Skip to main content

Elasmobranchii

 

Glukosamin


glukosamin

BAB I
PENDAHULUAN

1.1       Latar Belakang
Sektor perikanan dan kelautan mempunyai nilai yang cukup strategis bagi peningkatan devisa negara dengan melalui pengembangan tambak udang pada area yang telah dianggap layak baik secara sumber daya lahan dan perairan maupun teknologi budidaya udang. Udang merupakan salah satu produk unggulan komoditas perikanan yang banyak dikembangkan dewasa ini, selain memiliki kandungan gizi yang tinggi, udang sangat digemari oleh konsumen dalam negeri maupun luar negeri sehingga tidak mengherankan jika permintaan udang setiap tahun selalu mengalami peningkatan. Hampir sekitar 80% ekspor udang dialokasikan untuk memenuhi permintaan pasar dari negara-negara Jepang (52%), Amerika Serikat (18%) dan Uni Eropa (15%). Udang khususnya udang vannamei dan udang windu (lobster) merupakan salah satu komoditas perikanan yang mampu memberikan kontribusi signifikan terhadap perekonomian nasional. Bagi Indonesia, udang merupakan komoditi ekspor andalan dengan sumber perolehan devisa mengingat lebih dari 62% dari total nilai ekspor hasil produk perikanan Indonesia (Pratiwi, 2013).
Pada industri pengolahan udang beku untuk ekspor, dihasilkan limbah yang berupa kepala udang, dimana jumlahnya 25-30% dari total berat udang yang diolah. Jumlah limbah tersebut terus meningkat seiring dengan peningkatan produksi budidaya udang, dari 16.000 ton pada tahun 1985 menjadi 46.000 ton pada tahun 1990 (BPS, 1985-1990 dalam Pasaribu dan Kompiang, 2000). Limbah tersebut sebagian besar terkumpul di cold storage dimana udang tersebut diolah. Sampai saat ini, limbah tersebut dimanfaatkan untuk bahan pangan dalam produksi terasi, kerupuk udang maupun pakan dimana diolah menjadi tepung kepala udang. Disamping untuk pangan dan pakan, limbah kepala udang juga dapat diolah menjadi chitosan, suatu bahan yang banyak diperlukan oleh berbagai industri, seperti industri komestika, makanan, pertanian dan sebagainya (Pasaribu dan Kompiang, 2000).
Wilayah perairan Indonesia yang sangat luas merupakan sumber daya alam yang tidak ada habisnya, hampir semua potensi kelautan yang ada belum dimanfaatkan secara maksimal. Pemanfaatan komoditas perikanan khususnya krustasea menghasilkan limbah dalam jumlah besar. Cangkang invertebrata laut, terutama krustasea mengandung kitin berkisar antara 20-60% (Rochima et al., 2007 dalam Cahyono, 2015). Kulit udang mengandung beberapa komponen antara lain protein, pigmen, lemak, dan mineral berupa kalsium karbonat. Limbah padat krustasea (kepala, kaki, kulit, dan ekor) merupakan salah satu masalah yang harus dihadapi oleh pabrik pengolahan seafood (Abllo et al., 2002 dalam Cahyono, 2015). Salah satu alternatif upaya pemanfaatan limbah krustasea agar menjadi produk yang bernilai ekonomis tinggi dengan pengolahan menjadi kitin dan kitosan (Dutta et al., 2004; Toan, 2009 dalam Cahyono, 2015).

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka dapat ditentukan rumusan masalah dalam makalah ini seperti berikut.
1.   Apa yang dimaksud chitin dan chitosan?
2.   Apa kandungan chitin dan chitosan?
3.   Apa yang dimaksud glukosamin?
4.   Bagaimana cara memperoleh glukosamin?
5.   Bagaimana cara pembuatan glukosamin?
6.   Bagaimana cara pengimplementasian glukosamin?
7.   Apa dampak jika kekurangan glukosamin?
8.   Apa manfaat glukosamin?

