Skip to main content

Elasmobranchii

 

Ikan Sebagai Vektor Penyakit

ikan sebagai vektor penyakit

BAB I
PENDAHULUAN

1.1          Latar Belakang
 Masalah penyakit dapat merupakan kendala utama karena dapat merugikan usaha budidaya seperti penurunan produksi, penurunan kualitas air dan bahkan kematian total (Diani, 1991 dalam Ashari et al., 2014). Penyakit dapat disebabkan oleh beberapa jenis patogen seperti, virus, parasit, jamus dan bakteri, beberapa jenis bakteri yang umum menyerang ikan air tawar seperti Aeromonas sp. dan Streptococcus sp. (Post, 1987; Austin dan Austin, 1993 dalam Ashari et al., 2014).
Perkembangan teknologi budidaya yang sangat pesat ke arah intensif dan superintensif. Aplikasi teknologi budidaya ikan secara intensif bisa berdampak terhadap lingkungan. Padahal selain faktor teknologi, maka keberhasilan suatu kegiatan budidaya ditentukan pula oleh faktor: ketersediaan benih, kualitas sumber daya manusia, kondisi lingkungan, sarana dan prasarana yang tersedia serta serangan penyakit. Serangan penyakit merupakan salah satu faktor yang bisa mengancam kelangsungan suatu usaha budidaya (Sarjito et al., 2013).
Beberapa kasus serangan wabah penyakit ikan yang terjadi pada masa lalu telah menimbulkan kerugian yang tidak kecil. Pada tahun 1932 masuknya parasit Ich melalui ikan Guppies yang selanjutnya menyebar dan menyerang berbagai jenis ikan air tawar lainnya. Disusul pada tahun 1970 terjadi serangan parasit Lernaea, serangan parasit Myxobolus pada tahun 1978 dan pada tahun 1979 terjadi serangan parasit Myxosoma, semuanya terjadi pada ikan air tawar. Selanjutnya, pada tahun 1980 terjadi serangan bakteri Aeromonas hydrophila pada budidaya ikan mas di Indonesia. Selanjutnya pada tahun 2001 terjadi wabah penyakit pada ikan mas dan koi, yang mengakibatkan kematian massal di sentra-sentra budidaya ikan mas dan koi. Penyebab kematian tersebut adalah agen patogenik dari golongan virus yang dikenal sebagai Koi Herpes Virus (KHV). Serangan KHV masih sering dilaporkan terjadi di sentra-sentra budidaya ikan mas dan koi sampai dengan saat ini, dan menimbulkan kerugian yang tidak kecil. Selain serangan agen-agen patogenik yang sangat merugikan seperti tersebut di atas, masih banyak lagi agen-agen penyebab penyakit baik dari golongan parasit, jamur, bakteri, maupun virus lainnya yang menimbulkan kerugian yang tidak kecil di sentra-sentra budidaya ikan air tawar maupun laut. (Sugianti, 2005).
Untuk mengatasi permasalahan akibat serangan agen patogenik pada ikan, para petani maupun pengusaha ikan banyak menggunakan berbagai bahan-bahan kimia maupun antibiotika dalam pengendalian penyakit tersebut. Namun dilain pihak pemakaian bahan kimia dan antibiotik secara terus menerus dengan dosis/konsentrasi yang kurang/tidak tepat, akan menimbulkan masalah baru berupa meningkatnya resistensi mikroorganisme terhadap bahan tersebut. Selain itu, masalah lainnya adalah bahaya yang ditimbulkan terhadap lingkungan sekitarnya, ikan yang bersangkutan dan manusia yang mengonsumsinya (Sugianti, 2005).
Hampir setengah populasi manusia di dunia terinfeksi dengan penyakit yang ditularkan oleh vektor dan menimbulkan angka kesakitan dan mortalitas yang tinggi. Penyebaran kejadian penyakit-penyakit tersebut sangat tidak proporsional, dengan dampak yang saling terkait di negara berkembang baik di daerah tropis maupun subtropis. Kepentingannya terhadap kesehatan masyarakat, bila prevalensi penyakit ini cukup tinggi maka hal ini akan mempengaruhi perkembangan perekonomian negara tersebut (Gubler, 2002 dalam Beriajaya, 2005).
Penyakit yang diderita oleh ikan terutama yang disebabkan oleh virus, apakah dapat menjadi vektor penyakit pada manusia. Apakah penyakit tersebut dapat ditularkan melalui kontak fisik langsung ataukah dengan cara mengkonsumsinya. Oleh karena itu, perlunya pembahasan mengenai definisi vektor dan potensi ikan sebagai vektor penyakit pada manusia.

1.2     Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka dapat ditentukan rumusan masalah dalam makalah ini seperti berikut.
1.    Apa saja penyebab penyakit pada ikan?
2.    Apa saja jenis biota perikanan yang berpotensi menyebabkan penyakit?
3.    Apa saja jenis penyakit ikan yang disebabkan oleh virus?
4.    Apa yang dimaksud vektor?
5.    Apa saja jenis vektor?
6.    Apakah ikan dapat menjadi vektor penyakit pada manusia?
7.    Apa bahaya mengkonsumsi ikan yang berpotensi menyebabkan penyakit?

