BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Laut merupakan perairan yang didalamnya
terkandung beraneka ragam sumber daya alam dan sebagai sarana transportasi yang
semuanya dapat dimanfaatkan untuk kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.
Sebagai negara kepulauan, hampir seluruh provinsi di Indonesia memiliki wilayah
perairan yang terdiri atas kawasan hulu dan pesisir. Kerusakan ekologis di
hulu dan akumulasi limbah yang dialirkan dari daerah hulu, dapat mengancam
kawasan pesisir. Fenomena ini tentunya disebabkan oleh pola pembangunan yang
lebih berorientasi pada aspek ekonomi dan kurang mempertimbangkan faktor lingkungan
dan sosialnya. Lingkungan hidup dalam kaitan dengan pembangunan sudah mulai
dikenal di kalangan pemerintahan di dunia ini pada tahun 1972 dan sejak itu
mulai dirintis berbagai langkah pengembangan pola pembangunan yang tidak
merusak lingkungan (Salim, 1990 dalam Malisan, 2011). Meskipun
demikian, pada kenyataannya masih banyak terlihat aktivitas yang mengakibatkan
pencemaran lingkungan, di darat maupun di laut. Akibatnya, fenomena ini menjadi
sebuah krisis lingkungan yang menimbulkan persoalan baru dengan dampak yang
cukup besar terhadap kehidupan manusia, akan tetapi penyelesaiannya sering
besikap “setengah hati”, dan upaya pemecahan masalahnya tidak pernah
diselesaikan secara tuntas (Nasir,
2010 dalam Malisan, 2011).
Keadaan geografisnya Indonesia yang sebagian besarnya
terdiri dari lautan dan posisi Indonesia yang berada
pada jalan silang dunia antara dua samudera besar,
mengabitkan lautan Indonesia menjadi ramai dilalui oleh
kapal-kapal asing, termasuk kapal-kapal tanker antar benua. Hal itu mengakibatkan lautan Indonesia sangat rawan terhadap
masalah lingkungan lingkungan laut, khususnya masalah
pencemaran oleh minyak bumi dalam segala bentuk dan akibatnya. Meskipun
pencemaran laut (marine pollution) bukanlah hal yang
secara langsung menyangkut masalah keamanan, tetapi akibat
hak yang ditimbulkan oleh adanya polusi tersebut dapat
mempengaruhi reaksi fungsi laut, terutama bagi vitalnya (Hartono, 1977 dalam Subekti, 2011).
Di Indonesia sendiri, pencemaran lingkungan
akibat tumpahan minyak bukan hal baru. Seperti dikutip dalam berita online
pada 31 Januari 2017, Laut Lhoukseumawe tercemar limbah minyak. Perairan KP3
Kampung Jawa Lama dan Pusong Lama, Kecamatan Banda Sakti, Lhokseumawe,
diduga tercemar minyak, Selasa, 31 Januari 2017. Warga mengaku turut menghirup bau
menyengat di kawasan perairan tersebut. "Bau seperti minyak itu
sangat menyengat. Tepian laut pun seperti ada tumpahan minyak. Nampak jelas
kalau kita lihat," kata Bang Yek, salah satu nelayan setempat kepada
portalsatu.com. Menurutnya
warga baru mengetahui kalau pantai mereka tercemar minyak sejak pukul 13.00 WIB
tadi. Kecurigaan
warga datang setelah menghirup bau minyak menyengat di sepanjang pantai dua gampong tersebut. Kecurigaan
warga kian kuat setelah mengetahui adanya aktivitas bongkar muat minyak di
Depot Pertamina
Lhokseumawe pada Selasa, 31 Januari 2017 dinihari. Lokasi bongkar muat tersebut
tak jauh
dari lokasi pantai yang tercemar tumpahan minyak. "Kita belum tahu asal
limbah minyak yang telah mencemari air laut tersebut, karena tadi malam juga ada
kapal bongkar muat di Depot Pertamina," kata Bang Yek. Kasubbid
Penanganan Lingkungan Hidup BLHK Kota Lhokseumawe, Faisal, mengatakan, pihaknya telah
mengambil sampel air laut di kawasan Banda Sakti sesuai permintaan polisi.
