BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Laut merupakan perairan yang didalamnya
terkandung beraneka ragam sumber daya alam dan sebagai sarana transportasi yang
semuanya dapat dimanfaatkan untuk kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.
Sebagai negara kepulauan, hampir seluruh provinsi di Indonesia memiliki wilayah
perairan yang terdiri atas kawasan hulu dan pesisir. Kerusakan ekologis di
hulu dan akumulasi limbah yang dialirkan dari daerah hulu, dapat mengancam kawasan
pesisir. Fenomena ini tentunya disebabkan oleh pola pembangunan yang lebih
berorientasi pada aspek ekonomi dan kurang mempertimbangkan faktor lingkungan
dan sosialnya. Lingkungan hidup dalam kaitan dengan pembangunan sudah mulai
dikenal di kalangan pemerintahan di dunia ini pada tahun 1972 dan sejak itu
mulai dirintis berbagai langkah pengembangan pola pembangunan yang tidak
merusak lingkungan (Salim, 1990 dalam Malisan, 2011). Meskipun
demikian, pada kenyataannya masih banyak terlihat aktivitas yang mengakibatkan
pencemaran lingkungan, di darat maupun di laut. Akibatnya, fenomena ini menjadi
sebuah krisis lingkungan yang menimbulkan persoalan baru dengan dampak yang
cukup besar terhadap kehidupan manusia, akan tetapi penyelesaiannya sering
besikap “setengah hati”, dan upaya pemecahan masalahnya tidak pernah
diselesaikan secara tuntas (Nasir,
2010 dalam Malisan, 2011).
Keadaan geografisnya Indonesia yang sebagian besarnya
terdiri dari lautan dan posisi Indonesia yang berada
pada jalan silang dunia antara dua samudera besar,
mengabitkan lautan Indonesia menjadi ramai dilalui oleh
kapal-kapal asing, termasuk kapal-kapal tanker antar benua. Hal itu mengakibatkan lautan Indonesia sangat rawan terhadap
masalah lingkungan lingkungan laut, khususnya masalah
pencemaran oleh minyak bumi dalam segala bentuk dan akibatnya. Meskipun
pencemaran laut (marine pollution) bukanlah hal yang
secara langsung menyangkut masalah keamanan, tetapi akibat
hak yang ditimbulkan oleh adanya polusi tersebut dapat
mempengaruhi reaksi fungsi laut, terutama bagi vitalnya (Hartono, 1977 dalam Subekti, 2011).
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di
atas maka dapat ditentukan rumusan masalah dalam makalah ini seperti berikut.
1. Bagaimana kondisi
topografi Provinsi Jambi?
2. Bagaimana
potensi perairan Jambi menjadi tercemar?
3. Apa yang
dimaksud pencemaran perairan?
4. Apa faktor
penyebab terjadinya pencemaran di perairan?
5. Apa
kandungan bahan berbahaya dalam perairan akibat pencemaran?
6. Bagaimana proses
terjadinya pencemaran?
7. Bagaimana dampak
pencemaran terhadap ekosistem perairan?
8. Bagaimana
solusi terhadap pencemaran di perairan?
1.3
Tujuan
Berdasarkan uraian rumusan masalah
di atas maka dapat ditentukan tujuan dalam makalah ini seperti berikut.
1. Memahami kondisi
topografi Provinsi Jambi.
2. Memahami
potensi perairan Jambi menjadi tercemar.
3. Mengetahui pencemaran
perairan.
4. Mengetahui faktor
penyebab terjadinya pencemaran di perairan.
5. Mengetahui
kandungan bahan berbahaya dalam perairan akibat pencemaran.
6. Mengetahui proses
terjadinya pencemaran.
7. Mengetahui dampak
pencemaran terhadap ekosistem perairan.
