Cacing-cacing di perut, curi semua nutrisi…
Ikan ikan di laut makan semua sampah tak terpakai lagi…
Maaf baris pertama dan
keduanya tidak berhubungan sama sekali??!!
Tapi memang benar kalau saat
ini ikan di laut tak lagi memangsa ikan yang lebih kecil. Ia terpaksa untuk
memakan sampah yang mengambang hingga tenggelam ke dasar lautan. Bagaimana
bisa? Eksploitasi sumberdaya perikanan besar-besaran (overfishing) menjadi salah satu penyebabnya. Siapa penyebab overfishing? Tentunya manusia yang selalu
serakah mengeruk kekayaan alam. Karena keadaan, ikan-ikan besar lebih memilih
memakan sampah melayang yang nampak seperti ikan tersebut. Siapa penyebab
sampah semakin menggunung? Tentunya manusia
pula yang terus meningkatkan gaya hidup konsumsinya.
Dilihat dari definisinya, sampah merupakan sisa pakai dari
kemanfaatan yang digunakan oleh kebutuhan manusia. Sampah seringkali dipandang
sebagai sesuatu yang tidak ada manfaatnya. Sampah dipersepsikan sebagai sesuatu
yang tidak mempunyai nilai. Secara umum, manusia menganggap sampah adalah
barang sisa dari aktifitas manusia dan keberadaannya mengganggu estetika
lingkungan. (Amarani dan Shofi 2010 dalam Hayat dan Zayadi, 2018). Sudah jelas dikatakan bahwa sampah dihasilkan
oleh manusia. Selain diciptakan sebagai pemimpin di dunia. Tak dapat dipungkiri,
manusia adalah makhluk paling perusak di
bumi. “Jika tak pernah ada manusia
di dunia ini, pasti keseimbangan kehidupan akan terus berjalan”. Hewan hanya
membunuh hewan lain yang lebih lemah darinya, sebagai mangsa, sebagai objek
makanan. Kadangkala ia membunuh sesama jenisnya untuk memperebutkan kekuasaan seperti
singa. Ataupun melindungi diri dari ancaman. Sedangkan tumbuhan tak pernah
berebut lahan kan? Kalau manusia rela
membunuh sesamanya untuk kepentingan pribadi?
Baca Juga : Suksesku Suksesmu
Sudah berapa banyak berita yang
kita dengar mengenai kematian hewan-hewan di laut? Mulai dari penyu yang
hidungnya tertusuk sedotan plastik. Ikan duyung (dugong) yang mati karena
menelan sampah plastik. Hingga ikan paus yang mati terdampar karena isi
perutnya bukanlah ikan-ikan kecil tetapi puluhan kilogram sampah plastik
berbagai jenis. Miliaran ton sampah selalu mengalir ke lautan setiap harinya.
Mulai dari sampah yang ukurannya sebesar mobil hingga yang tak kasat mata. Jangan
salah, bukan hanya ikan-ikan besar yang mengonsumsi sampah. Ikan-ikan kecil
juga tak sadar menelan sampah yang berukuran mikro dan berujung pada terpaparnya
daging ikan oleh mikroplastik. Hewan
di darat juga merasakan dampak signifikan terhadap peningkatan jumlah sampah
manusia. Pernah dengar sapi di India harus di operasi karena perutnya berisi ratusan
lembar plastik? Mengapa sapi itu bisa makan sampah? Karena keadaan. Sudah
menghilangnya lahan hijau untuk rerumputan. Maka tak heran pula, hewan-hewan
ternak di pulau-pulau kecil juga memaksakan organ pencernaannya untuk mencerna
sampah. Seperti di Pulau Gili Ketapang, Probolinggo dan Pulau Bungin, Sumbawa. Manusia
makan apa? Makan ikan dan hewan ternak kan, terkecuali untuk vegan. Artinya, kita sudah makan plastik.
