Menjelajahi lautan tak akan pernah ada habisnya.
Termasuk eksplorasi berbagai macam organisme laut yang menakjubkan. Menurut
peneliti, berkisar 13,2% lautan atau 54 juta kilometer persegi yang belum terjamah
manusia. Beragam jenis makhluk lautan yang menggemaskan hingga ada yang menakutkan.
Lautan memang penuh misteri. Salah satu daerah di Jawa Timur yang perikanannya
cukup potensial adalah Kabupaten Blitar. Potensi perikanan di Kabupaten Blitar meliputi perikanan laut dan
perikanan darat yang dibudidayakan berupa ikan konsumsi
dan ikan hias. Pada tahun 2005, Pemerintah Kabupaten
Blitar secara bertahap membangun pelabuhan pendaratan ikan (PPI) yang berlokasi di pantai Tambakrejo Kecamatan Wonotirto.
Pembangunan PPI Tambakrejo diharapkan akan mampu menaikkan perekonomian di
Kabupaten Blitar (RPJMD Kabupaten Blitar, 2011 dalam Rinanti, 2013). Saat berkunjung ke salah satu pantai
di Kabupaten Blitar pada Maret 2019, tak terduga disambut makhluk unik nan
menggelikan yang satu ini, yaitu Sipunculus
nudus. Dengan nama lokal
bermacam-macam, mulai dari cacing laut tanah, ulat tanah, Sipuncula, cacing
laut bibis, siasia dan masih banyak lagi. Berikut penjelasan ilmiah mengenai Siasia
(Sipunculus nudus).
A. Pengertian
Sipuncula, biota laut yang biasa dinamakan cacing
kacang (peanut worm) adalah biota laut yang sedikit ” kontrovertif”.
Dari penampilan luarnya, hewan ini mirip sekali dengan cacing (worm-like-looking).
Dalam Bahasa Inggris, biota ini bahkan disebut dengan istilah peanut worm karena
bentuk tubuhnya yang menyerupai cacing tanah. Selain itu beberapa literatur
juga menyebut hewan ini dengan sebutan ”usegmented marine worm” atau
cacing laut tak bersegmen (Barnes, 1987; Hutching dan Johnson, 2003 dalam Silaban, 2019). Ulat tanah (S. nudus)
merupakan hewan invertebrata yang termasuk dalam filum Sipuncula.
Masyarakat di Indonesia mengenal dengan nama cacing laut atau cacing kacang (Peanut
worm) yang diketahui memiliki potensi yang dapat dikembangkan dalam bidang
pangan. Cacing laut jenis Siphonosoma australe-australe biota yang biasa
dinamakan dengan “Sipou” oleh masyarakat Sulawesi Tenggara khususnya Perairan
Toronipa merupakan cacing laut yang memiliki bentuk tubuh yang besar dengan panjang
sekitar 12-25 cm (Riky et al.,
2018).
B. Klasifikasi
Sipuncula
sebenarnya bukan cacing. Secara taksonomi, Sipuncula tidak termasuk di dalam
Filum Annelida Kelas Polychaeta, yakni takson dimana mayoritas cacing laut bisa
dikelompokkan. Sipuncula yang juga dikenal dengan nama Sipunculida (Tere of
life web project, 2008), adalah biota yang termasuk ke dalam filum tersendiri
di bawah Kingdom Animalia, yakni Filum Sipuncula. Dengan demikian, meski kerap
disebut ”cacing” penggunaan istilah tersebut hingga kini masih menjadi
perdebatan di kalangan ilmuwan. Kehadiran Sipuncula pada ekosistem laut dan estuaria
memang relatif kurang dikenal jika dibandingkan dengan cacing laut Polychaeta.
Sebab Polychaeta telah diketahui kegunaan dan nilai ekonomisnya, yakni sebagai
bioindikator pencemaran dan pakan alami tinggi protein bagi ikan atau
udang-udangan (Fauchald, 1977; Ager, 2004 dalam Silaban, 2019).
