Memiliki banyak uang, kecantikan/ketampanan, kekuatan
dan jabatan tinggi adalah definisi sukses. Ya benar, namun tidak 100% benar. Ha??
Ada yang mengatakan sukses itu diukur dengan gelar. Mampu melewati tahap pendidikan
dari S1, S2 dan S3. Dari gelar master sampai profesor. Hingga gelarnya jika
ditulis di batu nisan tak akan cukup, eh. Terus-menerus berusaha menyabet gelar
pendidikan dengan level yang lebih tinggi. Tentunya dibarengi anggapan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan semakin
mempermudah memperoleh pekerjaan. Serta memperoleh prestige lebih tinggi pula di
mata masyarakat. Dan kebanyakan para pengejar tingkatan pendidikan berkeinginan
menjadi dosen. Namun nyatanya banyak lulusan
pasca sarjana yang pada akhirnya tak benar-benar terjun dalam dunia kampus.
Karena semakin banyaknya lulusan pasca sarjana yang tak berbanding lurus dengan
kebutuhan dosen baru di perguruan tinggi. Apalagi usia pensiun dosen yang cukup
tua, bisa mencapai 60-70 tahun. Seakan-akan tak memberi kesempatan kepada yang
muda?
Alhasil, terpaksa harus mencari pekerjaan lain. Dengan
kepercayaan diri besar karena mengantongi ijazah yang lebih banyak dari orang
kebanyakan. Dan boom, ternyata
menerima penolakan karena overqualified. Biasanya persyaratan lowongan pekerjaan untuk pendidikan
tertinggi, yaitu Strata-1. Mengapa
perusahaan menolak orang yang pendidikannya lebih baik? Bukannya menerima, malah
perusahaan biasanya akan memilih menolak mentah-mentah sejak diawal perekrutan
pada tahap administrasi. Karena level di atas persyaratan “ditakutkan”,
biasanya akan meminta gaji yang lebih tinggi dibandingkan standar ketetapan
perusahaan. Selain itu, biasanya orang
dengan pendidikan yang semakin tinggi maka semakin tinggi pula standar sempurnanya
(perfeksionis). Sehingga rawan “tidak betah” jika berhadapan dengan permasalahan
yang dianggapnya terlalu kompleks. Akhirnya bekerja tidak sesuai bidangnya.. Yang
level pendidikannya lebih rendah malah kerja sudah lama dan akhirnya menjadi
atasannya. Lalu apakah dengan gelar akan
selalu menang?
Baca Juga : Merry Christmas
Yang sudah
bekerja merasa mapan karena telah memiliki gaji
tinggi entah untuk menghidupi dirinya sendiri maupun kedua orang
tuanya. Memang benar, dibandingkan dengan rekannya yang masih sekolah mungkin
hal ini dapat dibenarkan? Namun ia juga tetap kalah karena mau tidak mau memang
tingkat pendidikannya lebih rendah. Tak jarang pula ia memperoleh cap buruk
karena katanya terlalu berorientasi
dengan uang dan jabatan. Bersaing dengan sesama rekan kerja untuk menaiki
posisi jabatan lebih tinggi. Ada yang bekerja dengan sungguh-sungguh. Adapula
yang menghalalkan segala cara dengan menghempas kawan yang ternyata lawan. Kesalahan
pemilihan gaya hidup berakhir pada hutang kartu kredit di sana-sini. Lalu apakah dengan harta dan jabatan akan
selalu menang?
Yang sudah menikah dan memiliki anak, merasa tujuan hidup dari semua
orang sudah ia genggam. Di saat teman-temannya masih ngalor ngidul (kesana kemari) mencari dambaan hati yang mau. Ia
sudah bermesra-mesraan dengan pasangannya dan bersenda gurau dengan bayinya.
Namun nyatanya ia juga merasakan kesedihan. Iya, kebebasannya terenggut. Bagaimana tidak, setiap malam harus
begadang, bergantian dengan sang kekasih hati untuk membuatkan susu dan
mengganti popok anaknya. Disaat teman-temannya masih sibuk berorasi dan berkutat
dengan jurnal penelitian. Ia malah membanting tulang, memeras keringat dan
memeras baju anaknya yang terkena pipis.
Lalu apakah dengan menikah lebih cepat maka lebih hebat?
Jangan pernah merasa diri kita yang paling hebat. Ingat, di atas langit masih ada langit. Di atas Barbie Kumalasari
masih ada Bang Hotman Paris wkwk. Untuk yang belajar, jangan pernah merasa paling
“mampu berpikir”. Fokuskan tujuan sekolah untuk menuntut ilmu. Untuk mahasiswa
pasca sarjana yang berkesempatan menerima beasiswa namun belum memiliki
pekerjaan. Hadapi kenyataan bahwa teman kalian yang sudah bekerja setingkat lebih
maju di depan kalian untuk masalah penghasilan. Untuk kalian yang sudah
bekerja, memang kalian mempunyai uang. Namun dari tingkat pendidikan kalian
lebih dibawah orang-orang bergelar. Kalian mungkin hanya memiliki satu gelar di
belakang nama. Atau bahkan tak memiliki gelar sama sekali. Untuk yang sudah
menikah, hadapi kenyataan masa tuamu sedikit lebih maju. Karena kamu akan atau
sudah menjadi orang tua. Jelas bebanmu semakin berat. Lalu, bagaimana makna sukses yang sebenarnya?
Kalau bisa, kuliah sampai S3, punya gelar profesor, sambil bekerja dan punya
anak-istri. Monggo dipraktikkan hihihi… Kalau menurut seorang Melynda sendiri
bagaimana definisi sukses? Bagiku yang utama ada dua poin, yaitu kesehatan jiwa dan raga. Tanpa adanya kedua
hal itu, hidup di dunia tak akan ada artinya. Baru deh yang selanjutnya bisa
menyusul, entah itu pendidikan, harta, jabatan dan cinta. 😊
Comments
Post a Comment