Skip to main content

Elasmobranchii

 

Glikolisis Pada Ikan

makalah glikolisis pada ikan
Makalah Glikolisis Pada Ikan


BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Ikan dikenal sebagai suatu komoditi yang mempunyai nilai gizi tinggi namun mudah busuk karena mengandung kadar protein yang tinggi dengan kandungan asam amino bebas yang digunakan untuk metabolisme mikroorganisme, produksi amonia, biogenik amin, asam organik, keton dan komponen sulfur (Liu et al. 2010 dalam Radjawane et al., 2016). Ikan termasuk dalam kategori makanan yang cepat busuk dan seperti yang telah diketahui bahwa bagi produk cepat busuk, nilai mutu kesegaran merupakan faktor yang penting untuk diperhatikan. Oleh karena penurunan nilai mutu kesegaran selain akan menurunkan nilai gizi atau nutriennya sebagai sumber pangan, juga akan menurunkan daya jual atau harga dari produk tersebut. Dengan demikian nilai mutu kesegaran dari produk yang cepat busuk perlu diperhatikan (Sulistijowati et al., 2011).
Ikan merupakan salah satu bahan pangan yang mudah rusak, terutama ikan segar (Hadiwiyoto, 1993 dalam Siburian et al., 2012). Ciri-ciri ikan segar antara lain mata jernih, kornea bening, pupil hitam, mata cembung dan insang merah segar. Jika kualitasnya menurun, insang berwarna keabuan, berlendir dan bau, sisik melekat kuat, mengkilap dan tertutup lendir jernih, aroma berbau khas ikan. Jika ikan tidak segar lagi, berbau busuk dan biasanya mengapung jika diletakkan di dalam air. Pada ikan yang masih segar, daging elastis dan bewarna cerah, dan jika ditekan tidak menimbulkan bekas permanen (Siburian et al., 2012).
Istilah kesegaran ikan mempunyai dua makna yang berbeda. Konsep yang pertama mengaitkan pada proses terjadinya penurunan mutu akibat terjadinya proses autolitik atau enzimatik, sering juga disebut proses biokimia yang terjadi segera setelah ikan itu mati. Konsep yang kedua mengaitkan pada proses penurunan mutu akibat deteriosasi/dekomposisi yang disebabkan oleh adanya aktivitas bakterial. Konsep yang pertama dikenal dengan istilah ”kesegaran enzimatik”, sedangkan konsep yang kedua disebut “kesegaran bakterial”. Kedua konsep ini dikembangkan dari kenyataan bahwa selama periode post-mortem/kematian ikan, penurunan kesegaran ikan terjadi oleh karena aktivitas enzimatik dan aktivitas bakteri (Sudarmawan, 2006 dalam Sulistijowati et al., 2011). Proses penurunan mutu ikan memerlukan energi yang diperoleh dari pemecahan glikogen yang disebut glikolisis. Oleh karena itu sangatlah penting mempelajari glikolisis pada biokimia perikanan.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka dapat ditentukan rumusan masalah dalam makalah ini seperti berikut.
1.   Apa yang dimaksud kemunduran mutu ikan?
2.   Apa saja faktor yang mempengaruhi kemunduran mutu ikan?
3.   Apa saja tahap dalam proses kemunduran mutu ikan?
4.   Apa yang dimaksud glikolisis?
5.   Bagaimana proses terjadinya glikolisis?

