Skip to main content

Elasmobranchii

 

Chitosan


chitosan

BAB I
PENDAHULUAN

1.1       Latar Belakang
Berkembangnya agroindustri hasil perikanan selain membawa dampak positif, yaitu sebagai penghasil devisa, memberikan nilai tambah dan penyerapan tenaga kerja, juga telah memberikan dampak negatif yaitu berupa buangan limbah. Limbah hasil dari kegiatan tersebut dapat berupa limbah padat dan limbah cair (Ibrahim, 2005). Limbah perikanan ini semakin meningkat karena adanya peningkatan konsumsi manusia untuk sumberdaya perikanan sehingga berbanding lurus dengan banyaknya limbah perikanan yang dihasilkan. Limbah perikanan yang dihasilkan berupa kulit, tulang, kepala, ekor dan jeroan. Dari hasil survei yang dilakukan dapat diperkirakan volume limbah ikan setiap nelayan di wilayah tangkap perairan Indonesia sekitar satu kilogram per hari sehingga tersedia 1.600 kilogram limbah padat ikan setiap hari (Prihatiningsih et al., 2014).
Indonesia merupakan Negara yang terkenal dengan hasil lautnya yang melimpah. Namun sayang, di Indonesia masakan laut dan pengolahan hasil laut dari Cructaceae belum dapat optimal. Pada umumnya sebagian besar pengolahan hasil laut dari Cructaceae hanya digunakan sebagai bahan campuran pembuatan krupuk, terasi atau makanan ternak, di mana harga jual ketiga produk olahan tersebut tidak setinggi harga chitosan. Salah satu iklan di internet menyebutkan harga 50 gram chitosan ± $ 23 US. Belum dimanfaatkannya limbah pengolahan udang dan kepiting sebagai sumber chitosan boleh jadi disebabkan karena belum dikenalnya industri chitosan secara umum atau karena tidak ada publikasi yang memuat proses yang dikerjakan secara sederhana di Indonesia (Kusumawati, 2009).
Setiap tahun, menurut catatan Departemen Kelautan dan Perikanan tahun 2000, Cold Storage (perusahaan pengolahan ikan) tanah air menghasilkan limbah kulit / kepala udang, cangkang kepiting dan hewan laut lainnya tidak kurang dari 56.200 metrik ton. Limbah tersebut terbukti kaya akan kitin, yang melalui proses tertentu akan dapat dihasilkan kitosan. Sebagai salah satu negara pengekspor kepiting, Indonesia tentu saja berpeluang memproduksi kitin atau kitosan. Dengan ekspor kepiting (umumnya kaleng) sekitar 4000 ton per tahun juga berpotensi menghasilkan kulit sebagai limbah sebanyak 1000 ton per tahun. Limbah tersebut berpotensi diolah menjadi kitin, dengan produksi sekitar 1700 ton per tahun. Sebaran ketersediaan kulit kepiting, mencakup Sumatera Utara, Pantai Timur Sumatera, Pantura Jawa, Kalimantan dan Sulawesi Selatan (Agus 2011 dalam Trisnawati et al., 2013).

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka dapat ditentukan rumusan masalah dalam makalah ini seperti berikut.
1.   Apa yang dimaksud chitosan?
2.   Apa sumber chitosan?
3.   Bagaimana cara pembuatan chitosan?
4.   Bagaimana karakteristik chitosan?
5.   Bagaimana penerapan chitosan dalam bidang kehidupan?
6.   Apa manfaat penggunaan chitosan?
  