Baca Juga : Menulis Karya Tulis Ilmiah
C. Habitat
Sipuncula biasanya hidup di daerah pesisir
terutama di sekitar area padang lamun, hutan mangrove dan terumbu karang. Biota
ini cenderung mendiami dasar perairan terlebih khusus di dalam substrat
sehingga dikategorikan sebagai organisme bentik bersifat infauna. Sipuncula
mampu menghuni daerah bersubstrat lunak maupun keras. Pada substrat lunak,
biota ini cenderung menguburkan diri di daerah berpasir dan berlumpur. Sedangkan
pada substrat keras, Sipuncula mampu
hidup di antara celah-celah karang dan juga menghuni cangkang gastropoda dan
tabung kosong bekas tempat hidup polychaeta (Cutler, 1994 dalam Silaban, 2019).
Salah
satu potensi sumberdaya perikanan yang
dapat dimanfaatkan di Papua adalah
Sipuncula. Berdasarkan penelitian Leiwakabessy et al. (2017),
paramater air laut habitat Sipuncula di Perairan Raja Ampat tepatnya di Kampung Amdui Raja Ampat (I) dan Kelurahan
Sowi 4 Manokwari (II) dengan nilai sebagai berikut.
Tabel 1. Parameter
lingkungan perairan pada kedua lokasi penelitian
Sipuncula
Parameter
|
Lokasi Penelitian
|
Rata-Rata
|
Satuan
|
|
I
|
II
|
|||
suhu
|
31
|
30
|
30
|
oC
|
DO (dissolved oxygen)
|
6,47
|
5,04
|
5,76
|
mg/l
|
pH air
|
7
|
7
|
7
|
-
|
salinitas
|
34
|
32
|
33
|
‰
|
pH substrat
|
6,7
|
6,2
|
6,45
|
-
|
Keterangan:
I = Kampung
Amdui Raja Ampat
II = Kelurahan Sowi 4 Manokwari
Suhu
rata-rata pada kedua lokasi penelitian termasuk dalam batas toleransi bagi
pertumbuhan S. nudus.
Sesuai
dengan pernyataan Sukarno (1988) dalam Leiwakabessy et al. (2017)
bahwa suhu yang dapat ditolerir oleh makrozoobentos dalam kehidupannya berkisar
antara 25-360C. Kisaran salinitas pada kedua lokasi penelitian
sangat menunjang pertumbuhan dan kelangsungan hidup S. nudus. Syamsurial
(2011) dalam Leiwakabessy et al. (2017)
menyatakan bahwa kisaran salinitas yang masih mampu mendukung kehidupan organisme
perairan, khususnya makrozooben-thos adalah 15-35 ‰. Hasil pengukuran kandungan
oksigen terlarut sesuai dengan kisaran yang ditemukan oleh Nguyen et al. (2007)
dalam Leiwakabessy et al. (2017)
bahwa S. nudus yang terdapat di Provinsi Quang Ninh Vietnam
ditemukan pada habitat dengan kadar oksigen terlarut berkisar antara 6,2-7,9
mg/l. Perairan dengan pH yang terlalu tinggi atau rendah akan mempengaruhi
ketahanan hidup organisme yang hidup didalamnya (Odum, 1993 dalam Leiwakabessy et al., 2017).
Hasil pengu-kuran pH air pada kedua lokasi penelitian relatif sama dengan pH
air yang terdapat di Provinsi Quang Ninh Vietnam, yang merupakan habitat S.
nudus yaitu antara 6,9-7,8 (Nguyen et al., 2007 dalam Leiwakabessy et al., 2017).
D. Morfologi
dan Fisiologi
Dari morfologinya sia-sia tergolong Filum
Sipuncula yang lebih dekat dengan genus Sipunculus. Sipuncula
dideskripsikan sepintas sebagai hewan laut mirip cacing tapi tanpa segmen, tubuhnya
terbagi menjadi badan utama (trunk) dan belalai (introvert) yang
bisa ditarik ke dalam atau belakang. Meskipun bentuk fisiknya mirip cacing,
namun hipotesis filogenik terbaru menunjukkan Sipuncula tidak ada jejak ciri
penting Annelida seperti adanya segmentasi dan chaetae (seta)
(Fakhrurrozi, 2011 dalam Silaban, 2019).
