Skip to main content

Elasmobranchii

 

Teknik Penggunaan Es Pada Produk Perikanan


teknik-es-pada-ikan

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara dengan wilayah laut yang besar. Kondisi geografis seperti ini menjadikan Indonesia memiliki potensi perikanan yang cukup besar. Pada tahun 2002, produksi perikanan tangkap tercatat sebesar 4.378.495 ton (Irianto dan Giyatmi 2009 dalam Sovanda et al., 2013). Namun, dalam beberapa tahun terakhir banyak sekali ditemukan kasus overfishing. Yang dimaksud overfishing disini adalah penangkapan ikan dalam jumlah yang sangat besar di daerah tidak jauh dari pantai. Akibatnya, saat ini nelayan harus berlayar lebih jauh lagi dalam mencari ikan. Tidak lagi seperti dulu dalam mencari ikan di perairan tidak terlalu jauh dari garis pantai. Otomatis nelayan membutuhkan waktu berhari-hari dalam mencari ikan sampai kembali ke darat. Ikan yang telah ditangkap, pada umumnya akan disimpan pada ruang muat (palka) kapal. Sehingga lama penyimpanan ikan tersebut tidak cukup sehari atau dua hari tetapi berhari-hari. Selama ini, kebanyakan nelayan mendinginkan hasil tangkapannya dengan cara yang masih konvensional. Menggunakan es basah dinilai cara yang sederhana dan murah. Pada dasarnya, pendinginan ikan ini dimaksudkan untuk menghambat metabolisme bakteri. Sehingga pertumbuhan bakteri tersebut terhambat, dan ikan tidak menjadi rusak dan busuk (Sovanda et al., 2013).
Ikan segar hasil tangkapan yang memiliki mutu tinggi sangatlah penting untuk memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat mengingat produk perikanan merupakan bahan makanan yang mudah rusak (perishable food products). Masalah yang dihadapi nelayan dan pemilik kapal saat ini, yaitu menurunnya kualitas ikan hasil tangkapan yang diakibatkan oleh lamanya waktu penangkapan ikan di laut. Meningkatnya lama trip penangkapan, mengakibatkan kualitas ikan menjadi menurun. Oleh karena itu, diperlukan suatu teknologi pengawetan yang mampu mempertahankan kualitas ikan lebih lama mulai saat ditangkap hingga di daratkan di pelabuhan perikanan (Hastrini et al., 2013).
Kesegaran ikan yang baru saja mati berada dalam tingkat yang maksimum, artinya kesegaran ikan tidak bisa ditingkatkan, hanya dapat dipertahankan melalui penerapan prinsip penanganan yang baik dan benar. Tingkat kesegaran ikan akan menurun drastis seiring dengan waktu jika tidak segera ditangani secara benar. Berbagai macam faktor mempengaruhi tingkat kesegaran dan kecepatan penurunan mutu ikan, baik yang bersifat internal maupun eksternal. Faktor internal antara lain jenis dan kondisi biologis ikan, sedangkan faktor eksternal antara lain proses kematian, waktu, cara penanganan, dan fasilitas penanganan ikan. Penurunan mutu ikan dapat terjadi mulai dari saat penangkapan dan terus berlangsung hingga ke tangan konsumen akhir (Quang, 2005 dalam Metusalach et al., 2014).
Penurunan mutu dan tingginya kerusakan pascapanen diakibatkan oleh antara lain cara penangkapan, cara penanganan yang buruk, panjangnya rantai suplai, tidak memadainya fasilitas penanganan. Cara penangkapan (jenis alat tangkap) secara langsung berhubungan dengan cara matinya ikan dan cara matinya ikan berhubungan dengan proses-proses fisik dan kimiawi yang dialami tubuh ikan dimana proses-proses tersebut berpengaruh langsung terhadap mutu ikan pasca tangkap. Hal ini diperparah oleh cara penanganan ikan yang dilakukan tergolong masih buruk karena masih dilakukan seadanya tanpa memperhatikan syarat-syarat yang harus dipenuhi, baik menyangkut fasilitas penanganan maupun cara penanganan, termasuk penggunaan es sebagai bahan pendingin ikan (Metusalach et al., 2014).

1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka dapat ditentukan rumusan masalah dalam makalah ini seperti berikut.
1.   Apa yang dimaksud pendinginan menggunakan es?
2.   Apa saja jenis es yang digunakan untuk mendinginkan ikan?
3.   Apa perbedaan jenis es yang digunakan untuk mendinginkan ikan?
4.   Bagaimana perhitungan jumlah es yang digunakan untuk mendinginkan ikan?
5.   Bagaimana prinsip pendinginan menggunakan es?
6.   Bagaimana cara pendinginan menggunakan es?
7.   Bagaimana teknik pendinginan menggunakan es?
8.   Apa keuntungan pendinginan menggunakan es?
9.   Apa kerugian pendinginan menggunakan es?
10. Apakah produk perikanan dengan ikan segar membutuhkan suhu pendinginan yang berbeda?
11. Apakah terdapat standar hubungan penggunaan coolbox dengan jenis es yang digunakan?

