Skip to main content

Elasmobranchii

 

Distribusi Logam Berat Pada Sedimen di Perairan Muara dan Laut Propinsi Jambi

pencemaran laut jambi

BAB I
PENDAHULUAN

1.1       Latar Belakang
Laut merupakan perairan yang didalam­nya terkandung beraneka ragam sumber daya alam dan sebagai sarana transportasi yang semuanya dapat dimanfaatkan untuk kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Sebagai negara kepulauan, hampir seluruh provinsi di Indonesia memiliki wilayah perai­ran yang terdiri atas kawasan hulu dan pesi­sir. Kerusakan ekologis di hulu dan akumulasi limbah yang dialirkan dari daerah hulu, dapat mengancam kawasan pesisir. Fenomena ini tentunya disebabkan oleh pola pembangunan yang lebih berorientasi pada aspek ekonomi dan kurang mempertimbangkan faktor lingkungan dan sosialnya. Lingkungan hidup dalam kaitan dengan pembangunan sudah mulai dikenal di kalangan pemerintahan di dunia ini pada tahun 1972 dan sejak itu mulai dirintis berbagai langkah pengemban­gan pola pembangunan yang tidak merusak lingkungan (Salim, 1990 dalam Malisan, 2011). Meskipun demikian, pada kenyataannya masih ban­yak terlihat aktivitas yang mengakibatkan pencemaran lingkungan, di darat maupun di laut. Akibatnya, fenomena ini menjadi sebuah krisis lingkungan yang menimbulkan persoa­lan baru dengan dampak yang cukup besar terhadap kehidupan manusia, akan tetapi penyelesaiannya sering besikap “setengah hati”, dan upaya pemecahan masalahnya tidak pernah diselesaikan secara tuntas (Nasir, 2010 dalam Malisan, 2011).
Keadaan geografisnya Indonesia yang sebagian besarnya terdiri dari lautan dan posisi Indonesia yang berada pada jalan silang dunia antara dua samudera besar, mengabitkan lautan Indonesia menjadi ramai dilalui oleh kapal-kapal asing, termasuk kapal-kapal tanker antar benua. Hal itu mengakibatkan lautan Indonesia sangat rawan terhadap masalah lingkungan lingkungan laut, khususnya masalah pencemaran oleh minyak bumi dalam segala bentuk dan akibatnya. Meskipun pencemaran laut (marine pollution) bukanlah hal yang secara langsung menyangkut masalah keamanan, tetapi akibat hak yang ditimbulkan oleh adanya polusi tersebut dapat mempengaruhi reaksi fungsi laut, terutama bagi vitalnya (Hartono, 1977 dalam Subekti, 2011).

1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka dapat ditentukan rumusan masalah dalam makalah ini seperti berikut.
1.   Bagaimana kondisi topografi Provinsi Jambi?
2.   Bagaimana potensi perairan Jambi menjadi tercemar?
3.   Apa yang dimaksud pencemaran perairan?
4.   Apa faktor penyebab terjadinya pencemaran di perairan?
5.   Apa kandungan bahan berbahaya dalam perairan akibat pencemaran?
6.   Bagaimana proses terjadinya pencemaran?
7.   Bagaimana dampak pencemaran terhadap ekosistem perairan?
8.   Bagaimana solusi terhadap pencemaran di perairan?