1.3    Tujuan
Berdasarkan uraian rumusan masalah di atas maka dapat ditentukan tujuan dalam makalah ini seperti berikut.
1.    Mengetahui penyebab penyakit pada ikan.
2.    Mengetahui jenis biota perikanan yang berpotensi menyebabkan penyakit.
3.    Mengetahui jenis penyakit ikan yang disebabkan oleh virus.
4.    Mengetahui definisi vektor.
5.    Mengetahui jenis vektor.
6.    Mengetahui ikan yang dapat menjadi vektor penyakit pada manusia.
7.    Mengetahui bahaya mengkonsumsi ikan yang berpotensi menyebabkan penyakit.

  
BAB II
PEMBAHASAN

2.1     Penyebab Penyakit Pada Ikan
Penyakit merupakan salah satu faktor kendala dalam kegiatan budidaya yang disebabkan oleh ketidakseimbangan interaksi antara faktor lingkungan, inang, dan agen penyakit. Faktor lingkungan dapat berperan sebagai pemicu terjadinya stress bagi inang akibat perubahan fisik, kimia, dan biologis lingkungan tersebut sehingga daya tahan tubuh menurun dan menjadi rentan terhadap serangan penyakit (Irianto, 2007 dalam Khairyah et al., 2012)
Secara umum, jenis penyakit pada budidaya ikan laut dapat dibedakan menjadi 2 kelompok, yakni penyakit infeksius dan non-infeksius (Subasinghe, 2009 dalam Novriadi et al., 2014). Penyakit infeksius disebabkan oleh organisme patogen dan mampu menyebar melalui pergerakan inang yang telah terinfeksi. Secara rinci, kelompok penyakit ini dapat dibedakan menjadi 4 golongan, yaitu penyakit parasitik, bakterial, viral dan mikotik. Sementara penyakit non-infeksius umumnya disebabkan oleh kondisi lingkungan, defisiensi nutrient, genetik, pengelolaan aktivitas budidaya yang buruk dan kontaminasi dari senyawa yang bersifat toksik. Disamping hal tersebut, organisme yang ada di lingkungan budidaya dan digolongkan sebagai “hama” pada kegiatan budidaya ikan laut juga dapat digolongkan sebagai penyebab penyakit non-infeksius (Novriadi et al., 2014).
Organisme penyebab penyakit yang biasa menyerang ikan umumnya berasal dari golongan jamur, bakteri, virus dan parasit. Meskipun jarang terjadi pada kolam-kolam yang terawat dengan baik, parasit yang menyerang ikan dapat menimbulkan kerugian besar bagi petani ikan.

2.1.1 Bakteri
Penyakit yang disebabkan oleh bakteri memperlihatkan gejala-gejala seperti kehilangan nafsu makan, luka-luka pada permukaan tubuh, pendarahan pada insang, perut membesar berisi cairan, sisik lepas, sirip ekor lepas, jika dilakukan pembedahan akan terlihat pembengkakan dan kerusakan pada hati, ginjal dan limpa (Post, 1987; Austin dan Austin, 1993 dalam Ashari et al., 2014). Penyakit bakteri ini dapat menyebabkan kematian diatas 80% dalam waktu relatif singkat (Kamiso dan Trianto, 1993 dalam Ashari et al., 2014). Penyakit ikan muncul akibat ketidakserasian antara ikan sebagai inang patogen (mikro organisme penyebab penyakit) serta lingkungan (Post, 1987 dalam Ashari et al., 2014). Sistem pertahanan tubuh ikan dapat terganggu akibat adanya perubahan lingkungan serta berkembangnya patogen dalam suatu wadah budidaya (Ashari et al., 2014).

2.1.2  Parasit
Berdasarkan organ yang terinfeksi oleh parasit, Kabata (1985) dalam Munar et al. (2016) mengelompokkan parasit menjadi dua kelompok yang berbeda, yaitu endoparasit dan ektoparasit. Ektoparasit adalah parasit yang menyerang bagian luar tubuh ikan atau bagian yang masih mendapat udara dari luar, sedangkan endoparasit adalah parasit yang menyerang bagian dalam tubuh inang, misalnya dalam alat pencernaan, peredaran darah, atau organ dalam lainnya (Trimariani, 1994 dalam Munar et al., 2016).
Infeksi endoparasit berdampak pada kerugian secara ekonomi, yaitu ikan kehilangan berat badan, penolakan oleh konsumen karena perubahan patologi pada inang, penurunan fekunditas ikan dan penurunan jumlah dalam penetasan ikan dan larva (Anshary, 2008 dalam Munar et al., 2016). Salah satu kerugian yang ditimbulkan oleh serangan parasit adalah penurunan berat badan ikan yang berhubungan erat dengan adanya endoparasit pada saluran pencernaan ikan sehingga ikan mengalami penurunan nafsu makan (Munar et al., 2016).