8. Mengetahui
solusi terhadap pencemaran di perairan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Topografi
Provinsi Jambi
Kondisi
topografi kota Propinsi Jambi dan Kota Kabupaten Tanjung Jabung Barat dan
Tanjung Jabung Timur yang datar dan rendah menyebabkan sering terjadi banjir
pada musim penghujan. Hal ini menyebabkan perairan muara dan laut di Propinsi
Jambi diduga mengandung banyak material yang berasal dari aktivitas masyarakat
yang terbawa oleh banjir tersebut. Oleh karena itu pada penelitian ini
dilakukan untuk memetakan distribusi logam berat di sedimen pada perairan muara
dan laut di Propinsi Jambi. Perairan muara dan laut merupakan lokasi yang baik
untuk pembiakan, pembibitan dan tempat tinggal dari berbagai jenis biota laut.
Pasokan sedimen yang berlimpah dari muara sungai ditemukan pada zona ini. Zona
ini merupakan habitat penting bagi banyak spesies laut (Zhang et al.,
2008 dalam Susantoro et al., 2015).
2.2 Potensi Pencemaran Perairan di Jambi
Perairan muara dan laut
Propinsi Jambi terletak di Selat Berhala dan Selat Malaka merupakan bagian
Pantai Timur dari Pulau Sumatera. Pada perairan ini terdapat sungai-sungai
besar yang bermuara; Sungai Tungkal, Sungai Batanghari, dan Sungai Betara.
Selain itu terdapat juga beberapa sungai kecil; Sungai Enok, Sungai Pengabuan,
Sungai Lagan, dan Sungai Poding. Sungai-sungai tersebut merupakan bagian
penting dari kehidupan masyarakat di daerah tersebut dan menjadi bagian dari
aktifitas sehari-hari masyarakat dan sarana transportasi. Sungai Batanghari
membelah Kota Jambi yang merupakan ibukota propinsi dengan penduduk yang
relatif padat sehingga limbah domestik memungkinkan masuk ke dalam perairan
sungai. Demikian juga Sungai Tungkal yang menjadi pusat dari kegiatan di Kota
Tungkal, Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Sepanjang sungai tersebut menjadi
pusat aktifitas dari masyarakat, baik sebagai permukiman, perkebunan,
transportasi air dan juga industri minyak dan gas bumi (Susantoro et al., 2015).
Beberapa penelitian menunjukkan
bahwa konsentrasi logam berat terdapat di perairan pesisir (Balachandran et
al., 2005; Zhang et al., 2008; Yang et al., 2007 dalam Susantoro et al., 2015). Kontaminasi logam berat sedimen di perairan laut
terutama di muara sangat memprihatinkan karena logam berat ini akan mengalami
bioakumulasi dan mempengaruhi organisme bentik. Sifat dan aliran air di laut
mendukung terjadinya akumulasi polutan pada perairan tersebut. Hal penting yang
dilakukan adalah menentukan sumber logam berat dan mengelolanya sehingga
konsentrasi logam tersebut ketika masuk ke dalam sedimen tidak mencapai tingkat
yang beracun (Balachandran et al., 2005 dalam Susantoro et al.,
2015). Kajian yang sama telah dilakukan di perairan Teluk Banten dan Teluk
Jakarta oleh Suwandana et al. (2011) dalam
Susantoro et al. (2015). Hasilnya
menunjukkan bahwa di perairan Teluk Banten polusi logam berat di sedimen lebih
sedikit dibandingkan di Teluk Jakarta.
2.3 Pencemaran Perairan
Pencemaran
laut, yaitu masuknya zat, makhluk hidup, energi, dan komponen lain ke dalam air
atau berubahnya tatanan air oleh kegiatan manusia dan proses alami yang
menyebabkan kualitas air tersebut turun sampai ketingkat tertentu yang
menyebabkan air kurang berfungsi sesuai dengan peruntukannya (Menteri Negara
Kependudukan dan Lingkungan Hidup, 1988). Kualitas air di pesisir pantai
ditentukan oleh limbah-limbah yang terbuang baik secara langsung maupun tidak
langsung dalam bentuk bahan organik, anorganik dan bahan bahan tersuspensi
(Ubbe, 1992 dalam Astuti et al., 2016).
