BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Sebagai
negara maritim, Indonesia memiliki garis pantai sepanjang kurang lebih 81.000
km. Luas wilayah laut, termasuk di dalamnya Zona ekonomi Eksklusif mencakup 5,8
juta kilometer persegi (Dahuri, 2001 dalam Haryono, 2005). Di dalam
wilayah laut dan pesisir tersebut terkandung kekayaan sumber daya laut yang
amat besar, mulai dari ikan, kepiting, udang, kerang dan berbagai sumber daya
laut lainnya yang siap untuk dieksploitasi nelayan. Secara teoritis, dengan
kekayaan laut yang demikian besar, nelayan mampu hidup berkecukupan (Haryono,
2005).
Ikan laut mampu memperbaharui
dirinya namun kemampuan ini bukan tidak terbatas, bahkan dapat luruh bila
dilakukan eksploitasi yang berlebihan. Sebagian sumberdaya yang pemanfaatannya
bersifat terbuka dan pemiliknya umum, diperlukan adanya usaha pengelolaan yang
mengatur pemanfaatan, pelestarian dan bila diperlukan juga rehabilitasi.
Pemanfaatan sumberdaya perikanan berkelanjutan pada prinsipnya adalah perpaduan
antara pengelolaan sumberdaya dan pemanfaatan dengan tetap menjaga kelestarian
sumberdaya dalam jangka panjang untuk kepentingan generasi mendatang
sebagaimana tercantum dalam code of conduct for responsible fisheries (FAO,
1995 dalam Putra dan Manan, 2014). Teknologi penangkapan ikan bukan
hanya ditujukan untuk meningkatkan hasil tangkapan, tetapi juga memperbaiki
proses penangkapan untuk meminimumkan dampak penangkapan ikan terhadap
lingkungan perairan dan biodiversitinya (Arimoto et. al., 1999 dalam Putra
dan Manan, 2014).
Kebutuhan dunia akan ikan
dari tahun ke tahun semakin meningkat sebanding dengan tingkat pertumbuhan
manusia, karena ikan mengandung protein hewani yang tidak mengandung kolesterol
dan tidak ada substitusinya. Upaya menyediakan ikan dalam jumlah banyak
diperlukan suatu cara menangkap ikan yang efektif dan efisien. Cara menangkap
ikan yang tidak didasari oleh pengetahuan tentang bagaimana ikan tertangkap
adalah pekerjaan yang sia-sia. Bagaimana ikan ditangkap dapat dipelajari dalam
metoda penangkapan ikan. Prinsip metoda penangkapan ikan didasarkan pada
tingkah laku ikan (fish behavior) dari ikan yang menjadi tujuan
penangkapan. Metoda penangkapan ikan Meningkatkan efisiensi penangkapan ikan
tertentu dengan satu alat penangkap ikan tidak saja didasarkan pada satu metoda
penangkapan ikan, tapi didasarkan atas penggabungan berbagai metoda penangkapan
ikan yang telah dikenal. Meningkatkan jumlah hasil tangkapan tidak akan
diperoleh di perairan pantai yang dangkal tapi harus merambah ke samudera yang
luas dan ganas, dari permukaan laut hingga ke kedalaman ratusan meter di bawah
permukaan laut dengan cara menambah jumlah dan memperbesar alat penangkap ikan
serta memperbesar ukuran kapal. Selain itu diperlukan pula mekanisasi,
otomatisasi dan bahkan mungkin komputerisasi di bidang perikanan, yang mana
ketiganya didasarkan pada metoda penangkapan ikan
(Ardidja, 2007).