Mereka nantinya akan
menguji sampel tersebut di BLHK Provinsi Aceh untuk mengetahui jenis
kandungannya. "Kita
hanya mengambil sampel atas permintaan pihak kepolisian, untuk dilakukan uji
laboratorium guna
mengetahui kandungan limbah tersebut, termasuk minyak jenis apa," kata
Faisal kepada portalsatu.com
saat ditemui di lokasi pencemaran. Faisal membenarkan adanya aktivitas bongkar muat
di Depot Pertamina seperti yang disebutkan warga. Hal tersebut diakui pihak
Pertamina yang menyebutkan bongkar muat dilakukan Selasa, 31 Januari
2017 sejak pukul 01.00 WIB hingga pukul 13.00 WIB
(www.portalsatu.com, 2017).
Gambar 1. Berita Laut Lhoukseumawe tercemar limbah minyak
Oleh karena itu, wajib dilakukan pelestarian
lingkungan hidup dan pencegahan pencemaran lingkungan laut. Masyarakat pesisir
terutama nelayan terus menjadi korban atas ketidakseriusan pemerintah dalam
mengurus sumberdaya perairannya. Di dunia internasional menurut Ingmanson dan Wallace (1985) dalam
Malisan (2011), ada sekitar 6 juta metrik ton minyak setiap tahun mencemari
lautan.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di
atas maka dapat ditentukan rumusan masalah dalam makalah ini seperti berikut.
1. Bagaimana
potensi Laut Aceh menjadi tercemar?
2. Apa yang
dimaksud pencemaran laut?
3. Apa faktor penyebab
terjadinya pencemaran laut?
4. Apa
kandungan bahan berbahaya dalam air laut akibat pencemaran?
5. Bagaimana proses
terjadinya pencemaran laut?
6. Bagaimana dampak
pencemaran terhadap ekosistem laut?
7. Bagaimana solusi
terhadap pencemaran laut?
1.3 Tujuan
Berdasarkan uraian rumusan masalah
di atas maka dapat ditentukan tujuan dalam makalah ini seperti berikut.
1. Memahami
potensi Laut Aceh menjadi tercemar.
2. Mengetahui
definisi pencemaran laut.
3. Mengetahui faktor
penyebab terjadinya pencemaran laut.
4. Mengetahui
kandungan bahan berbahaya dalam air laut akibat pencemaran.
5. Memahami proses
terjadinya pencemaran laut.
6. Memahami dampak
pencemaran terhadap ekosistem laut.
7. Memahami solusi
terhadap pencemaran laut.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Potensi Laut
Aceh Tercemar
Perairan
estuaria Ujung Blang merupakan pantai yang ada di wilayah Kota Lhokseumawe,
terletak di Provinsi Aceh dan berhubungan langsung dengan Selat Malaka di wilayah
utara, wilayah barat berbatasan dengan Kecamatan Dewantara, wilayah selatan
berbatasan dengan Kecamatan Kuta Makmur, dan wilayah timur berbatasan dengan
Kecamatan Syamtalira Bayu. Penelitian mengenai perubahan Garis Pantai Aceh
akibat bencana gempa dan tsunami pada tanggal 26 Desember 2004 telah banyak
dilakukan oleh berbagai pihak, baik dari dalam maupun luar negeri (Oki, 2008 dalam Raihansyah et al., 2016). Pantai Ujung Blang mengalami perubahan garis pantai
yang terbilang cukup tinggi dari tahun 2005 hingga tahun 2015. Kawasan pantai
juga merupakan kawasan yang sangat dinamis dengan berbagai ekosistem hidup
disana dan saling mempunyai keterkaitan satu dengan yang lainnya (Raihansyah et al., 2016). Selain itu, di pantai ini
terjadi pencemaran laut akibat tumpahan minyak.
Gambar 2. Peta Pantai Ujung Blang, Kecamatan Banda Sakti, Lhokseumawe
(Sumber: Raihansyah et al., 2016)
|
Dampaknya ratusan
nelayan di Kampung Jawa dan Pusong, Kecamatan Banda Sakti, Lhokseumawe,
mengeluh. Sejak dua hari terakhir, hasil tangkapan mereka menurun drastis. “Tangkapan
kami sangat berkurang.” kata Muhammad Nazar (32), nelayan di Kampung Jawa,
Jumat (3/2). Nazar adalah seorang nelayan pukat. Bersama rekan-rekannya, dia
biasa masuk ke laut dan membentangkan jala sebelum menariknya ke pantai. Dalam
sehari, hal ini berulang kali dilakukan hingga empat atau lima kali. Namun
sejak pantai itu dicemari, mereka hanya melaut dua atau tiga kali dalam sehari.