2.1.3  Jamur
Jamur merupakan organisme eukariot, heterotrof, tidak dapat melakukan fotosintesis yang berkembang biak dengan spora. Beberapa jamur merupakan organisme uniseluler, tetapi kebanyakan jamur membentuk filamen yang merupakan sel vegetatif (Subandi, 2010 dalam Khairyah et al., 2012). Gejala yang dapat dilihat secara klinis adalah adanya benang halus menyerupai kapas yang menempel pada telur atau luka pada bagian eksternal ikan. Selain itu, perubahan warna sirip dan tubuh ikan menjadi merah. Jamur tersebut dengan cepat menular kepada ikan lain yang berada dalam satu kolam. Sehingga penyebarannya semakin cepat dan berpotensi kerugian yang cukup besar bagi pembudidaya (Jefri, 2011 dalam Khairyah et al., 2012).

2.1.4  Virus
Penyakit yang disebabkan oleh virus umumnya sulit untuk disembuhkan karena virus merupakan parasit intraseluler, yaitu virus hanya dapat hidup, bertahan hidup, memperbanyak diri, dan berdiam diri jika berada di dalam sel inang. Metode pemberian vaksin DNA merupakan salah satu alternatif pengobatan yang diharapkan dapat menangani permasalahan penyakit pada ikan yang disebabkan oleh virus. Kelebihan dari vaksin DNA adalah bersifat generik, sederhana, aman, dan tidak menimbulkan risiko terinfeksi penyakit, serta dapat mencapai tujuan vaksinasi ketika vaksinasi konvensional gagal. Vaksin DNA dapat mengaktifkan sistem kekebalan humoral dan seluler, memberikan proteksi yang baik apabila diberikan pada stadia awal, proteksinya tidak berpengaruh terhadap suhu, menyediakan vaksin baru dalam waktu cepat dengan biaya yang murah (Lorenzen & LaPatra, 2005). Plasmid vaksin DNA merupakan molekul berbentuk sirkular yang terdiri atas double-stranded deoxyribonucleic acids (tidak berbeda dengan DNA di kromosom), mampu mereplikasi diri sendiri di dalam sel prokariot (Gillund et al., 2008 dalam Nuryati et al., 2013).

2.2    Jenis Biota Perikanan yang Berpotensi Menyebabkan Penyakit
2.2.1 Kerang Darah (Anadara granosa)
Kerang merupakan biota yang potensial terkontaminasi logam berat karena sifatnya yang filter feeder, yaitu biota yang cara makannya dengan menyaring air. Biota ini sering digunakan sebagai hewan uji dalam pemantauan tingkat akumulasi logam berat pada organisma laut. Logam berat dalam jumlah tertentu dapat bersifat toksik terhadap organisme hidup. Logam-logam berat tersebut dapat terakumulasi dalam tubuh organisme melalui rantai makanan, yang akhirnya akan membahayakan kesehatan manusia, keadaan ini biasa disebut dengan biomagnifikasi (Fajrin, 2001 dalam Yennie dan Murtini, 2005). Logam-logam berat terlarut dalam perairan pada konsentrasi tertentu akan berubah fungsi menjadi racun bagi kehidupan perairan. Logam-logam berat yang masuk ke dalam tubuh hewan seperti kerang umumnya tidak dikeluarkan lagi dari tubuh kerang makanan. Sistem rantai makanan menunjukkan bahwa manusia merupakan penumpuk logam berat paling tinggi dalam tubuhnya karena berperan sebagai pemangsa tingkat tinggi (Hutabarat et al, 1985 Yennie dan Murtini, 2005).
Kerang darah (Anadara granosa) dapat mengakumulasi logam berat di tubuhnya jauh melebihi yang terkandung di perairan sekitarnya. Magnifikasi biologis merupakan proses yang cenderung membantu meningkatkan pengaruh unsur kimia terhadap sistem kehidupan. Kesinambungan dari proses yang berlanjut pada rantai makanan, dapat menyebabkan tingkat konsentrasi yang cukup berarti pada omnivora puncak yaitu manusia (Nybakken, 1992 dalam Barik et al., 2014).
kerang darah
Gambar 1. Kerang darah (Anadara granosa)
(Sumber: Penelitian, 2012 dalam Barik et al., 2014)

2.3    Jenis Penyakit Ikan yang Disebabkan oleh Virus
2.3.1 Koi Herpes Virus (KHV)
Koi herpes virus (KHV) dikenal juga sebagai cyprinid herpesvirus-3 (CyHV-3) atau carp nephritis and gill necrosis virus (CNGV) diklasifi kasikan sebagai virus DNA famili herpesviridae (Hedrick et al., 2000; Hartman et al., 2008 dalam Murwantoko et al., 2010). Virion KHV mengandung kapsid berbentuk simetris icosahedral dengan diameter 100-110 nm dan virion yang sudah matang memiliki amplop yang diperoleh sewaktu budding melalui membran inti sel, sehingga diameter totalnya mencapai 170-230 nm (Pokorova et al., 2005 dalam Murwantoko et al., 2010).
Penularan patogen (KHV) melalui ikan-ikan mas atau ikan koi hidup merupakan masalah utama bagi petani-petambak ikan dan juga pemerintah yang terkait dengan program kontrol kesehatan ikan terhadap produk atau hasil-hasil perikanan budidaya air tawar yang di-lalulintaskan (Hedrick, 1996 dalam Wasito et al., 2013). Lebih-lebih dilaporkan, bahwa ikan-ikan mas dapat terinfeksi secara persisten oleh KHV (ikan mas karier KHV) sehingga dapat berperan sebagai sumber penularan infeksi secara terus menerus di perairan budidaya perikanan pada ikan-ikan lain yang peka (OATA, 2001; FHS/A, 2004 dalam Wasito et al., 2013).
 
