PENDAHULUAN
KARAKTERISTIK IKAN
Sebaran
Bigeye
tuna adalah
anggota dari keluarga Scombridae dan ordo Perciformes. Tuna mata besar
diklasifikasikan sebagai hewan yang sering melakukan migrasi menurut Annex 1
Konvensi PBB tentang Hukum Laut 10 Desember 1982 (UNCLOS). Bigeye Tuna
merupakan ikan pelagis yang paling umum ditemukan antara 0 dan 250 m) di daerah
tropis dan sub-tropis perairan 13-29°C. Namun, sering ditemukan di perairan
yang lebih dalam dan distribusinya meluas. Sementara itu secara global (lihat Gambar
1), stok terpisah di Pasifik Timur, Pasifik Barat, Atlantik dan Samudera Hindia
(De Leiva Moreno dan Majkowski dalam Lack, 2007). Bigeye tuna
tidak ditemukan di Laut Mediterania (Lack, 2007).
![]() |
Gambar 1. Daerah penyebaran ikan tuna mata besar
(Sumber: Lack, 2007)
|
Tuna
mata besar (Thunnus obesus Lowe, 1839) merupakan salah satu komoditi
ekspor ikan tuna yang utama di Indonesia. Sumber daya tuna mata besar tersebar
di seluruh perairan tropis dan sub tropis Samudera Pasifik, Samudera Hindia dan
Samudera Atlantik (Bahtiar et al., 2013). Ikan tuna mata besar (bigeye tuna)
merupakan spesies penting dalam perikanan tuna di sepanjang Samudera Hindia.
Hasil tangkapan ikan tuna mata besar dengan longline
di Samudera Hindia dari akhir tahun 1980-an hingga awal tahun 1990-an meningkat
dari 40.000 ton hingga mencapai 100.000 ton pada akhir tahun 1990-an. Puncak
hasil tangkapan terjadi pada tahun 1997-1999 (140.000-150.000 ton) dan
sejaksaat itu terjadi penurunan, yaitu 96.200-121.7000 ton pada tahun 2003-2007
(IOTC, 2008 dalam Faizah, 2010).
Bigeye
Tuna (Thunnus
obesus) adalah spesies ikan yang melakukan migrasi, diperdagangkan secara
luas dan memiliki harga tinggi. Pada tahun 2004, ekspor spesies ini mencapai
lebih dari 160 000 ton senilai USD 814 M (Organisasi Pangan dan Pertanian PBB
(FAO), 2007 dalam Lack, 2007). Meskipun demikian, sampai saat ini,
penelitian dan pengkajian saham dari Bigeye Tuna masih relatif terbatas.
Secara global, stok tuna berada di bawah ancaman (lihat Tabel 1). Sebagai
contoh, World Conservation Union (IUCN) stok di Samudera Atlantik dari Atlantic
Bluefin Tuna Thunnus thynnus dan Southern Bluefin Tuna Thunnus macoyii
stoknya kritis dan di Atlantik timur status Atlantic Bluefin Tuna telah
langkah (IUCN, 2006). Semua stok Bigeye Tuna sekarang dianggap
sepenuhnya berlebihan atau overfished di beberapa daerah. Tanpa adanya
tindakan yang cepat dan manajemen yang efektif, status Bigeye Tuna ini
cenderung akan memburuk sama halnya seperti pada Atlantic dan Southern
Bluefin Tuna (Lack, 2007).
Tabel 1. Manajemen dan status tuna mata besar
Samudera
Atlantik
|
Samudera
Hindia
|
Samudera
Pasifik Barat dan Pusat
|
Samudera
Pasifik Timur
|
|
Badan
Pengawasan
|
International
Commision for the Conservation of Atlantic Tunas (ICCAT)
|
Indian
Ocean Tuna Commision (IOTC)
|
Western
and Central Pasific Fisheries Commision (WCPFC)
|
Inter-American
Tropical Tuna Commision (IATTC)
|
Status
|
• Eksploitasi
tinggi
• Penangkapan
berlebihan terjadi beberapa tahun
|
• Eksploitasi
tinggi
|
• Eksploitasi
tinggi
• Penangkapan
berlebihan terjadi
|
• Eksploitasi
tinggi
• Penangkapan
berlebihan terjadi
|
Perkiraan
jumlah ketersediaan (ton)
|
93.000-114.000
|
111.200
|
110.000-120.000
|
106.722
|
Jumlah
tangkapan tahun 2006 (ton)
|
60.453
|
112.400
|
157.102
|
102.376
|
Persentase
sebagai hasil tangkapan sampingan purse seine
|
21%
|
23%
|
28%
|
60%
|
(Sumber: Lack, 2007)
Sebelum tahun 1994, sebagian besar tuna
mata besar hidup di timur Samudera Pasifik yang ditangkap menggunakan rawai
dengan jumlah yang lebih kecil daripada menggunakan purse seine. Pertumbuhan
purse seine setelah pengenalan rumpon di awal 1990-an diikuti oleh penurunan
tangkapan longline dan tangkapan purse seine lebih besar dari tangkapan longline
sejak tahun 2004. Tangkapan bigeye untuk 2000-2007 ditunjukkan pada
Tabel 2. Total tangkapan memuncak pada tahun 2000 dan kemudian menurun. Hingga
tahun 1994, saham itu terpelihara dengan baik di atas ukuran yang terkait
dengan MSY, dengan tingkat kematian ikan rendah. Sejak itu, tingkat kematian
ikan telah meningkat dan saham telah menurun dan telah overfished selama
lima tahun terakhir (Allen, 2010).
