Skip to main content

Elasmobranchii

 

Non Nitrogen Protein dan Histamin


non nitrogen protein dan histamin

BAB I
PENDAHULUAN

1.1      Latar Belakang
Laut Indonesia yang memiliki luas lebih kurang 5,8 juta km2 dengan garis pantai sepanjang 81.000 km memiliki potensi sumberdaya yang cukup besar, terutama sumberdaya perikanan laut baik dari segi kuantitas maupun diversitas. Potensi lestari sumberdaya ikan laut Indonesia diperkirakan 6,4 juta ton per tahun yang tersebar di seluruh wilayah perairan Indonesia dan perairan ZEEI (Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia), dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) sebesar 5,12 juta ton per tahun atau sekitar 80% dari potensi lestari (Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), 2005 dalam Hardiana, 2009).
Sub sektor perikanan merupakan andalan utama sumber pangan dan gizi bagi masyarakat Indonesia. Produksi perikanan Indonesia cukup besar dan semakin meningkat setiap tahun, volume produksi perikanan tangkap (perikanan laut dan perairan umum) dan budidaya (air laut, tambak, kolam, karamba, jaring apung, sawah) pada tahun 2006, yaitu sebesar 7.488.708 ton, sedangkan pada tahun 2010 meningkat menjadi 10.826.502 ton (KKP 2011 dalam Kaiang et al., 2016). Hasil perikanan tersebut pada umumnya dikonsumsi dalam bentuk segar, diekspor dan diolah baik secara modern maupun tradisional (JICA, 2009 dalam Kaiang et al., 2016).
 Ikan dikenal sebagai suatu komoditi yang mempunyai nilai gizi tinggi namun mudah busuk karena mengandung kadar protein yang tinggi dengan kandungan asam amino bebas yang digunakan untuk metabolisme mikroorganisme, produksi amonia, biogenik amin, asam organik, keton dan komponen sulfur (Liu et al. 2010 dalam Radjawane et al., 2016). Ikan termasuk dalam kategori makanan yang cepat busuk dan seperti yang telah diketahui bahwa bagi produk cepat busuk, nilai mutu kesegaran merupakan faktor yang penting untuk diperhatikan. Oleh karena penurunan nilai mutu kesegaran selain akan menurunkan nilai gizi atau nutriennya sebagai sumber pangan, juga akan menurunkan daya jual atau harga dari produk tersebut. Dengan demikian nilai mutu kesegaran dari produk yang cepat busuk perlu diperhatikan (Sulistijowati et al., 2011). 

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka dapat ditentukan rumusan masalah dalam makalah ini seperti berikut.
1.   Apa pengertian tingkat kesegaran ikan?
2.   Apa penyebab penurunan mutu ikan?
3.   Apa yang dimaksud Non Nitrogen Protein?
4.   Apa penyebab terjadinya TMAO pada ikan?
5.   Apa penyebab terbentuknya urea dalam daging ikan?
6.   Bagaimana cara mengurangi kadar urea dalam daging ikan?
7.   Apa pengertian histamin?
8.   Apa penyebab terbentuknya histamin?
9.   Apa jenis ikan yang mengandung histamin?
10.Bagaimana cara menghambat terbentuknya histamin?

1.3 Tujuan
Berdasarkan uraian rumusan masalah di atas maka dapat ditentukan tujuan dalam makalah ini seperti berikut.
1.   Mengetahui pengertian tingkat kesegaran ikan.
2.   Mengetahui penyebab penurunan mutu ikan.
3.   Mengetahui pengertian Non Nitogen Protein
4.   Mengetahui penyebab terjadinya TMAO pada ikan.
5.   Mengetahui penyebab terbentuknya urea dalam daging ikan.
6.   Memahami cara mengurangi kadar urea dalam daging ikan
7.   Mengetahui pengertian histamin.
8.   Mengetahui penyebab terbentuknya histamin.
9.   Mengetahui jenis ikan yang mengandung histamin.
10.Memahami cara menghambat terbentuknya histamin.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1   Tingkat Kesegaran Ikan
Istilah kesegaran ikan mempunyai dua makna yang berbeda. Konsep yang pertama mengaitkan pada proses terjadinya penurunan mutu akibat terjadinya proses autolitik atau enzimatik, sering juga disebut proses biokimia yang terjadi segera setelah ikan itu mati. Konsep yang kedua mengaitkan pada proses penurunan mutu akibat deteriosasi/dekomposisi yang disebabkan oleh adanya aktivitas bakterial. Konsep yang pertama dikenal dengan istilah ”kesegaran enzimatik”, sedangkan konsep yang kedua disebut “kesegaran bakterial”. Kedua konsep ini dikembangkan dari kenyataan bahwa selama periode post-mortem/kematian ikan, penurunan kesegaran ikan terjadi oleh karena aktivitas enzimatik dan aktivitas bakteri (Sudarmawan, 2006 dalam Sulistijowati et al, 2011).
Khusus bagi produk makanan yang mudah dan cepat membusuk, seperti ikan basah yang baru ditangkap, pengertian mutu sebenarnya identik dengan kesegaran. Ikan segar mempunyai dua pengertian, yang pertama merupakan ikan yang baru saja ditangkap, tidak disimpan atau diawetkan. Kedua, ikan yang mutunya masih baik, disimpan atau diawetkan dan mempunyai mutu yang tidak berubah serta belum mengalami kemunduran, baik secara kimia, fisika, maupun biologi walaupun sudah mengalami penyimpanan, misalnya ikan-ikan yang dibekukan (FAO 1995a, Yunizal dan Wibowo 1998, Dassow 1963 dalam Zakaria, 2008). Kesegaran akan bisa dicapai bila dalam penanganan ikan berlangsung dengan baik. Ikan yang masih segar berarti belum mengalami perubahan-perubahan biokimiawi, mikrobiologi, maupun fisikawi yang dapat menyebabkan kerusakan berat pada daging ikan (Irawan, 1995 dalam Zakaria, 2008).