Sia-sia (Sipunculus nudus) dari
perairan Negeri Ameth dengan panjang trunk berukuran 12,6 cm dan 13 cm
mempunyai total isi usus yang lebih banyak dibandingkan dengan individu yang
lainnya baik yang berukuran lebih besar maupun lebih kecil. Hal ini disebabkan
karena dalam mencari makanan sia-sia (Sipunculus nudus) tidak mempunyai
mata untuk melihat tetapi lebih menggunakan rangsangan taktil dan sifatnya yang
deposit feeder mengakibatkan sia-sia
(Sipunculus nudus) cenderung tidak menyeleksi makanan yang masuk ke
mulutnya (Cutler, 1994 dalam Silaban dan Silaban, 2018). Sesuai yang
dikemukakan oleh Effendie (1997) dalam Silaban dan Silaban (2018) bahwa organisme yang
memiliki mata akan cenderung memakai mata untuk mencari dan menangkap
makanannya dan berbeda dengan organisme yang tidak memiliki mata yang hanya
menggunakan indera penciuman dan rangsangan untuk mencari dan menangkap
makanannya.
E. Kandungan
Gizi
Berdasarkan penelitian Leiwakabessy et al. (2017), kandungan
Sipuncula di Perairan Raja Ampat tepatnya di Kampung Amdui Raja Ampat (I) dan
Kelurahan Sowi 4
Manokwari (II) dengan nilai sebagai berikut.
Tabel 2. Hasil
analisis kandungan gizi dan mineral S. nudus
dari lokasi I (Kampung
Amdui Raja Ampat)
Komponen
|
Nilai
|
Rata-Rata
|
|
a
|
b
|
||
Kadar air
|
7,10%
|
7,26%
|
7,18%
|
Kadar lemak
|
2,21%
|
1,19%
|
1,70%
|
Kadar protein
|
81,76%
|
83,15%
|
82,46%
|
Karbohidrat
|
7,02%
|
6,58%
|
6,80%
|
Serat kasar
|
0,92%
|
0,91%
|
0,92%
|
Besi (Fe)
|
17,61 mg/100g
|
4,52 mg/100g
|
11,07 mg/100g
|
Kalsium (Ca)
|
449,83 mg/100g
|
300,37 mg/100g
|
375,10 mg/100g
|
Kalium (K)
|
39,18 mg/100g
|
26,69 mg/100g
|
32,94 mg/100g
|
Keterangan:
a.
S. nudus ukuran kecil (a)
b.
S. nudus ukuran besar (b)
Tabel 3. Hasil analisis kandungan gizi dan mineral S. nudus dari lokasi II (Kelurahan Sowi
4 Manokwari)
Komponen
|
Nilai
|
Rata-Rata
|
|
a
|
b
|
||
Kadar air
|
8,03%
|
8,09%
|
8,06%
|
Kadar lemak
|
1,57%
|
1,10%
|
1,34%
|
Kadar protein
|
81,50%
|
80,15%
|
80,83%
|
Karbohidrat
|
6,40%
|
8,12%
|
7,26%
|
Serat kasar
|
1,08%
|
1,02%
|
1,05%
|
Besi (Fe)
|
4,37 mg/100g
|
8,95 mg/100g
|
6,66 mg/100g
|
Kalsium (Ca)
|
144,21 mg/100g
|
449,8 mg/100g
|
297,01 mg/100g
|
Kalium (K)
|
198,11 mg/100g
|
216,84 mg/100g
|
2017,48 mg/100g
|
Keterangan:
a.
S. nudus ukuran kecil (a)
b.
S. nudus ukuran besar (b)
Hasil
analisis kandungan proksimat dan mineral dari sampel S.nudus yang berukuran
kecil dan besar dari kedua lokasi, dapat dimanfaatkan. Namun lebih direkomendasikan
untuk memanfaatkan S. nudus yang berukuran kecil (panjang
antara 7-17 cm dan berat antara 36-92 g), karena kandungan mineral (besi, kalsium
dan kalium) lebih tinggi dari yang berukuran besar (Leiwakabessy et al., 2017).
Cacing
laut siasia segar dari perairan pulau Nusalaut mengandung karbohidrat,
protein, lemak, vitamin A, B1, B6, B12 dan E serta mineral P, I2, Ca, Mg; dan
sejumlah asam lemak (Silaban dan Tupan, 2016 dalam Silaban, 2018).