1.3 Tujuan
Berdasarkan uraian rumusan masalah di atas maka dapat ditentukan tujuan dalam makalah ini seperti berikut.
1.   Mengetahui pengertian chitosan.
2.   Mengetahui sumber chitosan.
3.   Memahami cara pembuatan chitosan.
4.   Memahami karakteristik chitosan.
5.   Memahami penerapan chitosan dalam bidang kehidupan.
6.   Mengetahui manfaat penggunaan chitosan.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1    Pengertian Chitosan
Chitosan adalah suatu polisakarida yang diperoleh melalui deasetilasi kitin. Perbedaan diantara kitin dan chitosan terdapat pada derajat deasetilasinya. Chitosan mempunyai derajat deasetilasi 80-90 %, namun secara umum chitosan dinyatakan apabila derajat deasetilasinya lebih besar 70 %. Chitosan tidak larut dalam air tapi larut dalam pelarut asam dengan pH di bawah 6,0. Pelarut yang umum digunakan untuk melarutkan chitosan adalah asam asetat 1% pada pH sekitar 4,0. Pada pH di atas 7,0 stabilitas kelarutan chitosan sangat terbatas. Pada pH tinggi, cenderung terjadi pengendapan dan larutan chitosan membentuk kompleks polielektrolit dengan hidrokoloid anionik menghasilkan gel chitosan yang memiliki kemampuan menghambat bakteri patogen (antibacteria), menurunkan kadar kolesterol (hypocholesterolemia) serta mampu memacu kekebalan tubuh (immunostimulant). Sebagai ’kandidat’ pengganti antibiotik, bahan aditif setidaknya harus memiliki sifat antimikroba (Lin et al., 2009 dalam Harti et al., 2012).
Chitosan (2-amino-2-deoksi-D-glukopiranosa) adalah senyawa turunan dari chitin (N-asetil-2-amino- 2-deoksi-D-glukopiranosa) yang terdeasetilasi pada gugus nitrogennya (Anonim, 1998 dalam Kusumawati, 2009). Chitin dan chitosan merupakan polimer linier. Deasetilasi yang terjadi pada chitin hampir tidak pernah selesai sehingga dalam chitosan masih ada gugus asetil yang terikat pada beberapa gugus N (Kusumawati, 2009).

2.2   Sumber Chitosan
2.2.1 Kepiting
Kepiting mengandung persentase kitin paling tinggi (70%) diantara bangsa-bangsa krustasea, insekta, cacing maupun fungi (Shahidi et al., 1999 dalam Trisnawati et al., 2013).

2.2.2 Rajungan
  Pemilihan rajungan sebagai bahan baku pembuatan kitosan di dasarkan pada kadar kitin yang tinggi yakni berkisar antara 20-30% dan bahan yang mudah di dapat karena banyak di konsumsi masyarakat, sedangkan pemilihan aplikasi sebagai pengawetan ikan di karenakan oleh produksi serta nilai ekspor ikan yang tinggi di Indonesia (Sedjati, 2006 dalam Silvia, 2014).

2.2.3 Udang
Udang termasuk ke dalam anggota filum Arthropoda dan termasuk kelas Crustacea. Kerangka luar udang tersusun atas kitin dan diperkuat oleh bahan kalsium karbonat. Kandungan kitin dari limbah udang (kepala, kulit, dan ekor) mencapai sekitar 50% dari berat udang (Widodo et al., 2005 dalam Purwanti, 2014) sehingga limbah udang ini dapat digunakan sebagai bahan baku penghasil kitin, kitosan, dan turunannya yang bernilai tinggi (Rachmania, 2011 dalam Purwanti, 2014).
udang

Gambar 1. Udang
(Sumber: Purwanti, 2014)


2.3    Cara Pembuatan Chitosan
Dalam penelitian Kusumawati (2009), proses isolasi chitin terdiri dari dua tahap, yaitu tahap deproteinasi dilanjutkan tahap demineralisasi dan pada akhirnya akan mengalami tahap deasetilasi dimana chitin mengalami transformasi menjadi chitosan. Tahap deproteinasi adalah tahap proses pemisahan protein yang terdapat pada limbah kulit udang. Setelah tahap deproteinasi dilanjutkan dengan tahap demineralisasi yang merupakan tahap penghilangan mineral pada kulit udang yang sebagian besar adalah CaCO3 dan Ca3(PO)4 pada chitin kasar sehingga dihasilkan chitin. Untuk mendapatkan chitosan dilakukan tahap deasetilasi, dimana derajat diasetilasi yang dihasilkan harus ada dalam range nilai chitosan standart.
proses pembuatan chitosan

Gambar 2. Alur proses pembuatan chitosan dari kulit udang
(Sumber: Swastawati et al., 2008)


2.4    Karakteristik Chitosan
Kitosan tidak beracun dan mudah terbiodegradasi. Kitosan tidak larut dalam air, dalam larutan basa kuat, dalam H2SO4 dan dalam beberapa pelarut organik seperti alkohol dan aseton. Kitosan sedikit larut dalam HCl dan HNO3, serta larut baik dalam asam lemah, seperti asam formiat dan asam asetat (Savitri et al., 2010).
struktur chitosan

Gambar 3. Struktur chitosan
(Sumber: Savitri et al., 2010)