insang ikan mas
Gambar 2. Insang ikan mas (C. Carpio) penderita koi herpes virus (KHV) terlihat normal
(Sumber: Wasito et al., 2013)

2.3.2 Virus Irido
Iridovirus merupakan DNA virus yang diklasifikasikan ke dalam famili iridoviridae, dan dengan mikroskop elektron virus ini terlihat berbentuk hexagonal atau icosahedral dengan diameter yang bervariasi, yaitu berkisar 120-240 nm, serta berkembang pada sitoplasma sel-sel yang terinfeksi (Inouye et al., 1992; Danayadol et al., 1997; Chou et al., 1998 dalam Johnny dan Roza, 2009). Kasus infeksi Iridovirus pertama dilaporkan terjadi di Sumatera Utara oleh Rukyani et al. (1993) dalam Johnny dan Roza (2009) dan menyerang ikan kerapu lumpur (Owens, 1993 dalam Johnny dan Roza, 2009). Pada tahun 2001, BBRPL Gondol melaporkan bahwa benih kerapu lumpur asal Lamongan Jatim juga telah terinfeksi (Mahardika et al., 2002 dalam Johnny dan Roza, 2009). Ikan yang terinfeksi menunjukkan gejala klinis berenang lemah atau diam di dasar air, kadang-kadang seperti tidur, sehingga penyakit ini disebut juga penyakit tidur. Secara histopatologi ditemukan sel-sel yang membesar (giant cell) yang merupakan ciri khas infeksi iridovirus pada jaringan haematopoitik dan saluran pencernaan (Danayadol et al., 1997; Mahardika et al., 2001 dalam Johnny dan Roza, 2009). Infeksi iridovirus pada ikan kerapu dapat dideteksi secara cepat dengan metoda PCR (Polymerase chain reaction) (Kurita et al., 1998; Koesharyani et al., 2001 dalam Johnny dan Roza, 2009). Virus ini juga terbukti sangat mudah menular dengan menggunakan air sebagai media penularannya. Oleh karena itu, ikan yang terserang harus segera dipindahkan dan dipisahkan dari ikan yang sehat (Johnny dan Roza, 2009).

2.4     Definisi Vektor
Vektor adalah anthropoda yang dapat menimbulkan dan menularkan suatu Infectious agent dari sumber infeksi kepada induk semang yang rentan. Bagi dunia kesehatan masyarakat, binatang yang termasuk kelompok vektor yang dapat merugikan kehidupan manusia karena disamping mengganggu secara langsung juga sebagai perantara penularan penyakit, seperti yang sudah diartikan diatas (Nurmaini, 2001). Seperti yang dikutip dari Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 374/Menkes/Per/III/2010 Tentang Pengendalian Vektor, vektor adalah artropoda yang dapat menularkan, memindahkah dan/atau menjadi sumber penular penyakit terhadap manusia.
Vektor adalah hewan avertebrata yang bertindak sebagai penular penyebab penyakit (agen) dari host pejamu yang sakit ke pejamu lain yang rentan. Vektor digolongkan menjadi 2 (dua), yaitu vektor mekanik dan vektor biologik. Vektor mekanik, yaitu hewan avertebrata yang menularkan penyakit tanpa agen tersebut mengalami perubahan, sedangkan dalam vektor biologik agen mengalami perkembangbiakan atau pertumbuhan dari satu tahap ke tahap yang lebih lanjut (Wijayanti, 2008).
Timmreck (2004) dalam Wijayanti (2008), menyebutkan bahwa vektor adalah setiap makhluk hidup selain manusia yang membawa penyakit (carrier) yang menyebarkan dan menjalani proses penularan penyakit, misalnya lalat, kutu, nyamuk, hewan kecil seperti mencit, tikus, atau hewan pengerat lain. Vektor menyebarkan agen dari manusia atau hewan yang terinfeksi ke manusia atau hewan lain yang rentan melalui kotoran, gigitan, dan cairan tubuhnya, atau secara tidak langsung melalui kontaminasi pada makanan.
Walaupun ada berbagai definisi vektor dan reservoir menurut para ahli, tetapi ada definisi yang dapat digunakan sebagai rujukan yakni InternationalHealth Regulation (IHR) 2005 sebagai peraturan kesehatan intemasional yang telah diberlakukan sejak Juni 2007 (sebagai pengganti dari IHR 1969). Dalam bagian I tentang defmisi, maksud dan ruang lingkup prinsip-prinsip dan otorita yang berkompeten, pasal 1 tentang definisi menyebutkan definisi vektor dan reservoir sebagai berikut: "Vektor adalah serangga atau hewan lain yang biasanya membawa kuman penyakit yang merupakan suatu resiko bagi kesehatan masyarakat. Reservoir adalah hewan, tumbuhan atau benda dimana bibit penyakit biasanya hidup".