1.3 Tujuan
Berdasarkan uraian rumusan masalah di atas maka dapat ditentukan tujuan dalam makalah ini seperti berikut.
1.   Mengetahui definisi chitin dan chitosan.
2.   Mengetahui kandungan chitin dan chitosan.
3.   Mengetahui definisi glukosamin.
4.   Memahami cara memperoleh glukosamin.
5.   Memahami cara pembuatan glukosamin.
6.   Memahami cara pengimplementasian glukosamin.
7.   Mengetahui dampak kekurangan glukosamin.
8.   Mengetahui manfaat glukosamin.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1    Definisi Chitin dan Chitosan
2.1.1 Chitin
 Kitin merupakan biopolimer yang banyak terdapat di alam yang tersusun atas β-1,4-N-asetil-D-glukosamin (GlcNac). Kitin menempati urutan terbesar kedua setelah selulosa dan banyak ditemukan pada berbagai organisme seperti bakteri, seranggga, cendawan, tanaman dan hewan. Kitin terdapat sebagai komponen penyusun tubuh udang, kepiting, serangga, kerang, cumi-cumi, hewan artropoda lainnya, dan merupakan komponen dinding sel dari banyak fungi dan alga. Ukuran molekul kitin relatif besar dan kelarutan kitin rendah serta sulit diserap tubuh manusia, sehingga aplikasi kitin terbatas dan menyebabkan kitin menjadi sumber utama pencemaran senyawa organik (Haliza dan Suhartono, 2012 dalam Pratiwi et al., 2015).
Kitin adalah polisakarida struktural yang umum digunakan untuk menyusun eksokleton dari artropoda (serangga, laba-laba, krustase dan hewan-hewan lain sejenis). Kitin juga tergolong homopolisakarida linear yang tersusun atas residu N-asetilglukosamin pada rantai beta dan memiliki monomer berupa molekul glukosa dengan cabang yang mengandung nitrogen. Kitin murni mirip dengan kulit, namun akan mengeras ketika dilapisi dengan garam kalsium karbonat CaCO3. Kitin membentuk serat mirip selulosa yang tidak dapat dicerna oleh vertebrata (Sugita et al., 2009 dalam Ernawati, 2012).
struktur kimia kitin

Gambar 1. Struktur kimia kitin
(Sumber: Muzzarelli, 1977 dalam Ernawati, 2012)


2.1.2 Chitosan
Chitosan merupakan polimer dengan nama kimia 2-amino-2-deoksi-D-glukosa, mengandung gugus amino bebas dalam rantai karbonnya dan bermuatan positif sehingga menyebabkan molekul tersebut bersifat resisten terhadap stress mekanik. Gugus amino bebas inilah yang banyak memberikan kegunaan bagi chitosan (Knorr, 1982 dalam Prayudi dan Susanto, 2000). Chitosan diperoleh dari chitin melalui proses deasetilasi. Sedangkan chitin merupakan bahan yang dapat diperoleh dari proses pengolahan limbah industri perikanan, seperti kulit udang, kulit dan kepala kepiting dan lain-lain. Semakin banyak gugus asetil yang hilang dari polimer chitin, semakin kuat interaksi ikatan hidrogen dan ion dari chitosan. Sehingga chitosan bermuatan positif, berlawanan dengan polisakarida alam lainnya (Prayudi dan Susanto, 2000).
Kitosan merupakan produk deasetilasi kitin melalui proses reaksi kimia menggunakan basa natrium hidroksida atau reaksi enzimatis menggunakan enzim kitin deacetylase. Kitosan merupakan biopolimer yang resisten terhadap tekanan mekanik. Unsur-unsur yang menyusun kitosan hampir sama dengan unsur-unsur yang menyusun kitin yaitu C, H, N, O dan unsur-unsur lainnya. Kitosan adalah turunan kitin yang diisolasi dari kulit kepiting, udang, rajungan, dan kulit serangga lainnya. Kitosan merupakan kopolimer alam berbentuk lembaran tipis, tidak berbau, terdiri dari dua jenis polimer, yaitu poli (2-Deoksi-2-asetilamin-2-Glukosa) dan poli (2-Deoksi-2 Aminoglukosa) yang berikatan β-D (1-4) (Hirano, 1986 dalam Ernawati, 2012).
struktur kimia kitosan

Gambar 2. Struktur kimia kitosan
(Sumber: Hirano, 1986 dalam Ernawati, 2012)