1.3 Tujuan
Berdasarkan uraian rumusan masalah di atas maka dapat ditentukan tujuan dalam makalah ini seperti berikut.
1.   Mengetahui definisi pendinginan menggunakan es.
2.   Mengetahui jenis es yang digunakan untuk mendinginkan ikan.
3.   Mengeahui perbedaan jenis es yang digunakan untuk mendinginkan ikan.
4.   Memahami perhitungan jumlah es yang digunakan untuk mendinginkan ikan.
5.   Memahami prinsip pendinginan menggunakan es.
6.   Memahami cara pendinginan menggunakan es.
7.   Memahami teknik pendinginan menggunakan es.
8.   Mengetahui keuntungan pendinginan menggunakan es.
9.   Mengetahui kerugian pendinginan menggunakan es.
10. Mengetahui perbedaan perlakuan suhu antara produk perikanan dengan ikan segar.
11. Mengetahui standar hubungan penggunaan coolbox dengan jenis es yang digunakan.

  
BAB II
PEMBAHASAN

2.1   Definisi Pendinginan Menggunakan Es
Pengesan adalah salah satu metode pengawetan dengan suhu rendah yang paling luas dan umum diterapkan dalam industri perikanan. Namun, dalam prakteknya, metode ini masih memiliki kekurangan dan kelemahan, salah satunya adalah masih banyaknya jumlah bakteri psikrofilik (bakteri yang tahan pada suhu dingin) termasuk diantaranya Pseudomonas, Flavobacterium, dan Acinetobacter (Mile, 2008 dalam Suara et al., 2014). Menurut Hadiwiyoto (1993) dalam Suara et al. (2014), beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengesan hasil perikanan adalah (1) jumlah es yang digunakan, (2) cara menambahkan es, (3) lamanya pengesan, (4) ukuran wadah yang digunakan dan (5) menghindari pengesan ikan yang masih kotor dan luka.
Penggunaan es merupakan salah satu cara yang paling mudah dilakukan. Penggunaan es juga relatif murah dan mudah. Namun penggunaan es basah ini akan menyebabkan beban pada kapal lebih besar dan ruang muat untuk ikan menjadi berkurang. Dengan demikian ikan hasil tangkapan yang dapat dimuat dalam kapal menjadi lebih sedikit. Selain itu pendinginan dengan menggunakan es basah hanya dapat mempertahankan suhu rendah dalam waktu yang singkat (Huda et al., 2013). Menurut penelitian dari Aziz (2012) dalam Huda et al. (2013), penggunaan es basah untuk penanganan ikan mampu mempertahankan suhu hingga 200oC selama 35 jam dengan suhu -10oC dan berat ikan sebanyak 78 kg.

2.2   Jenis Es yang Digunakan Untuk Mendinginkan Ikan
2.2.1 Es Air Tawar dan Laut
Es biasa atau es air tawar (“fresh water ice”) mempunyai titik cair 0oC, sedangkan es air laut (“sea water ice”) mempunyai kadar garam 2,5% hingga 3% dan titik cair (–2oC) (Ilyas dan Junizal, 1971 dalam Ibrahim dan Dewi, 2008). Es air laut juga mempunyai sifat anomali, yaitu tidak mempunyai titik cair yang tepat dikarenakan kadar garam yang terkandung dalam air laut. Berbeda dengan es air tawar yang selalu mencair pada titik 0oC.
 Es batu dari air tawar adalah bahan pendingin ikan yang paling banyak dipakai di banyak negara, karena es mendinginkan dengan cepat tanpa banyak mempengaruhi keadaan ikan, dengan biaya yang relatif lebih murah (Murniyati dan Sunarman, 2000 dalam Ibrahim dan Dewi, 2008).
 Menurut hasil penelitian Mulyanto (2005) dalam Ibrahim dan Dewi (2008), ikan Tuna yang disimpan dalam es air laut selama 5 hari mempunyai mutu yang tidak berbeda dengan ikan Tuna yang disimpan dalam es air tawar, baik dari segi jumlah koloni bakteri maupun nilai organoleptik. Pada proses penyimpanan tersebut dilakukan penambahan es setiap 24 jam sekali pada masing-masing perlakuan. Dari pustaka belum diperoleh publikasi tentang sifat-sifat es air laut serta perbandingan antara ikan dan es air laut yang sesuai. Berdasarkan hal tersebut perlu diadakan penelitian tentang pendinginan ikan dengan es air laut.

