Skip to main content

Elasmobranchii

 

Konsentrat Protein Ikan


konsentrat protein ikan

BAB I
PENDAHULUAN

1.1       Latar Belakang
Berkembangnya agroindustri hasil perikanan selain membawa dampak positif, yaitu sebagai penghasil devisa, memberikan nilai tambah dan penyerapan tenaga kerja, juga telah memberikan dampak negatif, yaitu berupa buangan limbah. Limbah hasil dari kegiatan tersebut dapat berupa limbah padat dan limbah cair (Ibrahim, 2005). Limbah perikanan ini semakin meningkat karena adanya peningkatan konsumsi manusia untuk sumberdaya perikanan sehingga berbanding lurus dengan banyaknya limbah perikanan yang dihasilkan. Limbah perikanan yang dihasilkan berupa kulit, tulang, kepala, ekor dan jeroan. Dari hasil survei yang dilakukan dapat diperkirakan volume limbah ikan setiap nelayan di wilayah tangkap perairan Indonesia sekitar satu kilogram per hari sehingga tersedia 1.600 kilogram limbah padat ikan setiap hari (Prihatiningsih et al., 2014).
Masalah pencemaran lingkungan akibat limbah industri pertanian termasuk industri perikanan sudah lama diwaspadai. Pemerintah Indonesia sudah mulai bersikap tegas dengan dikeluarkannya peraturan bahwa semua industri di Indonesia harus menangani limbahnya terlebih dahulu sebelum dibuang ke perairan bebas. Hal ini telah diatur dalam beberapa peraturan yaitu: PP No. 20/1990 tentang pengendalian pencemaran air; SK Menteri KLH tahun1988 dan beberapa peraturan daerah masing-masing. Untuk memenuhi persyaratan ini perlu dipilih metode penanganan limbah yang tepat dan cocok dengan sifat limbah industri yang bersangkutan. Oleh karena itu karakteristik limbah yang akan diberi perlakuan (treatment) perlu diketahui terlebih dahulu. Sifat-sifat limbah industri pengolahan buah dan sayuran akan berbeda dengan industri pengolahan daging sapi, unggas, susu dan hasil laut/perairan (Ibrahim, 2005).
Bhaskar et al. (2008) dalam Nurhayati et al. (2014), menyatakan bahwa limbah industri perikanan misalnya jeroan memiliki kandungan protein dan lemak tak jenuh yang tinggi. Kandungan protein dalam jeroan ikan sturgeon (Acipenser persicus) 15,48%, ikan catla (Catla catla) 8,52% dan ikan tongkol 16,72% (Bhaskar et al., 2008; Ovissipour et al., 2009; Nurhayati et al., 2013 dalam Nurhayati et al., 2014). Untuk mendukung program pemerintah yang menggalakkan komsumsi ikan. Maka hasil tangkapan ikan perlu di olah menjadi suatau produk yang menarik dan tahan lama sehingga semua lapisan masyarakat dapat menikmatinya. Salah satu olahan ikan yaitu Konsentrat Protein Ikan (KPI) (Salampessy dan Siregar, 2012).

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka dapat ditentukan rumusan masalah dalam makalah ini seperti berikut.
1.   Apa yang dimaksud konsentrat protein?
2.   Apa sumber konsentrat protein?
3.   Bagaimana cara pembuatan konsentrat protein?
4.   Bagaimana karakteristik konsentrat protein?
5.   Bagaimana komposisi gizi konsentrat protein?
6.   Apa manfaat konsentrat protein?

1.3 Tujuan
Berdasarkan uraian rumusan masalah di atas maka dapat ditentukan tujuan dalam makalah ini seperti berikut.
1.   Mengetahui pengertian konsentrat protein.
2.   Mengetahui sumber konsentrat protein.
3.   Memahami cara pembuatan konsentrat protein.
4.   Memahami karakteristik konsentrat protein.
5.   Memahami komposisi gizi konsentrat protein.
6.   Mengetahui manfaat konsentrat protein.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1    Pengertian Konsentrat Protein
Konsentrat protein ikan merupakan salah satu produk pengolahan hasil perikanan, yang penggunaannya konsentrat protein ikan belum optimal. Pengolahan konsentrat protein ikan berbahan dasar ikan patin dapat menjadi alternatif bahan baku antara. Konsentrat protein ikan memiliki daya simpan yang cukup lama dan lebih fleksibel dalam pemanfaatannya (Dewita et al., 2011). Konsentrat protein ikan adalah bentuk produk yang dibuat dengan cara memisahkan lemak dan air dari tubuh ikan yang merupakan “stable protein” dari ikan untuk dikonsumsi manusia bukan makanan ternak dimana kandungan proteinnya lebih dipekatkan dari pada aslinya (Dewita dan Syahrul, 2010 dalam Hayati et al., 2011).