2.2    Kandungan Chitin dan Chitosan
2.2.1 Chitin
Kitin tidak larut dalam pelarut biasa tetapi cenderung stabil dalam asam maupun basa lemah. Kitin dapat dideasetilasi sehingga membentuk produk turunan seperti kitosan, oligosakarida, dan glukosamin. Bentuk turunan ini memiliki manfaat lebih besar sebagai neutraceutical (Kralovec dan Barrow, 2008 dalam Ernawati, 2012). Proses isolasi kitin pada dasarnya terdiri dari tiga tahap, yaitu: tahap pemisahan protein (deproteinasi), tahap pemisahan mineral (demineralisasi), dan tahap penghilangan warna (depigmentasi) (Savitri et al., 2010 dalam Ernawati, 2012).
Kitin merupakan biopolimer alam paling melimpah kedua setelah selulosa. Senyawa kitin atau (α(1-4)-N-asetil-D-glukosamin) dapat dipertimbangkan sebagai suatu senyawa turunan selulosa, dimana gugus hidroksil pada atom C-2 digantikan oleh gugus asetamido (Pujiastuti, 2001 dalam Kusumaningsih, 2004). Hasil penelitian Aniek (2000) dalam Kusumaningsih (2004), menyatakan bahwa kitin juga dapat dimanfaatkan sebagai pakan ikan dan terbukti dapat memacu pertumbuhan ikan.

2.2.2 Chitosan
Chitosan, yaitu poly-D-glucosamine (tersusun lebih dari 5000 unit glukosamin dan asetilglukosamin) dengan berat molekul lebih dari satu juta dalton, merupakan dietary fiber (serat yang bisa dimakan) kedua setelah selulosa. Chitosan mempunyai nama lain selain Chitin yaitu Chitosan Askorbat, N-Carboxybutyl Chitosan, unsur penting ke-6, dan sebagainya (BPOM, 2008).
Tahap utama yang berperan penting dalam proses transformasi kitin menjadi kitosan ialah tahap deasetilasi dengan penggunaan basa kuat KOH atau NaOH. Proses deasetilasi gugus asetil pada asetamida kitin dapat dijelaskan sebagai berikut: gugus karbon karbonil diserang oleh nukleofil OH-, akibatnya terjadi reaksi adisi sehingga terbentuk zat antara. Zat antara ini selanjutnya mengalami reaksi elimininasi sehingga gugus asetil pada asetamida kitin lepas membentuk asetat. Proses pelepasan gugus asetil dari gugus asetamida kitin berhubungan dengan konsentrasi ion OH- pada larutan. Konsentrasi OH- akan lebih besar pada larutan basa kuat. Semakin kuat suatu basa semakin besar konsentrasi OH- dalam larutannya. Dengan demikian kekuatan basa mempengaruhi proses deasetilasi gugus asetil dari gugus asetamida kitin (Azhar et al., 2010 dalam Ernawati, 2012).

2.3    Definisi Glukosamin
Glukosamin (2-amino-2-deoxi-β-d-glukopiranosa), merupakan zat yang normal ditemukan di matriks tulang rawan sendi dan cairan sendi manusia. Glukosamin merupakan prekusor utama untuk biosintesis berbagai makromolekul seperti asam hialuronat, proteoglikan, glikosaminoglikan (GAGs), glikolipid dan glikoprotein. Glukosamin terdapat di hampir semua jaringan lunak dalam tubuh manusia, konsentrasi tertinggi di tulang rawan (Miller dan Clegg, 2011 dalam Kardiman, 2013).
struktur kimia glukosamin

Gambar 3. Struktur kimia glukosamin
(Sumber: Kardiman, 2013)


D-(+)-glukosamin hidroklorida (2-amino-2-deoksi-D-glukosa) merupakan sebuah asam amino monosakarida yang disintesis dari glukosa-6-fosfat dan glutamin di awal jalur biosintesis heksosamin, yang produk akhirnya UDP-Nasetild-(+)- glukosamin hidroklorida yang dapat digunakan kembali untuk membentuk glikosaminoglikan, proteoglikan, dan glikolipid. D-(+)- glukosamin hidroklorida terdapat dalam jaringan ikat dan membran mukosa saluran cerna, yang bertindak sebagai glikosaminoglikan (Barclay, T.S., C. Tsourounus, G.M. McCart, Ann, 1998 dalam Rizki, 2016).