2.2.2 Es Balok
Penggunaan es basah (es balok) sebagai media pendingin di kapal ikan memang sederhana, namun hal ini terdapat banyak kelemahan diantaranya adalah sifat dari es basah yang mudah mencair sehingga temperatur ruang muat cepat meningkat yang dapat menyebabkan ikan menjadi lebih cepat busuk. Selain itu volume dan berat es basah yang besar sangat memerlukan tempat yang banyak dan akibatnya akan mengurangi hasil tangkapan. Selain dengan menggunakan media pendingin es basah saja, ada juga nelayan yang mencampurkan garam ke es basah dan ikan untuk mengawetkan ikan lebih lama tetapi cara ini dapat menyebabkan perubahan rasa ikan menjadi lebih asin. Selain dengan cara pendinginan, terdapat juga nelayan yang menggunakan formalin untuk mengawetkan ikan hasil tangkapannya. Secara kasat mata memang ikan tersebut terlihat baik tetapi kandungan formalin yang ada pada ikan tersebut akan menyebabkan gangguan kesehatan bagi siapapun yang menkonsumsinya (Semin et al., 2011 dalam Aziz et al., 2012).

2.2.3 Flake Ice
Semakin lama waktu pemasaran maka semakin cepat es curah mencair. Es curah yang cepat mencair disebabkan suhu panas dari tubuh ikan maupun dari luar cool box berinsulasi yang diikuti dengan peningkatan suhu dalam cool box. Peningkatan suhu dalam cool box berinsulasi selama pemasaran 20 dan 30 jam menyebabkan peningkatan jumlah bakteri. Peningkatan suhu dalam cool box memengaruhi peningkatan jumlah nutrisi, perubahan pH pada tubuh ikan nike yang diperlukan untuk pertumbuhan bakteri, sehingga bakteri cepat mengalami peningkatan (Afrianto dan Liviawaty, 2010 dalam Panai et al., 2013).

2.2.4 Slurry Ice
Terdapat teknik pendinginan baru yang dinilai lebih efektif untuk meningkatkan kualitas ikan, yaitu dengan mengaplikasikan slurry ice. Slurry ice ini merupakan sistem penyimpanan yang dibentuk oleh bola-bola kristal es kecil yang dikelilingi oleh air laut pada suhu dibawah nol derajat. Teknik ini baru diterapkan pada ikan pari (Raja clavata), dimana ikan pari merupakan produk dagang yang memiliki nilai jual paling tinggi di pasar Eropa. Penelitian tentang keefektifan slurry ice ini telah dilakukan dengan cara membandingkan teknik tersebut dengan teknik potongan es yang biasa diaplikasikan pada ikan. Hasilnya menegaskan bahwa teknik slurry ice memang lebih bagus daripada teknik penyimpanan dengan potongan-potongan atau kepingan es. Karena peningkatan umur simpan dan kualitas ikan dalam penyimpanan secara signifikan dapat terjadi pada aplikasi slurry ice. Dengan menerapkan teknik slurry ice pada penyimpanan ikan pari, maka umur simpan ikan menjadi lebih lama (6 hari, bila dikondisikan dalam penyimpanan dengan potongan es hanya bertahan 3 hari). Selain itu juga dapat memperlambat mekanisme pembusukan secara biokimia dan mikrobial, yang terjadi di dalam tubuh ikan pari. Sehingga kualitas sensorik ikan pari yang sangat menentukan nilai jualnya, dapat lebih dipertahankan dengan lebih baik (Mugica et al., 2012 dalam Puspitasari, 2012).
Ice slurry merupakan kristal es halus yang terdiri dari campuran air dan zat yang menyebabkan turunnya titik beku campuran. Ukuran diameter partikel kristal ice slurry adalah 0,1 sampai 1 mm, tergantung pada tipe aditif, konsentrasi dan tipe dari ice generator yang digunakan. Tanpa adanya freezing point depressing aditive, diameter kristal es akan berukuran lebih dari 1 mm (Stamatiou et al., 2005 dalam Pamitran et al., 2015). Umumnya freezing depressant additive yang sering digunakan adalah alkohol, glikol dan garam (Pamitran et al., 2015).
ice slurry generator

Gambar 1. Skema sistem pendingin ice slurry generator
(Sumber: Hirano, 1986 dalam Ernawati, 2012)


2.2.5 Es Ditambah Garam
Kemampuan media pendingin es ditambah garam dalam mempercepat penurunan suhu ikan dan menghasilkan suhu akhir ikan yang rendah berdampak positif terhadap upaya mempertahankan kesegaran ikan. Rendahnya suhu dan kecepatan penurunan suhu ikan dapat menghambat proses biokimia dan pertumbuhan bakteri pembusuk (Junianto, 2003 dalam Prayogi, 2009). Menurut Irawan (1995) dalam Prayogi (2009), pendinginan ikan dengan media es ditambah garam dapat menurunkan suhu mendekati titik beku ikan sekitar -1,2°C. Namun demikian kecepatan pendinginan sangat tergantung dari konduktivitas termal dari media pendingin (Holman,1996 dalam Prayogi, 2009).