Hasil analisis, daging cacing laut siasia dari perairan pantai Nalahia
mengandung mineral kalium, besi, mangan, dan zink dengan kadar kalium (K)
sebesar 224,35 ppm, besi (Fe) 196,57 ppm, mangan (Mn) 6,69 ppm, zink (Zn) 17,01
ppm. Lima mineral diantaranya sulfur (S), cobalt (Co), tembaga (Cu), chromium
(Cr) dan selenium (Se) tidak terdeteksi (Silaban,
2018).
Menurut Silahooy (2008) dalam Riky et al. (2018), Sipuncula di Pulau Saparua Maluku
Tengah mengandung 3 asam lemak esensial yaitu linoleat, linolenat, dan
arakidonat, dan asam lemak non esensial yaitu asam miristat, palmitat,
pentadekanoat dan asam stearat. Asam amino esensial yang tertinggi
terdapat pada ulat tanah (S. nudus) segar yaitu leusin, arginin, dan
lisin, penggorengan asam amino yang tertinggi yaitu leusin, arginin, dan lisin.
Nilai leusin yang terkandung dalam ulat tanah (S. nudus) yang
segar,goreng, dan, rebus yaitu 1,597%, 1,132%, dan 1,113%. Leusin merupakan
asam amino yang paling banyak ditemui pada bahan pangan sumber protein. Leusin
dapat memacu fungsi otak, menambah tingkat energi otot, membantu menurunkan
kadar gula darah yang berlebihan, membantu penyembuhan tulang, jaringan otot
dan kulit (terutama untuk mempercepat penyembuhan luka post-operative)
(Harli,
2008 dalam
Riky et al., 2018).
F. Pemanfaatan
Kehadiran
Sipuncula pada ekosistem pesisir memang relatif kurang dikenal jika dibandingkan
dengan cacing laut Polikaeta, sebab Polikaeta telah diketahui kegunaan dan
nilai ekonomisnya, yakni sebagai bioindikator pencemaran dan pakan alami tinggi
protein bagi ikan atau udang-udangan (Ager, 2004 dalam Leiwakabessy et al., 2017).
Lain halnya dengan Sipuncula, sejauh ini hanya Sipuncula jenis tertentu yang
telah dimanfaatkan sebagai bahan makanan, salah satunya adalah S. nudus (Pamungkas,
2010 dalam Leiwakabessy et al., 2017).
Sipuncula
sering dikonsumsi
dengan cara dimasak secara tradisional,
yaitu dikukus atau direbus. Pengolahan panas merupakan salah satu cara yang
telah dikembangkan untuk memperpanjang umur simpan bahan pangan. Metode
pengolahan yang biasa dilakukan dalam rumah tangga adalah pengukusan atau
perebusan, (Harris dan Karmas 2006). Pengolahan ini dapat menghasilkan produk
pangan dengan sifat-sifat yang diinginkan yaitu aman, bergizi, dan dapat diterima
dengan baik secara sensori maupun kimia. Secara tidak langsung ulat tanah ini
telah memberikan sumbangan yang besar bagi masyarakat karena bukan merupakan
makanan musiman. Dilain sisi ada sebagian masyarakat yang belum mengenal dan
memanfaatkannya, sehingga hewan ini juga agaknya kurang dilirik (Ardean et al.,
2018).
Sipuncula
dari jenis sia-sia (Sipunculus nudus) dikenal terutama di daerah Maluku
sebagai bahan pangan dan juga sebagai umpan untuk menangkap ikan misalnya ikan
tatu dan garopa. Sia-sia (Sipunculus nudus) dikenal dengan nama
“sia-sia” oleh masyarakat pulau Ambon, di pulau Rhun (kepulauan Banda) disebut
“kariong” dan di kepulauan Bangka-Belitung disebut “kekuak”. Secara
turun-temurun kekuak sudah dipakai nelayan setempat (Bangka-Belitung) sebagai
umpan untuk menangkap ikan, tetapi telah lama pula dijadikan sebagai pangan,
khususnya di Bangka. Sekelompok warga di beberapa tempat di Bangka bahkan
sengaja menangkapnya untuk dijual sebagai produk pangan, kebanyakan pembelinya
adalah masyarakat etnik Tionghoa setempat (Fakhrurrozi, 2011 dalam Silaban dan Silaban, 2018).