Wilayah Indonesia terdiri dari 80% perairan
yang mengandung banyak sumber daya ikan yang potensial. Sumber daya ikan
tersebut semestinya dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan dan
kemakmuran rakyat Indonesia. Kenyataan sumber daya ikan belum mampu
meningkatkan taraf hidup yang berkelanjutan dan berkeadilan. Berkembang isu
adanya penangkapan ikan yang berlebih, pencurian ikan dan tindakan illegal fishing dan penggunaan alat
penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan. Hal ini berarti pemanfaatan sumber
daya ikan melebihi regenerasi ikan itu sendiri. Keadaan tersebut akan
menimbulkan kerugian bagi negara dan kepentingan nelayan sendiri dan masyarakat
pada umumnya. Penggunaan alat penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan
hidup akan mengakibatkan menurunnya sumber daya ikan dan mengancam keberlanjutan
sumber daya ikan. Tujuan penulisan artikel untuk mengkaji penegakan hukum dalam
kaitannya dengan keberlanjutan sumber daya ikan dan keberlanjutan sumber daya
ikan ditinjau dari perspektif keadilan. Sebagai hasil kajian; penegakan hukum
untuk melindungi sumber daya ikan pada umumnya belum memperhatikan keberlanjutan
sumber daya ikan sehingga masih banyak nelayan yang menggunakan alat penangkap
ikan yang tidak ramah lingkungan (Rochmani, 2014).
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di
atas maka dapat ditentukan rumusan masalah dalam makalah ini seperti berikut.
1. Apa yang
dimaksud alat tangkap?
2. Apa saja
jenis alat tangkap yang dilarang di Indonesia?
3. Bagaimana
peraturan tentang alat tangkap yang dilarang di Indonesia?
4. Apa faktor
penyebab pelarangan penggunaan alat tangkap di Indonesia?
5. Bagaimana
dampak pelarangan alat tangkap terhadap berbagai bidang kehidupan?
6. Bagaimana
sikap pemerintah terhadap penolakan pelarangan penggunaan alat tangkap?
1.3 Tujuan
Berdasarkan uraian rumusan masalah
di atas maka dapat ditentukan tujuan dalam makalah ini seperti berikut.
1. Mengetahui definisi
alat tangkap.
2. Mengetahui
jenis alat tangkap yang dilarang di Indonesia.
3. Memahami
peraturan tentang alat tangkap yang dilarang di Indonesia.
4. Mengetahui faktor
penyebab pelarangan penggunaan alat tangkap di Indonesia.
5. Memahami
dampak pelarangan alat tangkap terhadap berbagai bidang kehidupan.
6. Memahami
sikap pemerintah terhadap penolakan pelarangan penggunaan alat tangkap.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Alat Tangkap
Peraturan Menteri
Kelautan dan Perikanan No. 2/PERMEN-KP/2015 Tanggal 9 Januari 2015 pada
Pasal 1 menyebutkan bahwa alat penangkapan ikan adalah sarana dan perlengkapan
atau benda-benda lainnya yang dipergunakan untuk menangkap ikan.
Berdasarkan pendapat Sukandar et al. (2015), nilai keberlanjutannya,
alat tangkap dapat dibedakan kedalam empat kelompok sebagai berikut;
A. Alat tangkap selektif, ialah alat tangkap yang
ramah secara ekologis (ecologically friendly). Contoh paling umum dari
alat penangkapan ikan kategori ini ialah pancing;
B. Alat tangkap yang cenderung menyebabkan
terjadinya tangkap lebih (overfishing), sehingga bisa merusak sumber
daya dan ekologi;
C. Alat tangkap yang dalam operasinya cederung
menyebabkan kerusakan habitat ikan sehingga berdampak negatif secara ekologis;
D. Alat tangkap yang cenderung merusak secara
ekologis melalui tangkap lebih dan kerusakan habitat ikan;
Alat tangkap seperti peledak, atau di masyarakat dikenal
dengan istilah “bom ikan” sudah umum dikenal sebagai alat tangkap kategori 4 di
atas. Beberapa alat tangkap tipe permukaan, diketahui tidak merusak habitat
secara umum. Namun alat tangkap tersebut sudah sangat efektif sehingga
menyebabkan tangkap lebih, terutama terhadap ikan-ikan yang bersifat “strong-schooling
pelagic fish”.