2.2       Sumber Konsentrat Protein
Protein merupakan salah satu jenis zat penting yang dibutuhkan oleh tubuh hewan maupun manusia. Sumber protein ada dua macam yaitu dari tumbuh-tumbuhan (protein nabati) dan dari hewan (protein hewani). Ditinjau dari asalnya protein ada dua macam, yaitu protein nabati dan protein hewani. Protein hewani berkualitas lebih baik karena susunan asam amino esensialnya lebih berimbang (Anggorodi, 1979 dalam Kurniati, 2009). Protein nabati mengandung lisin dan metionin yang rendah, kualitasnya dapat diperbaiki dengan menambahkan protein hewani, lisin, dan metionin sintesis atau mengkombinasikannya dengan biji-bijian maupun padi-padian (Meynard dan Loosli, 1978 dalam Kurniati, 2009). Sumber konsentrat protein dapat berasal dari hewan dan tumbuhan. Berikut ini beberapa contoh hewan dan tumbuhan yang dapat menjadi sumber konsentrat protein.

2.2.1  Hewan
A.          Teripang (Holothuria scabra J.)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan protein teripang dalam kondisi basah adalah 44-55% (Dewi, 2008 dalam Karnila et al., 2011) dan pada kondisi kering adalah 82% (Martoyo et al., 2004 dalam Karnila et al., 2011). Kandungan protein teripang yang cukup tinggi ini menunjukkan bahwa teripang memiliki nilai gizi yang baik sebagai makanan. Protein pada teripang mempunyai asam amino yang lengkap, baik asam amino essensial maupun asam amino non essensial. Asam amino sangat berguna dalam sintesa protein pada pembentukan otot dan dalam pembentukan hormon androgen, yakni testosteron, yang berperanan dalam reproduksi baik untuk meningkatkan libido maupun pembentukan spermatozoa. Oleh karena itu perlu dilakukan pemanfaatan protein teripang (Gambar 1), salah satu caranya, yaitu dengan membuat konsentrat protein teripang (Karnila et al., 2011).
teripang pasir

Gambar 1. Teripang pasir (Holothuria scabra J.)
(Sumber: Karnila et al., 2011)


B.          Ikan Patin (Pangasius hypopthalmus)
Ikan patin memiliki berbagai kelebihan, yaitu pertumbuhannya cepat, memiliki kemampuan beradaptasi terhadap lingkungan yang tinggi, rasanya enak dan kandungan gizinya cukup tinggi. Ikan patin juga memiliki beberapa kekurangan, yaitu kandungan lemak yang tinggi dan pH tubuh ikan yang mendekati netral menyebabkan daging ikan mudah busuk, oleh karena itu diperlukan proses pengolahan untuk pemanfaatannya menjadi berbagai bentuk produk olahan, yaitu konsentrat protein ikan (Dewita et al., 2011).

C.          Ikan Gabus (Channa striata)
Suprayitno (2006) dalam Siahaan et al. (2005), menyatakan protein ikan gabus segar mencapai 25,1%, sedangkan 6,224% dari protein tersebut berupa albumin. Jumlah ini sangat tinggi dibanding sumber protein hewani lainnya. Albumin merupakan jenis protein terbanyak di dalam plasma yang mencapai kadar 60% dan bersinergi dengan mineral Zn yang sangat dibutuhkan untuk perkembangan sel maupun pembentukan jaringan sel baru seperti akibat luka dan penyembuhan luka akibat operasi.
   
