 2-7 Agustus 1998. International Polychaetes association.
Poclington, P, and P.G. Wells. 1992. Polychaetes: key taxa for marine environment quality monitoring. Marine Pollution Bulletin 24: 593-598.
Romimohtarto dan Juwana.  2001.  Biologi Laut.  Djambatan.  Jakarta.
Suwignyo, S. dkk.  2005.  Avertebrata air.  Penebar Swadaya.  Jakarta
Aslan, dkk., 2005.  Bahan Ajar Avertebrata air. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Haluoleo.  Kendari.
Aslan, dkk., 2007. Penuntun Praktikum Avertebrata air. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.  Universitas Haluoleo. Kendari.


Oleh: Melynda Dwi Puspita, Siti Nurul Huda, Prila Kartinia Putri, Nurul Burhanul Fitroh dan Chusnul Liyah.

Comments

Popular posts from this blog

Teknik Pendinginan Produk Perikanan

BAB I PENDAHULUAN 1.1         Latar Belakang Setelah meratifikasi Montreal Protocol pada tahun 1992 dan Kyoto Protocol pada tahun 1996, Indonesia juga tidak luput dari permasalahan global yang dihadapi oleh industri pendinginan dunia sebagai dampak dari kedua perjanjian internasional di atas. Dengan demikian, penelitian di bidang refrigeran dan pendinginan sangat penting dan bermanfaat dilakukan di Indonesia. Jenis refrigeran yang cocok diteliti kemungkinan pemakaiannya di lndonesia adalah refrigeran hidrokarbon, karena selain bersifat alami (natural) hidrokarbon juga tersedia sebagai sumber daya alam yang relatif besar. Penggunaan refrigeran hidrokarbon juga dapat menghemat energi bila dibanding refrigeran R12 (Maclaine dan Leonardi, 1997 dalam Sihaloho dan Tambunan, 2005 ). Aisbett dan Pham (1998) dalam Sihaloho dan Tambunan (2005) menyatakan bahwa penggunaan hidrokarbon sebagai refrigeran pengganti CFC dan HFC dapatmemberikan penghematan biaya yang signifikan untuk

Ikan Sebelah (Psettodes erumei)

1.   PENDAHULUAN 1.1   Latar Belakang Kekayaan alam laut Indonesia yang luas berpotensi menghasilkan hasil laut yang beraneka ragam dengan jumlah yang cukup besar yaitu sebanyak 6,26 juta ton per tahun. Hasil produksi perikanan laut ( marine fisheries ) di Indonesia mengalami peningkatan dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2012 mencapai 3,24 %, dimana pada tahun 2012 hasil produksi ikan laut sebanyak 5.829.194 ton. Hasil laut terutama ikan diolah untuk menjadi bahan pangan masyarakat (Purba et al., 2015). Tingkat konsumsi ikan Indonesia setiap tahun mengalami peningkatan, dimana pada tahun 2013 mencapai 35,62 kilogram per kapita dari tahun 2012, yaitu sebanyak 33,14 kilogram per kapita (Purba et al., 2015). Indonesia memiliki wilayah perairan tropis yang terkenal kaya dalam perbendaharaan jenis-jenis ikannya. Berdasarkan penelitian dan beberapa literatur diketahui tidak kurang dari 3.000 jenis ikan yang hidup di Indonesia.Dari 3.000 jenis tersebut sebanyak 2.700 jenis (90%) hidup di p

Enzim Transferase

BAB I PENDAHULUAN 1.1   Latar Belakang Indonesia mengimpor hampir seluruh kebutuhan enzim (sekitar 90%) dari luar negeri. Dari aspek pasar, kebutuhan enzim di Indonesia terus meningkat sebagaimana dapat dilihat dari nilai impor. Menurut Badan Pusat Statistik, impor untuk produksi farmasetika tahun 2007 adalah sebesar 2,988 trilyun rupiah, tahun 2008 menjadi 3,391 trilyun rupiah dan pada tahun 2011 diperkirakan menjadi 4,55 trilyun rupiah. Kebutuhan enzim dunia terus meningkat yaitu sebesar 6,5% per tahun dan menjadi $5,1 miliar pada tahun 2009 (Trismilah et al. , 2014).   Enzim adalah protein yang berfungsi sebagai katalisator untuk reaksi-reaksi kimia didalam sistem biologi. Katalisator mempercepat reaksi kimia. Walaupun katalisator ikut serta dalam reaksi, ia kembali ke keadaan semula bila reeaksi telah selesai. Enzim adalah katalisator protein untuk reaksi-reaksi kimia pasa sistem biologi. sebagian besar reaksi tersebut tidak dikatalis oleh enzim (Indah, 2004). E