2.5     Jenis Vektor
Menurut Nurmaini (2001), vektor adalah Anthropoda yang dapat memindahkan/menularkan suatu infectious agent dari sumber infeksi kepada induk semang yang rentan. Sebagian dari Anthropoda dapat bertindak sebagai vektor, yang mempunyai ciri-ciri kakinya beruas-ruas, dan merupakan salah satu phylum yang terbesar jumlahnya karena hampir meliputi ± 75% dari seluruh jumlah binatang. Anthropoda dibagi menjadi 4 kelas:
A.  Kelas Crustacea (berkaki 10): misalnya udang.
B.  Kelas Myriapoda: misalnya binatang berkaki seribu.
C.  Kelas Arachinodea (berkaki 8): misalnya tungau.
D.  Kelas Hexapoda (berkaki 6): misalnya nyamuk.
Dari kelas hexapoda dibagi menjadi 12 ordo, antara lain ordo yang perlu diperhatikan dalam pengendalian adalah:
a.    Ordo Dipthera, yaitu nyamuk, lalat.
·      Nyamuk anopheles sebagai vektor malaria.
·      Nyamuk aedes sebagai vektor penyakit demam berdarah.
·      Lalat tse-tse sebagai vektor penyakit tidur.
·      Lalat kuda sebagai vektor penyakit Anthrax.
b. Ordo Siphonaptera, yaitu pinjal
·      Pinjal tikus sebagai vektor penyakit pes.
c. Ordo Anophera, yaitu kutu kepala
·      Kutu kepala sebagai vektor penyakit demam bolak-balik dan typhus exantyematicus.
Selain vektor diatas, terdapat ordo dari kelas hexapoda yang bertindak sebagai binatang pengganggu antara lain:
a.    Ordo hemiptera, contoh kutu busuk.
b.    Ordo isoptera, contoh rayap.
c.    Ordo orthoptera, contoh belalang.
d.    Ordo coleoptera, contoh kecoak.
Sedangkan dari phylum chordata, yaitu tikus yang dapat sebagai sebagai binatang pengganggu, dapat dibagi menjadi 2 golongan:
a.    Tikus besar (Rat), misalnya:
·      Rattus norvigicus (tikus riol).
·      Rattus-rattus diardiil (tikus atap).
·      Rattus-rattus frugivorus (tikus buah-buahan).
b.    Tikus kecil (mice), misalnya Mussculus (tikus rumah).

Menurut Beriajaya (2005), vektor dibagi menjadi 4 golongan, yaitu vektor potensial, biologis, mekanis dan insidentil. Vektor potensial adalah vektor yang secara aktif berperan dalam penyebaran penyakit. Vektor ini baik secara biologis maupun mekanis selalu mencari hospesnya untuk kelangsungan hidupnya. Selain itu ada vektor pasif, artinya secara ilmiah dapat dibuktikan bahwa dalam tubuh vektor ada agen patogen dan dapat menularkan agen tersebut kepada hospes lain, tetapi vektor ini tidak aktif mencari mangsanya. Dengan adanya perubahan lingkungan, kemungkinan vektor tersebut dapat berubah menjadi aktif.
Vektor biologis, dimana agen penyakit harus mengalami perkembangan ke stadium lebih lanjut. Bila tidak ada vektor maka agen penyakit kemungkinan akan mati. Contoh yang paling mudah adalah schistosomiasis, penyakit akibat cacing Schistosoma japonicum. Larva (miracidium) masuk ke dalam tubuh siput, berkembang menjadi sporocyst dan selanjutnya menjadi redia, kemudian menjadi cercaria yangakan keluar dari tubuh siput, aktif mencari definif host, melalui kulit dimana akan terjadi dermatitis (Soulsby, 1982 dalam Beriajaya, 2005).
Vektor mekanis, dimana agen penyakit tidak mengalami perkembangan, tetapi hanya sebagai pembawa agen penyakit. Tidak seperti penyakit malaria atau arbovirus dimana terjadinya infeksi cukup satu kali gigitan vektor yang sudah terinfeksi, pada infeksi filaria, vektor harus sering menggigit hospesnya agar terjadi infeksi. Diperkirakan lebih dari 100 gigitan agar cacing dapat bereproduksi dan menghasilkan mikrofilaria.
Vektor insidentil, vektor ini secara kebetulan hinggap pada manusia, kemudian mengeluarkan faeces yang sudah terkontaminasi agen penyakit dekat mulut. Secara tidak sengaja masuk ke dalam mulut, contohnya pada penyakit Chagas yang disebabkan oleh Trypanosoma cruzi dan vektor yang berperan adalah Triatoma bugs. Vektornya sebenarnya masuk dalam siklus silvatik, hanya diantara hewan rodensia. Manusia terkontaminasi bila vektornya masuk dalam lingkungan manusia.