Tabel 2. Hasil tangkapan tuna mata besar
di Samudera Pasifik Timur (ton)
Tahun
|
Jumlah
tangkapan mengunakan purse-seine (ton)
|
Jumlah
tangkapan mengunakan longline (ton)
|
Jumlah
keseluruhan tangkapan menggunakan alat tangkap lain (ton)
|
2000
|
94.960
|
47.605
|
148.148
|
2001
|
61.156
|
68.754
|
131.223
|
2002
|
57.440
|
74.424
|
132.813
|
2003
|
54.174
|
59.776
|
116.213
|
2004
|
67.592
|
43.478
|
11.852
|
2005
|
69.826
|
41.720
|
113.544
|
2006
|
83.978
|
35.363
|
121.263
|
2007
|
61.434
|
25.560
|
88.280
|
Sumber: IAATC dalam Allen (2010)
Tuna
mata besar (Thunnus obesus) merupakan salah satu spesies yang mempunyai
potensi dalam meningkatkan sumber protein hewani, memiliki nilai ekonomis yang
tinggi, serta merupakan komoditas ekspor kedua setelah udang. Hidup diperairan
tropis hingga sub tropis, yaitu samudera Atlantik dan samudera Hindia pada
kedalaman 20-250 meter termasuk di wilayah selatan Jawa yang merupakan daerah fishing
ground tuna mata besar. Sehingga nelayan Indonesia sering menangkap tuna
mata besar di perairan samudera Hindia sebelah barat Sumatera, selatan Jawa dan
di laut Banda (Syarief et al., 2010 dalam Wodi et al.,
2014)
Menurut Faizah (2010), tuna mata besar (Thunnus
obesus) menyebar dari Samudera Pasifik melalui perairan di antara
pulau-pulau di Indonesia hingga ke Samudera Hindia. Ikan ini terutama ditemukan
di perairan sebelah selatan Jawa, sebelah barat daya Sumatera Selatan, Bali,
Nusa Tenggara, Laut Banda dan Laut Maluku. Menurut Laevastu dan Hela (1970) dalam
Faizah (2010), tuna mata besar merupakan jenis yang memiliki toleransi suhu
yang paling besar, yaitu berkisar antara 11-28oC.
Waktu yang dihabiskan bigeye di
siang hari menunjukkan variabilitas musiman yang berbeda, namun penyebarannya
ditandai dengan variabilitas dari individu masing-masing. Penyebaran di siang
hari pada setiap tahun cenderung muncul saat bulan-bulan musim semi, Mereka
hidup di perairan dingin sekitar 300-500 m dan di perairan dangkal serta hangat
sekitar 50-100 m. Pada musim panas hampir tidak jelas penyebarannya. Pada musim
gugur mencerminkan pengurangan waktu yang dihabiskan di permukaan air. Serta selama
bulan-bulan musim dingin mereka habiskan di permukaan air (Gunn et al.,
2005).
Ikan Tuna (Thunnus) merupakan salah satu potensi
ikan laut yang menjadi andalan yang hidup di laut dalam,
khususnya di Perairan Indonesia bagian Timur meliputi Laut Makassar, Laut
Banda, Laut Maluku, Laut Sulawesi, Laut Arafuru dan
Laut Papua. Ikan tuna yang hidup di perairan laut Indonesia
dikelompokkan menjadi dua jenis, yakni ikan tuna besar dan
ikan tuna kecil. Ikan tuna besar meliputi madidihang (yellowfin
tuna), albakora (albacore),
tuna mata besar (big eye tuna),
dan tuna sirip biru selatan (southern
bluefin tuna). Ikan madidihang dan
mata besar terdapat di seluruh wilayah perairan laut
Indonesia. Sedangkan, albakora hidup di perairan
sebelah Barat Sumatera, Selatan Bali sampai dengan
Nusa Tenggara Timur (lihat Gambar 2). Ikan tuna sirip biru
selatan hanya hidup di perairan sebelah Selatan
Jawa sampai ke perairan Samudra Hindia
bagian Selatan yang bersuhu rendah (dingin).
![]() |
Gambar 2. Daerah penyebaran ikan tuna di Indonesia
(Sumber: Rahajeng, 2012)
|
Siklus Reproduksi
Ikan tuna mata besar merupakan serial
spawner, dapat mengulang pemijahan secara harian atau mendekati interval
harian selama periode pemijahan yang panjang (Nikaido et al., 1991 dalam
Faizah et al., 2010). Pemijahan terjadi menjelang sore atau malam di
dekat permukaan (McPherson, 1991 dalam Faizah et al., 2010).
Diperkirakan dari pukul 18.00 hingga tengah malam, menyimpan telur harian
(Matsumoto dan Miyabe, 2002 dalam Faizah et al., 2010). Puncak
pemijahan pada malam hari sekitar pukul 19.00 hingga pukul 24.00, dengan batch
fekunditas jutaan telur setiap periode pemijahan (Faizah et al.,
2010).
Dalam penelitian Matsumoto dan Miyabe (2002), bigeye tuna diperkirakan
bertelur dari pukul 7 malam hingga tengah malam. Hasil ini mirip dengan bigeye
tuna di Samudera Pasifik (Nikaido et al., 1991 dalam Matsumoto dan
Miyabe, 2002), yang diperkirakan bertelur dari sekitar dari pukul 7 malam sampai
tengah malam, atau tuna sirip kuning di timur Samudera Pasifik (Schaefer, 1996
dalam Matsumoto dan Miyabe, 2002), yang diperkirakan 22:30-03:30. Ada
kemungkinan bahwa tren ini pemijahan di malam hari karena meminimalkan predasi
atau kerusakan oleh ultraviolet (Schaefer, 1996). Dilaporkan bahwa waktu renang
bigeye tuna berpengaruh terhadap waktu renang antara siang dan malam
(berenang dangkal kedalaman di malam hari dan menyelam jauh di siang hari)
(Holland et al., 1990 dalam Matsumoto dan Miyabe, 2002) dan pola
berenang kemungkinan terkait dengan waktu bertelur (Matsumoto dan Miyabe,
2002).
Dalam penelitian Matsumoto dan Miyabe (2002), didapatkan data bahwa ada
kemungkinan bahwa pemijahan (ovulasi) dari bigeye tuna adalah terkait
dengan matahari terbenam dengan ritme diurnal. Ada beberapa laporan yang
menyatakan hubungan antara waktu pemijahan dan matahari terbenam. Misalnya,
Kumai dan Nakamura (1977) dalam Matsumoto dan Miyabe (2002), melaporkan
bahwa Sillago sihama memijah sekitar waktu matahari terbenam (pukul 18.00-19.00).