2.4    Cara Memperoleh Glukosamin
Glukosamin merupakan senyawa yang dapat ditemukan pada tulang rawan hewan seperti pada ayam yang terletak pada ceker ayamnya. Jumlah hasil samping ceker yang banyak oleh masyarakat hanya dimanfaatkan sebagai olahan pangan. Sedangkan ceker memiliki kandungan kolagen, tulang rawan dan tinggi protein yang dapat dimanfaatkan sebagai agen anti inflamasi. Tulang rawan pada hewan merupakan protein kompleks yang mengandung glukosamin, kolagen, dan kondroitin sulfat A, B, dan C yang dapat dijadikan suplemen bagi anti inflamasi (Lane dan Contreras, 1992 dalam Dhyantari et al., 2015).
D-(+)-glukosamin hidroklorida (C6H13NO5) dan N-asetil D-(+)-glukosamin (C8H15NO6) dapat disintesis dalam tubuh dari glukosa dan juga bertindak sebagai prekusor untuk biosintesis beberapa makromolekul, termasuk glikolipid, glikoprotein, D-(+)-glukosamin hidrokloridaoglikan (mukopolisakarida) dan proteoglikan. Sebagai komponen dari makromolekul, D-(+)-glukosamin hidroklorida memiliki peran dalam sintesis membran lapisan sel, kolagen, osteoid, dan tulang matriks. D-(+)-glukosamin hidroklorida juga diperlukan untuk pembentukan cairan pelumas dan gen perlindungan. Karena konsentrasinya yang tinggi dalam sendi, hipotesis menyebutkan bahwa suplemen D-(+)-glukosamin hidroklorida dapat membantu menurunkan gejala osteoarthritis (D’Ambrosio et al., 1981 dalam Rizki, 2016).
Saat ini sebagian besar D-(+)-glukosamin hidroklorida berasal dari hidrolisis dan deasitilasi eksoskeleton kerang, kepiting yang mengandung kitin dengan menggunakan asam klorida pekat (Mojarrad et al., 2007 dalam Rizki, 2016). Namun ada beberapa keterbatasan produksi D-(+)-glukosamin hidroklorida menggunakan metode ini yaitu: alergi, kontaminasi logam berat (Cao et al., 2008 dalam Rizki, 2016). Produksi lainya dapat juga menggunakan mikroorganisme seperti E. coli (Deng et al., 2005 dalam Rizki, 2016) maupun kapang (Hsieh et al. 2007; Sitanggang et al., 2010 dalam Rizki, 2016).

2.5    Cara Pembuatan Glukosamin
Glukosamin dapat dihasilkan dengan beberapa cara ekstraksi yakni proses hidrolisis kimiawi, proses enzimatis, proses fermentasi dan proses gabungan antara ketiganya. Produksi glukosamin dengan proses ekstraksi enzimatis dan fermentasi biasanya dilakukan pada skala laboratorium. Proses ekstraksi yang paling umum digunakan pada produksi glukosamin skala industri adalah proses hidrolisis kimiawi dengan kombinasi asam HCl dan basa NaOH dengan konsentrasi tertentu. Menurut Kralovec dan Barrow (2008) dalam Ernawati (2012), angka hidrolisis kitin menjadi glukosamin menurun ketika konsentrasi asam yang digunakan kurang dari 9 M. Kadar asam yang rendah menyebabkan terjadinya hidrolisis yang tidak sempurna dan terbentuknya kitosan oligomer. Hidrolisis yang tidak sempurna juga dapat disebabkan oleh kurangnya waktu reaksi meskipun konsentrasi asam yang digunakan mencapai 10 M (Ernawati, 2012).
Pada penelitian pendahuluan Cahyono (2015) dalam pembuatan glukosamin dengan menggunakan presto tekanan ±0,8-1 Atm/psi pada perlakuan konsentrasi asam HCl 3%, 4%, dan 5% b/v dan waktu pemanasan selama 30 menit. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa konsentrasi HCl 5% mampu menghidrolisis kitosan menjadi glukosamin sacara sempurna. Konsentrasi HCl 3% dan 4% belum mampu menghidrolisis kitosan menjadi glukosamin secara sempurna. Berdasarkan hal tersebut pada penelitian utama menggunakan konsentrasi HCl 5%, 8%, dan 10% dan waktu pemanasan hingga 150 menit diharapkan mampu menghasilkan glukosamin dengan kualitas yang baik. Pada penelitian utama proses pembuatan glukosamin metode hidrolisis bertekanan dengan tekanan ±0,8-1 Atm/psi menggunakan presto dengan perlakuan konsentrasi HCl 5%, 8%, dan 10% b/v dan waktu pemanasan 30, 60, 90, 120, dan 150 menit. Sampel diekstraksi dalam jar dengan berbagai konsentrasi dan lama pemanasan yang berbeda. Kemudian alkohol ditambahkan pada sampel untuk memisahkan sampel dan pengotor, selanjutnya dicuci dengan isopropil alkohol (IPA) hingga pH mencapai 3-5. Glukosamin dikeringkan dengan menggunakan oven pada suhu 40 ºC selama 48 jam sehingga diperoleh glukosamin hidroklorida yang siap untuk digunakan. Diagram alir proses pembuatan glukosamin dengan metode hidrolisis bertekanan dapat dilihat pada Gambar 4.
pembuatan glukosamin

