Zaman dahulu semua
orang tua menginginkan anak laki-laki sebagai anak pertama. Bahkan ada
orang tua yang rela membunuh anak
perempuannya karena dianggap sebagai aib
keluarga. Anak laki-laki adalah calon
pemimpin di masa depan. Memiliki anak laki-laki akan membuat keluarganya bangga.
Karena laki-laki dianggap sebagai pewaris tahta utama. Namun berbeda di era digital saat ini. Semenjak Ibu Kartini memperjuangkan
hak perempuan agar dapat setara dengan laki-laki. Perempuan tidak lagi dipandang
sebagai seseorang yang hanya bisa masak,
macak dan manak (memasak, merias
diri dan melahirkan) saja. Sudah banyak perempuan yang banyak merasakan bangku pendidikan
tertinggi. Termasuk melaksanakan pekerjaan yang notabene-nya identik dengan kata laki-laki. Sehingga saat ini
begitu gencarnya isu mengenai kesetaraan gender.
Menurut Rahminawati (2001), istilah kesetaraan dalam kajian isu gender lebih sering digunakan dan
disukai, karena makna kesetaraan laki-laki dan perempuan lebih menunjukkan pada
pembagian tugas yang seimbang dan adil dari laki-laki dan perempuan. Menurut Rianingsih Djohani (1996) dalam Rahminawati (2001), bahwa yang dimaksud dengan gender adalah : “pembagian peran, kedudukan
dalam tugas antara laki-laki dan perempuan yang ditetapkan oleh masyarakat berdasarkan
sifat perempuan dan laki-laki yang dianggap pantas menurut norma-norma, adat
istiadat, kepercayaan atau kebiasaan masyarakat”. Berdasarkan definisi di
atas, maka yang dikategorikan dengan gender, misalnya hal-hal berikut:
·
Perempuan melakukan pekerjaan rumah
tangga, sedangkan laki-laki dianggap tidak pantas.
·
Tugas utama laki-laki mengelola kebun, tugas perempuan hanya membantu.
·
Menjadi pemimpin masyarakat (lembaga adat, kepala desa
dan sebagainya) lebih pantas oleh laki-laki.
·
Kegiatan PKK dan program kesehatan keluarga, lebih
pantas oleh perempuan.
Baca Juga : Langitku Runtuh
Apakah benar laki-laki dan perempuan di era saat ini sudah dianggap
setara? Banyak hal yang menjadikan laki-laki dan perempuan tidak bisa
benar-benar setara. Mulai dari budaya
yang sudah mengakar di masyarakat khususnya masyarakat yang masih menjunjung tinggi adat istiadat yang berlaku.
Peran agama juga sering kali dikaitkan dengan ketidakadilan peran perempuan dalam
berkehidupan. Misalnya saja pernyataan yang menyatakan bahwa perempuan hanya
boleh di rumah mengurus kegiatan rumah tangga termasuk merawat anak. Laki-laki
yang hanya boleh pergi keluar untuk mencari nafkah. Perempuan hanya boleh
dikurung di dalam tempurung (red: rumah). Tidak boleh pergi jauh dari suami
atau orang tua apalagi merantau.
Dewasa ini agama sering dituduh sebagai sumber
terjadinya ketidakadilan dalam
masyarakat, termasuk ketidakadilan relasi antara laki-laki dan perempuan
yang sering disebut dengan ketidakadilan gender. Gender
adalah jenis kelamin bentukan yang dikonstruksi oleh budaya dan adat istiadat, seperti laki-laki kuat, berani, cerdas, menguasai, sedangkan perempuan itu lemah, penakut, kurang cerdas (bodoh), dikuasai dan lain-lain. Isu gender
menguat ketika disadari bahwa perbedaan
gender antara manusia laki-laki dan perempuan telah melahirkan ketidakadilan dalam
berbagai bentuk seperti marginalisasi
atau pemiskinan ekonomi, subordinate atau anggapan tidak penting dalam urusan politik, stereotype atau pencitraan
yang negatif bagi perempuan (Suhra, 2013).