Hasil tangkapan pun, kata Nazar, tak sesuai. Tumpahan minyak yang menutupi permukaan
air di sepanjang pantai Lhokseumawe membuat ikan-ikan menjauh. Mereka berharap pemerintah
setempat segera bertindak mengatasi masalah ini. Kepala Satuan Reserse dan
Kriminal Kepolisian Resor Lhokseumawe AKP Yasir mengatakan pihaknya akan
bertindak setelah mendapatkanhasil pemeriksaan laboratorium. Yasir datang ke
lokasi itu setelah mendapatkan laporan masyarakat tentang pencemaran pantai itu
bersama BLHK Lhokseumawe. "Hasil pengecekan sementara, kami melihat
seperti kandungan minyak. Namun ini harus dipastikan di laboratorium,” kata
Yasir, Selasa lalu. Tidak hanya berubah bentuk, air laut di sepanjang kawasan
itu juga mengeluarkan bau busuk. Bau ini pula yang mengganggu masyarakat yang
berada di bibir pantai tersebut. Kepala Sub Bidang Penanganan Lingkungan BLHK
Lhokseumawe, Faisal, belum dapat memastikan sumber pencemaran.
Gambar 3. Berita Laut tercemar, pendapatan nelayan Lhoukseumawe menurun
(Sumber: http://www.ajnn.net/news/laut-tercemar-pendapatan-nelayan-lhokseumawe-menurun/index.html)
|
Dari uraian diatas perlu dilakukan kajian mengapa terjadi
pencemaran laut. Apa yang dimaksud pencemaran, bagaimana dapat terjadi,
bagaimana proosesnya, apa dampak terjadinya pencemaran laut dan sebagainya.
2.2 Pencemaran Laut
Pencemaran
laut, yaitu masuknya zat, makhluk hidup, energi, dan komponen lain ke dalam air
atau berubahnya tatanan air oleh kegiatan manusia dan proses alami yang
menyebabkan kualitas air tersebut turun sampai ketingkat tertentu yang
menyebabkan air kurang berfungsi sesuai dengan peruntukannya (Menteri Negara
Kependudukan dan Lingkungan Hidup, 1988). Kualitas air di pesisir pantai
ditentukan oleh limbah-limbah yang terbuang baik secara langsung maupun tidak
langsung dalam bentuk bahan organik, anorganik dan bahan bahan tersuspensi
(Ubbe, 1992 dalam Astuti et al., 2016).
Pencemaran laut sendiri dalam Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 1999 tentang pengendalian
pencemaran dan atau perusakan laut, didefinisikan sebagai masuknya atau
dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam
lingkungan laut oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai tingkat
tertentu yang menyebabkan lingkungan laut tidak sesuai lagi dengan baku mutu
danatau fungsinya. Tumpahan minyak dari kapal ataupun pembuangan air buangan
kamar mesin tanpa treatment merupakan salah satu sumber yang cukup
dominan dari pencemaran minyak di laut (Setiawan et al., 2014).
Pencemaran atas laut atau Marine
Pollution merupakan salah satu masalah yang mengancam bumi saat ini,
Pencemaran atas laut terus dibicarakan dalam konteks perbaikan lingkungan hidup
internasional. Perlindungan laut terhadap pencemaran adalah merupakan upaya
melestarikan warisan alam. Melestarikan warisan alam adalah memberikan prioritas
pada nilai selain ekonomis: nilai keindahan alam, nilai penghormatan akan apa
yang ada yang tidak diciptakan sendiri, dan lebih dari itu, nilai dari
kehidupan itu sendiri, sebuah fenomena yang bahkan sekarang ini dengan
kemampuan akal budi manusia tidak mampu dijelaskan (George, 1995 dalam Darmawan dan Masduqi, 2014)
2.3 Faktor Penyebab Pencemaran Laut
Pencemaran minyak di
laut berasal dari beberapa sumber, yaitu: (i) tumpahan minyak karena
operasional rutin kapal dan kecelakaan kapal, (ii) pelimpasan minyak dari darat
(down the drain), (iii) terbawa asap (up in smoke), (iv)
eksplorasi dan eksploitasi lepas pantai, (v) pipa transportasi minyak, (vi) tank
cleaning dan (vii) perembesan alami (natural seeps). Sumber terbesar
terjadinya pencemaran minyak di laut adalah pelimpasan minyak dari darat (down
the drain) (Haryani, 2005).