Gambar 4. Pembuatan glukosamin dengan metode hidrolisis bertekanan
(Sumber: Cahyono, 2015)


2.6    Implementasi Glukosamin
Glukosamin adalah salah satu turunan dari kitosan yang merupakan gula amino dan prekursor penting dalam sintesis biokimia dari protein glikosilasi dan lipid (Kelly, 1998 dalam Cahyono, 2015). Glukosamin secara alami terdapat pada tubuh, terutama pada jaringan penghubung dan jaringan tulang rawan serta hati dan ginjal (Camara dan Dowelss, 1998 dalam Cahyono, 2015). Glukosamin merupakan senyawa yang diperlukan untuk biosintesis berbagai senyawa termasuk glikolipid, glikoprotein, dan proteoglikan, yang semua senyawa terlibat dengan struktur dan fungsi sendi. Glukosamin tersusun dari glukosa dan asam amino glutamin. Produksi glukosamin akan menurun seiring dengan pertambahan usia. Glukosamin secara luas telah digunakan untuk mencegah gejala osteoatritis. Glukosamin dapat dihasilkan melalui beberapa metode ekstraksi yaitu proses hidrolisis kimiawi dengan penambahan HCl dengan rendemen 87,3% (Mojarrad, 2007 dalam Cahyono, 2015), proses enzimatis dengan bantuan enzim α-amilase dengan rendemen 91,1% (Pan et al., 2011 dalam Cahyono, 2015), proses fermentasi dengan bantuan (Aspergillus sp.) dengan rendemen 5,48% (Chang et al., 2011 dalam Cahyono, 2015), dan proses gabungan antara ketiganya. Anderson et al. (2005) dalam Cahyono (2015) mengevaluasi glukosamin dengan LD50 secara oral pada hewan percobaan dosis 2.700 mg/kg selama 12 bulan dianggap aman karena tubuh dapat memetabolisme glukosa dengan pemberian parenteral. Konsumsi glukosamin yang aman berkisar 1.500 mg/bb (BPOM, 2004; EFSA, 2009 dalam Cahyono, 2015) dan 2.000 mg/bb (Hathcock dan Shao, 2006 dalam Cahyono, 2015). Bersama dengan kondroitin, glukosamin dapat membantu mengatasi masalah sendi pada penderita osteoatritis. Kondroitin sendiri adalah suplemen makanan yang biasa digunakan bersama glukosamin. Kondroitin merupakan senyawa rantai gula bercabang yang menyusun tulang rawan. Glukosamin juga merupakan komponen penting dari membran sel dan protein permukaan sel serta molekul struktural interstisial yang menyangga sel secara bersama-sama. Secara tidak langsung, glukosamin berperan dalam pembentukan permukaan artikular, tendon, ligamen, cairan sinovial, kulit, kuku, pembuluh darah dan sekresi lendir dalam pencernaan, pernafasan, dan sistem saluran pada kemih (Martin, 2004 dalam Cahyono, 2015).
Dosis harian untuk konsumsi glukosamin menurut Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM RI) tahun 2004 adalah 1500 mg/ hari. Hasil penelitian Hathcock dan Andrew (2006) dalam Ernawati (2012), menunjukkan bahwa asupan glukosamin secara oral pada dosis 2000 mg/ hari aman untuk dikonsumsi. Adapun efek konsumsi glukosamin terhadap tubuh dapat dilihat setelah satu bulan pemakaian. Mutu glukosamin hidroklorida menurut standar United State Pharmacopeia (USP) ditunjukkan pada Gambar 5.
spesifikasi mutu glukosamin hidroklorida
Gambar 5. Spesifikasi mutu glukosamin hidroklorida (GlcN) menurut (USP) 2006
(Sumber: Cargill Inc., 2006 dalam Ernawati, 2012)