1.3 Tujuan
Berdasarkan uraian rumusan masalah di atas maka dapat ditentukan tujuan dalam makalah ini seperti berikut.
1.   Mengetahui definisi kemunduran mutu ikan.
2.   Mengetahui faktor yang mempengaruhi kemunduran mutu ikan.
3.   Mengetahui tahap dalam proses kemunduran mutu ikan.
4.   Mengetahui definisi glikolisis.
5.   Memahami proses terjadinya glikolisis.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Kemunduran Mutu Ikan
Ikan termasuk dalam kategori makanan yang cepat busuk dan seperti yang telah diketahui bahwa bagi produk cepat busuk, nilai mutu kesegaran merupakan faktor yang penting untuk diperhatikan. Oleh karena penurunan nilai mutu kesegaran selain akan menurunkan nilai gizi atau nutriennya sebagai sumber pangan, juga akan menurunkan daya jual atau harga dari produk tersebut. Dengan demikian, nilai mutu kesegaran dari produk yang cepat busuk perlu diperhatikan (Sulistijowati et al., 2011).
Sebagai makanan berprotein, ikan sangat mudah sekali mengalami pembusukan. Proses pembusukan pada ikan disebabkan oleh aktivitas enzim, mikroorganisme dan oksidasi dalam tubuh ikan itu sendiri dengan perubahan seperti timbul bau busuk, daging menjadi kaku, sorot mata pudar, serta adanya lendir pada insang maupun tubuh bagian luar. Tubuh ikan yang mengandung kadar air tinggi (80%) dan pH tubuh mendekati netral, memudahkan tumbuhnya bakteri pembusuk. Daging ikan mengandung asam lemak tak jenuh berkadar tinggi yang sifatnya mudah mengalami proses oksidasi sehingga seringkali menimbulkan bau tengik (Adawyah, 2008 dalam Widowati et al., 2014).

2.2 Faktor yang Mempengaruhi Kemunduran Mutu Ikan
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi lamanya ikan dalam keadaan rigor menurut Hiroki (1991) dalam Sulistijowati et al. (2011) adalah:
a.   Jenis ikan
Setiap jenis ikan memiliki fase rigor yang berbeda. Ada yang memasuki fase rigor hanya dalam waktu 1 jam saja, tetapi ada juga sampai 24 jam. Perbedaan ini disebabkan oleh adanya komposisi kimia tubuh yang tidak sama.
b.   Ukuran ikan
Ikan-ikan berukuran kecil akan cepat menjadi rigor dibandingkan ikan-ikan yang ukurannya lebih besar pada jenis yang sama.
c.   Kondisi fisik
Ikan yang kondisi fisiknya kurang baik, misalnya dalam keadaan lapar, kurang gizi atau habis bertelur pada waktu tertangkap akan cepat menjadi rigor.
d.   Derajat keletihan
Jenis teknik penangkapan (jaring, pancing, trawl, dll) biasanya sangat berpengaruh terhadap keletihan ikan. Ikan yang berjuang keras terlalu lama menghadapi kematian (waktu sekarat) pada waktu tertangkap dengan alat penangkapan, akan kehabisan banyak glikogen sehingga akan cepat sekali memasuki tahap rigor.
e.   Cara penanganan
Penanganan ikan pada tahap rigor bisa memperpendek pengkakuan ikan, akan tetapi tidak demikian halnya jika penanganan dilakukan pada tahap pre-rigor.
f.    Suhu penyimpanan
Merupakan faktor penting yang mempengaruhi cepat lambatnya ikan masuk ke fase rigor. Suhu yang panas akan mempercepat ikan menjadi rigor. Sebaliknya, semakin rendah suhu penanganan ikan segera setelah ditangkap, semakin lambat ikan memasuki tahap rigor dan semakin panjang waktu rigor itu berakhir.
Perubahan nilai pH pada ikan bergantung pada berbagai faktor seperti jenis ikan, cara menangkap, pemberian pakan dan kondisi lainnya (Sakaguchi, 1990 dalam Nurjanah et al., 2011). Ikan berukuran besar memiliki cadangan glikogen yang lebih banyak dibanding ikan berukuran kecil sehingga kecenderungan terjadinya proses glikolisis menjadi lebih lambat. Selain itu, terjadinya penurunan nilai pH pada ikan disebabkan proses aktivasi enzim katepsin dalam menguraikan protein daging ikan. Pada proses enzimatis, protein akan diuraikan menjadi pepton, polipeptida dan asam-asam amino (Nurjanah et al., 2011).