Seperti selulosa dan chitin, chitosan merupakan polimer alamiah yang sangat melimpah keberadaannya di alam. Namun hal tersebut menunjukkan keterbatasannya dalam hal reaktivitas. Oleh karena itu, chitosan dapat digunakan sebagai sumber material alami, sebab chitosan sebagai polimer alami mempunyai karakteristik yang baik, seperti dapat terbiodegradasi, tak beracun, dapat mengadsorpsi, dan lain-lain (Kusumawati, 2009).
kualitas standar chitosan

Gambar 4. Kualitas standar chitosan
(Sumber: Protan Laboraturies Inc, 2004 dalam Fachry dan Sartika, 2012)


Kitosan kering tidak memiliki titik lebur. Bila kitosan disimpan dalam jangka waktu lama pada suhu sekitar 1000F (37,80C) maka sifat kelarutannya dan viskositasnya akan berubah. Bila disimpan dalam jangka waktu yang lama dalam keadaan terbuka (terjadi kontak dengan udara) maka akan terjadi dekomposisi, viskositas larutannya akan berkurang dan warnanya akan menjadi kekuningan (Utami, 2013).
karakteristik chitin dan chitosan

Gambar 5. Karakteristik chitin dan chitosan
(Sumber: Widarta, 2004 dalam Kusumawati, 2009)


2.5   Penerapan Chitosan dalam Bidang Kehidupan
Kitin dan Kitosan dapat diaplikasikan dalam bidang industri maupun kesehatan. Beberapa aplikasinya antara lain di industri tekstil, fotografi, kedokteran, fungisida, kosmetika, pengolahan pangan dan penanganan limbah. Kitosan juga merupakan bahan baku pembuatan membran, diharapkan dengan berhasilnya melakukan sintesis produk kitosan akan menunjang kebutuhan terhadap membran, yang banyak digunakan untuk berbagai kebutuhan filtrasi atau separasi. Selain itu kitosan dapat berfungsi sebagai koagulan yang aplikasinya banyak digunakan pada proses pengolahan limbah (Synowiecki et.al., 2003 dalam Savitri et al., 2010).
aplikasi kitin kitosan

Gambar 6. Aplikasi kitin, kitosan dan turunannya dalam industri makanan
(Sumber: Shahidi et al., 1999 dalam Ferdiansyah, 2005)


2.5.1 Pangan
Hasil penelitian Satyajaya dan Nawansih (2008) dalam Utami (2013), menyimpulkan bahwa semakin tinggi konsentrasi kitosan yang ditambahkan pada mie basah, maka akan dihasilkan mie basah yang mutunya lebih baik dan masa simpannya lebih lama. Pemberian kitosan pada mie basah dapat meningkatkan nilai gizi dan kualitas mie basah, dimana pemberian kitosan dapat meningkatkan kadar protein, kadar karbohidrat, dan menurunkan kadar air pada mie basah. Berdasarkan hasil uji organoleptik yang dilakukan, diketahui bahwa pemberian kitosan dapat mempertahankan aroma, warna dan tekstur (Yanti, et al. 2013). Berdasarkan hasil penelitian Satyajaya dan Nawansih (2008), diketahui bahwa pada penambahan chitosan dengan konsentrasi 150 dan 200 ppm dengan masa penyimpanan mie basah 0 dan 24 jam, jumlah total bakteri berkisar antara 2,4 x 105 dan 2,6 x 105 koloni/g. Jumlah ini masih dibawah SNI No. 01-2987- 1992 untuk mie basah yaitu 1,0 x 106 koloni/g.
Kitosan yang berasal dari limbah udang dapat digunakan sebagai bahan pengawet daging ayam, tanpa mengubah rasa dan aroma khas daging ayam. Waktu perendaman terbaik adalah 45 menit pada kitosan 2%. Sedangkan aplikasi kitosan sebagai bahan pengawet diperoleh kondisi terbaik pada derajad deasetilasi 70,34%. Kitosan dapat diproduksi dalam industri rumah tangga karena prosesnya yang sederhana dan mudah dipelajari (Harjanti, 2014).