2.3    Perbandingan Jenis Es yang Digunakan Untuk Mendinginkan Ikan
Menurut Nasirin (2016), standar perbandingan slurry ice, flake ice dan shell ice seperti terlihat pada Gambar.
jenis es

Gambar 2. Perbandingan slurry ice, flake ice dan shell ice
(Sumber: Kilinc et al., 2007 dalam Nasirin, 2014)


2.4   Jumlah Es yang Digunakan
Menurut Murniyati dan Sunarman (2000) dalam Ibrahim dan Dewi (2008), hukum kekekalan energi untuk menghitung jumlah es yang dibutuhkan guna mendinginkan ikan pada proses yang melibatkan perubahan suhu, yaitu: Q = m x Δt x c, dimana Q = beban penerimaan panas yang diterima es dari tubuh ikan, m = berat ikan, Δt = selisih antara suhu thermal ikan dengan suhu es dan c = panas spesifik ikan. Dari sifat es air laut dan rumus tersebut diduga proses pendinginan ikan membutuhkan jumlah es air laut yang lebih banyak dibandingkan dengan menggunakan es air tawar. Perbandingan antara ikan dan es harus benar-benar diperhatikan, karena perbandingan yang tidak optimal yaitu jumlah ikan yang terlalu banyak dan es yang terlalu sedikit dapat mengakibatkan suhu di dalam wadah kurang optimal yang menyebabkan ikan cepat mengalami kebusukan (Ilyas, 1988 dalam Ibrahim dan Dewi, 2008).
Menurut Sovanda et al. (2013), penentuan jumlah es basah bisa dihitung dengan cara sebagai berikut:
rumus es basah

2.5    Prinsip Pendinginan Menggunakan Es
Prinsip proses pendinginan dan pembekuan adalah mengurangi atau menginaktifkan enzim dan bakteri pembusuk dalam tubuh ikan (Sofyan, 1983 dalam Ismanto et al., 2013). Bahan-bahan yang dapat digunakan sebagai media pendingin untuk penanganan ikan diantaranya adalah es basah, es kering, air dingin, es ditambah garam, air laut yang didinginkan dengan es, air laut yang didinginkan secara mekanis dan udara dingin (Baheramsyah, 2007 dalam Ismanto et al., 2013). Penanganan hasil tangkapan ikan menggunakan kapal ikan tradisional biasanya menggunakan pendinginan dengan es basah atau es batu. Penggunaan es merupakan salah satu cara yang paling mudah dilakukan. Penggunaan es juga relatif murah dan mudah. Namun penggunaan es basah ini akan menyebabkan beban pada kapal lebih besar dan ruang muat untuk ikan menjadi berkurang. Dengan demikian ikan hasil tangkapan yang dapat dimuat dalam kapal menjadi lebih sedikit. Selain itu pendinginan dengan menggunakan es basah hanya dapat mempertahankan suhu rendah dalam waktu yang singkat. Menurut penelitian dari Aziz (2012) dalam Ismanto et al. (2013), penggunaan es basah untuk penanganan ikan mampu mempertahankan suhu hingga 200C selama 35 jam dengan suhu -10C dan berat ikan sebanyak 78 kg (Kurniawan, 2011 dalam Ismanto et al., 2013).
Pada proses pendinginan ini, laju dan temperatur pendinginan yang dicapai tergantung pada ukuran dan jumlah bongkahan es yang akan melebur dengan menyerap kalor yang berasal dari air laut sebagai media pendingin, ikan hasil tanggapan dan juga yang berasal dari lingkungan sekitar. Perpindahan panas berlangsung secara transient dengan lapisan batas yang bergerak ((moving boundary condition) akibat mengecilnya luas permukaan es dengan meleburnya es (Ufie et al., 2011).