2.2   Kemunduran Mutu Ikan
Proses kemunduran mutu ikan akan terus berlangsung jika tidak dihambat. Kecepatan proses tersebut sangat dipengaruhi oleh banyak hal, baik faktor internal yang lebih banyak berkaitan dengan sifat ikan itu sendiri maupun eksternal yang berkaitan dengan lingkungan dan perlakuan manusia. Faktor luar yang paling berpengaruh terhadap kemunduran mutu ikan adalah penggunaan alat tangkap dan penanganan pasca panen yang dilakukan oleh para nelayan. Alat tangkap yang baik adalah yang dapat menekan tingkat stres pada ikan dan mengurangi gerakan ikan (merontaronta) sebelum mati. Penanganan yang baik adalah menggunakan sistem rantai dingin serta mengutamakan sanitasi dan higiene untuk mempertahankan mutu mengingat perairan Indonesia merupakan perairan tropis sebagai tempat yang baik untuk pertumbuhan mikroba pembusuk. Jika tidak mendapatkan penanganan yang baik maka akan mengalami kemunduran mutu dengan cepat. Mutu ikan dapat terus dipertahankan jika ikan tersebut ditangani dengan hati-hati, cepat, bersih dan disimpan dalam ruangan dengan suhu yang dingin (C3Q: cool, clean, carefull n quick) (Zakaria, 2008).
Kemunduran mutu terjadi sesaat setelah ikan mati. Menurut Amlacher (1961) dalam Yasin (2005) ketika suplai oksigen terhenti, maka akan terjadi peristiwa glikolisis pada jaringan otot ikan. Akibat dari peristiwa tersebut maka pH akan turun, dimana glikogen akan dihidrolisis menjadi asam laktat yang menyebabkan turunnya nilai pH (Connell 1980; Suvanich dan Marshall 1996 dalam Yasin, 2005). Selanjutnya kreatin-fosfat (CP) (gudang dari energi ikatan fosfat) secara normal akan hilang dari jaringan otot. Setelah kehilangan sekitar 60 % CP, penguraian terhadap adenosin trifosfat (ATP) dimulai. Menurut Botta (1994) dalam Yasin (2005) penguraian secara enzimatis pada daging ikan akan menyebabkan terurainya ATP menjadi hipoksantin. Setelah ikan mati, ATP akan mengalami penguraian secara cepat melalui reaksi defosforilasi dan deaminasi menjadi adenosin monofosfat (AMP) dan akan terurai lagi menjadi inosin monofosfat (IMP). IMP akan terurai dengan lambat secara defosforilasi dan hidrolisasi oleh enzim atau mikroba menjadi hipoksantin. Hipoksantin akan teroksidasi menjadi xantin dimana xantin juga akan terurai oleh proses oksidasi menjadi asam urat. Hipoksantin dapat menyebabkan rasa pahit pada daging ikan. Skema proses penguraian ATP menjadi asam urat dapat dilihat pada Gambar 1. Kemunduran mutu ikan setelah mati disebabkan karena aktivitas enzimatis dan mikrobiologis yang sudah ada secara alami pada tubuh ikan ketika hidup. Menurut Clucas dan Ward (1996) dalam Yasin (2005) pada suhu di bawah 4ºC proses kemunduran mutu ikan dapat dihambat. Pada suhu tersebut penguraian tubuh ikan oleh mikroorganisme dan enzim berlangsung dengan lambat. Kemunduran mutu ikan akan menyebabkan perubahan mutu terhadap flavor, aroma, warna dan penampakan daging ikan yang dapat mempengaruhi daya terima menjadi rendah (Yasin, 2005).
degradasi nukleotida fase rigor mortis

Gambar 1. Degradasi nukleotida pada saat fase rigor mortis ikan
(Sumber: Botta, 1994 dalam Yasin, 2005)


2.3   Non Nitrogen Protein (NNP)
Senyawa Non Nitrogen Protein (NNP) memegang peranan penting dalam proses metabolisme binatang laut dan juga berperan dalam proses pembusukan serta membentuk flavor makanan hasil laut. Pada elasmobranchii, non nitrogen protein berjumlah sekitar 30 %, sedangkan pada teleostei yang ditangkap di India kandungan NNP-nya adalah sekitar 10 %, dan pada golongan krustasea mengandung NNP sekitar 23 % dari total nitrogen (Govindan, 1985 dalam Yasin, 2005).
Ikan elasmobranchii (tulang rawan) mempunyai kandungan NNP yang lebih tinggi daripada ikan bertulang keras. Menurut Simidu (1961) dalam Yasin (2005), kandungan NNP pada ikan bertulang keras berkisar antara 9,2–18,3 % dari total nitrogen, dan pada ikan bertulang rawan berkisar antara 33-38,6 %. Menurut Simidu (1961) dalam Yasin (2005), senyawa yang terdapat pada fraksi NNP dapat dikelompokkan sebagai berikut: (a) basa volatil (amonia, mono, di-, dan trimetilamin); (b) basa trimetilamonium (trimetilamin oksida dan betain); (c) turunan guanidin (kreatin dan arginin); (e) variasi (urea, asam amino, dan turunan purin). Kandungan NNP dari setiap spesies ikan adalah berbeda (Gambar 2).
nnp ikan
Gambar 2. Distribusi dari senyawa NNP (%) pada beberapa spesies ikan
(Sumber: Shahidi, 1994 dalam Yasin, 2005)