2.3 Tahap dalam Proses Kemunduran Mutu Ikan
Penurunan tingkat kesegaran fillet ikan terlihat dengan adanya perubahan fisik, kimia dan organoleptik pada fillet ikan. Semua proses perubahan iniakhirnya mengarah ke pembusukan. Urutan proses perubahan tersebut meliputi perubahan pre rigor, rigor mortis, aktivitas enzim, akivitas mikroba dan oksidasi (Afrianto dan Liviawaty, 1989 dalam Erlangga, 2009).
Menurut Adawyah (2008) dalam Widowati et al. (2014), perubahan biokimiawi ikan sejak ikan mati hingga busuk dapat diklasifikasikan menjadi tiga tahapan sebagai berikut. Pertama, perubahan biokimiawi yang terjadi sebelum ikan menjadi kaku (keras). Pada saat itu yang paling banyak mengalami perubahan adalah pembongkaran ATP dan kreatin-fosfat yang akan menghasilkan tenaga. Glikogen juga akan mengalami pembongkaran menjadi asam laktat melalui proses glikolisis sehingga menyebabkan keadaan daging menjadi asam dan aktivitas enzim ATP-ase dan kreatin-fosfokinase meningkat. Tahap pertama berlangsung dalam waktu antara 1-7 jam sejak ikan mati, tergantung jenis ikan. Kedua, daging ikan akan menjadilebih keras dari keadaan sebelumnya. Pada saat itu terjadi penggabungan protein aktin dan protein miosin menjadi protein kompleks aktomiosin. Pada tahap lanjut, tahap ketiga, daging ikan akan kembali menjadi lunak secara perlahan-lahan, sehingga secara organoleptik akan meningkatkan derajat penerimaan konsumen sampai pada suatu tingkat optimal. Lama untuk mencapai tingkat optimal derajat penerimaan konsumen bervariasi, tergantung jenis ikan dan suhu lingkungan. Tetapi pada umumnya, hal itu berlangsung singkat karena bakteri segera berkembang, dan hanya dapat ditunda (diperpanjang) dengan proses pendinginan atau pembekuan.
Tingkat kondisi/perubahan pada ikan setelah ikan itu mati, oleh Sudarmawan (2006) dalam Sulistijowati et al. (2011) secara umum dapat dirunut sebagai berikut:
a. Ikan hidup
·      Keharmonisan atau keteraturan metabolisme terjaga.
·      Oksigen disuplai ke setiap jaringan tubuh ikan.
·      Derajat keasaman berada pada pH kira-kira 7,4.
b. Ikan baru mati
·      Terjadi penghentian denyut jantung.
·      Suplai oksigen ke setiap jaringan terhenti.
·      Glikogen terdekomposisi menghasilkan asam laktat yang berakumulasi dalam tubuh ikan dan menyebabkan pH ikan menjadi turun.
·      Creatinic phosphate (CP) hilang dan regenerasinya tidak terjadi.
·      Terjadinya penurunan kadar ATP oleh aktivitas enzimatik.
c. Proses kekejangan/rigor mortis
·      Ketika adenosine triphosphat (ATP) berkurang menjadi 80 persen atau lebih kecil lagi, otot-otot ikan akan mengalami pengerutan menjadi kaku dan kejang (proses rigormortis).
·      Kekejangan terjadi pada pH 6,3 atau kurang ketika asam laktat bereaksi dengan enzim glikogenase dan ATPase.
·      Derajat keasaman (pH) akan terus menurun sesuai dengan tingkat kebusukan dari ikannya.
·      Proses kekejangan terjadi mulai dari 1 sampai 7 jam setelah ikan itu mati dan berakhir 5 sampai 22 jam setelah ikan itu mati.