Pencemaran di laut juga dapat berupa plastik
yang tidak terurai. Jumlah limbah ini semakin lama semakin besar, dan hingga
sekarang belum diketahui pasti dampak lingkungannya secara jangka panjang,
selain dampak estetikanya yang sudah jelas merugikan. Pencemaran laut yang
lainnya terjadi pula dari buangan zat kimia limbah pabrik yang dibuang ke
sungai dan mengalir ke laut. Pembuangan tailing atau ampas sisa kegiatan
penambangan ke laut juga menyebabkan pencemaran, karena tailing yang seharusnya
mengendap di dasar laut dapat terbawa ke permukaan laut dengan adanya
pembalikan arus dari bawah laut. Karena tailing tersebut mengandung logam berat
yang berbahaya seperti mercuri, maka dampak lingkungan yang merugikan akan bersifat
akumulatif di seluruh rantai makanan (Santosa, 2013).
Menurut Mukhtator (2010) dalam PSDKP (2016), bahan pencemar yang masuk ke lingkungan laut
berasal dari berbagai sumber:
a. Limbah
rumah tangga.
b.
Limbah lumpur.
c. Limbah
industri.
d. Limbah
pengerukan.
e. Limbah
eksplorasi dan produksi minyak.
f. Tumpahan
minyak.
g. Limbah
radioaktif.
h.
Cemaran panas.
i. Sedimen.
j. Limbah
padat.
k. Limbah
dari kapal.
l. Limbah
pertanian.
m. Pestisida.
n. Cat
antifouling.
o.
Limbah perikanan.
Pencemaran lingkungan
pesisir dapat terjadi di perairan manapun diseluruh dunia terutama bila terjadi
tumpahan minyak kelaut (oil spill) yang mengakibatkan terjadinya
pencemaran yakni masuknya zat zat asing kedalam lingkungan sehingga merubah
sifat sifat fisik, kimia dan biologis lingkungan (Ketchum, 1972 dalam Edyanto, 2008). pencemaran laut
dapat pula terjadi dalam skala besar misalnya oleh karena adanya aglomerasi atau
pemusatan penduduk pada suatu lokasi, perkembangan pariwisata, atau munculnya kawasan
industri di wilayah pesisir. Pada kenyataannya hampir seluruh kegiatan yang berada
di wilayah pesisir membuang bahan limbah mereka kelaut. Pada umumnya banyak orang
beranggapan bahwa laut adalah tempat pembuangan limbah akhir dalam ruang yang
tidak terbatas dan kini lautpun menjadi pusat pembuangan sampah baik berupa
limbah padat, maupun limbah cair ataupun limbah radioaktif (Edyanto, 2008).
Gambar 4. Bahan-bahan pencemar lingkungan laut
(Sumber: Edyanto, 2008)
|
Selain itu, pencemaran di laut juga disebabkan
bahan organik. Menurut Erari et al.
(2012), Secara ekologis sungai-sungai yang kondisinya kurang sehat, di dalam badan
sungai terdapat berbagai sampah maupun limbah cair bersifat organik dan nonorganik
yang dibuang ke dalam badan sungai oleh masyarakat. Apabila saat turun hujan
warna air pada sungai-sungai tersebut terlihat keruh dan saat-saat tertentu air
itu berwarna dan berbau, ini merupakan indikator telah terjadi pencemaran.
Menurut Amin (2001) dalam Erari et al. (2012), aktivitas manusia yang
begitu kompleks di daratan sangat berpotensi mengganggu keseimbangan ekosistem
perairan pesisir pantai dan laut.