1.3 Tujuan
Berdasarkan uraian rumusan masalah di atas maka dapat ditentukan tujuan dalam makalah ini seperti berikut.
1.   Memahami kondisi topografi Provinsi Jambi.
2.   Memahami potensi perairan Jambi menjadi tercemar.
3.   Mengetahui pencemaran perairan.
4.   Mengetahui faktor penyebab terjadinya pencemaran di perairan.
5.   Mengetahui kandungan bahan berbahaya dalam perairan akibat pencemaran.
6.   Mengetahui proses terjadinya pencemaran.
7.   Mengetahui dampak pencemaran terhadap ekosistem perairan.
8.   Mengetahui solusi terhadap pencemaran di perairan.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1   Topografi Provinsi Jambi
Kondisi topografi kota Propinsi Jambi dan Kota Kabupaten Tanjung Jabung Barat dan Tanjung Jabung Timur yang datar dan rendah menyebabkan sering terjadi banjir pada musim penghujan. Hal ini menyebabkan perairan muara dan laut di Propinsi Jambi diduga mengandung banyak material yang berasal dari aktivitas masyarakat yang terbawa oleh banjir tersebut. Oleh karena itu pada penelitian ini dilakukan untuk memetakan distribusi logam berat di sedimen pada perairan muara dan laut di Propinsi Jambi. Perairan muara dan laut merupakan lokasi yang baik untuk pembiakan, pembibitan dan tempat tinggal dari berbagai jenis biota laut. Pasokan sedimen yang berlimpah dari muara sungai ditemukan pada zona ini. Zona ini merupakan habitat penting bagi banyak spesies laut (Zhang et al., 2008 dalam Susantoro et al., 2015).
lokasi penelitian jambi
Gambar 1. Lokasi penelitian dan distribusi titik lokasi pengambilan sampel sedimen di perairan laut Propinsi Jambi
(Sumber: http://glovis.usgs.gov/ Landsat TM 5 Path/Row:125/60, 125/61 perekaman Tahun 2005 dan 2009 dalam Susantoro et al., 2015)

2.2   Potensi Pencemaran Perairan di Jambi
Perairan muara dan laut Propinsi Jambi terletak di Selat Berhala dan Selat Malaka merupakan bagian Pantai Timur dari Pulau Sumatera. Pada perairan ini terdapat sungai-sungai besar yang bermuara; Sungai Tungkal, Sungai Batanghari, dan Sungai Betara. Selain itu terdapat juga beberapa sungai kecil; Sungai Enok, Sungai Pengabuan, Sungai Lagan, dan Sungai Poding. Sungai-sungai tersebut merupakan bagian penting dari kehidupan masyarakat di daerah tersebut dan menjadi bagian dari aktifitas sehari-hari masyarakat dan sarana transportasi. Sungai Batanghari membelah Kota Jambi yang merupakan ibukota propinsi dengan penduduk yang relatif padat sehingga limbah domestik memungkinkan masuk ke dalam perairan sungai. Demikian juga Sungai Tungkal yang menjadi pusat dari kegiatan di Kota Tungkal, Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Sepanjang sungai tersebut menjadi pusat aktifitas dari masyarakat, baik sebagai permukiman, perkebunan, transportasi air dan juga industri minyak dan gas bumi (Susantoro et al., 2015).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi logam berat terdapat di perairan pesisir (Balachandran et al., 2005; Zhang et al., 2008; Yang et al., 2007 dalam Susantoro et al., 2015). Kontaminasi logam berat sedimen di perairan laut terutama di muara sangat memprihatinkan karena logam berat ini akan mengalami bioakumulasi dan mempengaruhi organisme bentik. Sifat dan aliran air di laut mendukung terjadinya akumulasi polutan pada perairan tersebut. Hal penting yang dilakukan adalah menentukan sumber logam berat dan mengelolanya sehingga konsentrasi logam tersebut ketika masuk ke dalam sedimen tidak mencapai tingkat yang beracun (Balachandran et al., 2005 dalam Susantoro et al., 2015). Kajian yang sama telah dilakukan di perairan Teluk Banten dan Teluk Jakarta oleh Suwandana et al. (2011) dalam Susantoro et al. (2015). Hasilnya menunjukkan bahwa di perairan Teluk Banten polusi logam berat di sedimen lebih sedikit dibandingkan di Teluk Jakarta.