2.6   Cara Pendinginan
Menurut Astawan, prosedur kerja pendinginan ikan melalui pemberian es, adalah sebagai berikut:
a.   Mula-mula ikan disiangi, dan mulut ikan ditutup dengan menggunakan kawat pengikat.
b. Rongga insang dan perut diisi es curai yang lembut, hal ini harus dilakukan dengan hati-hati karena bila terlalu lebar membuka insang, akan merusak otot punggung.
c.   Tempat penyimpanan ikan harus bersih dan diupayakan sedemikian rupa, sehingga air lelehan es tidak menggenangi bagian bawah ikan.
d.   Selanjutnya dalam palka, ikan harus disimpan dalam rak yang ditimbuni dengan es. Suhu ruang palka kapal ikan adalah sekitar 2-5oC.
Cara penyimpanan ikan di dalam palka, adalah sebagai berikut.
a. Shelfing. Dilakukan untuk ikan-ikan berukuran besar. Ikan yang satu dengan yang lain harus dibatasi dengan es, dan tidak bersentuhan dengan badan ikan yang lain. Ikan disusun dalam rak-rak yang hanya menampung satu lapis ikan saja.
b.  Bulking. Tidak dianjurkan, biasanya untuk ikan-ikan yang mempunyai harga ekonomi rendah. Ikan dengan es batu disusun berlapis-lapis dalam sebuah wadah/rak.
c.  Boxing. Di dalam palka kapal, disediakan peti-peti penyimpanan ikan, misalnya satu peti hanya untuk diisi 1-2 ekor ikan yang sudah dicampur dengan es curai. Metode boxing ini paling baik untuk diterapkan, karena:
·      Memudahkan pembongkaran.
·      Menjamin ikan tidak mudah rusak.
·      Menghemat ruangan.
·      Memudahkan segi pengangkutan.
·      Tingkat kesegaran ikan tidak banyak mengalami perubahan.

2.7   Teknik Pendinginan
Prosedur penanganan ikan di atas kapal merupakan penanganan awal yang sangat menentukan terhadap penanganan dan pengolahan ikan selanjutnya. Segera setelah ikan ditangkap atau dipanen harus secepatnya diawetkan dengan pendinginan atau pembekuan. Teknik penanganan pasca penangkapan berkolerasi positif dengan kualitas ikan dan hasil perikanan yang diperoleh (Hastrini et al., 2013).
Metode pendinginan selain dengan menggunakan es basah, juga dapat ditambah dengan menggunakan campuran es basah dan es kering. Aziz (2012) dalam Ismanto et al. (2013), juga menyebutkan bahwa penggunaan campuran es basah dan es kering dapat mempertahankan suhu hingga 200C hingga 52 jam yang mencapai suhu terendah sampai -20C dengan berat ikan sebanyak 95kg. Salah satu bentuk metode pendingin yang lebih efektif dibandingkan dengan metode yang telah ada adalah metode dengan menggunakan es basah, es kering, serta ditambah dengan gel. Ardianto (2012) dalam Ismanto et al. (2013), menyatakan bahwa penggunaan es basah, es kering dan gel dengan campuran CaCl2 mampu mempertahankan suhu rendah hingga -20C dan mencapai suhu 200C setelah 122 jam (Prayogi et al., 2006 dalam Ismanto et al., 2013). Gel cold ice merupakan bahan yang mampu menurunkan suhu. Bahan penyusun cold ice dapat berupa propylene glycol yang dicampur dengan air. Penggunaan propylene glycol dalam sistem pendingin ikan ini tidak menimbulkan masalah lingkungan, karena propylene glycol bersifat biodegradable sehingga mudah terurai. Propylene glycol juga tidak bersifat toksik atau racun terhadap organisme perairan terutama hasil perikanan (Prayogi et al., 2006 dalam Ismanto et al., 2013). Selain itu propylene glycol dapat menurunkan suhu hingga mencapai -510C atau -600F sehingga bahan ini digunakan sebagai bahan pendingin.

2.8   Keuntungan Pendinginan Menggunakan Es
Menurut Khairi (2012) dalam Hastrini et al. (2013), kelebihan menggunakan es sebagai bahan pendinginan antara lain:
a.   Mempunyai kapasitas pendingin yang besar;
b.   Bersifat thermostatic, yaitu selalu menjaga suhu sekitar 00C;
c.   Mudah dalam penanganan;
d.   Tidak membahayakan konsumen; dan
e.   Ekonomis.
Menurut Astawan, metode pendinginan dengan pemberian es dianggap paling menguntungkan, karena:
·      Dapat menurunkan suhu tubuh ikan dengan cepat.
·      Biaya lebih murah.
·      Tidak merusak fisik ikan secara berlebihan.
·      Membersihkan kotoran-kotoran ikan.
  