2.7    Dampak Kekurangan Glukosamin
Kekurangan glukosamin dapat menyebabkan osteoartritis. Pada osteoartritis hilangnya rawan sendi merupakan titik sentral, rawan sendi secara bertahap akan mengalami degradasi dengan penurunan progresif jumlah proteoglikan. Oleh karena sintesis proteoglikan kolagen dan hialuronan meningkat pada osteoartritis, berarti aktivitas kataboliknya sangat tinggi. Walaupun mungkin penggunaan sendi berlebih merupakan factor terjadinya kehilangan rawan sendi tetapi peranan lisozom protease (Cathepsin) dan metalloprotease seperti stromelisin, kolagenase dan gelatinase cukup besar. Banyak peneliti berpendapat bahwa interleukin-1 sangat berperan pada progresivitas kerusakan rawan sendi. Sitokin ini diproduksi oleh sel mononuklear termasuk sel sinovia. IL-1 akan menstimulasi sintesis dan sekresi dan stromelisin, kolagenase, gelatinase dan tissue plasminogen aktivator. Diduga jumlah reseptor II-1 pada kondrosit sangat meningkat, sehingga meningkatkan sensitiv-itas terhadap IL-1. Growth factor berperan pada proses perbaikan, faktor pertumbuhan ini akan memodulasi metabolism kondrosit baik pada faktor katabolik rnaupun pada faktor anabolik. Growth factor tidak hanya meningkatkan sintesa proteoglikan, tetapi juga mengurangi reseptor II-1 pada kon-drosit dan menurunkan degradasi proteoglikan. Kualitas rawan sendi yang diperbaiki umumnya tidak sebagus rawan sendi normal dalam menghadapi tekanan mekanik dan akhirnya sintesis proteoglikan akan merosot, kondrosit tidak mampu lagi memelihara rawan sendi dan terjadilah stadium akhir dari osteoarthritis yang disertai dengan hilangnya seluruh rawan sendi (Isbagio, 2006; Nelson, 2009 dalam Utami et al., 2012).
perbandingan kartilago normal dan athritis

Gambar 6. Perbandingan antara kartilago normal (atas) dan kartilago athritis (bawah), dr. Nelson’s osteoarthritis page
(Sumber: Gartner et al., 2011 dalam Utami et al., 2012)


Osteoartritis adalah penyakit sendi degeneratif, kronis, progresif, umumnya mengenai sendi weight-bearing. OA adalah bentuk artritis yang paling sering ditemukan dan prevalensinya meningkat dramatis dengan bertambahnya usia.1 OA dapat memiliki berbagai gejala klinis, di antaranya nyeri, rentang gerak yang berkurang dan dapat meningkatkan disabilitas penderitanya. OA menjadi penyebab utama disabilitas di Amerika Serikat. Angka kejadian OA di Amerika Serikat adalah 20 juta orang dan diperkirakan akan meningkat sampai 20 kali lipat dalam 20 tahun (Lawrence et al., 2008 dalam Kardiman, 2013).