2.2.2 Tumbuhan
A.          Daun Kelor (Moringa oleifera)
Tanaman kelor bisa menjadi alternatif sumber protein yang potensial untuk mengatasi permasalahan tersebut. Hal ini karena tepung daun kelor memiliki kandungan protein tiga kali lebih tinggi dibandingkan susu bubuk (Gopalan et al., 2004; Donovan, 2007 dalam Kholis dan Hadi, 2010). Menurut Ndong et al. (2007) dalam Kholis dan Hadi (2010), kandungan protein dalam tepung daun kelor bisa mencapai 35%. Akan tetapi nilai daya cerna protein tepung daun kelor masih cukup rendah yaitu sebesar 56,1±8,9% yang disebabkan komponen protein yang terikat serat yang tinggi pada daun kelor. Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk meningkatkan ketersediaan (bioavailabilitas) protein kelor, salah satunya adalah dengan teknologi pembuatan konsentrat protein kelor atau MPC (Moringa Protein Concentrate) (Kholis dan Hadi, 2010).

B.             Kecipir
 Kecipir yang selama ini dikenal sebagai sayuran belum dimanfaatkan seoptimal mungkin, terutama biji kecipir yang sudah tua, padahal kandungan protein biji kecipir tua cukup tinggi dibandingkan dengan daun, bunga, polong muda, biji muda, dan umbi kecipir, bahkan kandungan protein biji kecipir tua mendekati kandungan protein biji kedelai yaitu sebesar 29,8-39 gram per 100 gram biji (Hertami Djatmiko, 1986 dalam Kurniati, 2009), sedangkan kandungan protein dari biji kedelai sebesar 34,9 gram per 100 gram biji (Hertami Djatmiko, 1986 dalam Kurniati, 2009).

C.      Azolla africana
Azolla dapat dijadikan konsentrat protein daun (KPD) dengan mengkoagulasikan protein hijauan tersebut pada 800C dalam penangas air selanjutnya disentrifus. KPD Azolla africana mengandung protein 71,3% sedangkan residunya mengandung protein 12,6%. KPD azolla mengandung lemak dan serat yang lebih rendah, kandungan sianidanya berkisar antara 0,12 mg/100 g sampai dengan 0,15 mg/100g (Fasakin, 1999 dalam Askar, 2001). Kandungan sianida ini masih rendah bila dibandingkan dengan daun singkong yang biasa dipakai sebagai pakan ternak, sianidanya berkisar antara 40mg/100g-62mg/100g (Askar, 1996 dalam Askar, 2001). Sianida adalah racun bagi ternak yang dapat menimbulkan kematian akut maupun kronis.

2.3    Cara Pembuatan Konsentrat Protein
Menurut Amoo et al. (2006) dalam Purwitasari et al. (2014), konsentrat protein dibuat dengan cara menghilangkan komponen non protein seperti lemak, karbohidrat, mineral dan air, sehingga kandungan protein produk menjadi lebih tinggi dibandingkan bahan baku aslinya. Penghilangan komponen non protein pada pembuatan konsentrat protein dapat dilakukan dengan proses ekstraksi. Ekstraksi dapat dilakukan dengan menggunakan larutan alkohol. Proses leaching dilakukan dengan memakai larutan alkohol (etanol) untuk melarutkan gula dan komponen non protein. Kemudian filtrat dan endapan dipisahkan dengan penyaringan. Endapan dikeringkan menjadi protein konsentrat. Endapan ini mengandung protein dan polisakarida yang tidak larut dalam alkohol (Harris dan Karmas, 1989 dalam Purwitasari et al., 2014).
Konsentrat protein merupakan produk pekatan protein yang memiliki kandungan protein minimal 50-70%. Konsentrat protein dibuat dengan cara menghilangkan komponen nonprotein seperti lemak, karbohidrat, mineral, dan air, sehingga kandungan protein produk menjadi lebih tinggi dibandingkan bahan baku aslinya (Amoo et al., 2006 dalam Karnila et al., 2011). Penghilangan komponen nonprotein pada pembuatan konsentrat protein dapat dilakukan dengan proses ekstraksi. Ekstraksi dapat dilakukan dengan menggunakan larutan alkohol atau larutan asam. Pelarut alkohol, yaitu aseton merupakan pelarut organik yang bersifat polar yang memiliki kemampuan untuk memisahkan fraksi gula larut air dan lemak tanpa melarutkan proteinnya (Amoo et al., 2006; Nurjanah, 2008; Kustiariyah, 2006 dalam Karnila et al., 2011).
Pembuatan konsentrat protein teripang dilakukan dengan cara maserasi menurut metode Nurjanah (2008) dalam Karnila et al. (2011) dengan sedikit modifikasi. Percobaan dilakukan dengan cara perendaman daging teripang yang akan diekstrak pada lemari pendingin (suhu ± 4oC) menggunakan bahan pelarut selama 24 jam. Pada tahap awal teripang segar dibersihkan dan dipisahkan dari bagian yang tidak diinginkan, kemudian dilakukan pemotongan dan penggilingan untuk pengecilan ukuran. Timbang 100 g dan masukkan ke dalam labu Erlemeyer, kemudian direndam dalam pelarut aseton dengan rasio 1:2 b/v, selanjutnya dimasukkan ke dalam lemari pendingin selama 24 jam. Setelah ekstraksi selesai, dilanjutkan dengan pemisahan supernatan/fasa cair dari presipitan/residu menggunakan sentrifugasi (10000 rpm, selama 15 menit pada suhu 4oC). Presipitat yang diperoleh pada tahap ini selanjutnya dilakukan proses freeze dryer. Pengamatan terhadap konsentrat protein teripang yang dihasilkan adalah analisis proksimat meliputi analisa protein total, kandungan lemak, kadar abu, kadar air, dan karbohidrat. Konsentrat yang telah diperoleh dikemas dalam plastik dan aluminium foil serta disimpan dalam cool room pada suhu 4oC sampai siap digunakan pada percobaan berikutnya. Prosedur pembuatan konsentrat teripang dapat dilihat pada Gambar 2 (Karnila et al., 2011).
proses pembuatan konsentrat protein teripang