2.9    Kerugian Pendinginan Menggunakan Es
Menurut Hastrini et al. (2013), kekurangan es sebagai bahan pendinginan antara lain:
a.  Kualitas hasil tangkapan yang dihasilkan kurang bagus jika dibandingkan dengan hasil tangkapan dengan menggunakan jenis pembekuan dengan freezer; dan
b.   Es adalah media yang cepat mencair bila terkena suhu lingkungan panas.
Para nelayan tradisional umumnya menggunakan es balok (es basah) sebagai pendingin untuk mengawetkan ikan hasil tangkapannya agar tidak cepat membusuk. Penggunaan es basah sebagai pendingin di kapal ikan memang sederhana namun terdapat banyak kelemahan diantaranya adalah sifat dari es basah yang mudah mencair sehingga temperature cepat meningkat dan ikan menjadi cepat busuk, selain itu volume dan berat es basah yang besar sehingga memerlukan tempat yang banyak dan akibatnya mengurangi hasil tangkapan (Zainul dan Alam, 2003).
Pendinginan ikan dengan es balok masih memiliki kelemahan. Selain cepat mencair, es balok juga memiliki berat yang tinggi dan memerlukan ruang yang cukup yang berimbas pada berkurangnya hasil tangkapan. Hal tersebut sesuai dengan penelitian sebelumnya, dimana dengan cara ini pendinginan hanya bertahan hingga 2110 menit (35 jam 20 menit) (Putra et al., 2014).
desain alat pendingin

Gambar 3. Pandangan samping desain alat pendingin
(Sumber: Ardianto, 2012 dalam Putra et al., 2014)


2.10 Perlakuan Suhu Produk Perikanan
Salah satu produk perikanan adalah nugget ikan. Fish nugget (nugget ikan) adalah salah satu jenis produk olahan ikan yang terdiri atas campuran daging ikan, tepung panir, dan bumbu yang kemudian dilapisi oleh adonan battermix dan breadcrumb. Adapun setelah proses pengemasan, produk disimpan dalam suhu beku kurang lebih ± 18oC. Untuk penyajiannya, segera setelah produk dikeluarkan dari freezer, digoreng dengan minyak panas, sehingga ketika dimakan nugget ikan akan mempunyai tekstur yang renyah di bagian luarnya dan kenyal di bagian dalam (Agustini et al., 2009 dalam Amalia, 2012).

2.11 Hubungan Penggunaan Coolbox dengan Jenis Es
Untuk mempertahankan ikan yang telah didinginkan agar suhunya tetap rendah, perlu suatu wadah yang dapat menahan terobosan panas dari luar (Margaretha, 2000 dalam Susanti dan Purba, 2008). Hal ini mengingat tempat berjualan para pedagang yang tidak tetap dan tanpa terlindungi dari sengatan terik matahari. Mengingat hal-hal diatas perlu diteliti dan dibuat kotak ikan berinsulasi untuk pengawetan ikan pada suhu rendah. Kotak dapat dibuat dari kayu yang diinsulasi dengan stereofoam dan fiberglass (Susanti dan Purba, 2008).
Menurut Astawan, bentuk peti tidak terlalu dalam namun panjang, agar ikan di dalam peti tidak mengalami kerusakan dan dapat memuat ikan berukuran panjang tanpa dibengkokkan terlebih dahulu. Wadah ikan juga sebaiknya tidak terlalu berat, agar dapat diangkat oleh 1-2 orang saja. Wadah ikan tersebut juga sebaiknya harus mempunyai lubang penirisan atau saluran pembuangan air. Konstruksi wadah ikan memudahkan upaya pembersihan, dan bahan wadah tersebut tidak mencemari ikan. Bentuk wadah ikan tersebut harus cukup kuat menahan perlakuan kasar yang mungkin dialami selama di kapal, pembongkaran atau pemuatan.
coolbox

Gambar 4. Coolbox
(Sumber: www.airsystems.com)

  

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
       Dari pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut.
·   Pengesan adalah salah satu metode pengawetan dengan suhu rendah yang paling luas dan umum diterapkan dalam industri perikanan.
·   Jenis es yang digunakan untuk mendinginkan ikan diantaranya es air tawar dan air laut, es balok, flake ice, slurry ice serta es yanng ditambah garam.
·     Perbandingan flake ice, slurry ice dan shell ice perlu dilakukan untuk mengetahui karakteristik es yang baik untuk mendinginkan ikan.
·  Hukum kekekalan energi digunakan untuk menghitung jumlah es yang dibutuhkan guna mendinginkan ikan pada proses yang melibatkan perubahan suhu, yaitu: Q = m x Δt x c.
·  Prinsip proses pendinginan adalah mengurangi atau menginaktifkan enzim dan bakteri pembusuk dalam tubuh ikan.
·  Cara penyimpanan ikan di dalam palka dilakukan dengan beberapa metode, diantaranya shelfing, bulking dan boxing.
·  Teknik penanganan pasca penangkapan berkolerasi positif dengan kualitas ikan dan hasil perikanan yang diperoleh.
·  Keuntungan pendinginan ikan menggunakan es, yaitu dapat menurunkan suhu tubuh ikan dengan cepat, biaya lebih murah, tidak merusak fisik ikan secara berlebihan dan membersihkan kotoran-kotoran ikan.
·  Kerugian pendinginan ikan menggunakan es, yaitu Kualitas hasil tangkapan yang dihasilkan kurang bagus dan es adalah media yang cepat mencair bila terkena suhu lingkungan panas.
·   Produk perikanan disimpan dalam suhu beku kurang lebih ± 18oC. Penggunaan suhu untuk menyimpan produk perikanan dianjurkan diatas 0oC.
·    Tidak ada relasi antara bahan coobox dengan jenis es yang digunakan. Untuk mempertahankan ikan yang telah didinginkan agar suhunya tetap rendah, perlu suatu wadah yang dapat menahan terobosan panas dari luar