Pencemaran laut sendiri dalam Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 1999 tentang pengendalian
pencemaran dan atau perusakan laut, didefinisikan sebagai masuknya atau
dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam
lingkungan laut oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai tingkat
tertentu yang menyebabkan lingkungan laut tidak sesuai lagi dengan baku mutu
danatau fungsinya. Tumpahan minyak dari kapal ataupun pembuangan air buangan
kamar mesin tanpa treatment merupakan salah satu sumber yang cukup
dominan dari pencemaran minyak di laut (Setiawan et al., 2014).
Pencemaran atas laut atau Marine
Pollution merupakan salah satu masalah yang mengancam bumi saat ini,
Pencemaran atas laut terus dibicarakan dalam konteks perbaikan lingkungan hidup
internasional. Perlindungan laut terhadap pencemaran adalah merupakan upaya
melestarikan warisan alam. Melestarikan warisan alam adalah memberikan prioritas
pada nilai selain ekonomis: nilai keindahan alam, nilai penghormatan akan apa
yang ada yang tidak diciptakan sendiri, dan lebih dari itu, nilai dari
kehidupan itu sendiri, sebuah fenomena yang bahkan sekarang ini dengan
kemampuan akal budi manusia tidak mampu dijelaskan (George, 1995 dalam Darmawan dan Masduqi, 2014)
2.4 Faktor Penyebab Pencemaran di Perairan
Pencemaran minyak di
laut berasal dari beberapa sumber, yaitu: (i) tumpahan minyak karena
operasional rutin kapal dan kecelakaan kapal, (ii) pelimpasan minyak dari darat
(down the drain), (iii) terbawa asap (up in smoke), (iv)
eksplorasi dan eksploitasi lepas pantai, (v) pipa transportasi minyak, (vi) tank
cleaning dan (vii) perembesan alami (natural seeps). Sumber terbesar
terjadinya pencemaran minyak di laut adalah pelimpasan minyak dari darat (down
the drain) (Haryani, 2005).
Pencemaran di laut juga dapat berupa plastik
yang tidak terurai. Jumlah limbah ini semakin lama semakin besar, dan hingga
sekarang belum diketahui pasti dampak lingkungannya secara jangka panjang,
selain dampak estetikanya yang sudah jelas merugikan. Pencemaran laut yang
lainnya terjadi pula dari buangan zat kimia limbah pabrik yang dibuang ke
sungai dan mengalir ke laut. Pembuangan tailing atau ampas sisa kegiatan
penambangan ke laut juga menyebabkan pencemaran, karena tailing yang seharusnya
mengendap di dasar laut dapat terbawa ke permukaan laut dengan adanya
pembalikan arus dari bawah laut. Karena tailing tersebut mengandung logam berat
yang berbahaya seperti mercuri, maka dampak lingkungan yang merugikan akan
bersifat akumulatif di seluruh rantai makanan (Santosa, 2013).
Menurut Mukhtator (2010) dalam PSDKP (2016), bahan pencemar yang masuk ke lingkungan laut
berasal dari berbagai sumber:
a. Limbah
rumah tangga.
b.
Limbah lumpur.
c. Limbah
industri.
d. Limbah
pengerukan.
e. Limbah
eksplorasi dan produksi minyak.
f. Tumpahan
minyak.
g. Limbah
radioaktif.
h.
Cemaran panas.
i. Sedimen.
j. Limbah
padat.
k. Limbah
dari kapal.
l. Limbah
pertanian.
m. Pestisida.
n. Cat
antifouling.
o.
Limbah perikanan.
Pencemaran lingkungan
pesisir dapat terjadi di perairan manapun diseluruh dunia terutama bila terjadi
tumpahan minyak kelaut (oil spill) yang mengakibatkan terjadinya
pencemaran yakni masuknya zat zat asing kedalam lingkungan sehingga merubah
sifat sifat fisik, kimia dan biologis lingkungan (Ketchum, 1972 dalam Edyanto, 2008). pencemaran laut
dapat pula terjadi dalam skala besar misalnya oleh karena adanya aglomerasi atau
pemusatan penduduk pada suatu lokasi, perkembangan pariwisata, atau munculnya kawasan
industri di wilayah pesisir. Pada kenyataannya hampir seluruh kegiatan yang berada
di wilayah pesisir membuang bahan limbah mereka kelaut. Pada umumnya banyak orang
beranggapan bahwa laut adalah tempat pembuangan limbah akhir dalam ruang yang
tidak terbatas dan kini lautpun menjadi pusat pembuangan sampah baik berupa
limbah padat, maupun limbah cair ataupun limbah radioaktif (Edyanto, 2008).