2.2 Jenis
Alat Tangkap yang Dilarang di Indonesia
Wilayah pesisir mayoritas dihuni oleh masyarakat pesisir
yang bermata pencaharian sebagai nelayan. Nelayan pada masyarakat pesisir
terdiri dari nelayan tradisional dan nelayan mesin (berteknologi tinggi).
Nelayan tradisional merupakan nelayan yang menggunakan alat tangkap tradisional
dan sederhana seperti jala, jaring, pancing, bubu, dan lainnya. Sedangkan
nelayan mesin merupakan nelayan yang menggunakan alat tangkap yang berteknologi
tinggi seperti pukat trawl, pukat cincin, pukat harimau, bahkan menggunakan dua
kapal dengan satu jaring (trawl) untuk menangkap ikan. Nelayan ini disebut
dengan nelayan trawl (Setyadi, 2014 dalam
Arisandi, 2016).
Menurut Ermawati dan Zuliyati (2016), alat penangkap ikan yang dilarang dioperasikan oleh Peraturan
Menteri Kelautan dan Perikanan No. 2/PERMEN-KP/2015 Tanggal 9 Januari 2015. Pada
Pasal 2, setiap orang dilarang menggunakan
alat penangkapan ikan pukat hela
(trawls) dan alat penangkapan ikan pukat tarik (seine nets) di seluruh Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia. Pada Pasal 3, dijelaskan
jenis alat tangkapnya yang
dilarang adalah:
1.
Alat penangkapan ikan pukat hela (trawls) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2,
terdiri dari:
a.
Pukat hela dasar (bottom trawls);
b.
Pukat hela pertengahan (midwater trawls);
c.
Pukat hela kembar berpapan (otter twin trawls);
Gambar 1. Pukat hela kembar berpapan (otter twin trawls) |
d.
Pukat dorong.
Gambar 2. Pukat dorong |
2.
Pukat hela dasar (bottom trawls) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a, terdiri dari:
a.
Pukat hela dasar berpalang (beam trawls);
Gambar 3. Pukat hela dasar berpalang (beam trawls) |
b.
Pukat hela dasar berpapan (otter trawls);
Gambar 4. Pukat hela dasar berpapan (otter trawls) |
c.
Pukat hela dasar dua kapal (pair trawls);
Gambar 5. Pukat hela dasar dua kapal (pair trawls) |
d.
Nephrops trawls, dan
Gambar 6. Nephrops trawls |
e.
Pukat hela dasar udang (shrimp trawls), berupa pukat udang.
Gambar 7. Pukat hela dasar udang (shrimp trawls) |
3.
Pukat hela pertengahan (midwater trawls), sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b, terdiri dari:
a.
Pukat hela pertengahan berpapan (otter trawls), berupa pukat ikan;
Gambar 8. Pukat hela pertengahan berpapan (otter trawls) |
b.
Pukat hela pertengahan dua kapal (pair trawls); dan
Gambar 9. Pukat hela pertengahan dua kapal (pair trawls) |
c.
Pukat hela pertengahan udang (shrimp trawls).
Gambar 10. Pukat hela pertengahan udang (shrimp trawls) |
d.
Pada Pasal 4 ayat (1) Alat penangkapan ikan pukat tarik (seine nets)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 terdiri dari:
·
Pukat tarik pantai (beach
seines); dan
Gambar 11. Pukat tarik pantai (beach seines) |
· Pukat
tarik berkapal (boat or vessel seines). Pukat tarik berkapal
(boat or vessel seines) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b terdiri dari:
Ø
Dogol (Danish Seines);
Gambar 12. Dogol (danish seines) |
Ø Scottish
Seines;
Gambar 13. Scottish seines |
Ø
Pair
Seines;
Gambar 14. Pair seines |
Ø
Payang;
Gambar 15. Payang |
Ø
Cantrang; dan
Gambar 16. Cantrang |
Ø Lampara
Dasar.