Gambar 2. Diagram alir proses pembuatan konsentrat protein teripang
(Sumber: Karnila et al., 2011)


Menurut Salampessy dan Siregar (2012), pembuatan konsentrat protein ikan (KPI) lele dilakukan dengan berbagai tahap, yaitu mulai dari tahap penerimaan bahan baku, penyiangan sampai pada tahap akhir KPI. Adapun tahap pembuatan KPI dapat dilihat pada Gambar 3.
proses pembuatan konsentrat protein ikan

Gambar 3. Proses pembuatan konsentrat protein ikan
(Sumber: Salampessy dan Siregar, 2012)


Pada penelitian Dewita et al. (2011), pembuatan konsentrat protein ikan mengacu pada Dewita et al. (2010) dan snack mengacu pada Elwis (2009) seperti pada Gambar 4.
pengolahan konsentrat protein ikan patin

Gambar 4. Pengolahan konsentrat protein ikan patin
(Sumber: Dewita et al., 2011)


2.4 Karakteristik Konsentrat Protein
skrining awal konsentrat ikan gabus

Gambar 5. Skrining awal konsentrat ikan gabus (Channa striata)
(Sumber: Adnyana et al., 2012)


Pada penelitian Adnyana et al. (2012), hasil skrining konsentrat ikan gabus (Channa striata) yang disajikan pada Gambar 5 dan diperoleh rendemen konsentrat ikan sebesar 2,25%, hal ini kemungkinan disebabkan karena konsentrat ikan dibuat dengan cara perebusan. Banyaknya kandungan air yang terkandung dalam bahan baku pada saat perebusan sehingga menyebabkan rendemen konsentrat yang dihasilkan juga kecil.

2.5    Komposisi Gizi Konsentrat Protein
Pada penelitian Adnyana et al. (2012), hasil analisis kimia ikan memperlihatkan bahwa ekstrak ikan gabus (Channa striata) mengandung beberapa macam zat gizi. Protein merupakan zat gizi makro terbanyak dalam ikan gabus dengan fraksi terbesarnya adalah albumin. Zat gizi makro lainnya adalah adalah karbohidrat, lemak dan serat. Mineral seng (Zn), tembaga (Cu) dan besi (Fe) merupakan sebagian mineral yang terkandung dalam ikan gabus. Komposisi gizi ekstrak ikan gabus disajikan dalam Gambar 6 berikut ini:
komposisi gizi konsentrat ikan gabus

Gambar 6. Komposisi gizi konsentrat ikan gabus (Channa striata)
(Sumber: Adnyana et al., 2012)