2.6     Ikan yang Dapat Menjadi Vektor Penyakit Pada Manusia
Secara definisi vektor adalah parasit arthropoda dan siput air yang berfungsi sebagai penular penyakit baik pada manusia maupun hewan. Ada beberapa jenis vektor dilihat dari cara kerjanya sebagai penular penyakit. Keberadaan vektor ini sangat penting karena kalau tidak ada vektor maka penyakit tersebut juga tidak akan menyebar (Beriajaya, 2005).
Dari penjelasan diatas dapat dikatakan bahwa ikan bukanlah vektor penyakit. Karena hewan yang tergolong penyebar penyakit adalah dari Filum Arthropoda. Ikan dapat menjadi predator vektor penyakit, misalnya larva Anopheles spp. sebagai penyebab penyakit malaria. Seperti menurut pendapat Munif (2009), dalam menjaga keseimbangan ekosistem nyamuk di alam populasi diatur oleh hewan predator funtuk populasi jentik dimakan oleh ikan, anak katak, coleoptera, dytiscidae sedangkan nyamuk dewasa akan dimangsa laba-laba, mites, cecak, burung, kelelawar dan geris.
Ikan berperan sebagai predator jentik nyamuk yang dapat mengurangi populasi nyamuk penyebab malaria. Predator larva nyamuk yang paling penting adalah ikan Gambusia (ikan cere) yang merupakan satu dari kebanyakan spesies yang efisien dalam pengendalian larva nyamuk. Ikan ini merupakan pemakan aktif dalam memburu mangsa mereka (WHO, 1975 dalam Mahdalena et al., 2015).
Namun tidak tertutup kemungkinan mengkonsumsi ikan dapat menyebabkan penyakit, misalkan makan ikan yang sakit, ikan yang terakumulasi logam berat dan ikan yang hidup pada lingkungan yang buruk sehingga berpengaruh pada tingkat kehigienitasan.

2.7     Bahaya Mengkonsumsi Ikan yang Berpotensi Menyebabkan Penyakit
Berdasarkan laporan Dinas Kelautan dan Perikanan (2007) bahwa sedimen yang masuk ke laut diduga mengandung bahan pencemar logam berat dan sianida yang telah melebihi ambang batas yang diperbolehkan, sehingga daerah tersebut tidak bisa dikembangkan sebagai areal peruntukkan budidaya perikanan. Logam berat yang terkonsumsi oleh biota termasuk ikan konsumsi akan mengalami bioakumulasi di dalam tubuhnya. Jika biota atau ikan tersebut dikonsumsi oleh manusia, maka akumulasi logam tersebut cukup tinggi, yang dapat menyebabkan berbagai jenis penyakit dan kematian (Hutagalung, 1984 dalam Simange et al., 2010).
Keberadaan logam berat yang masih dalam kategori rendah dalam suatu perairan tidak selalu mengindikasikan bahwa kandungan logam berat dalam tubuh ikan juga masih rendah. Menurut Suproyono (2007) dalam Simange et al. (2010), kadar logam berat dalam tubuh ikan dan tumbuhan yang terdapat di perairan dapat mencapai 100.000 kali lebih tinggi dibandingkan dengan kadar logam berat di dalam perairan itu sendiri. Dari hasil penelitiaan Diniah (1995) dalam Simange et al., 2010 juga membuktikan hal ini, kadar Hg perairan Teluk Jakarta sebesar 0,00216 ppm, namun dalam daging ikan kadar Hg mencapai 0,80448 ppm. Hal ini disebabkan bahan kimia di perairan akan diabsorbsi organisme melalui proses biokosentrasi, bioakumulasi dan biomanifikasi, sehingga kosentrasi bahan kimia akan meningkat dalam tubuh organisme dibandingkan dengan perairan itu sendiri (Connell dan Miller, 1984; Rand dan Petrocelli, 1985 dalam Simange et al., 2010).
Dampak negatif pencemaran logam berat pada wilayah perairan tidak hanya mengganggu atau membahayakan kehidupan biota dan lingkungan perairan, tetapi juga dapat membahayakan kesehatan manusia. Akibat pencemaran secara tidak langsung dirasakan manusia karena bahan pencemar tersebut bersifat akumulatif yang berdampak kronis dalam tubuh (Yennie dan Murtini, 2005).
Beberapa hasil penelitian mengungkapkan bahwa terdapat beberapa macam penyakit pada manusia akibat memakan makanan yang mengandung logam berat seperti kanker, gangguan saluran cerna, ginjal, dan lain-lain. Pencemaran merkuri di Minamata Jepang (1953-1960) dan Niaga Jepang (1968) berasal dari limbah industri plastik yang memakai katalisator merkuri clorida menyebabkan tingginya kadar merkuri pada ikan yang berasal dari hasil laut sekitarnya dan menyebabkan masyarakat yang mengkomsumsikannya keracunan merkuri. Akibatnya timbul berbagai penyakit seperti depresi, gangguan jiwa dan cacat. Tercatat pada periode 1953-1960 di Minamata 111 orang meninggal dan di Nigata (1968) 5 orang meninggal 25 cacat (Palar, 1994 dalam Siagian, 2012),