Selain itu, pencemaran di laut juga disebabkan
bahan organik. Menurut Erari et al.
(2012), Secara ekologis sungai-sungai yang kondisinya kurang sehat, di dalam badan
sungai terdapat berbagai sampah maupun limbah cair bersifat organik dan nonorganik
yang dibuang ke dalam badan sungai oleh masyarakat. Apabila saat turun hujan
warna air pada sungai-sungai tersebut terlihat keruh dan saat-saat tertentu air
itu berwarna dan berbau, ini merupakan indikator telah terjadi pencemaran.
Menurut Amin (2001) dalam Erari et al. (2012), aktivitas manusia yang
begitu kompleks di daratan sangat berpotensi mengganggu keseimbangan ekosistem
perairan pesisir pantai dan laut.
2.5 Kandungan Bahan Berbahaya di Perairan Akibat
Pencemaran
Meningkatnya kegiatan industri berpotensi
penggunaan logam berat di atas daya tampung dan daya dukung yang dimiliki
lingkungan dan meningkatnya penimbunan logam di daerah pesisir dan lautan serta
daratan. Emisi dari Cd, Zn dan Pb dihasilkan dari proses seperti pembakaran
bahan bakar dan kegiatan pertambangan. Sebagai akibat meningkatnya penimbunan
logam di dalam lingkungan maka organisme yang hidup di lingkungan air dan tanah
akan terpapar oleh logam (Dusparini, 1992 dalam
Damaianto dan Masduqi, 2014). Logam dinyatakan polutan atau pencemar yang
sangat toksik karena logam bersifat tidak dapat terurai, banyak bahan pencemar
logam yang digunakan oleh industri seperti raksa (Hg), kromium heksavalen
(Cr(VI)), arsen (As), kadmium (Cd), tembaga (Cu), Timbal (Pb), Seng (Zn) dan
Nikel (Ni) (Sastrawijaya, 1991 dalam
Damaianto dan Masduqi, 2014).
2.6 Proses Terjadinya Pencemaran di Perairan
Gambar 3. Diagram alur perjalanan logam berat |
a.
Tipe minyak.
b. Sifat minyak.
c. Nasib dan pelapukan
minyak.
d. Jalur pergerakan
minyak.
e. Keterpaparan minyak.
f. Pendekatan untuk
kajian kontak (exposure).
g. Proses-proses
pelapukan (weathering) minyak di perairan.
2.7 Dampak Pencemaran Terhadap Ekosistem di Perairan
Cemaran minyak di laut
adalah pembunuh ampuh bagi kehidupan di laut. Sebagai contoh kerugian nelayan
Kepulauan Seribu atas kejadian pencemaran minyak yang terus menerus pada tahun
2004 mencapai 2,3 M rupiah akibat matinya ikan budidaya dan tangkapan. Penyu,
lumba-lumba dan burung juga ditemukan mati. Sayangnya belum satupun pelaku yang
terjaring hukum, karena lemah dan tidak padunya penegakan hukum, diperparah
ketiadaan data dasar sumber daya kelautan. Sehingga menyulitkan dalam melakukan
tuntutan ganti kerugian atas kejadian tumpahan minyak (Jatam, 2005 dalam Haryani, 2005).