2.5.2 Membran Ultrafiltrasi
Chitosan dapat dibuat menjadi membran ultrafiltrasi. Setelah menjadi serbuk chitosan dapat langsung dibuat membran dengan melarutkannya dalam Asam Asetat sebagai pelarut. Sebelumnya harus dipastikan bahwa cetakan yang akan digunakan harus dibersihkan dahulu dengan menggunakan aseton. Setelah terbentuk suatu lapisan film basah cetakan dioven sampai film menjadi kering dimana diperlukan larutan NaOH 4% untuk merendam membran kering agar terlepas dari cetakannya. Selanjutnya, agar membran bersih dari alkali diperlukan aquabidestilata untuk pembilas (Widarta, 2004 dalam Kusumawati, 2009).
membran ultrafiltrasi
Gambar 7. Membran ultrafiltrasi
(Sumber: Kusumawati, 2009)

2.5.3 Benang/Kain Antibakteri
Beberapa penelitian aplikasi kitosan pada benang maupun kain kapas telah dilakukan untuk menghasilkan produk benang/kain yang bersifat antibakteri. Proses fiksasi kitosan pada benang/kain kapas dilakukan dengan cara memodifikasi struktur kimia kovalen serat kapas yang berupa selulosa sehingga terbentuk gugus aldehid dengan menggunakan oksidator natrium periodat (Yulina et al., 2014).

2.5.4 Plastik Biodegradable
Plastik biodegradable dari pati singkong dan kitosan ini menjadi salah satu alternatif bahan pembungkus. Selain ramah lingkungan karena mudah terurai, juga memiliki karakteristik awet dan tahan hingga bulan ke-3 dari pemakaian. (Feris, peneliti muda bidang kimia material dan komposit andalan DPPM UII) (Fachry dan Sartika, 2012).
Bioplastik yang dihasilkan, yaitu berupa lembaran tipis, transparan yang tidak tembus pandang dan elastis. Bioplastik dengan tambahan kitosan yang lebih banyak, tampak sedikit basah, berbau tajam dan asam. Bau tajam dan asam pada bioplastik disebabkan oleh asam asetat yang digunakan sebagai pelarut kitosan. Bioplastik ini mempunyai ketebalan sekitar 70-145 μm (Hartatik et al., 2014).
bioplastik
Gambar 8. Bioplastik
(Sumber: Hartatik et al., 2014)

2.5.5 Pengawetan Ikan
Pengawetan ikan menggunakan metode Ahmad et al. (2003) yang diterapkan oleh Mahatmanti et al. (2011) dalam Silvia et al. (2014) dimana untuk mencari optimalisasi kitosan sebagai bahan pengawetan kitosan maka kitosan yang digunakan divariasi konsentrasinya dengan cara melarutkan kitosan (w/v) kedalam asam asetat 1% (v/v) (Susanti et al., 2013 dalam Silvia et al., 2014). Sampel ikan kembung (Rastrelliger sp) dan ikan lele (Clarias batrachus). yang diambil dari tambak, kemudian ditimbang untuk diketahui massanya. Sampel ikan masing-masing direndam dalam larutan kitosan dengan konsentrasi yang bervariasi dengan perbandingan 1 kg ikan/1 L larutan kitosan. Penyimpanan dilakukan dengan variasi waktu serta cara pemberian larutan pengawetan ikan.

2.5.6 Plester Luka
Penelitian ini bertujuan untuk menguji dan mengembangkan aplikasi penutup luka secara sistem penghantaran obat melalui potongan kasa (transdermal patch) dengan modifikasi zat aktif kitosan yang diketahui sebagai alternatif untuk mengurangi aktivitas bakteri dan mempercepat penyembuhan luka. Sistem penghantaran obat secara transdermal merupakan salah satu inovasi modern untuk mengatasi problema bioavailabilitas obat jika diberikan melalui jalur lain seperti oral (NHF, 2008 dalam Waty, 2012). Oleh karena itu, diperlukan alternatif modifikasi plester kitosan untuk mempercepat penyembuhan luka ringan pada lapisan epidermis kulit dan diharapkan dapat mencegah meluasnya luka terinfeksi. Menurut Mutia (2009) dalam Waty (2012), berdasarkan kedalaman dan luasnya luka, maka luka dibagi menjadi luka stadium I-stadium IV. Plester luka ini ditujukan untuk luka pada stadium I, yaitu luka yang terjadi pada lapisan epidermis kulit bagian atas.