  
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut.
·      Organisme penyebab penyakit yang biasa menyerang ikan umumnya berasal dari golongan jamur, bakteri, virus dan parasit.
·      Salah satu jenis biota perikanan yang berpotensi menyebabkan penyakit adalah kerang darah (Anadara granosa).
·      Contoh penyakit ikan yang disebabkan oleh virus diantaranya Koi Herpes Virus (KHV) dan Virus Irido
·      Vektor adalah hewan avertebrata yang bertindak sebagai penular penyebab penyakit (agen) dari host pejamu yang sakit ke pejamu lain yang rentan.
·      Vektor dibagi menjadi 4 golongan, yaitu vektor potensial, biologis, mekanis dan insidentil.
·      Ikan bukanlah vektor penyakit.
·      Beberapa macam penyakit pada manusia akibat memakan makanan yang mengandung logam berat seperti kanker, gangguan saluran cerna, ginjal dan lain-lain.

Dari point diatas dapat disimpulkan bahwa ikan bukanlah vektor penyakit. Karena hewan yang tergolong vektor penyakit adalah dari Filum Arthropoda. Ikan dapat menjadi predator vektor penyakit, misalnya larva Anopheles spp. sebagai penyebab penyakit malaria. Namun tidak tertutup kemungkinan mengkonsumsi ikan dapat menyebabkan penyakit, misalkan makan ikan yang sakit, ikan yang terakumulasi logam berat dan ikan yang hidup pada lingkungan yang buruk sehingga berpengaruh pada tingkat kehigieniatasan.

   
DAFTAR PUSTAKA
  
Ashari, C., R. A. Tumbol dan M. E. F. Kolopita. 2014. Diagnosa penyakit bakterial pada Ikan Nila (Oreocrhomis niloticus) yang di budi daya pada jaring tancap di Danau Tondano. Budidaya Perairan. 2 (3): 24-30.
Barik, F., N. Afiati dan N. Widyorini. 2014. Kajian kandungan natrium (Na) dan logam berat timbal (Pb) pada jaringan lunak kerang darah (Anadara granosa (L.)) dari Perairan Tanjung Emas Semarang dan Perairan Wedung Demak. Journal Management of Aquatic Resources. 3 (1): 151-159.
Beriajaya. 2005. Peranan vektor sebagai penular penyakit zoonosis. Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis. 275-288.
Johnny, F. dan D. Roza. 2009. Kasus infeksi virus irido pada benih ikan kerapu pasir, Epinephelus corallicola di hatchery. Jurnal Perikanan (J. Fish. Sci.). 11 (1): 8-12.
Khairyah, U., R. Kusdarwati dan Kismiyati. 2012. Identifikasi dan prevalensi jamur pada ikan gurami (Osphronemus gouramy) di Desa Ngrajek, Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Mahdalena, V., N. H. Suryaningtyas dan T. Ni'mah. 2015. Ekologi habitat perkembangbiakan Anopheles spp. di Desa Simpang Empat, Kecamatan Lengkiti, Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan. Jurnal Ekologi Kesehatan. 14 (4): 342-349.
Munar, S., D. Aliza dan I. I. Arisa. 2016. Identifikasi dan prevalensi endoparasit pada usus ikan bawal air tawar (Colossoma macropomum) kolam budidaya di Desa Nya, Kecamatan Simpang Tiga, Kabupaten Aceh Besar. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kelautan dan Perikanan Unsyiah. 1 (2): 236-242.
Munif, A. 2001. Nyamuk vektor malaria dan hubungannya dengan aktivitas kehidupan manusia di Indonesia. Aspirator. 1 (2): 94-102.
Murwantoko, Triyanto dan D. A. Pamungkas. 2010. Pengembangan metode loop-mediated isothermal amplification of DNA dan aplikasinya untuk deteksi koi herpes virus pada beberapa jenis ikan. Jurnal Perikanan (J. Fish. Sci.). 12 (2): 51-56.
Novriadi, R., S. Agustatik, Hendrianto. R. Pramuanggit dan A. Hariwibowo. 2014. Penyakit Infeksi Pada Budidaya Ikan Laut di Indonesia. Kementerian Kelautan dan Perikanan Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya Direktorat Kesehatan Ikan dan Lingkungan.
Nurmaini. 2001. Identifikasi, vektor dan binatang pengganggu serta pengendalian Anopheles aconitus secara sederhana. USU Digital Library.
Nuryati, S., S. S. Hadiwibowo dan Alimuddin. 2013. Artemia sp. sebagai vektor pembawa vaksin DNA untuk benih ikan mas Cyprinus carpio. Jurnal Akuakultur Indonesia. 12 (1): 54–61.
Sarjito, S, B. Prayitno dan A. H. C. Haditomo. 2013. Buku Pengantar Parasit dan Penyakit Ikan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro.
Siagian, L. 2012. Pengaruh pencemaran logam berat Pb terhadap biota laut dan konsumennya di Kelurahan Bagan Deli Belawan. Laporan Akhir Penelitian. Program Studi Teknik Elektro, Fakultas Teknik, Universitas Hkbp Nommensen, Medan.
Simange, S. M., D. Simbolon dan D. Jusadi. 2010. Analisis kandungan merkuri (HG) dan sianida (CN) pada beberapa jenis ikan hasil tangkapan nelayan di Teluk Kao, Halmahera Utara. 335-353.
Sugianti, B. 2005. Pemanfaatan tumbuhan obat tradisional dalam pengendalian penyakit ikan. Makalah Pribadi Falsafah Sains. Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.
Wasito, R., H. Wuryastuti dan B. Sutrisno. 2013. Gambaran histopatologi insang ikan mas di daerah endemik koi herpesvirus. Jurnal Veteriner. 14 (3): 344-349.
Wijayanti, T. 2008. Vektor dan resevoir. Balaba. 7 (2): 18-19.
Yennie, Y. dan J. T. Murtini. 2005. Kandungan logam berat air laut, sedimen dan daging Kerang Darah (Anadara granosa) di Perairan Mentok dan Tanjung Jabung Timur. Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia. 12 (1): 27-32.