DAFTAR PUSTAKA

Amalia, U. 2012. Pendugaan umur simpan produk nugget ikan dengan merk dagang fish nugget “So Lite”. Jurnal Saintek Perikanan. 8 (1): 27-31.
Astawan, M. Penanganan dan pengolahan hasil perikanan di atas kapal.
Aziz, A. A., A. Baheramsyah dan B. Cahyono. 2012. Desain sistem pendingin ruang muat kapal ikan tradisional dengan memanfaatkan uap es kering. Jurnal Teknik Pomits. 1 (1): 1-5.
Hastrini, R. A. Rosyid dan P. H. Riyadi. 2013. Analisis penanganan (handling) hasil tangkapan kapal purse seine yang didaratkan di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Bajomulyo Kabupaten Pati. Journal of Fisheries Resources Utilization Management and Technology. 2 (3): 1-10.
Huda, M. A., A. Baheramsyah dan B. Cahyono. 2013. Desain sistem pendingin ruang muat kapal ikan tradisional dengan menggunakan campuran es kering dan cold ice yang berbahan dasar propylene glycol. Jurnal Teknik Pomits. 2 (1): 37-39.
Ibrahim, R. dan E. N. Dewi. 2008. Pendinginan ikan bandeng (Chanos chanos Forsk.) dengan es air laut serpihan (sea water flake ice) dan analisis mutunya. Jurnal Saintek Perikanan. 3 (2): 27-32.
Ismanto, D. T., T. F. Nugroho dan A. Baheramsyah. 2013. Desain sistem pendingin ruang muat kapal ikan tradisional menggunakan es kering dengan penambahan campuran silika gel. Jurnal Teknik Pomits. 2 (2): 177-180.
Metusalach, Kasmiati, Fahrul dan I. Jaya. 2014. Pengaruh cara penangkapan, fasilitas penangan dan cara penanganan ikan terhadap kualitas ikan yang dihasilkan. Jurnal IPTEKS PSP. 1 (1): 40-52.
Nasirin. 2016. Rancang bangun mesin pembuat slurry ice untuk penanganan ikan segar di atas kapal ikan. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Pamitran, A. S. M. Fauzan dan R. Sidqy. 2015. Unjuk kerja pembuat ice slurry 350W dengan air laut. Proceeding Seminar Nasional Tahunan Teknik Mesin XIV.
Panai, A. S., R. Sulistijowati dan F. A. Dali. 2013. Penentuan perbandingan es-curah dan ikan nike (Awaous melanocephalus) segar dalam coolbox berinsulasi terhadap mutu organoleptik dan mikrobiologis selama pemasaran. Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan. 1 (2): 59-64.
Prayogi, U. 2009. Penentuan perbandingan media pendingin ikan untuk kapal ikan tradisional. Neptunus. 15 (2): 48-56.
Puspitasari, S. 2012. Pengawetan suhu rendah pada ikan dan daging. Makalah. Program Studi Ilmu Gizi, Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro.
Putra, I. D., A. Baheramsyah dan B. Cahyono. 2014. Modifikasi coolbox dengan insulasi pendinginan freon pada ruang muat kapal ikan tradisional. Jurnal Teknik Pomits. 3 (1): 119-123.
Rahman, D. S., A. S. Naiu dan L. Mile. 2013. Pengaruh penambahan garam terhadap karakteristik organoleptik ikan lolosi merah (Caesio chrysozona) segar selama pemasaran rantai dingin. Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan. 1 (2): 71-74.
Sovanda, B. Y., A. Baheramsyah dan T. F. Nugroho. 2013. Studi perencanaan jacketed storage system memanfaatkan CO2 cair sebagai refrigeran. Jurnal Teknik Pomits. 2 (3): 209-212.
Suara, Y., A. S. Naiu dan L. Mile. 2014. Analisis organoleptik pada ikan cakalang segar yang diawetkan dengan es air kelapa fermentasi. Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan. 2 (3): 135-139.
Susanti, M. T. dan P. Purba. 2008. Rancang bangun kotak penyimpan ikan berinsulasi untuk mempertahankan kualitas ikan dengan proses pendinginan serta aplikasinya pada Ikan Tongkol (Auxis thazard). Teknik. 29 (2): 143-149.
Ufie, R., S. Titaley dan J. Nanlohy. 2011. Kaji eksperimental pola pendinginan ikan dengan es pada coldbox. Jurnal Teknologi. 8 (1): 883-888.
Zainul, C. dan B. Alam. 2003. Simulasi unjuk kerja sistem refrigerasi absorpsi pada kapal perikanan. 