2.4   Trymethylamin Oksida (TMAO)
Selain kandungan kimiawi makro (air, protein, lemak dan mineral) atau disebut proximate composition, ikan juga mengandung bahan kimia yang sedikit jumlahnya tetapi sangat berpengaruh terhadap kecepatan pembusukan. Bahan kimia tersebut adalah senyawa nitrogenous terlarut tergolong pada nonprotein nitrogen berupa trymethylamin oksida TMAO, trymethylamin (TMA), asam amino bebas, karnosin, anserine, senyawa nitrogen lain dan asam nukleat. Senyawa-senyawa ini merupakan faktor utama yang menyuguhkan bau dan cita rasa pada ikan, selain itu mempunyai arti yang sangat besar pada saat kemunduran mutu berlangsung (bakterilogis dan kimiawi). Asam amino bebas kadarnya sangat kecil pada ikan yang baru ditangkap, tetapi kadarnya segera meningkat setelah ikan mati/post mortem. Suatu kekecualian pada ikan tuna ialah dagingnya mengandung kadar histidin yang sangat tinggi (Harikedua, 1994; Sunarya, 1996 dalam Sulistijowati et al., 2011).
Sebagian besar unsur nitrogen yang terdapat pada ikan terikat dalam protein. Tetapi, kira-kira 1/10 dari unsur N pada golongan ikan Teleostei dan 1/3 unsur N pada golongan ikan Elasmobranchia berada dalam bentuk senyawa ekstraktif nitrogenous. Salah satu senyawa nitrogen yang mempunyai arti penting sebagai kriteria kemunduran mutu ikan laut secara objektif adalah TMAO; kadarnya sekitar 40-100 mg%, pada ikan-ikan demersal ada yang mencapai 150 mg%. Ikan darat (air tawar) tidak mengandung TMAO, kalaupun ada rendah sekali kadarnya, sekitar 5-20 mg% (Sunarya, 1996 dalam Sulistijowati et al., 2011).
Menurut Hui (1992), Botta (1994) dalam Santoso et al. (2008), TMA dibentuk oleh aksi bakteri pembusuk yang menguraikan TMAO menjadi TMA, termasuk bakteri yang memproduksi TMA seperti jenis Pseudomonas. Peningkatan nilai TMA daging lumat selama penyimpanan disebabkan karena aktivitas mikroba yang menguraikan bagian tubuh ikan setelah ikan mati. Penguraian TMAO menjadi TMA setelah ikan mati akan memproduksi amonia yang mempengaruhi aroma dan flavor (Clucas, 1981 dalam Santoso et al., 2008).
TMA ini merupakan bagian dari TVB oleh sebab itu kandungan TMA selalu lebih rendah dari TVB. TMA ini merupakan hasil dari reduksi TMAO oleh enzim. Pada kasus pembusukan ikan, mikroorganisme memanfaatkan atom oksigen yang disumbangkan oleh TMAO dalam kondisi anaerob dan mengakibatkan peningkatan pembentukan TMA (Adams dan Moss, 2008 dalam Murtini et al., 2014). Jenis mikroba yang berperan pada proses pembusukan ikan sebagian besar terdiri dari bakteri gram-negatif dari jenis Pseudomonas, Alteromonas, Shewanella, Moraxella, Acinetobacter, Vibrio, Flavobacterium dan Cytophaga. Jenis mikroba pembusuk aerob dari ikan yang disimpan di es terdiri terutama dari jenis Pseudomonas spp. dan Shewanella putrefaciens (Levin, 1968; Gram et al., 1987 dalam Murtini et al., 2014).

2.5   Urea Daging Ikan
Menurut Harikedua (1994) dalam Sulistijowati et al. (2011), bahwa golongan ikan Elasmobranchia seperti cucut dan pari memiliki kadar urea yang sangat tinggi dapat mencapai 2 persen dari berat kering. Kadar urea ini menyebabkan produk olahan berbau pesing (bau amoniak), sedangkan pada golongan Teleostei, kadar urea hanya 0,05 persen saja.
Ikan pari adalah jenis ikan nonekonomis yang kurang diminati untuk dikonsumsi di Indonesia (Gambar 3). Jenis ikan ini biasa tertangkap sebagai ikan target ataupun ikan hasil tangkapan samping (HTS). Masalah pada ikan tersebut adalah timbulnya aroma pesing ketika dikonsumsi. Tingginya kadar urea adalah penyebab utama masalah tersebut. Bau tersebut disebabkan karena ikan tersebut mengandung urea dalam jumlah yang tinggi, menurut Yasin (2005) dalam Telaumbanua et al. (2012), bahwa ikan pari termasuk kedalam golongan ikan yang memiliki kadar urea tinggi sebesar 2,33 % (Telaumbanua et al., 2012).
Pari
Gambar 3. Pari (Trygon sephen)
(Sumber: Fishbase, 2005 dalam Yasin, 2005)