2.5.7 Pereduksi Kolesterol Lemak Kambing
Sebanyak 1 kg lemak/gajih yang berasal dari daging kambing dipanaskan pada suhu tetap 60oC hingga menjadi lemak cair sebanyak kira-kira 250 ml. Kadar kolesterol dalam lemak mula-mula dianalisis yaitu sebesar 27,87%. Selanjutnya dilakukan penyerapan kolesterol dengan menggunakan kitosan. Dalam penyerapan ini dilakukan ekstraksi dengan memasukkan 5 gr kitosan kedalam beaker glass yang berisi lemak kambing cair sebanyak 50 ml, diaduk suhu operasi dijaga tetap 60°C, waktu penyerapan divariasi masing-masing 10, 30, 45, dan 60 menit, selanjutnya dilakukan proses penyaringan, filtratnya diambil untuk dianalisis kandungan kolesterolnya dengan Spektrofotometri (Hargono et al., 2008).

2.5.8 Pengolah Limbah Industri
Salah satu fungsi kitosan adalah sebagai koagulan dan flokulan. Bahan koagulasi dan flokulasi ini dipergunakan terutama dalam bidang industri modern sebagai bahan pengolah limbah industri, oleh karena itu penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui keefektifan kitosan dalam mengikat logam berat yang terdapat di perairan. Hasil penelitian ini diharapkan agar kitosan dapat digunakan sebagai alternatif lain penurunan kandungan logam berat di perairan. Pemanfaatan kitosan dari kulit udang yang efektif diharapkan dapat menjadi salah satu alternatif dalam menanggulangi masalah polusi perairan (Nurhayati dan Pratiwi, 2016).

2.6   Manfaat Penggunaan Chitosan
Kitosan sangat berpotensi sebagai bahan antimikroba, karena mengandung enzim lysosim dan gugus aminopolysacharida yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba. Efisiensi daya hambat kitosan terhadap bakteri tergantung dari konsentrasi pelarutan kitosan (Wardaniati, et al. 2009 dalam Utami, 2013).
Chitosan memiliki beberapa manfaat bagi manusia, sehingga merupakan bahan perdagangan yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Manfaat chitosan antara lain adalah: (1) dalam bidang pertanian, chitosan menawarkan alternatif alami dalam penggunaan bahan kimia yang terkadang berbahaya bagi lingkungan dan manusia. Chitosan membuat mekanisme pertahanan pada tumbuhan (seperti vaksin bagi manusia), menstimulasi pertumbuhan dan merangsang enzim tertentu (sintesa fitoaleksin, chitinase, pectinnase, glucanase dan lignin). Pengontrol organik baru ini menawarkan pendekatan sebagai alat biokontrol; (2) dalam bidang pengolahan air, chitosan dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan membran ultrafiltrasi; (3) dalam bidang makanan, chitosan sudah banyak digunakan dalam komposisi makanan di Jepang, Eropa dan Amerika Serikat, sebagai perangkap lemak yang merupakan terobosan dalam bidang diet; dan (5) dalam bidang kesehatan, chitosan digunakan untuk bakteriostatik, immunologi, anti tumor, cicatrizant, homeostatic dan anti koagulan, obat salep untuk luka, ilmu pengobatan mata, ortopedi dan penyembuhan jahitan akibat pembedahan (Kusumawati, 2009).
Limbah udang yang berupa kulit, kepala dan ekor mengandung senyawa kimia berupa kitin, kitosan, protein, kalsium karbamat, lemak, air, abu dan lain-lain. Senyawa ini dapat diolah dan dimanfaatkan sebagai bahan penyerap logam-logam berat yang dihasilkan oleh limbah industri. Hal ini disebabkan karena senyawa kitin dan kitosan mempunyai sifat sebagai bahan pengemulsi koagulasi, reaktifikasi kimia yang tinggi menhasilkan sifat polielektrilit kation sehingga dapat berperan sebagai penukar ion (ion exchanger) dan berfungsi sebagai adsorben terhadap logam berat dalam air limbah (Fachry dan Sartika, 2012).