Untuk meneliti bahwa secara rinci, perlu untuk menganalisis lebih lanjut sampel
gonad atau untuk melakukan percobaan pemeliharaan. Menurut Nikaido et al.
(1991) dalam Matsumoto dan Miyabe (2002), memperkirakan bahwa interval
pemijahan adalah 1,0-1,1 hari. Dalam kasus apapun, bigeye tuna diperkirakan
bertelur hampir setiap hari di daerah dan musim diteliti dalam penelitian ini. Menurut
Sun et al. (1999) dalam Matsumoto dan Miyabe (2002), melaporkan
bahwa ada variasi musiman dari pemijahan bigeye tuna (musim pemijahan
musim dari bulan Februari sampai September di Pasifik barat) dan hal ini harus diteliti
lebih lanjut dan dipertimbangkan dalam studi masa depan untuk memperkirakan
reproduksi tahunan spesies ini.
Morfologi
Menurut Fukofuka dan Itano (2006) dalam
Faizah (2010), ikan tuna mata besar mempunyai ciri-ciri luar sebagai berikut:
-
Sirip ekor mempunyai lekukan yang dngkal
pada pusat celah sirip ekor.
-
Pada ikan dewasa matanya relatif besar
dibandingkan dengan tuna-tuna yang lain.
-
Profil badan seluruh bagian dorsal dan
ventral melengkung secara merata.
-
Sirip dada pada ikan dewasa, 1/4-1/3 kali fork
length (FL).
-
Sirip dada pada anak ikan tuna (yuwana) lebih
panjang dan selalu melewati belakang sebuah garis yang digambar di antara
tepi-tepi anterior sirip punggung kedua dan sirip anal.
- Ikan-ikan
tuna mata besar dengan ukuran <75 cm (10 kg) mempunyai sirip dada lebih
panjang daripada ikan tuna sirip kuning dari ukuran-ukuran yang sebanding.
Ciri-ciri ikan tuna mata besar (bigeye
tuna) menurut Itano (2005) adalah sebagai berikut (lihat Gambar 3).
• Memiliki garis vertikal dengan banyak spasi
garis putih tidak teratur.
• Beberapa baris titik-titik tetapi sedikit
dan tidak teratur.
• Pola garis tidak teratur dan sebagian besar
terbatas pada bawah garis lateral.
• Meniliki tanda bintik-bintik pada setengah
posterior tubuh.
• Memiliki garis demarkasi yang tidak jelas.
• Memiliki garis berwarna emas yang kurang
jelas.
• Memiliki punggung berwarna hitam dengan
garis biru cerah.
• Sirip kehitaman kekuningan dengan sirip
anal berwarna perak.
• Sirip ekor berwarna hitam.
• Bagian sisi perut berbentuk bulat berwarna
putih seperti mutiara.
![]() |
Gambar 3. Ikan tuna mata besar (Thunnus obesus)
(Sumber: Itano, 2005)
|
Penangkapan
Penangkapan
tuna mata besar skala industri dilakukan
dengan menggunakan alat tangkap rawai tuna
(tuna longline). Rawai tuna bersifat pasif namun efektif dalam menangkap
tuna karena konstruksinya mampu menjangkau kedalaman renang tuna. Penangkapan
ikan tuna di Samudera Hindia semakin
kompetitif, sehingga setiap Nahkoda atau Fishing Master kapal rawai tuna
perlu memiliki metode yang efektif dan efisien. Metode penangkapan ikan tuna
khususnya dalam mengatur pelaksanaan setting, hauling dan mengelola
daerah penangkapan disebut taktik penangkapan ikan tuna (Soepriyono, 2009 dalam
Bahtiar et al., 2013). Taktik penangkapan yang efektif dan efisien memerlukan
pengetahuan mengenai tingkah laku ikan tuna. Beberapa informasi tentang tingkah
laku ikan tuna seperti sebaran ikan tuna berdasarkan suhu dan kedalaman perairan,
waktu kebiasaan tuna aktif mencari makanan dalam periode 24 jam di suatu perairan
merupakan informasi yang berguna untuk mendukung keberhasilan penangkapan ikan
tuna. Keberhasilan penangkapan ikan tuna akan mempengaruhi kegiatan industri
perikanan tuna, terutama dalam hal meningkatkan pemasaran produk ikan baik
untuk tujuan ekspor dan lokal. Hal ini seiring dengan program utama Kementerian
Kelautan dan Perikanan untuk meningkatkan aktivitas industrialisasi perikanan
dari hulu hingga hilir (Bahtiar et al., 2013).
Longline dan purse seine adalah alat tangkap paling
penting untuk menangkap tuna di Jepang dan Korea. Tuna mata besar hidup di
perairan dalam (sekitar 300m) dibandingkan tuna sirip kuning dan albakore
(keduanya hidup dikedalaman sekitar 200m) dan tidak dapat dijangkau dengan
purse seine. Longline standar
memiliki ukuran maksimum 170 m. Pada tahun 1970, longline dasar berkembang untuk menangkap tuna mata besar. Di
Taiwan, longline adalah alat tangkap
tradisional untuk menangkap tuna, namun dalam perkembangannya terciptanya purse
seine di awal tahun 1980. Hal ini berarti longline
Taiwan digunakan untuk menangkap 91988-92) tuna sirip kuning, albakore dan tuna
mata besar dengan ukuran 18.564, 44.962 dan 20.843 (Bjordal dan Lokkeborg,
1996).
Tuna sirip kuning (Thunnus albacares)
dan tuna mata besar (Thunnus obesus) nampaknya menunjukkan pendekatan
hampir berlawanan dengan lingkungan mereka. Tuna mata besar berenang keatas
dari perairan yang dalam dengan suhu yang lebih rendah menuju sumber makanan.