2.6   Pengurangan Kadar Urea
Pengurangan kadar urea dalam ikan pari dapat dilakukan dengan melakukan perendaman dalam larutan asam sitrat dan ekstrak tauge. Menurut Sulistityati (2008) dalam Telaumbanua et al. (2012), penggunaan larutan asam sitrat 2% untuk merendam daging ikan hiu dapat mereduksi kandungan amoniak daging ikan hiu sebesar 72,82%. Pengurangan kadar urea yang terdapat dalam ikan juga dapat dilakukan dengan menggunakan senyawa saponin yang terdapat pada beberapa bahan alami, antara lain taoge. Sayuran tauge, baik taoge kacang hijau, taoge kedelai, taoge alfalfa, maupun jenis taoge lainnya, mengandung banyak sekali senyawa fitokimiawi berkhasiat, salah satunya saponin. Ketika biji-bijian dan kacang-kacangan dikecambahkan, maka secara umum kadar saponinnya meningkat 45% (Ens, 2003 dalam Telaumbanua et al., 2012).

2.7    Pengertian Histamin
Histamin (imidazol-etilamin), merupakan senyawa bioamin yang tidak menguap (non volatile compound) yang dihasilkan dari proses dekarboksilasi histidin bebas (α-amino-β-imidazol asam propionat) (Lehane & Olley, 1999 dalam Heruwati et al., 2008). Proses pembentukan histamin pada ikan sangat dipengaruhi oleh aktiv itas enzim L-Histidine Decarboxylase (HDC) (Bennour et al., 1991 dalam Heruwati et al., 2008). Senyawa amin biogenik ini dapat terbentuk karena dekarboksilasi endogenik, yaitu yang dilakukan oleh enzim yang terdapat dalam sel ikan itu sendiri, maupun eksogenik yang merupakan proses dekarboksilasi oleh mikroorganisme yang menghasilkan enzim dekarboksilase ekstraseluler (Heruwati et al., 2008).
Histamin adalah senyawa amin biologis heterosiklik primer aktif yang terbentuk pada fase post mortem daging ikan famili Scombroid dan non-Scombroid yang banyak mengandung histidin bebas (Nahla dan Farag, 2005 dalam Prasetiawan et al., 2013). Histamin terbentuk melalui dekarboksilasi terhadap asam amino histidin oleh enzim dekarboksilase eksogenus yang dihasilkan oleh mikroba pada ikan (Ndaw et al., 2007 dalam Prasetiawan et al., 2013). Histamin stabil terhadap pemanasan dan tahan terhadap proses pengolahan termasuk proses pengalengan (McLauchin et al., 2005 dalam Prasetiawan et al., 2013).

2.8 Penyebab Terbentuknya Histamin
Keracunan disebabkan oleh kontaminasi bakteri pathogen seperti Escherichia coli, Salmonella, Vibrio cholerae, Enterobacteriacea dan lain-lain. Keracunan yang sering terjadi pada ikan tongkol yaitu keracunan histamin (scombroid fish poisoning). Ikan jenis ini mengandung asam amino histidin yang dikontaminasi oleh bakteri dengan mengeluarkan enzim histidin dekarboksilase sehingga menghasilkan histamin (Meryandini et al., 2009 dalam Kurniawan et al., 2012). Menurut Madigan dan Martiko (2003) dalam Kurniawan et al. (2012), histamin merupakan modifikasi dari asam amino yang mengakibatkan alergi dengan gejala-gejala, seperti sulit bernafas, kulit merah/panas, gatal-gatal, timbul lendir, kudis dan mata berair.
Menurut Pa Joshi dan Vishal Bhoir (2011) dalam Radjawane et al. (2016) penyebab tingginya kandungan histamin pada bahan baku diakibatkan oleh kondisi sanitasi selama penanganan ikan diatas kapal dan juga suhu dalam mempertahankan mutu ikan. Pembentukan histamin sering disebabkan oleh penyimpanan suhu tinggi dan kesalahan penanganan yang dipengaruhi oleh kombinasi waktu dan suhu. Suhu optimum, batas suhu terendah, jenis bakteri pembentuk histamin dan jumlah kandungan histamin bervariasi tergantung lingkungan perairan. Tingginya kandungan histamin di tiap bagian daging ikan dipengaruhi oleh jumlah bakteri penghasil histidin dekarboksilase (Kung et al., 2009 dalam Radjawane et al., 2016) (Gambar 4). Peningkatan kadar histamin yang pesat merupakan akibat dari pertumbuhan bakteri penghasil histamin yang optimum (Kanki et al., 2007 dalam Radjawane et al., 2016).
bakteri histamin

Gambar 4. Koloni bakteri pembentuk histamin
(Sumber: Kurniawan et al., 2012)


Bakteri utama yang merupakan bakteri histidin dekarboksilase, yang dapat meningkatkan kandungan histamin pada ikan, yaitu Proteus morganii, Klebsiella pneumonia dan Hafnia alvei (Taylor, 1983 dalam Wicaksono, 2009). Keer et al., (2002) dalam Wicaksono (2009), menambahkan jenis bakteri yang mampu memproduksi histamin dari histidin dalam jumlah tinggi, yaitu Proteus morganii (bigeye, skipjack), Enterobacteri aerogenes (skipjack), Clostridium perfringens (skipjack). Hampir semua mikroba pembentuk histamin bersifat gram negatif dan berbentuk batang (Gambar 5). Enzim lebih stabil dibandingkan bakteri pada suhu beku dan dapat bereaksi dengan sangat cepat setelah thawing. Histamin dapat terakumulasi di dalam daging ikan karena adanya kesalahan penanganan bahan baku sebelum dan sesudah pembekuan. Enzim yang terdapat pada ikan sebelum pembekuan dapat meneruskan pembentukan histamin di dalam daging ikan walaupun sel bakteri telah rusak selama penyimpanan beku (Keer et al., 2002 dalam Wicaksono, 2009).
spesies bakteri histamin

