Entah mengapa akhir-akhir ini aku
sedang candu untuk membuka laman id.quora.com. Tak tau darimana asalnya,
tiba-tiba sudah punya akun quora saja. Quora
ini seperti twitter atau media sosial semacamnya. Namun ada satu hal yang membedakan
Quora dengan media sosial lainnya, yaitu dimana
ada pertanyaan maka akan ada jawaban. Jadi seperti kuis berhadiah? No.. Semua orang berhak memberikan jawaban
terhadap pertanyaan yang diajukan. Boleh menjawab berdasarkan hasil research informasi maupun pengalaman
pribadi. Mau menggunakan identitas asli
atau anonim tak ada yang melarang. Bahkan kata-kata kasar dengan luwes dilontarkan tanpa ada sensor. Ini
yang menjadi ketertarikanku pada laman ini hahaha. Semua orang bebas berekspresi.
Saat asik membaca artikel dan scroll di Beranda Quora, tak sengaja aku
menemukan topik yang cukup susah dijawab. Banyak orang yang akan penasaran
mestinya. Mengapa tidak? Judulnya saja, βApa yang membuat Indonesia tidak maju padahal banyak orang Indonesia yang berprestasi di luar negeri?β. Akan banyak spekulasi yang bermunculan. Mungkin beberapa
orang berpendapat bahwa akibat lemahnya sistem pendidikan bla bla dan
sebagainya. Ternyata tak diduga jawabannya sangat berbeda dengan ekspektasiku.
Apalagi melihat gambar diatas yang memunculkan rasa heranku sebagai alumni
Universitas Brawijaya. Ada apa ini? Kenapa UB kok dibawa-bawa? Kan bangga Mahasiswa
UB memiliki banyak prestasi? Apa yang salah dengan gambar diatas? Baiklah inilah
diaβ¦
Sudah membacanya? Yapss, bagaimana pendapatmu? Jujur
saja aku cukup takjub dengan keberanian Fajrul Falah mengemukakan pendapatnya.
Tentu saja ia akan mendapatkan banyak hujatan. Dapat dilihat dari kolom komentar
yang berjibun. Namun aku tak bisa memungkiri bahwa memang benar seperti itu
kenyataannya. Well, aku pun pernah
sempat mendaftar namun tidak sampai berangkat. Mengapa? Jadi, alasanku
mengikuti event tersebut karena
adanya kegiatan organisasi yang berencana melaksanakan semacam studi banding
dengan perguruan tinggi di luar negeri. Semua orang tahu bahwa biaya ke luar
negeri tidaklah murah bagi mahasiswa yang notabenenya belum memiliki
penghasilan sendiri. Apalagi pihak kampus memberikan bantuan dana hanya untuk kegiatan
yang berorientasi kompetisi. Alhasil kami (aku dan rekan seorganisasi)
memutuskan untuk membentuk sebuah kelompok dan mengikuti salah satu event exhibition. Kebetulan waktu studi banding
dan pamerannya cukup berdekatan. Jadi, kami bisa meminta dana kepada pihak
kampus dalam ajang kompetisi. Memang terlihat nyata bahwa ada udang dibalik batu. Tapi mau bagaimana lagi? Yang penting urusan
organisasi terselesaikan dan kampus tak dirugikan!!
Baca Juga : Saya Menikah
Setiap fakultas di UB memfasilitasi mahasiswanya untuk
pengajuan dana lomba. Jika dirasa dana yang diberikan βkurangβ, maka masih ada
cara lain, yaitu mengajukan proposal kepada pihak rektorat. Saat itu wajib
hukumnya untuk berusaha termasuk diriku. Ada yang menemukan kemudahan tetapi
sebaliknya dengan aku dan teman satu tim. Saat itu aku memberanikan diri untuk menemui perwakilan fakultas yang menangani pendanaan lomba. Bermodalkan keberanian dan informasi dari kakak tingkat yang pernah
didanai. Tetapi ternyata proposal kami ditolak. Mengapa? Aku ingat betul bahwa
beliau berkata, βsulit didanai,
itu bukan
lomba". Saat itu yang ada di pikiranku hanyalah, βkok bisa? Itukan
lomba juga? Ada yang juara dan dapat medali?β Alhasil kami harus menyerah
dengan keadaan.