2.3    Pencemaran Perairan
Pencemaran laut, yaitu masuknya zat, makhluk hidup, energi, dan komponen lain ke dalam air atau berubahnya tatanan air oleh kegiatan manusia dan proses alami yang menyebabkan kualitas air tersebut turun sampai ketingkat tertentu yang menyebabkan air kurang berfungsi sesuai dengan peruntukannya (Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup, 1988). Kualitas air di pesisir pantai ditentukan oleh limbah-limbah yang terbuang baik secara langsung maupun tidak langsung dalam bentuk bahan organik, anorganik dan bahan bahan tersuspensi (Ubbe, 1992 dalam Astuti et al., 2016).
 Pencemaran laut sendiri dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 1999 tentang pengendalian pencemaran dan atau perusakan laut, didefinisikan sebagai masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan laut oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan laut tidak sesuai lagi dengan baku mutu danatau fungsinya. Tumpahan minyak dari kapal ataupun pembuangan air buangan kamar mesin tanpa treatment merupakan salah satu sumber yang cukup dominan dari pencemaran minyak di laut (Setiawan et al., 2014).
 Pencemaran atas laut atau Marine Pollution merupakan salah satu masalah yang mengancam bumi saat ini, Pencemaran atas laut terus dibicarakan dalam konteks perbaikan lingkungan hidup internasional. Perlindungan laut terhadap pencemaran adalah merupakan upaya melestarikan warisan alam. Melestarikan warisan alam adalah memberikan prioritas pada nilai selain ekonomis: nilai keindahan alam, nilai penghormatan akan apa yang ada yang tidak diciptakan sendiri, dan lebih dari itu, nilai dari kehidupan itu sendiri, sebuah fenomena yang bahkan sekarang ini dengan kemampuan akal budi manusia tidak mampu dijelaskan (George, 1995 dalam Darmawan dan Masduqi, 2014)

2.4   Faktor Penyebab Pencemaran di Perairan
Pencemaran minyak di laut berasal dari beberapa sumber, yaitu: (i) tumpahan minyak karena operasional rutin kapal dan kecelakaan kapal, (ii) pelimpasan minyak dari darat (down the drain), (iii) terbawa asap (up in smoke), (iv) eksplorasi dan eksploitasi lepas pantai, (v) pipa transportasi minyak, (vi) tank cleaning dan (vii) perembesan alami (natural seeps). Sumber terbesar terjadinya pencemaran minyak di laut adalah pelimpasan minyak dari darat (down the drain) (Haryani, 2005).
 Pencemaran di laut juga dapat berupa plastik yang tidak terurai. Jumlah limbah ini semakin lama semakin besar, dan hingga sekarang belum diketahui pasti dampak lingkungannya secara jangka panjang, selain dampak estetikanya yang sudah jelas merugikan. Pencemaran laut yang lainnya terjadi pula dari buangan zat kimia limbah pabrik yang dibuang ke sungai dan mengalir ke laut. Pembuangan tailing atau ampas sisa kegiatan penambangan ke laut juga menyebabkan pencemaran, karena tailing yang seharusnya mengendap di dasar laut dapat terbawa ke permukaan laut dengan adanya pembalikan arus dari bawah laut. Karena tailing tersebut mengandung logam berat yang berbahaya seperti mercuri, maka dampak lingkungan yang merugikan akan bersifat akumulatif di seluruh rantai makanan (Santosa, 2013).
Menurut Mukhtator (2010) dalam PSDKP (2016), bahan pencemar yang masuk ke lingkungan laut berasal dari berbagai sumber:
a.   Limbah rumah tangga.
b.   Limbah lumpur.
c.   Limbah industri.
d.   Limbah pengerukan.
e.   Limbah eksplorasi dan produksi minyak.
f.    Tumpahan minyak.
g.   Limbah radioaktif.
h.   Cemaran panas.
i.    Sedimen.
j.    Limbah padat.
k.   Limbah dari kapal.
l.    Limbah pertanian.
m. Pestisida.
n.   Cat antifouling.
o.   Limbah perikanan.
Pencemaran lingkungan pesisir dapat terjadi di perairan manapun diseluruh dunia terutama bila terjadi tumpahan minyak kelaut (oil spill) yang mengakibatkan terjadinya pencemaran yakni masuknya zat zat asing kedalam lingkungan sehingga merubah sifat sifat fisik, kimia dan biologis lingkungan (Ketchum, 1972 dalam Edyanto, 2008). pencemaran laut dapat pula terjadi dalam skala besar misalnya oleh karena adanya aglomerasi atau pemusatan penduduk pada suatu lokasi, perkembangan pariwisata, atau munculnya kawasan industri di wilayah pesisir. Pada kenyataannya hampir seluruh kegiatan yang berada di wilayah pesisir membuang bahan limbah mereka kelaut. Pada umumnya banyak orang beranggapan bahwa laut adalah tempat pembuangan limbah akhir dalam ruang yang tidak terbatas dan kini lautpun menjadi pusat pembuangan sampah baik berupa limbah padat, maupun limbah cair ataupun limbah radioaktif (Edyanto, 2008).
bahan pencemar laut
Gambar 2. Bahan-bahan pencemar lingkungan laut
(Sumber: Edyanto, 2008)