Banyak hal
yang mampu membuktikan bahwa isu kesetaraan memanglah topik hangat yang tak akan
pernah bisa selesai untuk didiskusikan. Namun memang sulit merubah stigma yang
sudah melekat di masyarakat. Seperti contoh dalam urusan pekerjaan. Pekerjaan di lapang yang identik dengan
kata berat dan berurusan dengan hal teknis selalu ditujukan bagi laki-laki.
Untuk perempuan jangan berharap menginginkan pekerjaan semacam itu. Banyak lowongan
pekerjaan bertebaran dengan persyaratan pertama, yaitu pria. Perempuan hanya bisa
menerima nasib. Tidak bermaksud mendiskriminasi laki-laki. Ketidakadilan yang diperoleh wanita juga sama dirasakan laki-laki, Misalnya
saja bekerja adalah tugas laki-laki. Hingga muncul istilah, “uang
istri adalah uang istri, uang suami adalah uang istri”.
Melihat laki-laki memberikan pujian berupa cantik
sering dianggap pelecehan seksual. Termasuk cat
calling seperti hanya mengucapkan salam saat ada perempuan berjilbab
melewati segerombolan pria. Namun apa jadinya jika ada foto artis laki-laki
tampan dan memiliki badan atletis. Seketika para wanita mengerahkan jempol
tangannya untuk mengetik komentar “rahimku anget,
mas”. Hal itu sering dianggap bukanlah bentuk dari pelecehan. Banyak juga
cerita para driver ojek online yang
menceritakan suka dukanya menggojek. Seringkali
memperoleh perilaku tidak terpuji dari penumpang perempuan, seperti (maaf)
menempelkan p*yud*r*nya ke punggung sang driver
karena jarang melihat paras driver
ojek yang tampan menawan. Bahkan banyak yang mengatakan bahwa sungguh beruntungnya
mas tersebut. Adapula yang menuduhnya
berbohong dan berpura-pura menjadi korban pelecehan seksual padahal sebenarnya ia
senang mendapatkan “bonus” dari penumpang. Karena takut di suspend dengan pemberian bintang satu hingga pemutusan kontrak
mitra kerja dengan penyedia layanan ojek
online. Banyak driver yang lebih
memilih diam seribu bahasa dan cenderung melupakan kejadian tersebut.
Dalam realita
kehidupan, hampir semua tugas gender dapat dilakukan oleh kedua kaum laki-laki
dan perempuan (kecuali yang bersifat mutlak, melahirkan misalnya). Namun dalam
stereotip masyarakat (terutama Indonesia), masih sering terjadi kesalahan
pemaknaan terhadap perbedaan gender sebagai kodrat fisiologis dan biologis.
Sehingga muncul isu bias gender yang dilatarbelakangi oleh adanya ketidakpuasan
perlakuan terhadap kaum perempuan. Implikasi bias gender secara tidak langsung
dapat merugikan masyarakat secara menyeluruh. Apabila
perempuan diposisikan tertinggal, maka akan sulit bagi perempuan untuk menjadi mitra
sejajar laki-laki, sehingga hubungan keduanya akan menjadi timpang. Ketimpangan
yang dapat berakibat negatif, selanjutnya dapat dihindari dengan mengisi
kehidupan yang “harmoni dalam berbeda” (Rahminawati,
2001).
Referensi:
Rahminawati,
N. 2001. Isu kesetaraan laki-laki dan perempuan (bias gender). Mimbar. 1 (3): 272-283.
Suhra, S.
2013. Kesetaraan
gender dalam
perspektif Al-Qur’an dan implikasinya
terhadap hukum Islam. Jurnal Al-Ulum. 13 (2): 373-394.
Comments
Post a Comment