Perilaku ini sebagai kunci pergerakan melewati lapisan kedalaman (Deep
Scattering Layer/DSL). Perilaku waktu renang tuna digunakan untuk menjelaskan
kemampuan mencari makanan dan meminimalisir kompetisi dengan spesies lain
(Block dan Stevens, 2001).
Pasca Panen
Pada
umumnya tuna dipasarkan sebagai produk segar (didinginkan) dalam bentuk utuh
disiangi (fresh whole gilled and gutted); sebagai produk beku dalam bentuk
utuh disiangi (frozen whole gilled and gutted), loin (frozen
loin) dan
steak (frozen steak); dan produk dalam kaleng (canned
tuna)
(Departemen Kelautan dan Perikanan, 2005 dalam Irianto dan Akbarsyah,
2007).
![]() |
Gambar 4. Jenis ikan tuna yang dikalengkan
(Sumber: SNI-01-2712-1992 dalam Irianto dan Akbarsyah, 2007)
|
Handling
Dari penelitian Nobrega et al. (2014),
penanganan ikan tuna mata besar dilakukan ketika diatas kapal, ikan dimatikan
dengan cara dipukul dibagian tengkorak dan melakukan proses bleeding dengan
cara memotong pada bagian bawah sirip dada, sehingga jantung yang masih
berdetak, memompa darah untuk luar. Pendarahan ikan mati juga dilakukan dengan menggunakan
tekanan air untuk membuang sisa darah, teknik bleeding dijelaskan oleh
Blanc et al. (2005) dalam Nobrega et al. (2014), setelah
pendarahan, ikan mati
dibuang bagian kepalanya, dicuci dengan air laut dan dibungkus kain untuk menghindari
kontak langsung dengan
es. Kemudian,
ikan dikirim ke tempat penyimpanan
(storage) pada kapal berisi es dibuat dari air
yang mengandung klor. Semua dilakukan di atas kapal dan pengepakan dilakukan di
atas es, dilakukan dalam waktu 10 menit, seperti yang direkomendasikan oleh Ali
(1995) dalam Nobrega et al. (2014), yang mengatakan bahwa penanganan di
kapal harus dilakukan dengan lembut untuk
menghindari memar serta cepat untuk mencegah kondisi yang
disebut Yake niku (istilah Jepang untuk
Burnt Tuna Syndrome (BTS)). Penanganan sama pada semua kapal
nelayan. Untuk
traceability selama pengolahan di atas kapal (on-board), masing-masing
ikan di identifikasi dengan
nomor segel dan diikat dengan pita berwarna-warni untuk menunjukkan
hari penangkapan, satu warna untuk
setiap hari.
Menurut Blanc et al. (2005), ada
banyak cara penanganan dan pengepakan tuna segar, tetapi hanya sedikit yang
cocok untuk mengekspor produk bermutu tinggi untuk pasar sashimi. Metode yang
memenuhi standar dituntut dari pasar ekspor tuna segar. Untuk tahap tertentu
dari proses penanganan, teknik alternatif dijelaskan karena persyaratan dapat
bervariasi dari importir kepada importir. Oleh karena itu penting bahwa
operator kapal nelayan menyadari persyaratan khusus pembelinya. Beberapa perahu
nelayan operator ekspor ke beberapa pasar internasional (misal tuna yang
diekspor ke Jepang, sementara yang lain yang diekspor ke Hawaii atau daratan
AS). Oleh karena itu anggota awak mungkin perlu untuk menangani setiap ikan
sesuai dengan yang pasar dimaksud.
Komposisi Gizi
Komposisi
kimia daging tuna bervariasi menurut jenis, umur, kelamin dan musim. Perubahan
yang nyata terjadi pada kandungan lemak sebelum dan sesudah memijah. Kandungan
lemak juga berbeda nyata pada bagian tubuh yang satu dengan yang lain. Ketebalan
lapisan lemak di bawah kulit berubah menurut umur dan/atau musim. Lemak paling
banyak terdapat di dinding perut (Murniyati dan Sunarman, 2000 dalam
Irianto dan Akbarsyah, 2007).
Ikan tuna merupakan jenis ikan dengan kandungan
protein tinggi, berkisar antara 22,6 - 26,2 g/100 g daging dan lemak yang
rendah berkisar antara 0,2 - 2,7 g/100 g daging, mineral kalsium, fosfor, besi
dan sodium, vitamin A (retinol), dan vitamin B (thiamin, riboflavon, dan
niasin). Bagian ikan tuna yang dapat dimakan berkisar antara 50% - 60%. Kadar
protein daging putih tuna lebih tinggi daripada daging merahnya. Berbanding terbalik
dengan kadar lemaknya yang daging putih tuna lebih rendah dari daging merahnya.
Ikan ini memiliki nilai jual tinggi, dan termasuk jenis ikan yang paling banyak
dicari dan dicuri dari laut Indonesia.Itu disebabkan rasanya yang lezat. Selain
itu, banyak kandungan zat gizi yang mampu menyehatkan orang dewasa dan
mencerdaskan anak-anak. Ikan
tuna mengandungan asam lemak omega-3 lebih banyak bila dibanding dengan ikan
tawar, yaitu 28 kali lebih banyak daripada ikan air tawar. Manfaat dari omega-3
adalah bisa menurunkan kadar kolesterol darah dan menghambat proses terjadinya
aterosklerosis (penyumbatan pembuluh darah). Konsumsi ikan tuna 30 gram sehari
bisa mereduksi risiko kematian akibat penyakit jantung hingga 50 persen. Asam
lemak omega-3 juga mempunyai peran penting untuk proses tumbuh kembang sel-sel
saraf, termasuk sel otak, sehingga dapat meningkatkan kecerdasan, terutama pada
anak-anak yang sedang mengalami proses tumbuh kembang (Rahajeng,
2012).