2.4 Kandungan Bahan Berbahaya dalam Air Laut Akibat
Pencemaran
Meningkatnya kegiatan industri berpotensi
penggunaan logam berat di atas daya tampung dan daya dukung yang dimiliki
lingkungan dan meningkatnya penimbunan logam di daerah pesisir dan lautan serta
daratan. Emisi dari Cd, Zn dan Pb dihasilkan dari proses seperti pembakaran
bahan bakar dan kegiatan pertambangan. Sebagai akibat meningkatnya penimbunan
logam di dalam lingkungan maka organisme yang hidup di lingkungan air dan tanah
akan terpapar oleh logam (Dusparini, 1992 dalam
Damaianto dan Masduqi, 2014). Logam dinyatakan polutan atau pencemar yang
sangat toksik karena logam bersifat tidak dapat terurai, banyak bahan pencemar
logam yang digunakan oleh industri seperti raksa (Hg), kromium heksavalen
(Cr(VI)), arsen (As), kadmium (Cd), tembaga (Cu), Timbal (Pb), Seng (Zn) dan
Nikel (Ni) (Sastrawijaya, 1991 dalam
Damaianto dan Masduqi, 2014).
2.5 Proses Terjadinya Pencemaran Laut
Menurut Haryani (2005),
dalam membahas pencemaran minyak di laut perlu diketahui beberapa aspek yang
terkait dengan proses pencemaran minyak di laut, yaitu tipe minyak, sifat minyak,
nasib (fate) dan pelapukan minyak (wheathering), jalur pergerakan
minyak (pathways) dan keterpaparan (exposure).
a.
Tipe minyak.
b. Sifat minyak.
c. Nasib dan pelapukan
minyak.
d. Jalur pergerakan
minyak.
e. Keterpaparan minyak.
f. Pendekatan untuk
kajian kontak (exposure).
g. Proses-proses
pelapukan (weathering) minyak di perairan.
2.6 Dampak Pencemaran Terhadap Ekosistem Laut
Cemaran minyak di laut
adalah pembunuh ampuh bagi kehidupan di laut. Sebagai contoh kerugian nelayan
Kepulauan Seribu atas kejadian pencemaran minyak yang terus menerus pada tahun
2004 mencapai 2,3 M rupiah akibat matinya ikan budidaya dan tangkapan. Penyu, lumba-lumba
dan burung juga ditemukan mati. Sayangnya belum satupun pelaku yang terjaring
hukum, karena lemah dan tidak padunya penegakan hukum, diperparah ketiadaan
data dasar sumber daya kelautan. Sehingga menyulitkan dalam melakukan tuntutan
ganti kerugian atas kejadian tumpahan minyak (Jatam, 2005 dalam Haryani, 2005).
Hasil pengamatan awal Astuti et al. (2016) menunjukkan bahwa adanya
minyak yang menutupi permukaan perairan, serta warna air yang sedikit kekeruhan
memperkuat dugaan bahwa perairan tersebut rentan tercemar logam berat. Menurut
Suprijanto et al. (1997) dalam
Astuti et al. (2016), logam berat
berpotensi meningkat karena adanya proses industri yang menggunakan logam
berat. Logam berat secara langsung maupun tidak langsung dapat membahayakan
manusia seperti timbal (Pb) dengan mengkonsumsi biota perairan yang
terakumulasi, sehingga dapat mengakibatkan penghambataan sistem pembentukan
hemoglobin (Hb). Adapun jumlah timbal (Pb) yang diserap oleh tubuh hanya
sedikit, logam ini ternyata menjadi sangat berbahaya. Hal ini disebabkan
senyawa-senyawa Timbal (Pb) dapat memberikan efek racun terhadap banyak organ
yang terdapat dalam tubuh manusia (Palar, 2004 dalam Astuti et al., 2016).
Pencemaran
akan menyebabkan terganggunya
kelangsungan hidup biota yang ada di sekitarnya, seperti sumberdaya perikanan
dan ekosistem pesisir dan laut (mangrove, padang lamun dan terumbu karang) dan
pada akhirnya akan berdampak luas terhadap penurunan pendapatan masyarakat
pesisir yang menggantungkan hidupnya pada produktivitas hayati di wilayah
pesisir dan laut. Pencemaran yang disebabkan oleh logam dapat mengubah struktur
komunitas perairan, jaringan makanan, tingkah laku, efek fisiologi, genetik dan
resistensi (Racmansyah et al., 1998 dalam Damaianto dan Masduqi, 2014).