  
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut.
·      Chitosan adalah suatu polisakarida yang diperoleh melalui deasetilasi kitin.
·      Chitosan diperoleh dari cangkan crustacea diantaranya kepiting, rajungan dan udang.
· Proses isolasi chitin terdiri dari dua tahap, yaitu tahap deproteinasi dilanjutkan tahap demineralisasi dan pada akhirnya akan mengalami tahap deasetilasi dimana chitin mengalami transformasi menjadi chitosan.
·   Kitosan tidak beracun dan mudah terbiodegradasi. Kitosan tidak larut dalam air, dalam larutan basa kuat, dalam H2SO4 dan dalam beberapa pelarut organik seperti alkohol dan aseton. Kitosan sedikit larut dalam HCl dan HNO3, serta larut baik dalam asam lemah, seperti asam formiat dan asam asetat
·  Kitosan dapat diaplikasikan dalam berbagai bidang kehidupan, diantaranya bidang pangan, industri maupun kesehatan. Beberapa aplikasinya antara lain untuk pengawet mi dan ayam goreng, bahan pembuat membran ultrafiltrasi, benang/kain antibakteri, plastik biodegradable, pengawetan ikan, plester luka dan pereduksi kolesterol lemak kambing.
·  Chitosan memiliki beberapa manfaat bagi manusia antara lain dalam bidang pertanian, bidang pengolahan air, bidang makanan dan bidang kesehatan.

  
DAFTAR PUSTAKA

Fachry, A. R. dan A. Sartika. 2012. Pemanfaatan limbah kulit udang dan limbah kulit ari singkong sebagai bahan baku pembuatan plastik biodegradable. Jurnal Teknik Kimia. 3 (18): 1-9.
Ferdiansyah, V. 2005. Pemanfaatan kitosan dari cangkang udang sebagai matriks penyangga pada imobilisasi enzim protease. Skripsi. Program Studi Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Hargono, Abdullah dan I. Sumantri. 2008. Pembuatan kitosan dari limbah cangkang udang serta aplikasinya dalam mereduksi kolesterol lemak kambing. Reaktor. 12 (1): 53-57.
Harjanti, R. S. 2014. Kitosan dari limbah udang sebagai bahan pengawet ayam goreng. Jurnal Rekayasa Proses. 8 (1): 12-19.
Hartatik, Y. D., L. Nuriyah dan Iswarin. 2014. Pengaruh komposisi kitosan terhadap sifat mekanik dan biodegradable bioplastik. Jurusan Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Brawijaya.
Kusumawati, N. 2009. Pemanfaatan limbah kulit udang sebagai bahan baku pembuatan membran ultrafiltrasi. Inotek. 13 (2): 113-120.
Nurhayati dan D. Pratiwi. 2016. Pengaruh massa dan waktu pengadukan kitosan dalam menurunkan timbal dalam air. Seminar Nasional Sains dan Teknologi II. 132-139.
Prihatiningsih, K., I. Silviana dan N. Wandasari. 2014. Hubungan perilaku pengolahan limbah ikan asin dengan sanitasi lingkungan kerja fisik pada industri ikan asin di Pengolahan Hasil Perikanan Tradisional (PHPT) Muara Angke Pluit Jakarta Utara Tahun 2014. Forum Ilmiah. 12 (1): 77-86.
Purwanti, A. 2014. Evaluasi proses pengolahan limbah kulit udang untuk meningkatkan mutu kitosan yang dihasilkan. Jurnal Teknologi. 7 (1): 83-90.
Savitri, E., N. Soeseno dan T. Adiarto. 2010. Sintesis kitosan, poli (2-amino-deoksi-D-glukosa), skala pilot project dari limbah kulit udang sebagai bahan baku alternatif pembuatan biopolimer. Prosiding Seminar Nasional Teknik Kimia “Kejuangan” Pengembangan Teknologi Kimia untuk Pengolahan Sumber Daya Alam Indonesia. 1-10.
Silvia, R., S. W. Waryani dan F. Hanum. 2014. Pemanfaatan kitosan dari cangkang rajungan (Portonus sanginolentus L.) sebagai pengawet ikan kembung (Rastrelliger sp.) dan ikan lele (Clarias batrachus). Jurnal Teknik Kimia USU. 3 (4): 18-24.
Swastawati, F., I. Wijayanti dan Susanto. 2008. Pemanfaatan limbah kulit udang menjadi edible coating untuk mengurangi pencemaran lingkungan. Jurnal Perikanan. 4 (4): 101-106.
Trisnawati, E., D. Andesti dan A. Saleh. 2013. Pembuatan kitosan dari limbah cangkang kepiting sebagai bahan pengawet buah duku dengan variasi lama pengawetan. Jurnal Teknik Kimia. 2 (19): 17-26.
Utami, R. 2013. Pengaruh penambahan kitosan terhadap jumlah kuman pada mie basah. Artikel Publikasi Ilmiah. Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Waty, H. R. 2012. Modifikasi kitosan pada aplikasi plester luka berbasis kitosan (chitoplast) sebagai transdermal patch antibakteri. Skripsi. Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Yulina, R., W. Winiati dan C. Kasipah. 2014. Pengaruh berat molekul kitosan terhadap fiksasi kitosan pada kain kapas sebagai antibakteri. Arena Tekstil. 29 (2): 81-90.