Selain itu, pencemaran di laut juga disebabkan bahan organik. Menurut Erari et al. (2012), Secara ekologis sungai-sungai yang kondisinya kurang sehat, di dalam badan sungai terdapat berbagai sampah maupun limbah cair bersifat organik dan nonorganik yang dibuang ke dalam badan sungai oleh masyarakat. Apabila saat turun hujan warna air pada sungai-sungai tersebut terlihat keruh dan saat-saat tertentu air itu berwarna dan berbau, ini merupakan indikator telah terjadi pencemaran. Menurut Amin (2001) dalam Erari et al. (2012), aktivitas manusia yang begitu kompleks di daratan sangat berpotensi mengganggu keseimbangan ekosistem perairan pesisir pantai dan laut.

2.5   Kandungan Bahan Berbahaya di Perairan Akibat Pencemaran
Meningkatnya kegiatan industri berpotensi penggunaan logam berat di atas daya tampung dan daya dukung yang dimiliki lingkungan dan meningkatnya penimbunan logam di daerah pesisir dan lautan serta daratan. Emisi dari Cd, Zn dan Pb dihasilkan dari proses seperti pembakaran bahan bakar dan kegiatan pertambangan. Sebagai akibat meningkatnya penimbunan logam di dalam lingkungan maka organisme yang hidup di lingkungan air dan tanah akan terpapar oleh logam (Dusparini, 1992 dalam Damaianto dan Masduqi, 2014). Logam dinyatakan polutan atau pencemar yang sangat toksik karena logam bersifat tidak dapat terurai, banyak bahan pencemar logam yang digunakan oleh industri seperti raksa (Hg), kromium heksavalen (Cr(VI)), arsen (As), kadmium (Cd), tembaga (Cu), Timbal (Pb), Seng (Zn) dan Nikel (Ni) (Sastrawijaya, 1991 dalam Damaianto dan Masduqi, 2014).

2.6  Proses Terjadinya Pencemaran di Perairan
alur perjalanan logam berat
Gambar 3. Diagram alur perjalanan logam berat

Menurut Haryani (2005), dalam membahas pencemaran minyak di laut perlu diketahui beberapa aspek yang terkait dengan proses pencemaran minyak di laut, yaitu tipe minyak, sifat minyak, nasib (fate) dan pelapukan minyak (wheathering), jalur pergerakan minyak (pathways) dan keterpaparan (exposure).
a.   Tipe minyak.
b.   Sifat minyak.
c.   Nasib dan pelapukan minyak.
d.   Jalur pergerakan minyak.
e.   Keterpaparan minyak.
f.    Pendekatan untuk kajian kontak (exposure).
g.   Proses-proses pelapukan (weathering) minyak di perairan.