![]() |
Gambar 5. Kandungan ikan tuna
(Sumber: Rahajeng, 2012)
|
Kandungan vitamin pada
tuna sangat tinggi. Mencapai 2,183 IU. konsumsi 100 gram ikan tuna sirip biru
cukup untuk memenuhi 43,6% kebutuhan vitamin A akan tubuh setiap harinya.
Vitamin A sangat baik untuk pemeliharaan sel epitel, peningkatan imunitas
tubuh, pertumbuhan, penglihatan, dan reproduksi. Ikan tuna juga merupakan
sumber vitamin B6 dan asam folat. World’s Health Rating dari The George
Mateljan Foundation menggolongkan kandungan vitamin B6 tuna dalam kategori
“sangat baik” karena mempunyai nutrient density yang tinggi, yaitu mencapai 6,7
(batas kategori sangat baik adalah 3,4-6,7). Vitamin B6 bersama asam folat dapat
menurunkan level homosistein yang sangat berbahaya bagi pembuluh arteri dan
sangat potensial sebagai potensial sebagai penyebab kolestero, namun kadarnya
cukup rendah dibandingkan dengan pangan hewani lainnya. Kadar kolesterol pada
ikan tuna adalah 38-45 mg/100 g ikan. Daging
ikan tuna terdiri dari dua bagian yaitu daging putih dan daging merah kurang
lebih 1/6 bagian. Daging merah mempunyai kandungan mioglobin tinggi, yang
diimbangi dengan banyaknya jaringan pengikat dan pembuluh darah, sementara
daging putih mempunyai jenis-jenis protein yang berkualitas tinggi. Kadar protein pada ikan tuna
hampir dua kali kadar protein pada telur yang selama ini dikenal sebagai sumber
protein utama. Kadar protein per 100 gram ikan tuna dan telur masing-masing 22
gram dan 13 gram (Kordi,
2010).
![]() |
Gambar 6. Kandungan gizi Hawaii Bigeye Tuna (Thunnus obesus)
(Sumber: Dobbs dan John, 2016)
|
Kesehatan
Menurut
Kordi (2010), kandungan gizi pada ikan tuna sangat efektif untuk menyembuhkan
berbagai penyakit, salah satunya. Sebuah studi yang pernah dilakukan selama 15
tahun menunjukan bahwa konsumsi ikan tuna sebanyak 2-4 kali setiap minggu dapat
mereduksi 27% risiko penyakit stroke daripada yang hanya mengonsumsi 1 kali
dalam sebulan. Konsumsi ikan tuna 5 kali dalam seminggu dapat mereduksi
penyakit stroke hingga 52%; konsumsi ikan tuna sebanyak 13 kali dalam seminggu
dapat mengurangi risiko tubuh dari ischemic
stroke, yaitu stroke yang disebabkan oleh kurangnya aliran darah ke otak.
Dari delapan penelitian yang tercatat dalam The George Mateljan Foundation
(2006), konsumsi ikan tuna sebanyak 1-3 kali/bulan dapat mengurangi risiko ischemic stroke sebesar 9%. Selanjutnya,
risiko menurun sebanyak 13% pada konsumsi ikan tuna sekali seminggu, 18% pada
konsumsi tuna 2-4 kali/minggu, dan 31% pada konsumsi tuna 5 kali atau lebih
setiap minggunya. Sebuah penelitian yang dipublikasikan dalam 6th Congress of The International Society
for the Study of Fatty Acid and Lipid pada Desember 2004 telah membuktikan
bahwa ikan tuna dapat mencegah obesitas dan sangat baik untuk penderita
diabetes melitus tipe 2. Hal itu karena kandungan EPA yang tinggi pada ikan
tuna dapat menstimulasi hormon leptin, yaitu hormon yang membantu meregulasi
asupan makanan. Dengan regulasi tersebut, tubuh akan terhindar dari konsumsi
makanan berlebihan penyebab obesitas.
Menurut
Kordi (2010), pada tahun 2004, sebuah studi di Universitas Harvard menyebutkan
bahwa konsumsi ikan tuna sebanyak 1-4 kali setiap minggu dapat meningkatkan
omega-3 dan mencegah penyakit heart
arrhythmia hingga 28%. Publikasi
Cancer Epidemiology Biomarkers and Prevention (2004) menunjukan bahwa
mengonsumsi ikan yang kaya asam lemak (seperti ikan tuna) dapat mengurangi
penyakit leukimia, multiple myeloma,
dan non-hodgkins lymphoma. Studi yang
dilakukan terhadap 6800 orang di Kanada menunjukan bahwa konsumsi ikan yang
kaya akan asam lemak dapat mengurangi risiko leukimia hingga 28%, multiple myeloma 36%, non-hodgkins lymphoma hingga 29%. Ikan
tuna juga baik untuk mencegah kanker payudara. Hal itu dikarenakan kandungan
omega-3 pada tuna dapat menghambat enzim proinflammatory yang disebut cyclooxygenase
2 (COX 2) – enzim pendukung terjadinya kanker payudara. Omega-3 juga dapat
mengaktifkan reseptor di membran sel yang disebut peroxisome
proliferator-actived receptor (PPAR)-a, yang dapat menangkap aktivitas sel
penyebab kanker. Para peneliti menyarankan agar penderita skizofrenia (schizo-phrenia) mengonsumsi kapsul
minyak ikan yang mengandung omega-3 karena dapat mengurangi gejala penyakit
tersebut. Dosis yang dianjurkan adalah antara 2.000-4.000 mg/hari. Sebuah
penelitian lain di County Hurham (Inggris) yang dilakukan kepada 20 anak yang
mempunyai masalah kepribadian, seperti sering mengganggu dan menyusahkan orang
lain secara terus menerus, diterapi dengan suplemen minyak ikan yang mengandung
omega-3 selama 3 bulan. Pada akhir riset, psikologi pendidikan Madeleine
Portwood memberikan gambaran yang menaarik. Hanya 3 anak yang digolongkan
sebagi bermasalah tidak mempunyai perhatian dan 6 anak di antara sangat implusif.