2.4 Definisi Glikolisis
Glikolisis adalah pemecahan glukosa menjadi piruvat atau asam laktat. Asam laktat yang dihasilkan akan menurunkan pH. Semakin banyak jumlah inulin dan oligosakarida yang terkandung maka semakin banyak asam yang dihasilkan sehingga pH akan semakin cepat turun (Rosa, 2010). Pada proses glikolisis, enzim sangat berperan sampai terbentuknya asam laktat. Hal ini menyebabkan akumulasi asam laktat berjalan lebih lambat sehingga penurunan pH ikan juga berlangsung lebih lambat. Selain itu, proses penguraian protein menjadi senyawa-senyawa yang bersifat basa oleh bakteri juga terhambat sehingga peningkatan pH ikan berlangsung lebih lambat (Price, 1971 dalam Munandar et al., 2009). Jalur metabolisme anaerob yang dikenal sebagai glikolisis adalah langkah awal metabolisme glukosa sel-sel sitoplasma. Hasil akhir dari jalur ini adalah piruvat. Pada keadaan hipoksia, piruvat diubah menjadi laktat oleh enzim laktat dehidrogenase (LDH) (Leksana, 2010).
Ketika ikan mati, kondisi menjadi anaerob dan ATP terurai oleh enzim dalam tubuh dengan melepaskan energi. Bersamaan dengan itu, terjadi suatu proses perubahan biokimiawi yang menyebabkan bagian protein otot (aktin dan miosin) berkontraksi dan menjadi kaku (rigor mortis). Seiring dengan itu pula, karbohidrat dalam daging ikan yang berbentuk glikogen terurai menghasilkan asam laktat pada akhir proses glikolisis. Asam laktat ini dapat menurunkan pH dan menekan aktivitas mikroba sehingga memperlambat proses pembusukan. Laju penurunan pH ini besarnya tergantung pada jumlah glikogen awal yang terdapat dalam otot ikan (Jiang, 1998 dalam Nurjanah et al., 2011). Kesegaran ikan juga dapat ditentukan dengan mengukur pH daging ikan. Produksi asam laktat dari hasil proses glikolisis secara anaerob setelah ikan mati akan menentukan perubahan pH pada daging ikan (Nurjanah et al., 2011).

2.5 Proses Glikolisis
Perubahan glikogen pada daging ikan menyebabkan penurunan nilai pH. Perubahan glikogen menjadi asam laktat terjadi pada proses glikolisis (Eskin 1990 dalam Erlangga, 2009). Proses glikolisis yang menguraikan glukosa menjadi asam laktat disajikan pada Gambar 1.
proses glikolisis
Gambar 1. Proses glikolisis pada daging ikan
(Sumber: Eskin, 1990 dalam Erlangga, 2009)

Menurut Hadiwiyoto (1993) dalam Azzahra et al. (2013)., setelah ikan mati, proses glikolisis tetap berlangsung, karena enzim-enzim dalam ikan masih aktif. Oleh karena tidak ada lagi pasokan oksigen, maka tidak lagi terjadi pembentukan glikogen melainkan justru terjadi pembongkaran glikogen menjadi asam laktat (pH turun). Selama pendinginan dan pembekuan pH daging ikan akan berubah. Perubahan ini terjadi dua tahap. Pada tahap awal pendinginan atau pembekuan, pH daging ikan akan turun kemudian pada tahap selanjutnya pH akan naik lagi. Terjadinya penurunan dan kenaikan pH ini banyak disebabkan keadaan fisiologis daging ikan, komposisi senyawa-senyawa garam yang ada pada daging ikan, dan aktivitas enzim. Daging ikan dalam keadaan fase pre rigor akan mengalami penurunan pH lebih banyak pada waktu didinginkan atau dibekukan karena proses glikolisis anaerob yang menyebabkan tebentuknya asam laktat masih berlangsung. Penurunan pH pada tahap awal juga disebabkan terjadinya presipitasi garam-garam yang bersifat alkalis misalnya garam-garam magnesium fosfat, kalsium fosfat, dan natrium fosfat. Kenaikan pH pada tahap kedua disebabkan terjadinya pengendapan garam-garam yang bersifat asam, misalnya garam kalium sitrat dan natrium sitrat.
Kenaikan K-value diakibatkan semakin banyaknya degradasi ATP. Degradasi ATP tersebut diawali dengan adanya pembentukan asam laktat hasil glikolisis anaerob yang menurunkan pH dan mengakibatkan enzim-enzim ATP-ase dan kreatinfosforilase menjadi aktif menyerang ATP dan kreatin fosfat yang menyebabkan degradasi kedua zat tersebut (Hadiwiyoto, 1993 dalam Wijayanti et al., 2006). K-value Ikan Cakalang pada akhir pengukuran mengalami penurunan. Penurunan K-value kemungkinan disebabkan oleh terjadinya penguraian lebih lanjut dari Hipoxanthine. Martin et al. (1978) dalam Wijayanti et al. (2006) menyatakan bahwa degradasi nukleotida dalam daging ikan melalui deret reaksi ATP ADP AMP IMP Inosine Hipoxanthine Xanthine Uric acid. Degradasi Hipoxanthine menjadi Xanthine dan Uric acid ini yang diduga menurunkan nilai K-value. Karena dengan terdegradasinya Hipoxanthine maka nilaiHipoxanthine dan Inosine menjadi berkurang dan akhirnya K-value menurun. Reddy et al. (1997) dalam Wijayanti et al. (2006) juga menemukan bahwa K-value filet ikan cat fish yang disimpan dengan Modification Atmosphere Packaging (MAP) pada suhu 4oC, 8oC, 16oC mempunyai pola perubahan naik perlahan selama awal dan pertengahan penyimpanan kemudian turun pada akhir penyimpanan dengan ditandai kebusukan yang lebih lanjut.
  