2.6    Manfaat Konsentrat Protein
2.6.1 Kesehatan
Pada penelitian Adnyana et al. (2012), hasil dari analisis kandungan gizi ekstrak ikan gabus (Channa striata) memberikan dukungan informasi dan memperkuat hipotesis bahwa konsentrat ikan gabus mengandung berbagai senyawa yang terkait dengan fungsinya misalnya untuk penyembuhan luka, untuk sintesis jaringan diperlukan energi dan protein yang cukup serta dukungan vitamin dan mineral khususnya mineral seng. Dapat disimpulkan bahwa konsentrat ikan gabus (Channa striata) dosis 100 mg/kg bb mempunyai kemampuan untuk memperbaiki profil darah mencit BALB/c yang diinduksi siklofosfamid. Oleh karena itu dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif dalam penanganan kondisi trombositopenia dan leukopenia.

2.6.2 Pangan
Konsentrat protein ikan (KPI) telah dimanfaatkan untuk memperbaiki tekstur produk pangan seperti meningkatkan kemampuan pembentukan gel, pengikatan air, dan emulsifikasi selain meningkatkan kandungan proteinnya (Raghavan dan Kristinsson, 2008; Rawdkuen et al., 2008 Anugrahati et al., 2012). Pemanfaatan KPI patin didasari oleh fungsi protein dalam bahan pangan seperti kemampuan protein untuk larut dan mengikat air sehingga protein dapat berperan dalam pembentukan tekstur pangan (Anugrahati et al., 2012).
Menurut Salampessy dan Siregar (2012), kerupuk pangsit pada umumnya memiliki protein yang sedikit untuk meningkatkan kandungan proteinnya maka KPI merupakan pilihan yang tepat (Gambar 7). Dengan penambahan KPI pada kerupuk pangsit selain menambah protein pada produk, dengan penambahan KPI juga dapat menambah citarasa pada produk. Menurut Clara (2011), inovasi teknologi pangan dengan basis penambahan ikan lele dapat menjadi solusi untuk menguranggi angka kurang gizi akibat dari kemiskinan.
kerupuk pangsit protein ikan
Gambar 7. Kerupuk pangsit dengan penambahan KPI 2%
(Sumber: Salampessy dan Siregar, 2012)
Pemanfaatan limbah udang sampai saat ini masih terbatas pada ternak tertentu saja misalnya pada ternak itik dan ayam petelur. Dari kajian diatas maka perlu adanya penelitian lebih lanjut tentang pengaruh penggunaan limbah udang
terfermentasi Aspergillus niger dalam pakan terhadap Water Holding Capacity, susut masak dan keempukan daging ayam broiler. Dapat disimpulkan bahwa penambahan Limbah Udang Terfermentasi Aspergillus niger (LUF) pada pakan dapat menurunkan Water Holding Capacity (WHC), meningkatkan susut masak dan menurunkan keempukan daging ayam broiler (Rosyidi et al., 2009).
Penambahan KPI patin diharapkan menghasilkan produk yang lebih baik dibandingkan produk tanpa substitusi KPI baik dari segi karakteristik fisiknya maupun dari segi gizinya. Konsentrasi KPI patin yang telah ditambahkan ke dalam berbagai produk berkisar 2,5-25%. Beberapa produk pangan yang telah memanfaatkan KPI patin dalam formulasinya, yaitu mie basah, kerupuk dan cookies. Penambahan KPI patin 10% dalam pembuatan kerupuk menghasilkan kerupuk yang memiliki warna dan kerenyahan yang lebih baik daripada kerupuk komersial sedangkan cookies yang ditambah 10% KPI patin memiliki karakteristik fisik yang sama dengan cookies kontrol. Belum ada penelitian yang memanfaatkan KPI patin dalam pembuatan biskuit padahal biskuit merupakan produk pangan yang dibuat dari bahan dasar tepung terigu dan digolongkan juga sebagai produk pangan berbasis serealia yang banyak dikonsumsi balita (Anugrahati et al., 2012).
Berdasarkan penelitian Dewita dan Syahrul (2010) dalam Hayati et al. (2011), diketahui bahwa kandungan protein pada konsentrat protein ikan patin berkisar antara 69,29-75,31% dan perlakuan ekstraksi lemak isopropanol dapat mengurangi kadar lemak hingga 50%. Dengan demikian konsentrat protein ikan patin tersebut dapat digunakan sebagai bahan tambahan suatu produk makanan. Cake brownies dengan penambahan KPI patin ini memiliki nilai tambah gizi tinggi yaitu protein yang berguna untuk pertumbuhan. Pengolahan cake brownies ini menggunakan teknologi pengolahan nilai tambah produk perikanan. Selain untuk kesehatan, pembuatan cake brownies dengan penambahan KPI patin juga merupakan cara untuk penganeka ragaman produk perikanan.
Menurut Dewita dan Syahrul (2010) dalam Hutahaean et al. (2013), kandungan gizi yang terdapat pada bubur instan beras merah dengan penambahan konsentrat protein ikan yaitu protein 17, 71%bb, lemak 12, 61%bb, air 3, 0%bb, abu 2, 31%bb, serat 4, 13%bb, karbohidrat 65, 39%bb dan kalori 48, 68%bb, yang memiliki umur simpan selama 30 hari. Selain dari penelitian kandungan gizi pada bubur instan ini perlu juga dilakukan penelitian tentang perkembangan mikroba (identifikasi jamur, uji total plate count (TPC), Staphylococcus aureus, Escherichia coli), organoleptik dan bilangan peroksida. Manfaat dilakukan uji mikroba tersebut untuk mengetahui jumlah bakteri yang terdapat pada bubur instan sehingga dapat mengetahui ketahanan produk tersebut (Hutahaean et al., 2013).