Gambar 5. Bakteri penghasil histamin yang terdapat pada ikan laut
(Sumber: Martin et al., 1982 dalam Wicaksono, 2009)


2.9    Jenis Ikan yang Mengandung Histamin
Beberapa jenis ikan terutama dari famili Scombroidae mempunyai kandungan histidin bebas yang tinggi, sebagai contoh tuna mata besar mencapai 491 mg/100 g daging, mahi-mahi 344 mg/100 g, cakalang 1.192 mg/100 g, tuna ekor kuning 740 mg/100 g, kembung 600 mg/100 g dan albakor yang tertinggi, sampai 2 mg/100 g (Lukton & Olcott, 1958; Perez-Martin et al., 1988; Antoine et al., 1999 dalam Heruwati et al., 2008). Menurut hasil penelitian Gonowiakz et al. (1990) dalam Heruwati et al. (2008), hanya ikan yang mengandung histidin bebas di atas 100 mg/100 g daging yang mampu menghasilkan histamin (Heruwati et al., 2008).
Menurut Yoswaty (2005) dalam Kurniawan et al. (2012), menyebutkan ada beberapa jenis ikan dari famili Scombridae mempunyai kandungan histidin bebas yang tertinggi seperti tongkol mencapai 491 mg/100g daging, mahi-mahi 344 mg/100g, cakalang 1192 mg/100g, tuna ekor kuning 740 mg/100g, kembung 600 mg/100g dan albakor 2 g/100g. Ikan yang mengandung histidin bebas lebih dari 100 mg/100g daging, maka mampu menghasilkan histamin.

2.9.1Tuna (Thunnus sp.)
Kadar histamin dapat dijadikan indikasi mutu tuna dan histamin juga merupakan indikator standar keamanan pangan produk tersebut (Gambar 6). Hal ini disebabkan kandungan histamin dapat menyebabkan efek keracunan. Keracunan histamin terjadi di seluruh dunia dan kemungkinan pada umumnya disebabkan oleh racun yang dihasilkan pada ikan. Jepang, Amerika Serikat (USA) dan Inggris Raya (United Kingdom, UK) merupakan negara dengan jumlah penduduk tertinggi yang menderita keracunan histamin (Sumner et al., 2004 dalam Wicaksono, 2009).
tuna albacore

Gambar 6. Tuna Albacore (Thunnus alalunga)
(Sumber: BBPMHP, 1999 dalam Wicaksono, 2009)


2.9.2 Cakalang (Katsuwonus pelamis)
Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) adalah jenis ikan laut yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia dan memiliki kandungan protein tinggi yang baik untuk tubuh manusia sehingga Ikan cakalang tergolong sumberdaya perikanan pelagis penting dan merupakan salah satu komoditi ekspor non-migas (Kekenusa et al., 2012 dalam Radjawane et al., 2016). Ikan cakalang terdapat hampir diseluruh perairan Indonesia, terutama di bagian timur Indonesia (Gambar 7). Di Maluku ikan cakalang merupakan salah satu komoditi perikanan yang menjadi primadona. Maluku, merupakan salah satu pusat kegiatan penangkapan cakalang di Indonesia. Hasil tangkapan ikan cakalang di Maluku (termasuk Ambon) pada tahun 2011 35.952,4 ton dan mengalami peningkatan pada tahun 2014 51.705 ton (Dinas Kelautan Dan Perikanan Provinsi Maluku, 2014 dalam Radjawane et al., 2016).
cakalang

Gambar 7. Cakalang (Katsuwonus pelamis)
(Sumber: Dinas Perikanan Kabupaten Polmas, 1998 dalam Zainuddin, 2012)


2.9.3 Tongkol (Euthynnus affinis)
Gambar 8. Tongkol (Euthynnus affinis)
(Sumber: Kurniawan et al., 2012)
Suhu penyimpanan berpengaruh terhadap peningkatan kadar histamin pada ikan tongkol (Gambar 8). Waktu penyimpanan berpengaruh terhadap peningkatan kadar histamin pada ikan tongkol. Terdapat Interaksi antara suhu dan waktu penyimpanan terhadap peningkatan kadar histamin pada ikan tongkol dan Terdapat bakteri Escherichia coli pada ikan tongkol dan belum melewati ambang batas (Mitchell, 2013). 