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut.
·  Ikan termasuk dalam kategori makanan yang cepat busuk dan seperti yang telah diketahui bahwa bagi produk cepat busuk.
·    Faktor-faktor yang mempengaruhi kemunduran mutu ikan diantaranya jenis ikan, ukuran ikan, kondisi fisik, derajat keletihan, cara penanganan dan suhu penyimpanan.
·   Tahap dalam proses kemunduran mutu ikan meliputi perubahan pre rigor, rigor mortis, aktivitas enzim, akivitas mikroba dan oksidasi.
·      Glikolisis adalah pemecahan glukosa menjadi piruvat atau asam laktat.
·   Perubahan glikogen menjadi asam laktat yang terjadi pada proses glikolisis menyebabkan penurunan nilai pH daging ikan.


 DAFTAR PUSTAKA

Azzahra, F. A., R. Utami dan E. Nurhartadi. 2013. Pengaruh penambahan minyak atsiri lengkuas merah (Alpinia purpurata) pada edible coating terhadap stabilitas pH dan warna fillet ikan patin selama penyimpanan suhu beku. Jurnal Teknosains Pangan 2 (4): 32-38.
Erlangga. 2009. Kemunduran mutu fillet ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) pada penyimpanan suhu chilling dengan perlakuan cara kematian. Skripsi. Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Leksana, E. 2010. Kadar Laktat sebagai Parameter Resusitasi. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang.
Munandar, A., Nurjanah dan M. Nurilmala. 2009. Kemunduran mutu ikan nila (Oreochromis niloticus) pada penyimpanan suhu rendah dengan perlakuan cara kematian dan penyiangan. Jurnal Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia 11 (2): 88-101.
Nurjanah, T. Nurhayati dan R. Zakaria. 2011. Kemunduran mutu ikan gurami (Osphronemus gouramy) pasca kematian pada penyimpanan suhu chilling. Jurnal Sumberdaya Perairan 5 (2): 11-18.
Radjawane, C., Y. S. Darmanto dan F. Swastawati. 2016. kajian kandungan histamin ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) segar dan asap pada sentral pengolahan ikan asap di Kota Ambon. Prosiding Seminar Nasional Kelautan Universitas Trunojoyo Madura. Manajemen Sumberdaya Pantai FPIK, Universitas Diponegoro.
Rosa, N. 2010. Pengaruh penambahan umbi garut (Maranta arundinaceae L) dalam bentuk tepung dan pati sebagai prebiotik pada yoghurt sebagai produk sinbiotik terhadap daya hambat bakteri Escherichia coli. Artikel Penelitian. Program Studi Ilmu Gizi, Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro, Semarang.
Siburian, E. T. P., P. Dewi dan N. Kariada. 2012. Pengaruh suhu dan waktu penyimpanan terhadap pertumbuhan fungi ikan bandeng. Unnes Journal of Life Science 1 (2): 101-105.
Sulistijowati, R., O. S. Djunaedi, J. Nurhajati, E. Afrianto dan Z. Udin. 2011. Mekanisme Pengasapan Ikan. UNPAD PRESS.
Widowati, I., S. Efiyati dan S. Wahyuningtyas. 2014. Uji aktivitas antibakteri ekstrak daun kelor (Moringa oleifera) terhadap bakteri pembusuk ikan segar (Pseudomonas aeruginosa). PELITA 9 (1): 146-157.
Wijayanti, I., F. Swastawati dan T. W. Agustini. 2006. Pola perubahan K-value dan ORP ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) pada penyimpanan suhu rendah (±11oC). Jurnal Pasir Laut 32 (1): 1-12.