Gambar 17. Lampara dasar |
2.3 Peraturan
Tentang Alat Tangkap yang Dilarang di Indonesia
2.3.1 Payang
Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Gellwyn
Jusuf (2015) dalam Muntalim dan
Choiruddin (2016) yang juga memberikan keterangan pers kepada media menyatakan
bahwa larangan penggunaan alat tangkap sudah mulai diberlakukan sejak tahun
1980. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 503/Kpts/UM/7/1980 cantrang secara
tegas dilarang, kemudian di tindak lanjuti dengan dikeluarkannya Keputusan
Dirjen Perikanan Nomor IK.340/DJ.10106/97 sebagai petunjuk pelaksanaan dari
peraturan tersebut. “Pada intinya cantrang hanya diberikan bagi
kapal dibawah 5 GT dengan kekuatan mesin di bawah 15 PK”. Di Kecamatan Paciran
dan Brondong Kabupaten Lamongan mayoritas nelayan menggunakan alat tangkap
pukat tarik atau yang dalam bahasa para nelayan setempat biasa di sebut Payang
(pukat tarik seine nets). Dengan adanya kebijakan Kementerian Kelautan
dan Perikanan tentang larangan penggunaan alat tangkap jenis payang, dengan
landasan bahwa alat tangakap jenis payang ini dapat merusak biota yang ada
dalam laut misalnya, terumbu karang, ekosistem laut dan lain-lain (Muntalim dan
Choiruddin, 2016).
2.3.2
Trawl
Penggunaan pukat trawl inilah yang dapat
merusak lingkungan laut atau sumber daya laut karena penangkapan ikan dilakukan
dengan tidak memperhatikan aspek lingkungan. Nelayan tradisional yang
menggunakan alat-alat tradisional akan mendapatkan sedikit hasil laut
dibandingkan dengan para nelayan yang menggunakan alat-alat berteknologi.
Nelayan tradisional menganggap bahwa dengan penggunaan kapal gandeng dan pukat
trawl akan merusak keberadaan potensi laut dalam jangka pendek dan panjang.
Untuk jangka pendek sebagai contoh, pukat trawl dapat menangkap berbagai jenis
ikan. Ikan-ikan berukuran kecil juga dapat tertangkap sehingga untuk jangka
panjang, hasil laut (food security) akan habis karena regenerasi ikan
terputus akibat penangkapan secara besar-besaran. Hal-hal seperti inilah yang
mampu menciptakan konflik nelayan di masyarakat pesisir (Arisandi, 2016).
2.4 Faktor
Penyebab Pelarangan Penggunaan Alat Tangkap di Indonesia
Peraturan Menteri
Kelautan dan Perikanan No. 2 tahun 2015 didasari oleh penurunan Sumber Daya
Ikan (SDI) yang mengancam kelestarian, sehingga demi keberlanjutannya perlu
diberlakukan pelarangan penggunaan alat penangkapan ikan Pukat Hela (trawls)
dan Pukat Tarik (seine nets), jadi dapat ditegaskan bahwa tujuannya adalah
kelestarian dan kemajuan sektor perikanan dan bukan untuk mematikan mata
pencaharian nelayan. Sebagai informasi bahwa sebagian besar daerah penangkapan
ikan (fishing ground) yang dibagi ke dalam beberapa Wilayah Pengelolaan
Perikanan (WPP) di wilayah Republik Indonesia sudah mengalami over fishing
atau over exploited. Indonesia memiliki potensi sumber daya
perikanan yang sangat besar baik dari segi kuantitas maupun keanekaragamannya.
Total luas laut Indonesia sekitar 3,544 juta km2 atau sekitar 70%
dari wilayah Indonesia (KKP, 2012 dalam
Ermawati dan Zuliyati, 2016).