2.10 Menghambat Terbentuknya Histamin
2.10.1Suhu Rendah
Suhu rendah dapat mengontrol bakteri pembentuk histamin (Kerr et al., 2002 dalam Prasetiawan et al., 2013), tetapi enzim histidin dekarboksilase yang telah terbentuk akan terus menghasilkan histamin sekalipun bakteri pembentuknya tidak aktif. Enzim histidin dekarboksilase aktif pada ataupun mendekati suhu pembekuan (Sea Grant Collage Programe, 2001 dalam Prasetiawan et al., 2013). Histamin dapat dikatabolisasi oleh enzim diamin oksidase dan histamin metil transferase (Shiozaki et al., 2003 dalam Prasetiawan et al., 2013). Laporan sebelumnya menunjukkan hasil fermentasi menggunakan A. oryzae IFO 4202 dimungkinkan efektif dalam menurunkan kadar histamin (Kakio et al., 1997 dalam Prasetiawan et al., 2013). Berbagai senyawa alami juga berperan dalam destruksi (Thadhani et al., 2001 dalam Prasetiawan et al., 2013) dan penghambatan pembentukan histamin padaikan (Brillantes et al., 2002 dalam Prasetiawan et al., 2013).

2.10.2 Quercetin
Quercetin merupakan senyawa natural yang tergolong ke dalam jenis flavonoid yang terbentuk dari dua cincin benzena yang dihubungkan dengan cincin heterosiklikpiron (National Toxicology Programme, 1992 dalam Prasetiawan et al., 2013). Quercetin tersebar luas pada tanaman dan buah-buahan (de Miranda et al., 2008 dalam Prasetiawan et al., 2013) termasuk bawang, apel, anggur, teh, berry, tomat dan brokoli (Lakhanpal dan Rai, 2007 dalam Prasetiawan et al., 2013). Quercetin digolongkan sebagai bahan aktif dengan berbagai kemampuan biologis termasuk anti inflamatori, antikanker, antibakteri, antivirus, antigonadotropik dan antihepatotoksik (Arya et al., 2007 dalam Prasetiawan et al., 2013). Quercetin juga tergolong antioksidan kuat dikarenakan kemampuannya mengikat radikal bebas dalam jumlah besar dan mengikat ion metal transisi (Bentz, 2009 dalam Prasetiawan et al., 2013).
Quercetin memiliki sifat antibakteri terhadap beberapa bakteri penghasil histidin dekarboksilase dan histamin (Riviere et al., 2009 dalam Prasetiawan et al., 2013). Beberapa laporan sebelumnya menunjukkan bahwa quercetin merupakan inhibitor bagi enzim histidin dekarboksilase (Nitta et al., 2009 dalam Prasetiawan et al., 2013). Beberapa faktor tersebut memungkinkan quercetin dapat digunakan sebagai penghambat pembentukan histamin pada daging ikan (Prasetiawan et al., 2013).

2.10.3 Asam Asetat
Asam asetat adalah senyawa kimia yang berfunsi menghambat pertumbuhan bakteri, dengan demikian diharapkan perendaman dalam larutan asam asetat dapat menghambat pembentukan histamin pada ikan tongkol. Hasil penelitian Dotulong (2009), semakin tinggi konsentrasi asam asetat dan semakin lama perendaman, kadar histamin ikan tongkol semakin rendah. Hal ini disebabkan karena asam asetat yang meresap ke dalam daging ikan menghambat pertumbuhan mikroba maupun aktivitas enzim yang mengurai histidin menjadi histamin. Hal ini didukung oleh pernyataan Borgstrom (1965), yang menyatakan bahwa penambahan asam cuka pada proses pengasaman ikan akan menurunkan pH sehingga kegiatan bakteri akan terhambat. Selanjutnya Supriyadi et al. (1982) menyatakan bahwa pencelupan ikan selama 15 menit dalam larutan asam asetat 15% ternyata sanggup mempertahankan mutu ikan Lemuru selama 2 jam (Dotulong, 2009).

2.10.4 Pengolahan
a.     Pengasapan
Penanganan adalah kunci utama dalam menghambat terbentuknya histamin, perubahan warna, kelarutan protein dan pertumbuhan mikroba pada ikan cakalang. Pengasapan ikan dimaksudkan untuk mempertahankan kesegaran, dalam arti masih memenuhi syarat untuk bisa dikonsumsi manusia dengan jalan menghambat terjadinya pembusukan ikan. Pengasapan ikan merupakan salah satu metode pengolahan ikan yang mengkombinasikan proses penggaraman, pemanasan dan pelekatan komponen kimiawi asap (Prasetyo, 2015 dalam Radjawane et al., 2016). Selain itu penurunan kadar histamin pada ikan cakalang asap karena adanya pengurangan kadar air akibat dari pemanasan dan adanya senyawa-senyawa kimia didalam asap sepertih golongan fenol yang dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Hasil penelitian Radjawane et al. (2016), nilai kandungan histamin pada ikan cakalang segar dan asap pada sentral unit pengolahan ikan asap, diperoleh data nilai rata-rata kandungan histamin ikan cakalang segar berkisar antara 9,08 mg/100 g – 25,31 mg/ 100 g, sedangkan kandungan histamin pada ikan asap berkisar antara 7,65 mg/100 g – 18,41 mg/100 g. Dari hasil uji kadar histamin yag dihasilkan menunjukkan bahwa jumlah kandungan kadar histamin pada bahan baku lebih besar dari jumlah histamin pada produk ikan asap. kadar histamin pada produk ikan cakalang asap cenderung mengalami penurunan pada setiap sentral pengolahan ikan asap hal ini disebabkan karna ikan mengalami penanganan hingga proses pengasapan (Radjawane et al., 2016).

b.     Pemindangan
Penelitian mengenai histamin pada ikan atau mengenai ikan pindang telah banyak dilakukan oleh peneliti terdahulu misalnya studi perubahan kadar histamin pada pindang tongkol selama penyimpanan (Ariyani et al., 2004 dalam Fatuni et al., 2014), mempelajari reduksi kadar histamin dalam pembuatan pindang (Ayu, 1993 dalam Fatuni et al., 2014) dan analisis bakteri histamin pada ikan tongkol di Perairan Pasienan Tigo Kato Tangah Padang Sumatera Barat (Romi, 2012 dalam Fatuni et al., 2014), namun demikian penelitian mengenai histamin dan bakteri pembentuk histamin pada olahan ikan tongkol jenis A. rochei masih sangat terbatas (Fatuni et al., 2014).


BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut.
· Kesegaran ikan mempunyai dua makna yang berbeda, yaitu proses terjadinya penurunan mutu akibat terjadinya proses autolitik atau enzimatik dan proses penurunan mutu akibat deteriosasi/dekomposisi yang disebabkan oleh adanya aktivitas bakterial.
·  Kemunduran mutu ikan akan menyebabkan perubahan mutu terhadap flavor, aroma, warna dan penampakan daging ikan yang dapat mempengaruhi daya terima menjadi rendah.
· Senyawa Non Nitrogen Protein (NNP) memegang peranan penting dalam proses metabolisme binatang laut dan juga berperan dalam proses pembusukan serta membentuk flavor makanan hasil laut.
·    TMA dibentuk oleh aksi bakteri pembusuk yang menguraikan TMAO menjadi TMA.
·     Kadar urea menyebabkan produk olahan berbau pesing (bau amoniak).
· Pengurangan kadar urea dalam ikan pari dapat dilakukan dengan melakukan perendaman dalam larutan asam sitrat dan ekstrak tauge.
·  Histamin adalah senyawa amin biologis heterosiklik primer aktif yang terbentuk pada fase post mortem daging ikan famili Scombroid dan non-Scombroid yang banyak mengandung histidin bebas.
·  Penyebab tingginya kandungan histamin pada ikan diakibatkan oleh kondisi sanitasi selama penanganan ikan diatas kapal, suhu dalam mempertahankan mutu ikan dan dipengaruhi oleh jumlah bakteri penghasil histidin dekarboksilase.
·  Beberapa jenis ikan terutama dari famili Scombroidae mempunyai kandungan histidin bebas yang tinggi, seperti tuna, cakalang dan tongkol.
·   Ada beberapa cara menghambat terbentuknya histamin seperti penerapan suhu rendah, quercetin, asam asetat dan pengolahan (pengasapan dan pemindangan).


DAFTAR PUSTAKA

Dotulong, V. 2009. Studi kadar histamin ikan tongkol (Auxis thazard) asap yang diawet dengan asam asetat. Warta WIPTEK. 33. FPIK UNSRAT.
Fatuni, Y. S., Suwandi, R. dan Jaecob, A. M. 2014. Identifikasi kadar histamin dan bakteri pembentuk histamin dari pindang badeng tongkol. JPHPI. 17 (2): 112-118.
Hardiana, P. K. 2009. Evaluasi risiko semi-quantitative kadar histamin ikan tuna pada proses pembongkaran di transit dan pengolahan produk tuna loin beku. Skripsi. Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Heruwati, E. S., Sophia, R. A. dan Mangunwardoyo, W. 2008. Penghambatan enzim l-histidine decarboxylase dari bakteri pembentuk histamin menggunakan asam benzoat. Jurnal Pascapanen dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan. 3 (2):97-106.
Kaiang, D. B., Montolalu, L. A. D. Y. dan Montolalu, R. I. 2016. Kajian mutu ikan tongkol (Euthynnus affinis) asap utuh yang dikemas vakum dan non vakum selama 2 hari penyimpanan pada suhu kamar. Jurnal Media Teknologi Hasil Perikanan. 4 (2): 75-84.
Kurniawan, R., Yoswaty, D dan Nedi, S. 2012. Analisis bakteri pembentuk histamin pada ikan tongkol di Perairan Pasie Nan Tigo Koto Tangah Padang Sumatera Barat. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Riau.
Mitchell, L. S. 2013. Pengaruh suhu dan waktu penyimpanan terhadap peningkatan kadar histamin pada ikan tongkol. Program Studi Kesehatan Masyarakat, Peminatan Kesehatan Lingkungan, Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan dan Keolahragaan, Universitas Negeri Gorontalo.
Murtini, J. T., Riyanto, R., Priyanto, N. dan Hermana, I. 2014. Pembentukan formaldehid alami pada beberapa jenis ikan laut selama penyimpanan dalam es curai. JPB Perikanan. 9 (2): 143–151.
Prasetiawan, N. R., Agustini, T. W. dan Ma’ruf, W. F. 2013. Penghambatan pembentukan histamin pada daging ikan tongkol (Euthynnus affinis) oleh quercetin selama penyimpanan. JPHPI. 16 (2): 150-158.
Radjawane, C., Darmanto, Y. S. dan Swastawati, F. 2016. Kajian kandungan histamin ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) segar dan asap pada sentral pengolahan ikan asap di Kota Ambon. Prosiding Seminar Nasional Kelautan Universitas Trunojoyo Madura. Manajemen Sumberdaya Pantai FPIK, Universitas Diponegoro.
Santoso, J., Yasin, A. W. N. dan Santoso. 2008. Perubahan karakteristik surimi ikan cucut dan ikan pari akibat pengaruh pengkomposisian dan penyimpanan dingin daging lumat. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan. 14 (1): 57-66.
Sulistijowati, R., Djunaedi, O. S., Nurhajati, J., Afrianto, E. dan Udin, Z. 2011. Mekanisme Pengasapan Ikan. UNPAD PRESS.
Telaumbanua, P. W. H. T., Suparmi dan Loekman, S. 2012. Studi reduksi urea pada daging ikan pari (Trygon sephen) dengan perendaman dalam ekstrak tauge dan asam sitrat. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universias Riau.
Wicaksono, D. 2009. Asesmen risiko histamin selama proses pengolahan pada industri tuna loin. Skripsi. Program Studi Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Yasin, A. W. N. 2005. Pengaruh pengkomposisian dan penyimpanan dingin daging lumat ikan cucut pisang (Carcharinus falciformis) dan ikan pari kelapa (Trygon Sephen) terhadap karakteristik surimi yang dihasilkan. Skripsi. Program Studi Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Zainuddin. 2002. Pengauh penggunaan umpan terhadap hasil tangkapan cakalang (Katsuwonus pelamis) dengan menggunakan pancing ulur pada rumpon di Perairan Pambusuang Kabupaten Polmas Sulawesi Selatan. Skripsi. Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Zakaria, R. 2008. Kemunduran mutu ikan gurami (Osphronemus gouramy) Pasca panen pada penyimpanan suhu chilling. Skripsi. Program Studi Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.