Comments

Popular posts from this blog

Ikan Sebelah (Psettodes erumei)

1.   PENDAHULUAN 1.1   Latar Belakang Kekayaan alam laut Indonesia yang luas berpotensi menghasilkan hasil laut yang beraneka ragam dengan jumlah yang cukup besar yaitu sebanyak 6,26 juta ton per tahun. Hasil produksi perikanan laut ( marine fisheries ) di Indonesia mengalami peningkatan dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2012 mencapai 3,24 %, dimana pada tahun 2012 hasil produksi ikan laut sebanyak 5.829.194 ton. Hasil laut terutama ikan diolah untuk menjadi bahan pangan masyarakat (Purba et al., 2015). Tingkat konsumsi ikan Indonesia setiap tahun mengalami peningkatan, dimana pada tahun 2013 mencapai 35,62 kilogram per kapita dari tahun 2012, yaitu sebanyak 33,14 kilogram per kapita (Purba et al., 2015). Indonesia memiliki wilayah perairan tropis yang terkenal kaya dalam perbendaharaan jenis-jenis ikannya. Berdasarkan penelitian dan beberapa literatur diketahui tidak kurang dari 3.000 jenis ikan yang hidup di Indonesia.Dari 3.000 jenis tersebut sebanyak 2.700 jenis (90%) hidup di p

Teknik Pendinginan Produk Perikanan

BAB I PENDAHULUAN 1.1         Latar Belakang Setelah meratifikasi Montreal Protocol pada tahun 1992 dan Kyoto Protocol pada tahun 1996, Indonesia juga tidak luput dari permasalahan global yang dihadapi oleh industri pendinginan dunia sebagai dampak dari kedua perjanjian internasional di atas. Dengan demikian, penelitian di bidang refrigeran dan pendinginan sangat penting dan bermanfaat dilakukan di Indonesia. Jenis refrigeran yang cocok diteliti kemungkinan pemakaiannya di lndonesia adalah refrigeran hidrokarbon, karena selain bersifat alami (natural) hidrokarbon juga tersedia sebagai sumber daya alam yang relatif besar. Penggunaan refrigeran hidrokarbon juga dapat menghemat energi bila dibanding refrigeran R12 (Maclaine dan Leonardi, 1997 dalam Sihaloho dan Tambunan, 2005 ). Aisbett dan Pham (1998) dalam Sihaloho dan Tambunan (2005) menyatakan bahwa penggunaan hidrokarbon sebagai refrigeran pengganti CFC dan HFC dapatmemberikan penghematan biaya yang signifikan untuk

TVBN, TMA, TMAO dan Histamin

BAB I PENDAHULUAN 1.1         Latar Belakang Sebagai negara maritim, Indonesia memiliki garis pantai sepanjang kurang lebih 81.000 km. Luas wilayah laut, termasuk di dalamnya Zona ekonomi Eksklusif mencakup 5,8 juta kilometer persegi (Dahuri, 2001 dalam Haryono, 2005). Di dalam wilayah laut dan pesisir tersebut terkandung kekayaan sumber daya laut yang amat besar, mulai dari ikan, kepiting, udang, kerang dan berbagai sumber daya laut lainnya yang siap untuk dieksploitasi nelayan. Secara teoritis, dengan kekayaan laut yang demikian besar, nelayan mampu hidup berkecukupan (Haryono, 2005). Ikan dikenal sebagai suatu komoditi yang mempunyai nilai gizi tinggi namun mudah busuk karena mengandung kadar protein yang tinggi dengan kandungan asam amino bebas yang digunakan untuk metabolisme mikroorganisme, produksi amonia, biogenik amin, asam organik, keton dan komponen sulfur (Liu et al. 2010 dalam Radjawane et al. , 2016). Ikan termasuk dalam kategori makanan yang cepat busuk