2.7    Dampak Pencemaran Terhadap Ekosistem di Perairan
Cemaran minyak di laut adalah pembunuh ampuh bagi kehidupan di laut. Sebagai contoh kerugian nelayan Kepulauan Seribu atas kejadian pencemaran minyak yang terus menerus pada tahun 2004 mencapai 2,3 M rupiah akibat matinya ikan budidaya dan tangkapan. Penyu, lumba-lumba dan burung juga ditemukan mati. Sayangnya belum satupun pelaku yang terjaring hukum, karena lemah dan tidak padunya penegakan hukum, diperparah ketiadaan data dasar sumber daya kelautan. Sehingga menyulitkan dalam melakukan tuntutan ganti kerugian atas kejadian tumpahan minyak (Jatam, 2005 dalam Haryani, 2005).
Hasil pengamatan awal Astuti et al. (2016) menunjukkan bahwa adanya minyak yang menutupi permukaan perairan, serta warna air yang sedikit kekeruhan memperkuat dugaan bahwa perairan tersebut rentan tercemar logam berat. Menurut Suprijanto et al. (1997) dalam Astuti et al. (2016), logam berat berpotensi meningkat karena adanya proses industri yang menggunakan logam berat. Logam berat secara langsung maupun tidak langsung dapat membahayakan manusia seperti timbal (Pb) dengan mengkonsumsi biota perairan yang terakumulasi, sehingga dapat mengakibatkan penghambataan sistem pembentukan hemoglobin (Hb). Adapun jumlah timbal (Pb) yang diserap oleh tubuh hanya sedikit, logam ini ternyata menjadi sangat berbahaya. Hal ini disebabkan senyawa-senyawa Timbal (Pb) dapat memberikan efek racun terhadap banyak organ yang terdapat dalam tubuh manusia (Palar, 2004 dalam Astuti et al., 2016).
Pencemaran akan menyebabkan terganggunya kelangsungan hidup biota yang ada di sekitarnya, seperti sumberdaya perikanan dan ekosistem pesisir dan laut (mangrove, padang lamun dan terumbu karang) dan pada akhirnya akan berdampak luas terhadap penurunan pendapatan masyarakat pesisir yang menggantungkan hidupnya pada produktivitas hayati di wilayah pesisir dan laut. Pencemaran yang disebabkan oleh logam dapat mengubah struktur komunitas perairan, jaringan makanan, tingkah laku, efek fisiologi, genetik dan resistensi (Racmansyah et al., 1998 dalam Damaianto dan Masduqi, 2014). Menurut Palar (2004) dalam Damaianto dan Masduqi (2014) logam dapat terakumulasi dalam tubuh sehingga mengancam kehidupan manusia dapat juga mengakibatkan kematian bahkan kematian bila logam tersebut masuk dalam rantai makanan. Hal serupa juga dikatakan oleh Haryono (1998) dalam Damaianto dan Masduqi (2014) pencemaran ini dapat terbawa oleh organ-organ tubuh dan terakumulasi, dan jika masuk dalam tubuh secara berlebihan maka dapat dipastikan akan langsung menderita keracunan.

2.8    Solusi Terhadap Pencemaran di Perairan
Pencemaran air laut diatur secara hukum karena air laut merupakan milik umum yang penguasaannya dimandatkan kepada Pemerintah. Pencemaran air laut perlu dikendalikan karena akibat pencemaran air dapat mengurangi pemanfaatan air sebagai modal dasar dan faktor utama pembangunan, di samping itu air laut merupakan lahan nafkah para nelayan. Kehidupan keluarga nelayan tidak pernah lepas dari masalah kemiskinan dan kesenjangan sosial-ekonomi (Santosa, 2013).
Dalam pengertian Pasal 192 UNCLOS, Indonesia memikul kewajiban mitigasi minyak, mengingat semua negara pihak dalam UNCLOS berkewajiban menjaga lingkungan laut dari pencemaran. Selain itu, kewajiban negara tersebut sesuai dengan asas tanggung jawab negara menurut UU 32/2009 (Hakim, 2010).
Untuk melestarikan fungsi pesisir dan laut perlu dilakukan pengelolaan kualitas dan pengendalian pencemaran air laut untuk kepentingan sekarang dan mendatang serta keseimbangan ekologis. Untuk mewujudkan peningkatan pengelolaan kualitas air laut salah satunya diperlukan suatu pemetaan terhadap kualitas air laut khususnya untuk parameter logam yang bersifat bioakumulatif yang memiliki dampak jangka panjang bagi penurunan sumber daya pesisir dan laut (Damaianto dan Masduqi, 2014).