Menurut Palar (2004) dalam Damaianto
dan Masduqi (2014) logam dapat terakumulasi dalam tubuh sehingga mengancam
kehidupan manusia dapat juga mengakibatkan kematian bahkan kematian bila logam
tersebut masuk dalam rantai makanan. Hal serupa juga dikatakan oleh Haryono
(1998) dalam Damaianto dan Masduqi
(2014) pencemaran ini dapat terbawa oleh organ-organ tubuh dan terakumulasi,
dan jika masuk dalam tubuh secara berlebihan maka dapat dipastikan akan
langsung menderita keracunan.
2.7 Solusi Terhadap Pencemaran Laut
Pencemaran
air laut diatur secara hukum karena air laut merupakan milik umum yang
penguasaannya dimandatkan kepada Pemerintah. Pencemaran air laut perlu
dikendalikan karena akibat pencemaran air dapat mengurangi pemanfaatan air sebagai
modal dasar dan faktor utama pembangunan, di samping itu air laut merupakan
lahan nafkah para nelayan. Kehidupan keluarga nelayan tidak pernah lepas dari
masalah kemiskinan dan kesenjangan sosial-ekonomi (Santosa, 2013).
Dalam pengertian Pasal 192 UNCLOS, Indonesia memikul kewajiban mitigasi minyak, mengingat semua negara pihak dalam UNCLOS berkewajiban menjaga lingkungan laut dari pencemaran. Selain itu,
kewajiban negara
tersebut sesuai dengan asas tanggung
jawab
negara menurut UU 32/2009 (Hakim, 2010).
Untuk
melestarikan fungsi pesisir dan laut perlu dilakukan pengelolaan kualitas dan
pengendalian pencemaran air laut untuk kepentingan sekarang dan mendatang serta
keseimbangan ekologis. Untuk mewujudkan peningkatan pengelolaan kualitas air
laut salah satunya diperlukan suatu pemetaan terhadap kualitas air laut
khususnya untuk parameter logam yang bersifat bioakumulatif yang memiliki
dampak jangka panjang bagi penurunan sumber daya pesisir dan laut (Damaianto
dan Masduqi, 2014).
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut.
·
Pantai
di daerah Lhokseumawe terkena dampak pencemaran minyak.
· Pencemaran
laut, yaitu masuknya zat, makhluk hidup, energi, dan komponen lain ke dalam air
atau berubahnya tatanan air oleh kegiatan manusia dan proses alami yang
menyebabkan kualitas air tersebut turun sampai ketingkat tertentu yang
menyebabkan air kurang berfungsi sesuai dengan peruntukannya.
· Bahan pencemar yang masuk ke
lingkungan laut berasal dari berbagai sumber, diantaranya limbah rumah tangga, limbah
lumpur, limbah industri, limbah pengerukan, limbah eksplorasi dan produksi
minyak, tumpahan minyak, limbah radioaktif, cemaran panas, sedimen, limbah
padat, limbah dari kapal, limbah pertanian, pestisida, cat antifouling dan limbah perikanan.
· Kandungan
bahan pencemar logam yang digunakan oleh industri seperti raksa (Hg), kromium
heksavalen (Cr(VI)), arsen (As), kadmium (Cd), tembaga (Cu), Timbal (Pb), Seng
(Zn) dan Nikel (Ni).
· Beberapa aspek yang terkait dengan proses
pencemaran minyak di laut, yaitu tipe minyak, sifat minyak, nasib (fate)
dan pelapukan minyak (wheathering), jalur pergerakan minyak (pathways)
dan keterpaparan (exposure).
· Pencemaran akan menyebabkan terganggunya kelangsungan hidup
biota yang ada di sekitarnya, seperti sumberdaya perikanan dan ekosistem
pesisir dan laut (mangrove, padang lamun dan terumbu karang) dan pada akhirnya
akan berdampak luas terhadap penurunan pendapatan masyarakat pesisir yang
menggantungkan hidupnya pada produktivitas hayati di wilayah pesisir dan laut.
· Untuk
melestarikan fungsi pesisir dan laut perlu dilakukan pengelolaan kualitas dan
pengendalian pencemaran air laut untuk kepentingan sekarang dan mendatang serta
keseimbangan ekologis.