Oleh: Nurul Anisah, Suparjo Rizki Pramus, Jefri Nurman Faizi, Kholifatul Zahro, Abdi Nugroho, Melynda Dwi Puspita, Nurul Burhanul Fitroh, Habibati Wirda, Arwin Adiwinata dan Faizatus Sholihah

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Ikan Sebelah (Psettodes erumei)

1.   PENDAHULUAN 1.1   Latar Belakang Kekayaan alam laut Indonesia yang luas berpotensi menghasilkan hasil laut yang beraneka ragam dengan jumlah yang cukup besar yaitu sebanyak 6,26 juta ton per tahun. Hasil produksi perikanan laut ( marine fisheries ) di Indonesia mengalami peningkatan dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2012 mencapai 3,24 %, dimana pada tahun 2012 hasil produksi ikan laut sebanyak 5.829.194 ton. Hasil laut terutama ikan diolah untuk menjadi bahan pangan masyarakat (Purba et al., 2015). Tingkat konsumsi ikan Indonesia setiap tahun mengalami peningkatan, dimana pada tahun 2013 mencapai 35,62 kilogram per kapita dari tahun 2012, yaitu sebanyak 33,14 kilogram per kapita (Purba et al., 2015). Indonesia memiliki wilayah perairan tropis yang terkenal kaya dalam perbendaharaan jenis-jenis ikannya. Berdasarkan penelitian dan beberapa literatur diketahui tidak kurang dari 3.000 jenis ikan yang hidup di Indonesia.Dari 3.000 jenis tersebut sebanyak 2.700 jenis (90%) hidup di p

Teknik Pendinginan Produk Perikanan

BAB I PENDAHULUAN 1.1         Latar Belakang Setelah meratifikasi Montreal Protocol pada tahun 1992 dan Kyoto Protocol pada tahun 1996, Indonesia juga tidak luput dari permasalahan global yang dihadapi oleh industri pendinginan dunia sebagai dampak dari kedua perjanjian internasional di atas. Dengan demikian, penelitian di bidang refrigeran dan pendinginan sangat penting dan bermanfaat dilakukan di Indonesia. Jenis refrigeran yang cocok diteliti kemungkinan pemakaiannya di lndonesia adalah refrigeran hidrokarbon, karena selain bersifat alami (natural) hidrokarbon juga tersedia sebagai sumber daya alam yang relatif besar. Penggunaan refrigeran hidrokarbon juga dapat menghemat energi bila dibanding refrigeran R12 (Maclaine dan Leonardi, 1997 dalam Sihaloho dan Tambunan, 2005 ). Aisbett dan Pham (1998) dalam Sihaloho dan Tambunan (2005) menyatakan bahwa penggunaan hidrokarbon sebagai refrigeran pengganti CFC dan HFC dapatmemberikan penghematan biaya yang signifikan untuk

Enzim Transferase

BAB I PENDAHULUAN 1.1   Latar Belakang Indonesia mengimpor hampir seluruh kebutuhan enzim (sekitar 90%) dari luar negeri. Dari aspek pasar, kebutuhan enzim di Indonesia terus meningkat sebagaimana dapat dilihat dari nilai impor. Menurut Badan Pusat Statistik, impor untuk produksi farmasetika tahun 2007 adalah sebesar 2,988 trilyun rupiah, tahun 2008 menjadi 3,391 trilyun rupiah dan pada tahun 2011 diperkirakan menjadi 4,55 trilyun rupiah. Kebutuhan enzim dunia terus meningkat yaitu sebesar 6,5% per tahun dan menjadi $5,1 miliar pada tahun 2009 (Trismilah et al. , 2014).   Enzim adalah protein yang berfungsi sebagai katalisator untuk reaksi-reaksi kimia didalam sistem biologi. Katalisator mempercepat reaksi kimia. Walaupun katalisator ikut serta dalam reaksi, ia kembali ke keadaan semula bila reeaksi telah selesai. Enzim adalah katalisator protein untuk reaksi-reaksi kimia pasa sistem biologi. sebagian besar reaksi tersebut tidak dikatalis oleh enzim (Indah, 2004). E