2.6.3 Edible Film
Penelitian yang pernah dilakukan tentang proses pemanfaatan air limbah surimi adalah sebagai alternatif bahan baku untuk mengurangi penggunaan serum janin sapi pada media kultur hewan (Carmelia, 2004 dalam Trilaksani et al., 2007) dan penelitian mengenai pemanfaatan air limbah surimi lainnya belum banyak dilakukan di Indonesia. Jadi, sangat penting untuk memaksimalkan pemanfaatan kandungan protein dalam air limbah surimi tersebut. Salah satunya adalah dengan menjadikannya sebagai bahan dasar dalam pembuatan edible film. Selain dapat mengatasi masalah pencemaran lingkungan, mengurangi biaya pengelolaan, juga dapat meningkatkan nilai tambahnya. Di Jepang, penelitian mengenai penggunaan protein larut air dari ikan Blue Marlin sebagai bahan pembuatan edible film sudah dilakukan oleh Iwata et al. (2000) dalam Trilaksani et al. (2007). Bourtoom et al. (2006) dalam Trilaksani et al. (2007) juga sudah melakukan penelitian mengenai pembuatan edible film dari air limbah pencucian surimi ikan Threadfin Bream.

2.6.4 Pakan
Kandungan pakan terhadap keempukan daging juga dinyatakan Soeparno (1998) dalam Rosyidi et al. (2009), bahwa meningkatnya level protein konsentrat akan memicu pertumbuhan, dan pertumbuhan yang cepat akan meningkatkan terbentuknya lemak daging. Lemak yang berakumulasi akan melarutkan dan menurunkan kandungan kolagen, dengan demikian diharapkan dapat meningkatkan keempukan daging. Lemak intramuskuler ikut berperan dalam membentuk keempukan daging, karena lemak ini akan larut di antara ikatan serabut otot daging (Soeparno, 1998 dalam Rosyidi et al., 2009) yang menghasilkan daging yang lebih empuk dan lebih berair.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut.
·      Konsentrat protein ikan adalah bentuk produk yang dibuat dengan cara memisahkan lemak dan air dari tubuh ikan yang merupakan “stable protein” dari ikan untuk dikonsumsi manusia bukan makanan ternak dimana kandungan proteinnya lebih dipekatkan dari pada aslinya.
·      Sumber konsentrat protein dapat berasal dari hewan dan tumbuhan.
·      Konsentrat protein dibuat dengan cara menghilangkan komponen non protein seperti lemak, karbohidrat, mineral dan air, sehingga kandungan protein produk menjadi lebih tinggi dibandingkan bahan baku aslinya.
·      Karakteristik konsentrat protein ditentukan oleh rendemen, kadar abu total, kadar abu larut air, kadar abu tidak larut asam dan kadar air.
·      Komposisi gizi konsentrat protein terdiri dari karbohidrat, lemak, serat, mineral seng (Zn), tembaga (Cu) dan besi (Fe).
·      Konsentrat protein dimanfaatkan di bidang kesehatan, pangan, edible film dan pakan.
   