Di
Pulau Nusalaut, cacing laut siasia menjadi lauk harian bagi masyarakat
manakala musim paceklik tiba biasanya dikonsumsi segar (kohokoho sebutan
umum masyarakat Maluku), digoreng, ditumis dikecap dan disate. Namun tidak sedikit masyarakat,
yang sama sekali belum pernah tahu atau tahu tapi belum pernah mencicipi (Silaban, 2012 dalam Silaban, 2018).
Ulat
tanah (S. nudus) biasa dikonsumsi dalam keadaan segar mentah (setelah
dibersihkan, tanpa harus direbus terlebih dahulu), atau dicampur dengan asam
jeruk dan bumbu-bumbu, yang disebut “colo-colo” dan dimakan bersama nasi. Akan
tetapi pada umumnya, dikonsumsi dengan cara diolah dalam beberapa jenis olahan
seperti kare, kecap, goreng, dan dibuat bumbu kacang dengan cara ditumis dengan
bumbu-bumbu seperti bawang putih, bawang merah, jahe, lengkuas, kunyit, jintan,
ketumbar, kemiri, jahe, kecap, kacang, santan, dan lain-lain. Karena tubuhnya
mengandung sejumlah besar pasir, sebelum dikonsumsi, harus dibersihkan terlebih
dahulu (Riky et al., 2018).
Ulat
tanah memiliki kandungan gizi yang cukup lengkap sehingga dapat dimanfaatkan
sebagai bahan makanan fungsional. Kandungan gizi yang terdapat pada ulat tanah
yakni protein, lemak, karbohidrat, abu, asam lemak dan asam amino, vitamin A,
B1, B6, B12, E dan mineral P, I2, Ca, Mg, C yang hampir setara dengan kandungan
gizi pada ikan, (Silaban,
2012 dalam Ardean et al., 2018). Oleh sebab itu, di Cina ulat
tanah telah lama digunakan sebagai obat tradisional dalam mengobati penyakit
tuberkulosis, pengatur fungsi lambung dan limpa, serta pemulihan kesehatan yang
disebabkan oleh patogen, (Zhang dan Zi,
2011 dalam Ardean et al.,
2018).
Daftar Pustaka:
Ardean, S. D., R. M. S. Putri dan M. Suhandana. 2018.
Pengukuran rendemen, morfometrik dan komposisi
proksimat terhadap karakteristik nilai gizi Ulat Tanah (Sipunculus nudus)
dari Perairan Bintan. Program
Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan,
Universitas Maritim Raja Ali Haji.
KumparanSAINS. 2018. Hanya 13
persen lautan di bumi yang belum ‘ternoda’ oleh manusia. https://www.kumparan.com/kumparansains/hanya-13-persen-lautan-di-bumi-yang-belum-ternoda-oleh-manusia-27431110790555652/.
Diakses pada 19 Januari 2020 pukul 13:58 WIB.
Leiwakabessy, J., R. R.R. Mailissa dan S. P.O. Leatemia.
2017. Komposisi kimia Cacing
Kacang (Sipunculus nudus) di Kabupaten Raja Ampat dan Kabupaten
Manokwari. Jurnal
Sumberdaya Akuatik Indopasifik. 1 (1): 53-66.
Riky, R. M. S. Putri dan M. Suhandana. 2018. Pengaruh penggorengan
terhadap kandungan asam amino Ulat Tanah Sipunculus nudus. Program
Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan,
Universitas Maritim Raja Ali Haji.
Rinanti, P. 2013. Analisis peranan subsektor
perikanan terhadap peningkatan produk domestik regional bruto (PDRB) di Kabupaten Blitar. Jurnal
Ilmiah Ilmu Ekonomi.
Silaban, B. 2018. Analisa kandungan mineral Cacing Laut Siasia (Sipunculus
nudus) dari perairan Pantai Nalahia Pulau Nusalaut.
Majalah
BIAM.
14 (1): 22-27.
Silaban, R. 2019. Studi
etnoteknologi dan pemanfaatan Sia-Sia (Sipunculus nudus) oleh mayarakat
di Pulau Nusalaut, Kabupaten Maluku Tengah. Jurnal Kelautan
Volume. 12 (1): 78-88.
Silaban,
R. dan B. br.
Silaban. 2018. Analisis
isi usus Sia-Sia (Sipunculus nudus) di Pulau Nusalaut. Prosiding Seminar Nasional Inovasi Iptek Perikanan dan Kelautan I. 1 (1): 8-22.
Comments
Post a Comment