Setelah mengikuti riset ini, anak yang tadinya dikategorikan bermasalah dan sangat
bermasalah kini meningkat sebesar 90% menjadi kategori sedang dan baik.
Madeleine Portwood menyatakan bahwa suplemen minyak ikan yang diberikan selama
periode 3 bulan akan sangat berpengaruh bagi anak dalam masa pertumbuhan.
Menurut Kordi
(2010), sebuah penelitian terhadap ikan tuna (Thunnus) menunjukkan bahwa ikan tuna mempunyai kandungan omega-3
lebih banyak dari ikan air tawar, yaitu mencapai 28 kali. Konsumsi ikan tuna 30
g sehari dapat mereduksi risiko kematian akibat penyakit jantung hingga 50%.
Ikan tuna juga mempunyai selenium. Konsumsi 100 g ikan tuna cukup memenuhi
52,9% kebutuhan selenium pada tubuh. Selenium mempunyai peranan di dalam tubuh
kareena mengaktifasi enzim antioksidan glutathione
peroxidase yang dapat melindungi tubuh dari radikal bebas penyebab berbagai
jenis kanker. Dilihat dari natrium dan kalium, ikan tuna baik untuk penderita
jantung. Kalium bermanfaat untuk mengendalikan tekan darah, terapi darah tinggi
dan membersihkan karbondioksida darah. Kalium juga bermanfaat untuk memiu kerja
otot dan simpul saraf. Kalium yang tinggi akan memperlancar pengiriman oksigen
ke otak dan membantu memperlancar cairan tubuh.
Kepandaian
Menurut Peng et al. (2013), delapan
belas asam amino diidentifikasi. Asam amino paling dominan adalah asam
glutamat, asam aspartat, dan lisin (mulai dari 7,93% menjadi 12,45%). Dari asam
amino, asam glutamat adalah yang paling dominan. asam glutamat sekitar 12,45%
dan 11,28% dari kandungan asam amino jaringan otot tuna yellowfin dan bigeye
tuna. Dengan pengecualian dari asam glutamat, tidak ada perbedaan yang
signifikan antara kedua spesies tuna yang ditemukan dalam asam amino lain
(P> 0,05). Rasio (dinyatakan sebagai persentase) dari asam amino esensial
(EAAs) terhadap total asam amino (TAAS) di yellowfin tuna dan bigeye tuna yang
44,95% dan 45,64%.
Asam amino merupakan komponen penting yang memainkan
peran kunci dalam banyak proses penyembuhan; kekurangan asam amino akan
menghambat banyak proses pemulihan. Misalnya, glisin, komponen utama kolagen
kulit manusia, bersama-sama dengan asam amino lainnya (misalnya, alanin,
prolin, arginin, serin, isoleusin, dan fenilalanin) bentuk polipeptida yang
mempromosikan pertumbuhan kembali dan penyembuhan jaringan (Witte et al.,
2002 dalam Peng et al., 2013).
asam glutamat sangat penting untuk proliferasi sel (Zhao et al., 2010
dalam Peng et al., 2013).
Dalam studi ini, asam glutamat adalah yang paling dominan di antara semua asam
amino dalam ikan tuna. Dua spesies tuna mengandung asam amino yang dibutuhkan
untuk penyembuhan luka. Rasio (dinyatakan sebagai persentase) dari asam amino
esensial (EAAs) terhadap total asam amino (TAAS) di yellowfin tuna dan bigeye
tuna lebih tinggi dari nilai yang dilaporkan untuk persyaratan usia manusia
yang berbeda (yaitu, 39% untuk bayi, 26% untuk anak-anak, dan 11% untuk orang
dewasa) (Oluwaniyi et al., 2010 dalam Peng
et al., 2013). Selain itu, kandungan total EAA dari jaringan otot
tuna jauh lebih tinggi dari yang hadir dalam protein referensi. Dengan
demikian, dua ikan tuna ini merupakan sumber yang baik dari asam amino (Peng
et al., 2013).
![]() |
Gambar 7. Kandungan asam amino tuna sirip kuning dan tuna mata besar
(Sumber: Peng et al., 2013)
|
Menurut Peng et al. (2013), asam
lemak yang paling banyak dalam dua spesies tuna (tuna sirip kuning dan tuna
mata besar) adalah C16: 0, (26,18% di tuna yellowfin dan 24,55% di bigeye
tuna). Asam lemak utama lainnya adalah C18:1, C22:6 (DHA) dan C18:0. DHA, C18:1
dan jumlah asam lemak tak jenuh tunggal (MUFA) konsentrasi di bigeye tuna
secara signifikan lebih tinggi daripada pada tuna yellowfin (P <0,05)
Namun, tuna sirip kuning memiliki konsentrasi yang lebih tinggi pada asam lemak
jenuh (SAF) Total PUFA di yellowfin tuna dan bigeye tuna adalah
28,35% dan 30,26%, masing-masing ada perbedaan yang signifikan dalam C20:4
(ARA) dan C20: 5 (EPA) yang ditemukan antaratuna sirip kuning tuna dan tuna
mata besar (P> 0,05). n-3 / n-6 rasio yellowfin tuna dan bigeye
tuna yang 3,29 dan 4,56.
Asam lemak penting bagi kesehatan manusia dan hewan;
beberapa asam lemak merupakan prekursor untuk eikosanoid, bioregulator penting
dalam banyak proses seluler (Khotimchenko, 2005 dalam Peng et al., 2013). Ikan
diketahui mengandung polyunsaturated fatty acid (PUFA) yang mengatur
sintesis prostaglandin dan menginduksi penyembuhan luka (Dewan et al.,
2003 dalam Peng et al., 2013). Jaringan
otot dari dua spesies tuna (tuna sirip kuning dan tuna mata besar) yang kaya DHA
dan C20:5 (EPA). Jumlah DHA dari yellowfin tuna dan bigeye tuna adalah
16,91% dan 20,22%, lebih rendah daripada tuna sirip biru (23%) (Nakamura et
al., 2007 dalam Peng et al., 2013). Penelitian
sebelumnya telah menunjukkan bahwa kandungan DHA dari jaringan otot ikan yang
sering bermigrasi (misalnya, tuna) lebih tinggi dari spesies non-migrasi (Garaffo
et al., 2011 dalam Peng et al., 2013). DHA
dan EPA telah terbukti untuk melindungi terhadap penyakit arteri koroner
manusia (Swanson et al., 2012 dalam Peng
et al., 2013). Tuna sirip kuning dan tuna mata besar juga
mengandung asam arakidonat (ARA; C20: 4), awal dari prostaglandin dan
tromboksan (Pompeia et al., 2002 dalam Peng
et al., 2013).