DAFTAR PUSTAKA

Adnyana, I. K., J. I. Sigit dan Nurlina. 2012. Pengaruh pemberian konsentrat ikan gabus (Channa striata) terhadap profil darah mencit BALB/c model trombositopenia. Jurnal Medika Planta. 2 (1): 13-25.
Anugrahati, N. A., J. Santoso dan I. Pratama. 2012. Pemanfaatan konsentrat protein ikan (KPI) patin dalam pembuatan biskuit. JPHPI. 15 (1): 45-51.
Dewita, Syahrul dan Isnaini. 2011. Pemanfaatan konsentrat protein ikan patin (Pangasius hypopthalmus) untuk pembuatan biskuit dan snack. Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia. 14 (1): 30-34.
Hayati, W., D. Buchari dan S. Loekman. 2011. Fortifikasi konsentrat protein ikan patin (Pangasius hypophthalmus) dalam pembuatan kek brownies. Universitas Riau.
Hutahaean, B., Syahrul dan Dewita. 2013. Kajian mutu bubur instan beras merah yang difortifikasi konsentrat protein ikan patin (Pangasius hypopthalmus). Jurnal Perikanan dan Kelautan. 18 (1): 62-70.
Ibrahim, B. 2005. Kaji ulang sistem pengolahan limbah cair industri hasil perikanan secara biologis dengan lumpur aktif. Buletin Teknologi Hasil Perikanan. 8 (1): 31-41.
Karnila, R., M. Astawan, Sukarno dan T. Wresdiyati. 2011. Karakteristik konsentrat protein teripang pasir (Holothuria scabra J.) dengan bahan pengekstrak aseton. Jurnal Perikanan dan Kelautan. 16 (1): 90-102.
Kholis, N. dan F. Hadi. 2010. Pengujian bioassay biskuit balita yang disuplementasi konsentrat protein daun kelor (Moringa oleifera) pada model tikus malnutrisi. Jurnal Teknologi Pertanian. 11 (3): 144-151.
Kurniati, E. 2009. Pembuatan konsentrat protein dari biji kecipir dengan penambahan HCl. Jurnal Penelitian Ilmu Teknik. 9 (2): 115-122.
Nurhayati, T., E. Salamah, Cholifah dan Roni Nugraha. 2014. Optimasi proses pembuatan hidrolisat jeroan ikan kakap putih. JPHPI. 17 (1): 42-52.
Prihatiningsih, K., I. Silviana dan N. Wandasari. 2014. Hubungan perilaku pengolahan limbah ikan asin dengan sanitasi lingkungan kerja fisik pada industri ikan asin di Pengolahan Hasil Perikanan Tradisional (PHPT) Muara Angke Pluit Jakarta Utara Tahun 2014. Forum Ilmiah. 12 (1): 77-86.
Purwitasari, A., Y. Hendrawan dan R. Yulianingsih. 2014. Pengaruh suhu dan waktu ekstraksi terhadap sifat fisik kimia dalam pembuatan konsentrat protein kacang komak (Lablab purpureus (L.) sweet). Jurnal Bioproses Komoditas Tropis. 2 (1): 42-53.
Rosyidi, D., A. Susilo dan R. Muhbianto. 2009. Pengaruh penambahan limbah udang terfermentasi Aspergillus niger pada pakan terhadap kualitas fisik daging ayam broiler. Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Ternak. 4 (1): 1-10.
Salampessy, R. B. S. dan R. R. Siregar. 2012.  Pembuatan konsentrat protein ikan (KPI) lele dan aplikasinya pada kerupuk pangsit. Jurnal Perikanan dan Kelautan. 2 (2): 97-104.
Siahaan, W. S., N. I. Sari dan S. Loekman. 2005. Pengaruh penambahan konsentrat protein ikan gabus (Channa striatus) terhadap mutu kwetiau. Universitas Riau.
Trilaksani, W., B. Riyanto, S. N. K. Apriani. 2007. Karakteristik edible film dari konsentrat protein air limbah surimi ikan nila (Oreochromis niloticus). Buletin Teknologi Hasil Perikanan. 10 (2): 60-72.