2.8    Manfaat Glukosamin
Glukosamin merupakan senyawa alami yang terdapat dalam tubuh manusia yang merupakan unsur pokok dari GAG pada tulang rawan dan cairan synovial. Glukosamin dalam tubuh berfungsi untuk memproduksi cairan synovial sebagai bahan pelumas pada tulang rawan. Kekurangan cairan synovial dalam tubuh dapat menimbulkan kekakuan pada sendi sehingga menyebabkan penyakit osteoarthritis (OA). Pemberian glukosamin sulfat secara oral dapat membantu produksi cairan synovial untuk mencegah dan mengobati penyakit OA (Afridiana, 2011 dalam Rizki, 2016). Penelitian Kulkarni et al., (2012) dalam Rizki (2016) menunjukkan bahwa konsumsi glukosamin hidroklorida dan atau glukosamin sulfat terhadap pasien penderita OA (tingkat sedang) berpengaruh nyata terhadap pengurangan rasa nyeri pada sendi.
Glukosamin, kondroitin sulfat dan Metilsulfonilmetana (MSM) termasuk suplemen diet paling laris di Amerika Serikat dengan angka penjualan mencapai sekitar $810 juta pada 2005.2 Glukosamin sulfat, kondroitin sulfat dan MSM dipercaya dapat memperlambat progresivitas perubahan struktur anatomis sendi pada osteartritis lutut dan mengkontrol progresivitas gejala OA; tetapi penelitian GAIT membuktikan sebaliknya, ketiga zat tersebut tidak menghasilkan perbedaan bermakna sebagai symptom-modifying dan structuremodifying drugs (Kardiman, 2013).


BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut.
·      Kitin merupakan biopolimer yang banyak terdapat di alam yang tersusun atas β-1,4-N-asetil-D-glukosamin (GlcNac). Chitosan merupakan polimer dengan nama kimia 2-amino-2-deoksi-D-glukosa, mengandung gugus amino bebas dalam rantai karbonnya dan bermuatan positif sehingga menyebabkan molekul tersebut bersifat resisten terhadap stress mekanik.
·      Kitin dapat dideasetilasi sehingga membentuk produk turunan seperti kitosan, oligosakarida, dan glukosamin. Chitosan, yaitu poly-D-glucosamine (tersusun lebih dari 5000 unit glukosamin dan asetilglukosamin) dengan berat molekul lebih dari satu juta dalton, merupakan dietary fiber (serat yang bisa dimakan) kedua setelah selulosa.
·      Glukosamin (2-amino-2-deoxi-β-d-glukopiranosa), merupakan zat yang normal ditemukan di matriks tulang rawan sendi dan cairan sendi manusia.
·      Glukosamin merupakan senyawa yang dapat ditemukan pada tulang rawan hewan seperti pada ayam yang terletak pada ceker ayamnya.
·      Glukosamin dapat dihasilkan dengan beberapa cara ekstraksi yakni proses hidrolisis kimiawi, proses enzimatis, proses fermentasi, dan proses gabungan antara ketiganya.
·      Dosis harian untuk konsumsi glukosamin menurut Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM RI) tahun 2004 adalah 1500 mg/ hari.
·      Kekurangan glukosamin dapat menyebabkan osteoartritis.
·      Glukosamin dalam tubuh berfungsi untuk memproduksi cairan synovial sebagai bahan pelumas pada tulang rawan.


DAFTAR PUSTAKA

Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM). 2008. Naturakos. Artikel. 3 (7); 1-13.
Cahyono, E. 2015. Produksi glukosamin dengan metode hidrolisis bertekanan sebagai bahan penunjang kesehatan sendi. Skripsi. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Dhyantari, O., C.T. Milala dan T. D. Widyaningsih. 2015. Efek antiinflamasi dari ekstrak glukosamin ceker ayam pada tikus wistar jantan yang diinduksi karagenan. Jurnal Pangan dan Agroindustri. 3 (3): 888-895.
Ernawati. 2012. Pembuatan glukosamin hidroklorida (GlcN HCl) dengan metode autoklaf. Skripsi. Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Kardiman, C. 2013. Manfaat glukosamin, kondroitin dan metilsulfonilmetana pada osteoartritis. CDK-211. 40 (12): 936-939.
Kusumaningsih, T., A. Masykur dan U. Arief. 2004. pembuatan kitosan dari kitin cangkang bekicot (Achatina fulica). Biofarmasi. 2 (2): 64-68.
Pasaribu, T. dan I.P. Kompiang. 2000. Pemanfaatan limbah chitosan dalam ransum ayam. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner. 4 (4): 215-218.
Pratiwi, G. E. 2013. faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor udang di Indonesia. Skripsi. Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Jember.
Pratiwi, R. S., T. E. Susanto, Y. A. K. Wardani dan A. Sutrisno. 2015. Enzim kitinase dan aplikasi di bidang industri: kajian pustaka. Jurnal Pangan dan Agroindustri. 3 (3): 878-887.
Prayudi, T. dan J. P. Susanto. 2000. Chitosan sebagai bahan koagulan limbah cair industri tekstil. Jurnal Teknologi Lingkungan. 1 (2): 121-125.
Rizki, S. S. 2016. Studi recovery d-(+)-glukosamin hidroklorida dengan metode ekstraksi pelarut. Skripsi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Lampung.
Utami, P., S. J. R. Kalangi dan T. F. Pasiak. 2012. Peran glukosamin pada osteoartritis. Jurnal Biomedik. 4 (3): 29-34.