PUFA n-3 dan n-6 telah terbukti memiliki efek
positif pada penyakit kardiovaskular dan kanker jenis tertentu (Iwasaki et
al., 2011 dalam Peng et al., 2013).
Komposisi PUFA dapat bervariasi di antara spesies ikan, bahkan di antara air
tawar dan ikan laut (Waters et al., 2013 dalam Peng
et al., 2013). Rasio n-3 / n-6 adalah indikator yang berguna untuk
membandingkan nilai-nilai gizi relatif minyak ikan yang berbeda. Telah
dilaporkan bahwa diet manusia menggunakan n-3 / rasio n-6 dari 1 sampai 5
adalah diet sehat (Osman et al., 2001 dalam Peng
et al., 2013). Kedua spesies tuna memiliki n-3 / n-6 rasio (3-5)
yang direkomendasikan. Rasio PUFA / SAF berkisar antara 0,64 dan 0,82,
mengungkapkan bahwa tuna yellowfin dan bigeye tuna merupakan
sumber yang baik dari PUFA. Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa rasio
PUFA / SAF dari tuna sirip biru adalah sekitar 1,00 (Nakamura et al.,
2007 dalam Peng et al., 2013),
yang lebih tinggi daripada tuna yellowfin dan bigeye tuna (Peng
et al., 2013).
![]() |
Gambar 8. Kandungan asam lemak tuna sirip kuning dan tuna mata besar
(Sumber: Peng et al., 2013)
|
Menurut Razak
(2013), ikan tuna adalah jenis ikan dengan kandungan protein yang tinggi dan
lemak yang rendah. Selain itu ikan tuna juga mengandung mineral, kalsium,
fosfor, besi, sodium, vitamin A dan vitamin B. Komposisi gizi beberapa jenis
ikan tuna dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Komposisi Gizi Ikan Tuna
Komponen
|
Satuan
|
Komposisi
Kimia
|
Karbohidrat
Protein Lemak Kadar Kalsium Zat Besi Magnesium Phosphorus Vitamin B-6 Vitamin B-12 Vitamin A Vitamin E Vitamin D Vitamin K |
Kcal
Gr
Gr
GR
mg
mg mg mg mg µg IU mg IU µg |
109
24,40
0,49 74,03 4 0,77 35 278 0,933 2,08 60 0,24 69 0,1 |
(Sumber: Razak, 2013)
Meskipun
tuna mengandung kolesterol namun kadarnya sangat rendah dari pada yang lain.
Sebagai salah satu komoditas laut, tuna kaya akan asam lemak omega 3 EPA dan
DHA. Kandungan omega 3-nya
lebih tinggi dari pada ikan air tawar. Asam lemak omega 3 juga memiliki peranan
penting untuk proses pertumbuhan sel-sel syaraf termasuk sel otak sehingga bisa
meningkatkan kecerdasan otak terutama pada anak-anak yg sedang mengalami proses
pertumbuhan. Ikan Tuna atau ikan Sisiak (sebutan nelayan di Padang) juga kaya
berbagai mineral penting yang esensial bagi tubuh. Kandungan iodium pada ikan
tuna mencapai 28 kali iodium pada ikan tawar. Iodium berperan penting untuk
meningkatkan kecerdasan anak. Ikan tuna juga kaya akan selenium. Selenium ini
memiliki peranan penting didalam tubuhyaitu mengaktifkan enzim antioksidan
glutathione peraxidase. Enzim ini bisa melindungi dari serangan radikal bebas.
Tuna juga mengandung kalium dan natrium. Ikan tuna juga mengandung vitamin yang
sangat baik untuk pemeliharaan sel epitel, peningkatan imunitas tubuh,
pertumbuhan, penglihatan
Omega-3
termasuk dalam asam lemak tak jenuh jamak (Polyunsaturated Fatty Acid, PUFA).
PUFA dibagi menjadi dua grup penting yakni asam lemak omega-3 dan asam lemak
omega-6. Contoh asam lemak Omega-3 ialah asam Eikosapentaenoat (EPA) dan Asam
Dokosaheksaenoat (DHA). EPA dan DHA dikenal sebagai asam lemak tak jenuh dengan
satu ikatan rangkap pada atom C ketiga. Karena ikatan rangkap pada atom C
ketiga, maka disebut omega-3. Jenis ikan laut yang kaya kandungan omega-3 salah
satunya adalah tuna. Omega 3 ini sangat dibutuhkan dalam membantu pertumbuhan
dan perkembangan sel-sel saraf otak agar optimal terutama pada anak-anak sampai
sekitar usia 5 tahun mengingat pertumbuhan otak anak yang cepat dan pesat pada
masa tersebut. Omega 3 bahkan tetap dibutuhkan sampai usia dewasa. Kurangnya
kadar Omega 3 akan membuat sel saraf di otak kekurangan energi untuk proses
perkembangan otak sehingga dapat mengganggu kerja dan fungsi otak seperti
hilangnya daya ingat dan penurunan fungsi otak lainnya secara drastis.