Bertolak dari kepatuhan (compliance) terutama terhadap Principle
2 dari ketentuan United Nations Conference on Environment and
Development (UNCED), pengelolaan perikanan (fisheries management)
diartikan sebagai mengatur jumlah (atau bentuk lain) penangkapan ikan
sedemikian rupa, agar tidak terjadi tangkap lebih (over-fishing) dan
minimalisasi dampak kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh operasi suatu
alat penangkapan ikan.2 Oleh sebab itu, dalam pembangunan perekonomian
masyarakat perlu juga diperhatikan aspek lingkungan hidup agar sumber daya alam
tetap terjaga. Untuk itu perlu peranan dari pemerintah untuk ikut juga menjaga
kekayaan alam demi pembangunan ekonomi nasional. Sehingga Kementerian Kelautan
dan Perikanan mengeluarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik
Indonesia No. 2/PERMEN-KP/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan
Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah
Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia. Hal ini sesuai dengan
kewenangan Menteri untuk mengeluarkan peraturan sesuai dengan isi Pasal 7
Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31
Tahun 2004 tentang Perikanan (Panggabean et
al., 2016).
2.5 Dampak
Pelarangan Alat Tangkap Terhadap Berbagai Bidang Kehidupan
Pro dan kontra penerapan pelaksanaan Permen KP Nomor:
2/PERMENKP/2015 tentang larangan penggunaan alat penangkapan ikan pukat hela (trawls)
dan pukat tarik (seine nets) di Wilayah pengelolaan perikanan Republik
Indonesia. Masyarakat nelayan menjadikan sektor perikanan sebagai sumber
penghidupan (livelyhood) merasakan dampak dari terbitnya Permen ini.
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 2 tahun 2015 di dasari oleh
penurunan Sumber Daya Ikan (SDI) yang mengancam kelestarian, sehingga
diberlakukan pelarangan penggunaan alat penangkapan ikan Pukat Hela (trawls)
dan Pukat Tarik (seine nets). Dapat ditegaskan bahwa bertujuan untuk
kelestarian dan kemajuan sektor perikanan bukan untuk mematikan mata
pencaharian masyarakat nelayan (Muntalim dan Choiruddin, 2016).
Dengan adanya kebijakan pelarangan penggunaan
alat tangkap jenis payang sangat berdampak pada tingkat perekonomian masyarakat
yang ada di Kecamatan Paciran dan Brondong. Sektor perikanan adalah sumber mata
pencarian paling besar. Untuk kelangsungan hidup masyarakat yang ada di
Kecamatan Paciran dan Brondong hanya mengandalkan hasil dari aktivitas tangkap
dan pengolahan perikanan. Namun yang bisa di perbuat oleh masyarakat nelayan
yang ada di Kecamatan Paciran dan Brondong pada saat ini ketika Kementerian
Kelautan dan Perikanan telah memutuskan pelarangan penggunaan alat tangkap
jenis payang yang dimana alat tangkap tersebut adalah alat tangkap utama
masyarakat nelayan untuk melakukan aktivitas tangkap (Muntalim dan Choiruddin,
2016).
Kebijakan pelarangan penggunaan alat tangkap
jenis payang yang di tetapkan oleh Kementerian Kelautan dan perikanan ternyata
berdampak pada pendapatan masyarakat nelayan, selain pendapatan masih ada
pengaruh lain dari kebijakan ini. Hasil wawancara yang penulis temui dilapangan
pada beberapa anggota Rukun Nelayan di Kecamatan Paciran dan Brondong terdapat
beberapa pendapat (Muntalim dan Choiruddin, 2016).
Menurut Fairys (2016, anggota Rukun Nelayan) “Peraturan
yang di tetapkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan sangat mempengaruhi
kebutuhan ekonomi pada masyarakat juga mempengaruhi hasil produksi tahunan
perikanan di Kecamatan Paciran dan Brondong”.
Sedangkan menurut M. Wahid (2016, Ketua Rukun Nelayan
Blimbing Kecamatan Paciran) “Kebijakan pelarangan penggunaan alat tangkap jenis
payang ini mempunyai dua dampak yakni:
A. Positif
Dampak positif dari pelarangan penggunaan alat
tangkap ini adalah pengaruh pada biota dan ekosistem akan berjalan dengan
sangat baik di karenakan menurunya jumlah operasi nelayan, sehingga trumbu
karang dapat berekosistem sebagaimana mestinya.
