![]() |
Konservasi Penyu |
Kura-kura? Dikenal sebagai hewan yang lamban. Stigma ini muncul
karena cerita fabel antara kelinci dan kura-kura bertanding dalam ajang menguji
kecepatan. Dan pada akhirnya kura-kura mampu membuktikan bahwa lambat belum tentu selalu tertinggal. Namun
tekad dan ketekunan yang mengantarkan
pada keberhasilan.
Well, kalau di darat ada kura-kura, kalau di laut ada penyu. Bentuknya plek sama. Di cap sebagai hewan yang lamban nampaknya sangat salah
bagi penyu. Penyu tak lamban seperti dalam cerita kura-kura di Upin dan Ipin. Hewan ini dapat mengarungi
luasnya lautan. Mencari makan, bereproduksi hingga bertelur dengan jarak yang
sangat jauh. Penyu sebagai salah satu hewan dilindungi karena jumlahnya yang
sangat sedikit dan kelulushidupan tukik
(anakan penyu) yang juga rendah. Hal ini sebagai penyebab penyu menjadi salah
satu bagian dari konservasi.
![]() |
Pejuang Penyu Project |
Aku sadar diri, sebagai mahasiswa Teknologi Hasil Perikanan
(THP). Sangatlah mustahil untuk memperoleh ilmu mengenai konservasi penyu dalam lingkup perkuliahan. Mau tidak mau aku harus
berusaha sendiri mencari peluang di luar kampus. Dan benar saja, sebuah organisasi
Leo Club Malang Arrow mengadakan event
mencari volunteer dalam Project Pejuang Penyu. Jelas saja tanpa
ditanya,aku langsung mendaftar. Dengan persyaratan membuat esai alasan
mengikuti dan mengapa harus memilih diriku. Hanya bermodalkan niat tulus untuk
belajar, ku melaksanakan step dengan sepenuh hati. Luar biasa, aku dinyatakan lolos
sebagai salah satu volunteer. Berhasil mengalahkan ratusan pendaftar katanya.
Senang bukan main!!
Baca Juga : Berdamai dengan Kegagalan
![]() |
Penangkaran Penyu |
Pasti banyak mahasiswa Ilmu Kelautan yang ikut,
dugaanku saat itu. Ternyata aku salah, beragam bidang ilmu yang tertarik untuk belajar
konservasi penyu. Mulai dari sastra inggris, sosiologi bahkan sastra arab. Gak
ada yang salah, siapa saja boleh belajar. Titik kumpul di UIN Malang, sangat
dekat dari kos. Kami semua berangkat menaiki truk. Jujur pengalaman pertama
naik truk haha. Sepanjang perjalanan menuju Pantai Bajul Mati, disuguhi jalan berkelok dan menanjak. Bisa
dibayangkan? Kami berguling-guling di dalam truk :D. Sesampainya di lokasi kami
langsung mendirikan tenda. Konservasi atau penangkaran
penyu ini diinisiasi oleh Bapak Sutar. Beliau dulu seorang “perusak lingkungan”
karena menangkap ikan menggunakan bom. Dulu saat krisis pangan, penyu pun juga
dikonsumsi. Karena kesadaran akan keberlanjutan penyu dan sebagai indikator baiknya
suatu ekosistem. Beliau akhirnya menjadi seorang pejuang penyu yang seutuhnya.
Perjalanan yang melelahkan tak menyurutkan semangatku.
Terus belajar hingga larut malam. Dan saat yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba,
yaitu observasi lapang. Melihat penyu meletakkan telurnya di darat. Namun
sayang kami belum beruntung waktu itu. Tapi tak mengapa, kami diajarkan hingga
bagaimana bentuk jejak kaki penyu yang mungkin sedikit mengecoh. Aku ingat
betul kami duduk di pinggir pantai tanpa alas diatas pasir. Menggunakan jas
hujan karena saat itu gerimis. Dan yang paling berkesan, kegiatan itu kami
lakukan tengah malam, hampir jam 12 malam. Merasakan dinginnya angin laut, suara
ombak yang berderu dan basah air hujan yang tak terelakkan. Tak ada rasa
kantuk, yang ada hanya raut wajah bahagia. Karena hujan semakin deras dan malam
semakin larut, usai sudah kegiatan observasi. Kami semua diizinkan untuk tidur
di warung milik Bapak Sutar. Namun aku dan kedua temanku memilih tidur di dalam
tenda. Menikmati dinginnya udara, suara ombak dan batu yang mengganjal di bawah
tenda. Aku harap gak ada ular :/
![]() |
Pejuang Lingkungan |
Sebenarnya bukan hanya ilmu tentang penyu yang
kudapatkan. Tapi lebih pada pelajaran hidup. Ada Mas Tomo dari Sahabat Alam Indonesia. Beliau
menyampaikan bahwa “kalian sebagai mahasiswa itu beruntung tapi kurang beruntung”. Beruntung bisa menuntut ilmu,
namun juga kurang beruntung karena menanggung beban sosial dari orang tua dan lingkungan. Biaya kuliah mahal,
lantas apa yang bisa kalian berikan kembali kepada mereka? Itu yang membuat
kalian berkewajiban mengembalikan “modal”
dan nama baik sebagai seorang sarjana. Sedangkan Pak Sutar itu kurang beruntung tapi beruntung. Beliau
tak bisa mencicipi jenjang pendidikan yang tinggi. Namun beliau melakukan sesuatu atas dasar dari dalam hati,
keinginannya. Tak ada tuntutan dan tekanan dari lingkungan. Tapi sayangnya
kebanyakan orang bergelar jarang “mau” terjun langsung ke lapang. Hmmm, tamparan
keras. Selain itu, Mas Anang dari The
Aspinal Foundation dengan ikhlas merelakan gelar sarjana teknik sipilnya.
Bertahun-tahun tidak bertegur sapa dengan keluarga. Keluarganya menolak atas pilihan
hidupnya. Namun kata beliau, “idealis dalam
diri gak bisa berbohong”. Ia rela melepaskan peluang memperoleh penghasilan
tinggi. Mempelajari ilmu konservasi, orang utan, harimau katanya. Demi melampiaskan
gejolak jiwa sosial yang tinggi
untuk menjadi relawan.
Lantas apa yang bisa kita berikan untuk lingkungan?
Comments
Post a Comment