  
BAB III
PENUTUP

3.1   Kesimpulan
Kondisi topografi kota Propinsi Jambi dan Kota Kabupaten Tanjung Jabung Barat dan Tanjung Jabung Timur yang datar dan rendah menyebabkan sering terjadi banjir pada musim penghujan yang menyebabkan perairan muara dan laut di Propinsi Jambi diduga mengandung banyak material yang berasal dari aktivitas masyarakat yang terbawa oleh banjir tersebut. Sungai Batanghari membelah Kota Jambi yang merupakan ibukota propinsi dengan penduduk yang relatif padat sehingga limbah domestik memungkinkan masuk ke dalam perairan sungai. Demikian juga Sungai Tungkal yang menjadi pusat dari kegiatan di Kota Tungkal, Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Sepanjang sungai tersebut menjadi pusat aktifitas dari masyarakat, baik sebagai permukiman, perkebunan, transportasi air dan juga industri minyak dan gas bumi. Hal ini mengakibatkan perairan di jambi sangat berpotensi tercemar dan mengandung logam berat.

3.2   Saran
Untuk mengurangi terjadinya pencemaran di kawasan perairan perlunya regulasi peraturan yang lebih tegas. Peran pemerintah dalam membuat dan mengawasi kebijakan keberlanjutan ekosistem di kawasan perairan. Pemberlakuan kebijakan bagi pemilik industri agar tidak membuang secara sengaja ataupun memberi persyaratan kualifikasi industri pengolahan limbah yang baik agar tidak terjadinya pencemaran di perairan. Serta memberikan sanksi bagi industri yang membuang limbah ke perairan tanpa adanya pengelolaan yang tepat.
  

DAFTAR PUSTAKA

Astuti, I., S. Karina dan I. Dewiyanti. 2016. Analisis kandungan logam berat Pb pada tiram Crassostrea cucullata di Pesisir Krueng Raya, Aceh Besar. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kelautan dan Perikanan Unsyiah. 1 (1): 104-113.
Damaianto, B. dan A. Masduqi. 2014. Indeks pencemaran air laut Pantai Utara Kabupaten Tuban dengan parameter logam. Jurnal Teknik Pomits. 3 (1): 1-4.
Darmawan, H. dan A, Masduqi. 2014. Indeks pencemaran air laut Pantai Utara Tuban dengan parameter TSS dan kimia non-logam. Jurnal Teknik Pomits. 3 (1): 16-20.
Edyanto, CB H. 2008. Penelitian aspek lingkungan fisik perairan sekitar Pelabuhan Sabang. Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia. 10 (2): 119-127.
Erari, S. S., J. Mangimbulude dan K. Lewerissa. 2012. Pencemaran organik di perairan pesisir Pantai Teluk Youtefa Kota Jayapura, Papua. Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa. 327-340.
Hakim, O. S. 2010. Pencemaran laut oleh ladang minyak Montara: a responsibility and liability. Opinio Juris. 1 (2010): 1-4.
Haryani, E. B. S. 2005. Pencemaran minyak di laut dan tuntutan ganti kerugian. Makalah. Sekolah Pasca Sarjana/S3/TKL Khusus Institut Pertanian Bogor.
Malisan, J. 2011. kajian pencemaran laut dari kapal dalam rangka penerapan PP Nomor 21 Tahun 2010 Tentang Perlindungan Lingkungan Laut. J. Pen.Transla. 13 (1): 1-77.
PSDKP. 2016. Pencemaran Laut. Artikel.
Santosa, R. W. 2013. Dampak pencemaran lingkungan laut oleh perusahaan pertambangan terhadap nelayan tradisional. Lex Administratum. 1 (2): 65-78.
Setiawan, T. E., Haeruddin dan C. Ain. 2014. Efisiensi penggunaan oil water separator pada kapal penangkap ikan untuk pencegahan pencemaran minyak di laut (studi kasus KM. Mantis) di BBPPI Semarang. Journal of Maquares Management of Aquatic Resources. 3 (3): 112-120.
Subekti, I. 2010. Yurisdiksi Indonesia dalam masalah pencemaran laut oleh minyak bumi dari kapal asing di laut teritorialnya berdasarkan Konvensi PBB Tentang Hukum Laut 1982. Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum QISTI. 5 (1): 12-34.
Susantoro, T. M., D. Sunarjanto dan A. Andayani. 2015. Distribusi logam berat pada sedimen di perairan muara dan laut Propinsi Jambi. Jurnal Kelautan Nasional. 10 (1): 1-11.

