Dunia Literasi |
Saat dalam masa mengenyam pendidikan, kita selalu dihadapkan dengan
istilah literasi. Baik itu saat di bangku sekolah dasar hingga di perguruan
tinggi, kita dituntut untuk cinta dunia
literasi. Sebenarnya apa pengertian literasi? Musthafa
(2014) menjelaskan bahwa literasi merupakan kemampuan membaca, menulis dan berpikir kritis.
Melalui literasi diharapkan tumbuh kesadaran kritis untuk mempelajari sesuatu
yang baru atau mengasimilasikannya dengan pengetahuan sebelumnya. Dalam
fungsinya, literasi mampu memengaruhi pemikiran seseorang, menumbuhkan budaya
kritis hingga melahirkan masyarakat yang cerdas dan memiliki daya saing. Kata “literasi” sering dihubungkan dengan
kata “dunia” dan “budaya”. Dunia dalam artian bahwa luasnya
literasi layaknya alam semesta ini. Serta budaya lebih mengarah pada cara untuk
menerapkan dan mewariskan literasi tersebut dari generasi ke generasi. Literasi ada dalam kehidupan manusia, dimanapun
kita berada.
Mahasiswa yang katanya “agent of change” dituntut harus
mampu menyerap segala macam ilmu. Bagi seorang mahasiswa yang tidak memiliki
buku paket seperti saat berada di bangku sekolah. Selain mengandalkan ilmu dari
“khotbah” dosen. Berbagai sumber pendukung sangatlah penting agar belajar tidak
secara satu arah. Mungkin dengan mudahnya kita mencari referensi, mulai buku, jurnal
hingga e-book. Sumber bacaan atau
referensi tersebut kita kenal dengan sebutan literatur. Mengerjakan makalah
menggunakan literatur, begitu pula saat mengerjakan laporan praktikum. Begitu
pentingnya literatur bagi kehidupan manusia-manusia “berpendidikan”. Hidup
mahasiswa tak bisa terlepas dari literatur.
Baca Juga : Mahasiswa Kok Veteran
Kebiasaan berkutat dengan literatur, mendorong beberapa mahasiswa lebih mencintai literasi. Atas dasar “kemampuan
lebih” ini, membuat beberapa mahasiswa begitu mudah untuk membuat sebuah goresan
pena. Kesempatan emas, anugerah dari
Tuhan ini tak disia-siakan begitu saja. Dengan embel-embel mencintai dunia
literasi, “orang-orang hebat ini” membuat
karya layaknya seniman namun dalam bentuk tulisan. Tak ingin rugi dengan bakatnya, kebanyakan dari mereka sebenarnya menulis untuk kompetisi. Benar tidak? Dengan
niat membawa nama almamater namun dengan niat tersembunyi untuk mengantongi penghargaan
bagi dirinya sendiri. “Niat licik” yang nyatanya tak bisa ditutup-tutupi. Begitulah
manusia… Tak ada yang salah memang. Bahkan menulis dapat menjadi ladang
penghasilan. Hanya saja mengangkat topik cinta literasi dengan niat yang
sedikit melenceng mungkin bisa dipermasalahkan.
Dengan piala yang berjejer, tumpukan sertifikat dan CV yang penuh
katanya akan mempermudah jalan kedepannya. Apalagi yang mau melanjutkan pendidikan.
Padahal berdasarkan pengalaman seorang rekan yang memperoleh Beasiswa LPDP. Interviewer beasiswa lebih tertarik akan kontribusimu untuk
Indonesia. Pernah pengabdian? Apa yang pernah
kamu berikan untuk daerahmu? Makanya seringkali untuk persyaratan beasiswa,
diharuskan membuat esai kontribusimu untuk Indonesia. Kewajiban untuk kembali
dan mengabdi pada Indonesia setelah selesai studi (jika memilih tujuan perguruan
tinggi di luar negeri). Bukan berapa banyak medalimu atau berapa lembar
sertifikat juaramu. Karena sebenarnya, semakin banyak keikutsertaan dalam
kompetisi mampu menunjukkan sisi asli
kita. Melihat kegiatan kita yang hanya berorientasi pada memperbanyak
penghargaan. Akan menunjukkan bahwa kita memiliki sikap individualisme dan idealis
diri atau dengan kata kasarnya “pokoknya
aku harus berprestasi” (achievement-oriented).
Sesekali boleh namun kebanyakan jangan (in
my opinion). Kan apapun yang
berlebihan itu tidak baik :D.
Sayang sekali!! Dengan digencarkannya budaya literasi dalam berkehidupan,
hasil yang diperoleh sedikit melenceng. Semakin banyak piala menunjukkan
semakin cinta terhadap dunia literasi? Mengatakan cinta dunia literasi, menjunjung
tinggi budaya literasi haruskah dibalas dengan penghargaan? Apakah jika tidak
mengikuti kompetisi akan berhenti menulis? Atau menulis hanya untuk mengikuti
kompetisi? Tanyakan pada diri kita sendiri. Luruskan niat!! Woles, tahan emosi
wkwk :D
Referensi:
Musthafa, B. 2014. Literasi Dini
dan Literasi Remaja: Teori, Konsep dan Praktik. Bandung: CREST.
Comments
Post a Comment