Comments

Popular posts from this blog

Teknik Pendinginan Produk Perikanan

BAB I PENDAHULUAN 1.1         Latar Belakang Setelah meratifikasi Montreal Protocol pada tahun 1992 dan Kyoto Protocol pada tahun 1996, Indonesia juga tidak luput dari permasalahan global yang dihadapi oleh industri pendinginan dunia sebagai dampak dari kedua perjanjian internasional di atas. Dengan demikian, penelitian di bidang refrigeran dan pendinginan sangat penting dan bermanfaat dilakukan di Indonesia. Jenis refrigeran yang cocok diteliti kemungkinan pemakaiannya di lndonesia adalah refrigeran hidrokarbon, karena selain bersifat alami (natural) hidrokarbon juga tersedia sebagai sumber daya alam yang relatif besar. Penggunaan refrigeran hidrokarbon juga dapat menghemat energi bila dibanding refrigeran R12 (Maclaine dan Leonardi, 1997 dalam Sihaloho dan Tambunan, 2005 ). Aisbett dan Pham (1998) dalam Sihaloho dan Tambunan (2005) menyatakan bahwa penggunaan hidrokarbon sebagai refrigeran pengganti CFC dan HFC dapatmemberikan penghematan biaya yang signifikan untuk

Ikan Sebelah (Psettodes erumei)

1.   PENDAHULUAN 1.1   Latar Belakang Kekayaan alam laut Indonesia yang luas berpotensi menghasilkan hasil laut yang beraneka ragam dengan jumlah yang cukup besar yaitu sebanyak 6,26 juta ton per tahun. Hasil produksi perikanan laut ( marine fisheries ) di Indonesia mengalami peningkatan dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2012 mencapai 3,24 %, dimana pada tahun 2012 hasil produksi ikan laut sebanyak 5.829.194 ton. Hasil laut terutama ikan diolah untuk menjadi bahan pangan masyarakat (Purba et al., 2015). Tingkat konsumsi ikan Indonesia setiap tahun mengalami peningkatan, dimana pada tahun 2013 mencapai 35,62 kilogram per kapita dari tahun 2012, yaitu sebanyak 33,14 kilogram per kapita (Purba et al., 2015). Indonesia memiliki wilayah perairan tropis yang terkenal kaya dalam perbendaharaan jenis-jenis ikannya. Berdasarkan penelitian dan beberapa literatur diketahui tidak kurang dari 3.000 jenis ikan yang hidup di Indonesia.Dari 3.000 jenis tersebut sebanyak 2.700 jenis (90%) hidup di p

Enzim Transferase

BAB I PENDAHULUAN 1.1   Latar Belakang Indonesia mengimpor hampir seluruh kebutuhan enzim (sekitar 90%) dari luar negeri. Dari aspek pasar, kebutuhan enzim di Indonesia terus meningkat sebagaimana dapat dilihat dari nilai impor. Menurut Badan Pusat Statistik, impor untuk produksi farmasetika tahun 2007 adalah sebesar 2,988 trilyun rupiah, tahun 2008 menjadi 3,391 trilyun rupiah dan pada tahun 2011 diperkirakan menjadi 4,55 trilyun rupiah. Kebutuhan enzim dunia terus meningkat yaitu sebesar 6,5% per tahun dan menjadi $5,1 miliar pada tahun 2009 (Trismilah et al. , 2014).   Enzim adalah protein yang berfungsi sebagai katalisator untuk reaksi-reaksi kimia didalam sistem biologi. Katalisator mempercepat reaksi kimia. Walaupun katalisator ikut serta dalam reaksi, ia kembali ke keadaan semula bila reeaksi telah selesai. Enzim adalah katalisator protein untuk reaksi-reaksi kimia pasa sistem biologi. sebagian besar reaksi tersebut tidak dikatalis oleh enzim (Indah, 2004). E