Setelah kejadian itu, sempat berkeinginan kembali
untuk mengikuti satu event yang
serupa. Tentunya selain berharap mendapatkan medali, tak munafik jika dikatakan
memang ingin merasakan jalan-jalan ke luar negeri. Tapi akhirnya diri ini menemukan pencerahan. Seorang temanku yang pernah sekali
mengikuti event tersebut seperti
"kapok". Pertama, biaya
registrasinya yang mahal. Memang benar, biaya yang harus dibayarkan berkisar
3-5 juta rupiah. Biaya itu hanya untuk registrasi. Belum lagi biaya untuk
transportasi, penginapan dan makan yang tentunya tak murah. Karena dana yang digelontorkan pihak kampus yang tak seberapa. Tak
jarang peserta harus rela menggunakan budget
pribadi (berdasarkan pengalaman teman-temanku). Kedua, event tersebut tak
sesuai jika disebut lomba. Karena semua
tim/peserta mendapatkan medali. Minimal akan memperoleh medali perunggu. Tidak ada seleksi berkas dan
semacamnya. Jika Anda mendaftar dan membayar registrasi maka otomatis akan
menjadi peserta.
Hanya beberapa event
yang mengharuskan peserta untuk menyertakan abstrak. Apapun itu ide produk/jasanya,
semua akan lolos. Kegiatan tersebut sebatas
pameran bukan seperti lomba-lomba nasional yang biasanya dipresentasikan 10
besar finalis. Untuk
menentukan pemenang dari
juara satu, dua dan tiga serta
adapula juara
harapan 1 dan harapan 2 oleh dewan juri. Bahkan ada juga kategori
best
presentation
dan best poster.
Satu lagi yang membuat diriku heran. Ada seorang teman lagi yang
tak pernah bosan lomba. Bahkan lombanya lebih aktif dibandingkan kuliahnya haha
(jika kamu membaca ini kamu tak mungkin bisa mengelak :D). Jika orang sakit
minum obat 3 kali. Ia malah lomba seminggu 3 kali. Itu lomba apa jalan-jalan
mas? Bercanda, bercanda.. Sempat bertanya-tanya, mengapa ia enggan untuk
mengikuti event berupa exhibition. Ternyata jawabannya seperti
diatas. Namun dibalik kekurangan event
tersebut. Menurutku ada satu hal positif yang bisa ditemukan. Semua ide akan dihargai, Tidak melihat βsebiasaβ
apa idenya, semua akan memperoleh apresiasi berupa medali. Hal inilah yang
membuat setiap manusia berhak atas pengakuan.
Namun tak jarang segelintir orang mengalihfungsikan kegiatan
ini sebagai
jalan pintas agar
bisa jalan-jalan gratis ke luar negeri. Bahkan banyak yang begitu bangga
mengoleksi banyak medali dan mengunggah
"keberhasilannya" a.k.a prestasi di media sosial. Bukan bermaksud menghina orang-orang yang pernah mengikuti kegiatan
tersebut. Karena aku tahu pasti tidaklah mudah perjalananmu hingga sampai di
titik itu. Bisa menginjakkan kaki di tanah orang dan bisa memiliki medali. Tapi
tak bisa dipungkiri dan sorry to say bahwa
kegiatan tersebut tak pantas disebut sebagai sebuah ajang kompetisi. Pendapat ini
juga dibenarkan Fajrul Falah yang bahkan ia sendiri pernah mengikuti event serupa. Biaya
yang sangat tinggi dan feedback yang diperoleh kampus pun tak cukup berdampak besar. Hanya saja media massa yang terlalu menggembar-gemborkan. Menurutku prestasi seseorang tak diukur dari berapa banyak penghargaan
yang diperoleh. Namun seberapa besar ia berkontribusi untuk lingkungannya. Tak
ada salahnya ikut kompetisi untuk memanen prestasi. Tapi mulai saat ini kita
harus lebih pintar dan selektif memilih event
apa yang akan diikuti π
Comments
Post a Comment