B. Negatif
Dampak negatif dari kebijakan penggunaan alat tangkap jenis
payang adalah kerugian pada pengguna alat tangkap payang dan hasil produksi
tangkap tahunan. Kerugian yang dialami oleh para pengguna alat tangkap jenis
payang adalah tidak dapat digunakan lagi alat tangkap payang untuk melakukan
aktivitas tangkap, selain itu biaya untuk pembuatan alat tangkap payang ini
sangatlah besar namun tidak dapat mereka gunakan untuk beroperasi. Sehingga
mempengaruhi hasil produksi tahunan di Kecamatan Paciran dan Brondong, yang di
sebabkan oleh menurunya aktivitas tangkap masyarakat nelayan yang ada di
Kecamatan Paciran dan Brondong.
2.6 Sikap
Pemerintah Terhadap Penolakan Nelayan
Menanggapi
penolakan, Menteri Kelautan dan Perikanan menegaskan tidak akan membatalkan
peraturan-peraturan tersebut karena dinilai bentuk regulasi yang sudah benar.
Hal ini juga didukung oleh WWF Indonesia (World Wildfield Fund Indonesia)
dengan mengapresiasi upaya baru pemerintah dalam mengekang praktik penangkapan
ikan yang melanggar hukum, tidak dilaporkan, serta tidak diatur (Illegal,
Unreported, Unregulated/IUU Fishing).The United Nations Food and
Agricultural Organization (FAO) melaporkan bahwa Indonesia adalah negara
kedua dengan jumlah tangkapan ikan terbesar di dunia pada tahun 2012, setelah
Cina. Produksi perikanan Indonesia mencapai 5,8 juta ton dengan nilai sekitar
Rp 79,4 triliun (setara 6,6 milyar USD) pada tahun 2012. Nilai ini merupakan
hasil yang sangat besar dari sebuah wilayah dengan luas 1,919,440 km2 yang
terbentang dari Samudera Hindia sampai Samudera Pasifik dan Laut Cina Selatan.5
Masa transisi yang diberikan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan tidak mengubah
alat tangkap yang dilarang berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan
No. 2/PERMEN-KP/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Tangkap Ikan Pukat Hela (trawls)
dan Pukat Tarik (seine nets) dikarenakan alat tangkap yang ramah
lingkungan tidak dapat menghasilkan keuntungan ekonomi jangka pendek yang cukup
untuk memenuhi kebutuhan dasar pengguna (nelayan). Sebaliknya, alat tangkap
yang menguntungkan secara ekonomis (jangka pendek) seringkali tidak ramah lingkungan
dan menimbulkan kecemburuan dari pengguna alat tangkap lain yang kurang efisien
(Sukandar, 2015 dalam Panggabean et al., 2016).
Pelarangan penggunaan cantrang ini secara tidak langsung
memberikan dampak negatif seperti dampak sosial salah satunya adalah
pengangguran. Apabila kondisi ini terus terjadi tanpa ada tindakan dari
pemerintah maka masyarakat nelayan Cantrang akan terus berada pada garis
kemiskinan. Oleh sebab itu, Peraturan menteri No. 2 tahun 2015 bila secara
tegas berlaku maka pemerintah perlu memberikan sosialisasi dan rekomendasi
kepada masyarakat nelayan cantrang agar peraturan tersebut dapat berjalan
sesuai dengan harapan masyarakat (Suhendar et
al., 2016).
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut.
· Alat penangkapan ikan adalah
sarana dan perlengkapan atau benda-benda lainnya yang dipergunakan untuk
menangkap ikan.
· Alat
tangkap yang dilarang penggunaannya di Indonesia adalah alat
penangkapan ikan pukat hela (trawls)
dan alat penangkapan ikan pukat tarik
(seine nets).
· Peraturan mengenai alat penangkap ikan yang dilarang dioperasikan terdapat pada Peraturan
Menteri Kelautan dan Perikanan No. 2/PERMEN-KP/2015 Tanggal 9 Januari 2015.