3.2 Saran
Untuk mengurangi terjadinya pencemaran di kawasan pesisir
pantai (laut) perlunya regulasi peraturan yang lebih tegas. Peran pemerintah
dalam membuat dan mengawasi kebijakan keberlanjutan ekosistem di kawasan pantai.
Pemberlakuan kebijakan bagi pemilik kapal agar tidak membuang secara sengaja
ataupun memberi persyaratan kualifikasi kapal yang baik agar tidak terjadinya
kebocoran minyak. Serta memberikan sanksi bagi industri yang membuang limbah ke
laut tanpa adanya pengelolaan yang tepat.
DAFTAR PUSTAKA
Astuti, I., S. Karina
dan I. Dewiyanti. 2016. Analisis kandungan logam berat Pb pada tiram Crassostrea
cucullata di Pesisir Krueng Raya, Aceh Besar. Jurnal
Ilmiah Mahasiswa Kelautan dan Perikanan Unsyiah. 1 (1): 104-113.
Damaianto, B. dan A.
Masduqi. 2014. Indeks pencemaran air laut Pantai Utara
Kabupaten Tuban dengan parameter logam. Jurnal
Teknik Pomits. 3 (1): 1-4.
Darmawan, H. dan A,
Masduqi. 2014. Indeks pencemaran air laut Pantai Utara
Tuban dengan parameter TSS dan kimia non-logam. Jurnal Teknik Pomits. 3 (1):
16-20.
Edyanto,
CB H. 2008. Penelitian aspek lingkungan
fisik perairan sekitar Pelabuhan Sabang. Jurnal Sains dan Teknologi
Indonesia. 10 (2): 119-127.
Erari,
S. S., J. Mangimbulude dan K. Lewerissa. 2012. Pencemaran organik di perairan pesisir Pantai Teluk Youtefa Kota
Jayapura, Papua. Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa. 327-340.
Hakim,
O. S. 2010. Pencemaran laut oleh ladang minyak Montara: a responsibility and
liability. Opinio
Juris. 1 (2010):
1-4.
Haryani,
E. B. S. 2005. Pencemaran minyak di
laut dan tuntutan ganti
kerugian. Makalah. Sekolah Pasca
Sarjana/S3/TKL Khusus Institut Pertanian Bogor.
Molana,
D. H. 2017. Laut Lhokseumawe tercemar limbah minyak. https://portalsatu.com/read/news/laut-lhokseumawe-tercemar-limbah-minyak-24471.
Diakses 3 Maret 2017 pukul 19.00 WIB.
Malisan,
J. 2011. kajian pencemaran
laut dari kapal dalam rangka penerapan PP Nomor 21 Tahun 2010 Tentang
Perlindungan Lingkungan Laut. J. Pen.Transla. 13 (1): 1-77.
PSDKP. 2016. Pencemaran Laut. Artikel.
Raihansyah, T., I. Setiawan dan T. Rizwan. 2016.
Studi perubahan garis pantai di wilayah pesisir Perairan Ujung Blang Kecamatan
Banda Sakti Lhokseumawe. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kelautan
dan Perikanan Unsyiah. 1
(1): 46-54.
Safrizal. 2017. Laut tercemar pendapatan nelayan
Lhokseumawe menurun. https://www.ajnn.net/news/laut-tercemar-pendapatan-nelayan-lhokseumawe-menurun/index.html.
Diakses 3 Maret 2017 pukul 19.46 WIB
Santosa, R. W. 2013. Dampak pencemaran lingkungan laut oleh
perusahaan pertambangan terhadap nelayan tradisional. Lex Administratum. 1 (2): 65-78.
Setiawan, T. E., Haeruddin dan C. Ain. 2014.
Efisiensi penggunaan oil water separator pada kapal penangkap ikan untuk
pencegahan pencemaran minyak di laut (studi kasus KM. Mantis) di BBPPI
Semarang. Journal of Maquares Management of Aquatic Resources. 3 (3): 112-120.
Subekti,
I. 2010. Yurisdiksi Indonesia dalam
masalah pencemaran laut oleh
minyak bumi dari kapal asing di
laut teritorialnya berdasarkan Konvensi
PBB Tentang Hukum Laut 1982. Jurnal
Ilmiah Ilmu Hukum QISTI. 5 (1):
12-34.
Comments
Post a Comment