Comments

Popular posts from this blog

Ikan Sebelah (Psettodes erumei)

1.   PENDAHULUAN 1.1   Latar Belakang Kekayaan alam laut Indonesia yang luas berpotensi menghasilkan hasil laut yang beraneka ragam dengan jumlah yang cukup besar yaitu sebanyak 6,26 juta ton per tahun. Hasil produksi perikanan laut ( marine fisheries ) di Indonesia mengalami peningkatan dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2012 mencapai 3,24 %, dimana pada tahun 2012 hasil produksi ikan laut sebanyak 5.829.194 ton. Hasil laut terutama ikan diolah untuk menjadi bahan pangan masyarakat (Purba et al., 2015). Tingkat konsumsi ikan Indonesia setiap tahun mengalami peningkatan, dimana pada tahun 2013 mencapai 35,62 kilogram per kapita dari tahun 2012, yaitu sebanyak 33,14 kilogram per kapita (Purba et al., 2015). Indonesia memiliki wilayah perairan tropis yang terkenal kaya dalam perbendaharaan jenis-jenis ikannya. Berdasarkan penelitian dan beberapa literatur diketahui tidak kurang dari 3.000 jenis ikan yang hidup di Indonesia.Dari 3.000 jenis tersebut sebanyak 2.700 jenis (90%) hidup di p

Teknik Pendinginan Produk Perikanan

BAB I PENDAHULUAN 1.1         Latar Belakang Setelah meratifikasi Montreal Protocol pada tahun 1992 dan Kyoto Protocol pada tahun 1996, Indonesia juga tidak luput dari permasalahan global yang dihadapi oleh industri pendinginan dunia sebagai dampak dari kedua perjanjian internasional di atas. Dengan demikian, penelitian di bidang refrigeran dan pendinginan sangat penting dan bermanfaat dilakukan di Indonesia. Jenis refrigeran yang cocok diteliti kemungkinan pemakaiannya di lndonesia adalah refrigeran hidrokarbon, karena selain bersifat alami (natural) hidrokarbon juga tersedia sebagai sumber daya alam yang relatif besar. Penggunaan refrigeran hidrokarbon juga dapat menghemat energi bila dibanding refrigeran R12 (Maclaine dan Leonardi, 1997 dalam Sihaloho dan Tambunan, 2005 ). Aisbett dan Pham (1998) dalam Sihaloho dan Tambunan (2005) menyatakan bahwa penggunaan hidrokarbon sebagai refrigeran pengganti CFC dan HFC dapatmemberikan penghematan biaya yang signifikan untuk

TVBN, TMA, TMAO dan Histamin

BAB I PENDAHULUAN 1.1         Latar Belakang Sebagai negara maritim, Indonesia memiliki garis pantai sepanjang kurang lebih 81.000 km. Luas wilayah laut, termasuk di dalamnya Zona ekonomi Eksklusif mencakup 5,8 juta kilometer persegi (Dahuri, 2001 dalam Haryono, 2005). Di dalam wilayah laut dan pesisir tersebut terkandung kekayaan sumber daya laut yang amat besar, mulai dari ikan, kepiting, udang, kerang dan berbagai sumber daya laut lainnya yang siap untuk dieksploitasi nelayan. Secara teoritis, dengan kekayaan laut yang demikian besar, nelayan mampu hidup berkecukupan (Haryono, 2005). Ikan dikenal sebagai suatu komoditi yang mempunyai nilai gizi tinggi namun mudah busuk karena mengandung kadar protein yang tinggi dengan kandungan asam amino bebas yang digunakan untuk metabolisme mikroorganisme, produksi amonia, biogenik amin, asam organik, keton dan komponen sulfur (Liu et al. 2010 dalam Radjawane et al. , 2016). Ikan termasuk dalam kategori makanan yang cepat busuk