Hasil pengamatan awal Astuti et al. (2016) menunjukkan bahwa adanya
minyak yang menutupi permukaan perairan, serta warna air yang sedikit kekeruhan
memperkuat dugaan bahwa perairan tersebut rentan tercemar logam berat. Menurut
Suprijanto et al. (1997) dalam
Astuti et al. (2016), logam berat
berpotensi meningkat karena adanya proses industri yang menggunakan logam
berat. Logam berat secara langsung maupun tidak langsung dapat membahayakan
manusia seperti timbal (Pb) dengan mengkonsumsi biota perairan yang
terakumulasi, sehingga dapat mengakibatkan penghambataan sistem pembentukan
hemoglobin (Hb). Adapun jumlah timbal (Pb) yang diserap oleh tubuh hanya
sedikit, logam ini ternyata menjadi sangat berbahaya. Hal ini disebabkan
senyawa-senyawa Timbal (Pb) dapat memberikan efek racun terhadap banyak organ
yang terdapat dalam tubuh manusia (Palar, 2004 dalam Astuti et al., 2016).
Pencemaran
akan menyebabkan terganggunya
kelangsungan hidup biota yang ada di sekitarnya, seperti sumberdaya perikanan
dan ekosistem pesisir dan laut (mangrove, padang lamun dan terumbu karang) dan
pada akhirnya akan berdampak luas terhadap penurunan pendapatan masyarakat
pesisir yang menggantungkan hidupnya pada produktivitas hayati di wilayah
pesisir dan laut. Pencemaran yang disebabkan oleh logam dapat mengubah struktur
komunitas perairan, jaringan makanan, tingkah laku, efek fisiologi, genetik dan
resistensi (Racmansyah et al., 1998 dalam Damaianto dan Masduqi, 2014).
Menurut Palar (2004) dalam Damaianto
dan Masduqi (2014) logam dapat terakumulasi dalam tubuh sehingga mengancam
kehidupan manusia dapat juga mengakibatkan kematian bahkan kematian bila logam
tersebut masuk dalam rantai makanan. Hal serupa juga dikatakan oleh Haryono
(1998) dalam Damaianto dan Masduqi
(2014) pencemaran ini dapat terbawa oleh organ-organ tubuh dan terakumulasi,
dan jika masuk dalam tubuh secara berlebihan maka dapat dipastikan akan
langsung menderita keracunan.
2.8 Solusi Terhadap Pencemaran di Perairan
Pencemaran
air laut diatur secara hukum karena air laut merupakan milik umum yang
penguasaannya dimandatkan kepada Pemerintah. Pencemaran air laut perlu
dikendalikan karena akibat pencemaran air dapat mengurangi pemanfaatan air sebagai
modal dasar dan faktor utama pembangunan, di samping itu air laut merupakan
lahan nafkah para nelayan. Kehidupan keluarga nelayan tidak pernah lepas dari
masalah kemiskinan dan kesenjangan sosial-ekonomi (Santosa, 2013).
Dalam pengertian Pasal 192 UNCLOS, Indonesia memikul kewajiban mitigasi minyak, mengingat semua negara pihak dalam UNCLOS berkewajiban menjaga lingkungan laut dari pencemaran. Selain itu,
kewajiban negara
tersebut sesuai dengan asas tanggung
jawab
negara menurut UU 32/2009 (Hakim, 2010).
Untuk
melestarikan fungsi pesisir dan laut perlu dilakukan pengelolaan kualitas dan
pengendalian pencemaran air laut untuk kepentingan sekarang dan mendatang serta
keseimbangan ekologis. Untuk mewujudkan peningkatan pengelolaan kualitas air
laut salah satunya diperlukan suatu pemetaan terhadap kualitas air laut
khususnya untuk parameter logam yang bersifat bioakumulatif yang memiliki
dampak jangka panjang bagi penurunan sumber daya pesisir dan laut (Damaianto
dan Masduqi, 2014).
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kondisi topografi kota
Propinsi Jambi dan Kota Kabupaten Tanjung Jabung Barat dan Tanjung Jabung Timur
yang datar dan rendah menyebabkan sering terjadi banjir pada musim penghujan
yang menyebabkan perairan muara dan laut di Propinsi Jambi diduga mengandung
banyak material yang berasal dari aktivitas masyarakat yang terbawa oleh banjir
tersebut. Sungai Batanghari membelah Kota Jambi yang merupakan ibukota propinsi
dengan penduduk yang relatif padat sehingga limbah domestik memungkinkan masuk
ke dalam perairan sungai. Demikian juga Sungai Tungkal yang menjadi pusat dari
kegiatan di Kota Tungkal, Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Sepanjang sungai
tersebut menjadi pusat aktifitas dari masyarakat, baik sebagai permukiman,
perkebunan, transportasi air dan juga industri minyak dan gas bumi. Hal ini
mengakibatkan perairan di jambi sangat berpotensi tercemar dan mengandung logam
berat.