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Teknik Pendinginan Produk Perikanan

BAB I PENDAHULUAN 1.1         Latar Belakang Setelah meratifikasi Montreal Protocol pada tahun 1992 dan Kyoto Protocol pada tahun 1996, Indonesia juga tidak luput dari permasalahan global yang dihadapi oleh industri pendinginan dunia sebagai dampak dari kedua perjanjian internasional di atas. Dengan demikian, penelitian di bidang refrigeran dan pendinginan sangat penting dan bermanfaat dilakukan di Indonesia. Jenis refrigeran yang cocok diteliti kemungkinan pemakaiannya di lndonesia adalah refrigeran hidrokarbon, karena selain bersifat alami (natural) hidrokarbon juga tersedia sebagai sumber daya alam yang relatif besar. Penggunaan refrigeran hidrokarbon juga dapat menghemat energi bila dibanding refrigeran R12 (Maclaine dan Leonardi, 1997 dalam Sihaloho dan Tambunan, 2005 ). Aisbett dan Pham (1998) dalam Sihaloho dan Tambunan (2005) menyatakan bahwa penggunaan hidrokarbon sebagai refrigeran pengganti CFC dan HFC dapatmemberikan penghematan biaya yang signifikan untuk

Ikan Sebelah (Psettodes erumei)

1.   PENDAHULUAN 1.1   Latar Belakang Kekayaan alam laut Indonesia yang luas berpotensi menghasilkan hasil laut yang beraneka ragam dengan jumlah yang cukup besar yaitu sebanyak 6,26 juta ton per tahun. Hasil produksi perikanan laut ( marine fisheries ) di Indonesia mengalami peningkatan dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2012 mencapai 3,24 %, dimana pada tahun 2012 hasil produksi ikan laut sebanyak 5.829.194 ton. Hasil laut terutama ikan diolah untuk menjadi bahan pangan masyarakat (Purba et al., 2015). Tingkat konsumsi ikan Indonesia setiap tahun mengalami peningkatan, dimana pada tahun 2013 mencapai 35,62 kilogram per kapita dari tahun 2012, yaitu sebanyak 33,14 kilogram per kapita (Purba et al., 2015). Indonesia memiliki wilayah perairan tropis yang terkenal kaya dalam perbendaharaan jenis-jenis ikannya. Berdasarkan penelitian dan beberapa literatur diketahui tidak kurang dari 3.000 jenis ikan yang hidup di Indonesia.Dari 3.000 jenis tersebut sebanyak 2.700 jenis (90%) hidup di p

Enzim Transferase

BAB I PENDAHULUAN 1.1   Latar Belakang Indonesia mengimpor hampir seluruh kebutuhan enzim (sekitar 90%) dari luar negeri. Dari aspek pasar, kebutuhan enzim di Indonesia terus meningkat sebagaimana dapat dilihat dari nilai impor. Menurut Badan Pusat Statistik, impor untuk produksi farmasetika tahun 2007 adalah sebesar 2,988 trilyun rupiah, tahun 2008 menjadi 3,391 trilyun rupiah dan pada tahun 2011 diperkirakan menjadi 4,55 trilyun rupiah. Kebutuhan enzim dunia terus meningkat yaitu sebesar 6,5% per tahun dan menjadi $5,1 miliar pada tahun 2009 (Trismilah et al. , 2014).   Enzim adalah protein yang berfungsi sebagai katalisator untuk reaksi-reaksi kimia didalam sistem biologi. Katalisator mempercepat reaksi kimia. Walaupun katalisator ikut serta dalam reaksi, ia kembali ke keadaan semula bila reeaksi telah selesai. Enzim adalah katalisator protein untuk reaksi-reaksi kimia pasa sistem biologi. sebagian besar reaksi tersebut tidak dikatalis oleh enzim (Indah, 2004). E