Serta
larangan penggunaan alat
tangkap sudah mulai diberlakukan sejak tahun 1980. Keputusan Menteri Pertanian
Nomor 503/Kpts/UM/7/1980 cantrang secara tegas dilarang, kemudian di tindak
lanjuti dengan dikeluarkannya Keputusan Dirjen Perikanan Nomor
IK.340/DJ.10106/97 sebagai petunjuk pelaksanaan dari peraturan tersebut.
· Peraturan
Menteri Kelautan dan Perikanan No. 2 tahun 2015 didasari oleh penurunan Sumber
Daya Ikan (SDI) yang mengancam kelestarian.
· Pro
dan kontra penerapan pelaksanaan Permen KP Nomor: 2/PERMENKP/2015 tentang
larangan penggunaan alat penangkapan ikan pukat hela (trawls) dan pukat
tarik (seine nets) di Wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia.
· Menanggapi penolakan, Menteri
Kelautan dan Perikanan menegaskan tidak akan membatalkan peraturan-peraturan
tersebut karena dinilai bentuk regulasi yang sudah benar.
DAFTAR PUSTAKA
Ardidja, S. 2007.
Metoda Penangkapan Ikan. Program Studi Teknologi
Penangkapan Ikan Jurusan Teknologi Penangkapan Ikan Sekolah Tinggi Perikanan:
Jakarta.
Arisandi. 2016. Inkonsistensi kebijakan penggunaan jaring trawl (studi kasus penggunaan jaring trawl oleh nelayan wilayah Perairan Gresik). JKMP. 4 (1): 1-18.
Ermawati, N. dan
Zuliyati. 2016. Dampak sosial dan ekonomi atas Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan
Nomor 2/PERMEN-KP/2015 (studi kasus Kecamatan Juwana Kabupaten Pati). Prosiding Seminar Nasional Multi Disiplin
Ilmu & Call for Papers Unisbank
(Sendi_U).
Haryono, T. J. S. 2005. Strategi kelangsungan
hidup nelayan studi tentang diversifikasi pekerjaan keluarga nelayan sebagai
salah satu strategi dalam mempertahankan kelangsungan hidup. Jurnal Berkala Ilmiah Kependudukan. 7 (2): 119-128.
Muntalim dan M. S. Choiruddin. 2016. Pengaruh kebijakan penggunaan alat tangkap pukat
tarik (seine nets) terhadap
pendapatan nelayan di Kabupaten Lamongan. Jurnal
Ilmiah Fakultas Perikanan. 20-24.
Panggabean S. A.,
Suhaidi, J. Leviza dan U. M. Barus. 2016. Implementasi Peraturan Menteri
Kelautan dan Perikanan No. 2/Permen-KP/2015 tentang larangan penggunaan alat
penangkapan ikan pukat hela (trawls) dan pukat tarik (seine nets)
terhadap usaha perikanan tangkap oleh nelayan dI Sibolga.
USU Law Journal. 4 (4): 40-52.
Putra, F. N. D. dan A. Manan. 2014. Monitoring
hasil perikanan dengan alat tangkap
pancing tonda di Pelabuhan Perikanan Nusantara Prigi, Kabupaten Trenggalek,
Propinsi Jawa Timur. Jurnal Ilmiah
Perikanan dan Kelautan. 6 (1):
15-19.
Rochmani.
2014. Penegakan hukum yang berorientasi
pada keberlanjutan sumber daya ikan. Jurnal Media Hukum. 123-147.
Suhendar, R., Hendrik dan H. Hamid. 2016. The impact of PERMEN-KP
No. 2 Tahun 2015 policy about prohibition on operating cantrang (catching
tool) to the economic condition of fishermen in Raja Bejamu Village, Sinaboi
District, Rohil, Riau Province.
Sukandar, D. G. Raka,
D. Setyohadi, A. B. Sambah, G. Bintoro, Darmawan, L. Ika dan Fuad.
2015. Tinjauan akademis terhadap Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.
2/2015 tentang pelarangan penggunaan beberapa alat penangkapan ikan di wilayah
pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia. Badan
Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (BPP) FPIK-UB.
Comments
Post a Comment