Oleh: Abdi Nugroho, Melynda Dwi Puspita, Nurul Burhanul Fitroh, Faizatus Sholihah          , Muhammad Awwaluddin Hakim, Janet Bela Nor Malita dan Aulia Khumairoh.

Comments

Popular posts from this blog

Teknik Pendinginan Produk Perikanan

BAB I PENDAHULUAN 1.1         Latar Belakang Setelah meratifikasi Montreal Protocol pada tahun 1992 dan Kyoto Protocol pada tahun 1996, Indonesia juga tidak luput dari permasalahan global yang dihadapi oleh industri pendinginan dunia sebagai dampak dari kedua perjanjian internasional di atas. Dengan demikian, penelitian di bidang refrigeran dan pendinginan sangat penting dan bermanfaat dilakukan di Indonesia. Jenis refrigeran yang cocok diteliti kemungkinan pemakaiannya di lndonesia adalah refrigeran hidrokarbon, karena selain bersifat alami (natural) hidrokarbon juga tersedia sebagai sumber daya alam yang relatif besar. Penggunaan refrigeran hidrokarbon juga dapat menghemat energi bila dibanding refrigeran R12 (Maclaine dan Leonardi, 1997 dalam Sihaloho dan Tambunan, 2005 ). Aisbett dan Pham (1998) dalam Sihaloho dan Tambunan (2005) menyatakan bahwa penggunaan hidrokarbon sebagai refrigeran pengganti CFC dan HFC dapatmemberikan penghematan biaya yang signifikan untuk

Ikan Sebelah (Psettodes erumei)

1.   PENDAHULUAN 1.1   Latar Belakang Kekayaan alam laut Indonesia yang luas berpotensi menghasilkan hasil laut yang beraneka ragam dengan jumlah yang cukup besar yaitu sebanyak 6,26 juta ton per tahun. Hasil produksi perikanan laut ( marine fisheries ) di Indonesia mengalami peningkatan dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2012 mencapai 3,24 %, dimana pada tahun 2012 hasil produksi ikan laut sebanyak 5.829.194 ton. Hasil laut terutama ikan diolah untuk menjadi bahan pangan masyarakat (Purba et al., 2015). Tingkat konsumsi ikan Indonesia setiap tahun mengalami peningkatan, dimana pada tahun 2013 mencapai 35,62 kilogram per kapita dari tahun 2012, yaitu sebanyak 33,14 kilogram per kapita (Purba et al., 2015). Indonesia memiliki wilayah perairan tropis yang terkenal kaya dalam perbendaharaan jenis-jenis ikannya. Berdasarkan penelitian dan beberapa literatur diketahui tidak kurang dari 3.000 jenis ikan yang hidup di Indonesia.Dari 3.000 jenis tersebut sebanyak 2.700 jenis (90%) hidup di p

Enzim Transferase

BAB I PENDAHULUAN 1.1   Latar Belakang Indonesia mengimpor hampir seluruh kebutuhan enzim (sekitar 90%) dari luar negeri. Dari aspek pasar, kebutuhan enzim di Indonesia terus meningkat sebagaimana dapat dilihat dari nilai impor. Menurut Badan Pusat Statistik, impor untuk produksi farmasetika tahun 2007 adalah sebesar 2,988 trilyun rupiah, tahun 2008 menjadi 3,391 trilyun rupiah dan pada tahun 2011 diperkirakan menjadi 4,55 trilyun rupiah. Kebutuhan enzim dunia terus meningkat yaitu sebesar 6,5% per tahun dan menjadi $5,1 miliar pada tahun 2009 (Trismilah et al. , 2014).   Enzim adalah protein yang berfungsi sebagai katalisator untuk reaksi-reaksi kimia didalam sistem biologi. Katalisator mempercepat reaksi kimia. Walaupun katalisator ikut serta dalam reaksi, ia kembali ke keadaan semula bila reeaksi telah selesai. Enzim adalah katalisator protein untuk reaksi-reaksi kimia pasa sistem biologi. sebagian besar reaksi tersebut tidak dikatalis oleh enzim (Indah, 2004). E