Omega-3
yang terdapat pada ikan tuna dapat membantu meningkatkan fungsi mengingat atau
fungsi kognitif otak, sehingga dapat terhindar dari penyakit degenerasi fungsi
otak seperti Alzheimer karena membantu memperlancar suplai darah dari tubuh ke
otak. Omega-3 pada ikan tuna mata besar juga dapat menurunkan resiko inflamasi,
memperantai sinyal agar dapat diterima oleh otak, pada orang yang menderita
Alzheimer akan mengalami gangguan dalam hal penyampaian signal atau impuls ke
otak.
Kekuatan Fisik
Berikut merupakan kandungan asam lemak beberapa
organisme akuatik yang dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4.
Kandungan EPA dan DHA beberapa hasil perikanan
Jenis biota air
|
EPA (mg/100 gram ikan)
|
DHA (mg/100 gram ikan)
|
Cumi-Cumi
|
56
|
152
|
Cakalang
|
78
|
310
|
Kakap
|
157
|
297
|
Ikan mas
|
159
|
288
|
Ikan sebelah
|
210
|
202
|
Rainbow trout
|
247
|
983
|
Kembung
|
403
|
784
|
Horse mackerel
|
408
|
748
|
Belut laut
|
472
|
661
|
Salmon
|
492
|
820
|
Sidat
|
742
|
1.332
|
Mackerel pike
|
844
|
1.398
|
Ekor kuning
|
898
|
1.784
|
Mackerel
|
1.214
|
1.781
|
Sardine/lemuru
|
1.381
|
1.138
|
Tuna sashimi
|
1.972
|
2.877
|
(Sumber: Anonim, 1994; Waerta Pasar Ikan, Edisi Juni, 2013 dalam Nontji,
2005)
Para ahli membuktikan bahwa asam lemak omega-3
berperan penting dalam proses umbuh kembang sel-sel saraf, termasuk sel otak,
sehingga adapat meningkatkan kecerdasan, terutama pada anak-anak yang sedang
mengalami proses tumbuh kembang (Nontji, 2005).
Kekurangan dalam memakan makanan yang mengandung omega-3
berakibat pada sejumlah gangguan mental, depresi, ingatan yang jelek,
kecerdasan yang rendah, kelemahan belajar, disleksia, tidak bisa menaruh
perhatian (attention deficit disorder), skizofrenia, pikun, penyakit
allzheimer, penyakit saraf degeneratif, sklerosis ganda, alkoholisme, pandangan
yang lemah, kurang konsentrasi, melakukan agresi, kekerasan dan bunuh diri
(Nontji, 2005).
DAFTAR PUSTAKA
Allen R. 2010. International Management of Tuna Fisheries - Arrangements,
Challenges and A Way Forward. Food and Agriculture Organization of
The United Nations. Rome.
Bahtiar A, Barata A, dan Novianto
D. 2013. Sebaran laju pancing rawai tuna di Samudera Hindia. J Literatur
Perikanan Indonesia 19 (4): 195- 202.
Bjordal A and Lokkeborg S. 1996. Longlining
Compared with other Fishing Methods. Cambridge.
Blanc M, Desurmont A and Beverly S. 2005. Onboard Handling of
Sashimi-Grade Tuna - A Practical Guide for Crew Members. Secretariat of the Pacific Community. Ultimo Group,
Auckland, New Zealand.
Block BA and Stevens ED. 2001.
Tuna; Physiology, Ecology, and Evolution. Academic Press. San Diego,
California, USA.
Faizah
R. 2010. Biologi reproduksi ikan tuna mata besar (Thunnus obesus) di
perairan Samudera Hindia. Skripsi. Institut Pertanian Bogor.
Gunn
J, Hampton J, Evans K, Clear N, Patterson T, Bigelow K, Langley A, Leroy B, Williams
P, Miyabe N, Sibert J, Bestley S, and Hartmann K. 2005. Migration and habitat preferences of bigeye
tuna, Thunnus obesus, on the east coast of Australia – a project
using archival and conventional tags to determine key uncertainties in the
species stock structure, movement dynamics
and CPUE trends. Fisheries
Research and Development Corporation, CSIRO Marine Research and Secretariat of the Pacific Community. Australia.
Irianto
HE dan Akbarsyah TMI. 2007. Pengalengan ikan tuna komersial. J Squalen 2 (2): 43-50.
Itano
DG. 2005. A Handbook
for the Identification of Yellowfin and Bigeye Tunas in Fresh Condition (v2).
University of Hawaii, JIMAR Honolulu, Hawaii USA.
Kordi
MGH. 2010. Budi Daya Biota Akuatik untuk Pangan, Kosmetik, dan Obat-Obatan.
Lily Publisher. Yogyakarta.
Lack
M. 2007. With an Eye to The Future: Addressing Failures in The Global
Management of Bigeye Tuna. TRAFFIC International and WWF. Australia.
Matsumoto
T and Miyabe N. 2002. Preliminary report on
the maturity and spawning of bigeye tuna Thunnus obesus in the central
atlantic ocean. ICCAT 54 (1): 246-260.
Nobrega
CC, Mendes PP, and Mendes ES. 2014. Factors that
determine the quality of bigeye tuna, caught in the western tropical Atlantic
Ocean. Arq. Bras. Med. Vet. Zootec 66 (3): 949-958.
Nontji A, 2005. Laut Nusantara.
Djambatan. Jakarta.
Peng
S, Chen C, Shi Z and Wang L. 2013. Amino acid and fatty acid composition of the muscle tissue
of Yellowfin Tuna (Thunnus Albacares) and Bigeye Tuna (Thunnus Obesus).
Journal of Food and Nutrition Research. 1 (4): 42-45.
Rahajeng
M. 2012. Warta Ekspor Ikan Tuna Indonesia. Artikel. Kementerian
Perdagangan Republik Indonesia.
Razak
A. 2013. Keragaman
jenis ikan laut sebagai sumber gizi untuk
kecerdasan otak. J BioETI 158-165.
Wodi
SIM, Wini T, dan Mala R. 2014. Perubahan mioglobin tuna mata besar selama
penyimpanan suhu chilling. J Pengolahan
Hasil Perikanan 17 (3): 215-224.
Comments
Post a Comment