Kegiatan pembuangan sampah
adalah kegiatan yang tidak mempunyai titik akhir, sehingga diperlukan
penanganan dan pengelolaan secara konkrit dan sistematis. (Sulistyorini, 2005 dalam
Hayat dan Zayadi, 2018). Lalu
bagaimana cara kita supaya dapat sedikit mengurangi produksi sampah? 1) Bijak dalam berbelanja. Jika menganggap
sesuatu tidak terlalu penting, jangan membelinya. Jangan ikut gengsi dan trend!! Karena pada akhirnya barang yang
tidak terlalu kita butuhkan akan berakhir pada Tempat Pembuangan Sampah (TPA).
Jadilah smart shopper!! 2) Selalu habiskan makanan di atas piringmu.
Walaupun sampah makanan tergolong sampah organik yang dapat terdekomposisi
(terurai) secara alami. Namun jika jumlahnya berlebihan juga akan mengganggu
mata karena terlihat menumpuk. Selain itu, karena terurai secara alami, sampah
makanan akan menghasilkan gas metan yang baunya tentu sangat mengganggu sistem
pernapasan. Juga tak pernahkan terlintas di benak kita, jika masih banyak orang
yang kekurangan sumber makanan? 3) Jalan
sekalian olahraga. Mungkin hal ini akan terasa berat dilakukan oleh
kaum-kaum manja dan kaum-kaum mager
(males gerak) serta pecinta rebahan. Namun jalan kaki adalah suatu hal yang
biasa bagi anak kost yang tak memiliki kendaraan pribadi. Cobalah secara
perlahan dan bertahap. Tak perlu yang terlalu jauh, seperti berjalan kaki saat berangkat
sekolah atau ke kampus. Selain menyehatkan, juga tentunya akan menghemat
pengeluaran untuk biaya bahan bakar. 4)
Matikan listrik di kamar mandi. Nah ini, mungkin banyak yang tidak
menyadari. Setelah keluar kamar mandi, seringkali kita mengabaikan lampu.
Sedikit hal kecil ini tentunya akan berdampak besar. Saat ini sudah ada
pengurangan subsidi listrik oleh pemerintah. Sehingga biaya listrik tentunya
semakin mahal. Selain itu, semakin tuanya usia bumi saat ini, apakah kita yakin
jika batubara sebagai sumber bahan bakar penghasil listrik akan selalu
tersedia? 5) Bercocok tanam. Setidaknya
manusia membutuhkan 7 sampai 8 pohon dalam setahun sebagai sumber penghasil
oksigen. So, usahakan untuk menanam pohon. Walaupun terasa sulit (aku sendiri
merasakannya). Coba ikuti event menanam
pohon agar lebih praktis tanpa perlu mempersiapkan tetek-bengeknya. Ataupun bisa berdonasi untuk menanam pohon, salah
satunya melalui program yang ditawarkan WWF Indonesia, yaitu My Baby Tree. Untuk
yang tinggal di perkotaan bisa menerapkan urban
farming. Apa itu urban farming? 6) Sebarkan virus-virus peduli terhadap
lingkungan. Ini mungkin terakhir dariku namun sebenarnya masih banyak lagi.
Aku sendiri berusaha melaksanakannya melalui blog ini dan akun media sosialku seperti
instagram dan YouTube (untuk informasi lebih jelas mengenai keenam
poin di atas).
#UbahPerilaku
#SaveEarth
#SaveOcean
Referensi:
GenPi. 2019.
Satu manusia butuh enam pohon penghasil oksigen untuk bernafas. https://www.genpi.co/gaya-hidup/10542/satu-manusia-butuh-enam-pohon-penghasil-oksigen-untuk-bernafas.html. Diakses pada 4 Januari 2020 pukul 23:10 WIB.
Hayat dan
Zayadi, H. 2018. Model
inovasi pengelolaan sampah rumah tangga. Jurnal Ketahanan Pangan. 2 (2): 131-141.
Comments
Post a Comment