“Mensana in corpore sano”
Dari ungkapan Latin tersebut bermakna bahwa di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa
yang kuat. Lantas dengan rutin berolahraga dan mengkonsumsi makanan 4 sehat
5 sempurna mutlak akan menghasilkan individu dengan badan kuat nan mental baja? Tentunya tidak 100% dibenarkan.
Apakah dengan kekayaan, kecantikan, ketenaran
dan kecerdasan juga mampu menjauhkan seseorang dari permasalahan mental?
Tentu tidak. Apa yang membuat manusia begitu lemah di dalam, tak nampak dari luarnya?
Kesehatan jiwa sama pentingnya dengan kesehatan raga. Stigma dalam masyarakat yang berkembang, yaitu menganggap orang dengan gangguan
mental berarti sama dengan “orang gila”.
Celotehan dan cemoohan ini yang berakibat kepada terlambatnya penanganan gangguan mental. Mereka enggan untuk berusaha
mencari penanganan ahlinya. Menurut Novianty dan Hadjam (2017), gangguan mental berkontribusi sebesar 23%
terhadap beban kesehatan mental dunia. Tingginya angka prevalensi gangguan
mental berdampak pada beban sosial dan ekonomi, namun hanya 10% yang menerima
penanganan profesional. Menurut data World Health Organization, terdapat 300 juta orang
di dunia mengalami depresi, 60 juta
orang terdiagnosa bipolar, 21 juta
orang di dunia terkena skizofrenia
dan 47,5 juta orang terkena
demensia. Sedangkan di Indonesia,
menurut hasil Riset Kesehatan
Dasar pada tahun 2013, terdapat
14 juta orang atau sekitar 6%
orang terkena depresi, sedangkan
yang terdiagnosa gangguan
jiwa berat seperti skizofrenia
mencapai sekitar 400.000
orang atau sebanyak 1,7 per 1.000
penduduk di Indonesia (Andira dan Nuralita, 2018).
Baca Juga : Cara Menulis yang Baik dan Benar
Di era digital yang mewajibkan setiap individu selalu tampil prima menjadi salah satu penyebabnya. Melihat postingan hal-hal baik saja, berupa penghargaan dan segala gemerlap
duniawi. Membuat segala cara menjadi halal dilakukan. Jika netizen menemukan satu saja sisi buruk atau kesalahan kecil
idolanya, bullying akan bergema. Maka tak heran, banyak para idola yang
akhirnya memilih untuk mengakhiri hidupnya alias bunuh diri. Menyimpan segala
perasaan yang bercampur aduk. Rasa iri, rasa sedih, rasa benci akhirnya selalu
berlomba-lomba untuk menguasai diri. Alhasil kebencian muncul saat melihat
orang lain hidup dengan kesenangan. Usaha untuk memendam perasaan buruk sangatlah
berat dilakukan. Hanya sebagian yang mampu menunjukkannya.
Perempuan lebih dikenal sebagai makhluk yang lemah. Karena mudahnya ia berurai air mata untuk menampakkan perasaan sedih
maupun kecewanya. Berbeda dengan pria yang lebih mampu menutupi emosinya dengan
tingginya rasa “gengsi”. Benar saja,
perbandingan jumlah pria yang memiliki gangguan mental lebih tinggi
dibandingkan perempuan. Berdasarkan hasil penelitian Andira dan Nuralita (2018), didapati
perbedaan yang bermakna
antara jumlah pasien skizofrenia
dengan simtom depresi pada
jenis kelamin laki-laki dan perempuan,
didapati hasil dengan simtom
depresi terbanyak, yaitu pada pasien dengan jenis kelamin laki-laki sebanyak 78 orang (69,0%), sedangkan pada pasien perempuan didapati
hasil sebanyak 35
orang (31,0%).
Berbagai alasan bermunculan terhadap
keengganan seseorang untuk menemui profesional penanganan gangguan mental.
Diantaranya kendala finansial hingga ketakutan menghadapi penghakiman masyarakat,
“orang yang pergi ke psikiater atau psikolog pasti orang gila”. Alhasil self
diagnosis menjadi salah satu
cara. Menganggap dirinya psikopat, skizofrenia, bipolar, berkepribadian ganda (DID)
dan depresi. Hal ini tentunya salah besar. Di zaman mobilitas tinggi yang
menyebabkan penurunan intensitas pertemuan manusia untuk berinteraksi ini.
Membuat teknologi mampu menaikkan pamornya. Sesi curhat online sudah banyak
ditawarkan layanan psikologi. Ada Pijar Psikologi, Riliv, Ibunda, Save
Yourselves dan masih banyak lagi. Justru hal ini semakin mempermudah kita untuk
segera menemukan penanganan jika merasa memiliki permasalahan yang cukup pelik
dalam diri.
Jangan sepelekan
kesehatan mental. Cintai jiwamu seperti kamu merawat tubuhmu. Jangan pernah
merasa sendiri. Temukan seseorang yang mampu menerimamu. Yang mampu
mendengarkan keluh-kesahmu. Entah itu keluargamu, saudaramu, pasanganmu atau
bahkan sahabatmu. Jangan berusaha mencari perhatian banyak orang untuk peduli.
Ingat!! MEREKA HANYA PENASARAN, BUKANLAH PEDULI.. Jangan terpaku dengan
kuantitas orang-orang yang katanya peduli namun nyatanya bersembunyi. Kualitas
menjadi yang terpenting!! Jika tidak
tau, lebih baik diam 😊 Jangan pernah memberikan cap buruk pada seseorang.
Jangan pernah memberikan hate statement/comment
jika kamu sendiri ingin diperlakukan baik. Jika kamu ingin memanen kebaikan,
maka tebarlah kebaikan pula…
Referensi:
Andira, S. dan N. S. Nuralita. 2018. Pengaruh
perbedaan jenis kelamin terhadap simtom depresi pasien skizofrenia di Rumah
Sakit Jiwa Prof. Dr. M. Ildrem Kota Medan Sumatera Utara pada tahun 2017. Buletin Farmatera. 3 (2):
97-108.
Novianty, A.
dan M. N. R. Hadjam. 2017. Literasi kesehatan mental dan sikap komunitas
sebagai prediktor pencarian pertolongan formal. Jurnal Psikologi. 44 (1): 50-65.

Comments
Post a Comment