Comments

Popular posts from this blog

Ikan Sebelah (Psettodes erumei)

1.   PENDAHULUAN 1.1   Latar Belakang Kekayaan alam laut Indonesia yang luas berpotensi menghasilkan hasil laut yang beraneka ragam dengan jumlah yang cukup besar yaitu sebanyak 6,26 juta ton per tahun. Hasil produksi perikanan laut ( marine fisheries ) di Indonesia mengalami peningkatan dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2012 mencapai 3,24 %, dimana pada tahun 2012 hasil produksi ikan laut sebanyak 5.829.194 ton. Hasil laut terutama ikan diolah untuk menjadi bahan pangan masyarakat (Purba et al., 2015). Tingkat konsumsi ikan Indonesia setiap tahun mengalami peningkatan, dimana pada tahun 2013 mencapai 35,62 kilogram per kapita dari tahun 2012, yaitu sebanyak 33,14 kilogram per kapita (Purba et al., 2015). Indonesia memiliki wilayah perairan tropis yang terkenal kaya dalam perbendaharaan jenis-jenis ikannya. Berdasarkan penelitian dan beberapa literatur diketahui tidak kurang dari 3.000 jenis ikan yang hidup di Indonesia.Dari 3.000 jenis tersebut sebanyak 2.700 jenis (90%) hidup di p

Teknik Pendinginan Produk Perikanan

BAB I PENDAHULUAN 1.1         Latar Belakang Setelah meratifikasi Montreal Protocol pada tahun 1992 dan Kyoto Protocol pada tahun 1996, Indonesia juga tidak luput dari permasalahan global yang dihadapi oleh industri pendinginan dunia sebagai dampak dari kedua perjanjian internasional di atas. Dengan demikian, penelitian di bidang refrigeran dan pendinginan sangat penting dan bermanfaat dilakukan di Indonesia. Jenis refrigeran yang cocok diteliti kemungkinan pemakaiannya di lndonesia adalah refrigeran hidrokarbon, karena selain bersifat alami (natural) hidrokarbon juga tersedia sebagai sumber daya alam yang relatif besar. Penggunaan refrigeran hidrokarbon juga dapat menghemat energi bila dibanding refrigeran R12 (Maclaine dan Leonardi, 1997 dalam Sihaloho dan Tambunan, 2005 ). Aisbett dan Pham (1998) dalam Sihaloho dan Tambunan (2005) menyatakan bahwa penggunaan hidrokarbon sebagai refrigeran pengganti CFC dan HFC dapatmemberikan penghematan biaya yang signifikan untuk

TVBN, TMA, TMAO dan Histamin

BAB I PENDAHULUAN 1.1         Latar Belakang Sebagai negara maritim, Indonesia memiliki garis pantai sepanjang kurang lebih 81.000 km. Luas wilayah laut, termasuk di dalamnya Zona ekonomi Eksklusif mencakup 5,8 juta kilometer persegi (Dahuri, 2001 dalam Haryono, 2005). Di dalam wilayah laut dan pesisir tersebut terkandung kekayaan sumber daya laut yang amat besar, mulai dari ikan, kepiting, udang, kerang dan berbagai sumber daya laut lainnya yang siap untuk dieksploitasi nelayan. Secara teoritis, dengan kekayaan laut yang demikian besar, nelayan mampu hidup berkecukupan (Haryono, 2005). Ikan dikenal sebagai suatu komoditi yang mempunyai nilai gizi tinggi namun mudah busuk karena mengandung kadar protein yang tinggi dengan kandungan asam amino bebas yang digunakan untuk metabolisme mikroorganisme, produksi amonia, biogenik amin, asam organik, keton dan komponen sulfur (Liu et al. 2010 dalam Radjawane et al. , 2016). Ikan termasuk dalam kategori makanan yang cepat busuk