3.2 Saran
Untuk mengurangi terjadinya pencemaran di kawasan perairan
perlunya regulasi peraturan yang lebih tegas. Peran pemerintah dalam membuat
dan mengawasi kebijakan keberlanjutan ekosistem di kawasan perairan.
Pemberlakuan kebijakan bagi pemilik industri agar tidak membuang secara sengaja
ataupun memberi persyaratan kualifikasi industri pengolahan limbah yang baik
agar tidak terjadinya pencemaran di perairan. Serta memberikan sanksi bagi industri
yang membuang limbah ke perairan tanpa adanya pengelolaan yang tepat.
DAFTAR PUSTAKA
Astuti, I., S. Karina
dan I. Dewiyanti. 2016. Analisis kandungan logam berat Pb pada tiram Crassostrea
cucullata di Pesisir Krueng Raya, Aceh Besar. Jurnal
Ilmiah Mahasiswa Kelautan dan Perikanan Unsyiah. 1
(1): 104-113.
Damaianto, B. dan A.
Masduqi. 2014. Indeks pencemaran air laut Pantai Utara
Kabupaten Tuban dengan parameter logam. Jurnal
Teknik Pomits. 3 (1): 1-4.
Darmawan, H. dan A,
Masduqi. 2014. Indeks pencemaran air laut Pantai Utara
Tuban dengan parameter TSS dan kimia non-logam. Jurnal Teknik Pomits. 3
(1): 16-20.
Edyanto,
CB H. 2008. Penelitian aspek lingkungan
fisik perairan sekitar Pelabuhan Sabang. Jurnal Sains dan Teknologi
Indonesia. 10 (2): 119-127.
Erari,
S. S., J. Mangimbulude dan K. Lewerissa. 2012. Pencemaran organik di perairan pesisir Pantai Teluk Youtefa Kota
Jayapura, Papua. Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa. 327-340.
Hakim,
O. S. 2010. Pencemaran laut oleh ladang minyak Montara: a responsibility and
liability. Opinio
Juris. 1 (2010):
1-4.
Haryani,
E. B. S. 2005. Pencemaran minyak di
laut dan tuntutan ganti
kerugian. Makalah. Sekolah Pasca
Sarjana/S3/TKL Khusus Institut Pertanian Bogor.
Malisan,
J. 2011. kajian pencemaran
laut dari kapal dalam rangka penerapan PP Nomor 21 Tahun 2010 Tentang
Perlindungan Lingkungan Laut. J. Pen.Transla. 13 (1): 1-77.
PSDKP. 2016. Pencemaran Laut. Artikel.
Santosa, R. W. 2013. Dampak pencemaran lingkungan laut oleh
perusahaan pertambangan terhadap nelayan tradisional. Lex Administratum. 1 (2): 65-78.
Setiawan, T. E., Haeruddin dan C. Ain. 2014.
Efisiensi penggunaan oil water separator pada kapal penangkap ikan untuk
pencegahan pencemaran minyak di laut (studi kasus KM. Mantis) di BBPPI
Semarang. Journal of Maquares Management of Aquatic Resources. 3 (3): 112-120.
Subekti,
I. 2010. Yurisdiksi Indonesia dalam
masalah pencemaran laut oleh
minyak bumi dari kapal asing di
laut teritorialnya berdasarkan Konvensi
PBB Tentang Hukum Laut 1982. Jurnal
Ilmiah Ilmu Hukum QISTI. 5 (1):
12-34.
Susantoro,
T. M., D. Sunarjanto dan A. Andayani.
2015. Distribusi logam berat pada sedimen di perairan muara dan laut Propinsi
Jambi. Jurnal Kelautan Nasional.
10 (1): 1-11.
Thanks for sharing,. Kunjungi juga www.barracuda.co.id
ReplyDelete