Oleh: Khoirut Tamam, Andy Putra Dharmawan, Kiko Rahmad Dilaga K, Muhammad Yusup, Gandy Setiawan, Rizqun Mubaro, Kholifatul Zahro, Abdi Nugroho, Melynda Dwi Puspita, Nurul Burhanul Fitroh dan Faizatus Sholihah.       

Comments

Popular posts from this blog

Teknik Pendinginan Produk Perikanan

BAB I PENDAHULUAN 1.1         Latar Belakang Setelah meratifikasi Montreal Protocol pada tahun 1992 dan Kyoto Protocol pada tahun 1996, Indonesia juga tidak luput dari permasalahan global yang dihadapi oleh industri pendinginan dunia sebagai dampak dari kedua perjanjian internasional di atas. Dengan demikian, penelitian di bidang refrigeran dan pendinginan sangat penting dan bermanfaat dilakukan di Indonesia. Jenis refrigeran yang cocok diteliti kemungkinan pemakaiannya di lndonesia adalah refrigeran hidrokarbon, karena selain bersifat alami (natural) hidrokarbon juga tersedia sebagai sumber daya alam yang relatif besar. Penggunaan refrigeran hidrokarbon juga dapat menghemat energi bila dibanding refrigeran R12 (Maclaine dan Leonardi, 1997 dalam Sihaloho dan Tambunan, 2005 ). Aisbett dan Pham (1998) dalam Sihaloho dan Tambunan (2005) menyatakan bahwa penggunaan hidrokarbon sebagai refrigeran pengganti CFC dan HFC dapatmemberikan penghematan biaya yang signifikan untuk

Ikan Sebelah (Psettodes erumei)

1.   PENDAHULUAN 1.1   Latar Belakang Kekayaan alam laut Indonesia yang luas berpotensi menghasilkan hasil laut yang beraneka ragam dengan jumlah yang cukup besar yaitu sebanyak 6,26 juta ton per tahun. Hasil produksi perikanan laut ( marine fisheries ) di Indonesia mengalami peningkatan dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2012 mencapai 3,24 %, dimana pada tahun 2012 hasil produksi ikan laut sebanyak 5.829.194 ton. Hasil laut terutama ikan diolah untuk menjadi bahan pangan masyarakat (Purba et al., 2015). Tingkat konsumsi ikan Indonesia setiap tahun mengalami peningkatan, dimana pada tahun 2013 mencapai 35,62 kilogram per kapita dari tahun 2012, yaitu sebanyak 33,14 kilogram per kapita (Purba et al., 2015). Indonesia memiliki wilayah perairan tropis yang terkenal kaya dalam perbendaharaan jenis-jenis ikannya. Berdasarkan penelitian dan beberapa literatur diketahui tidak kurang dari 3.000 jenis ikan yang hidup di Indonesia.Dari 3.000 jenis tersebut sebanyak 2.700 jenis (90%) hidup di p

Enzim Transferase

BAB I PENDAHULUAN 1.1   Latar Belakang Indonesia mengimpor hampir seluruh kebutuhan enzim (sekitar 90%) dari luar negeri. Dari aspek pasar, kebutuhan enzim di Indonesia terus meningkat sebagaimana dapat dilihat dari nilai impor. Menurut Badan Pusat Statistik, impor untuk produksi farmasetika tahun 2007 adalah sebesar 2,988 trilyun rupiah, tahun 2008 menjadi 3,391 trilyun rupiah dan pada tahun 2011 diperkirakan menjadi 4,55 trilyun rupiah. Kebutuhan enzim dunia terus meningkat yaitu sebesar 6,5% per tahun dan menjadi $5,1 miliar pada tahun 2009 (Trismilah et al. , 2014).   Enzim adalah protein yang berfungsi sebagai katalisator untuk reaksi-reaksi kimia didalam sistem biologi. Katalisator mempercepat reaksi kimia. Walaupun katalisator ikut serta dalam reaksi, ia kembali ke keadaan semula bila reeaksi telah selesai. Enzim adalah katalisator protein untuk reaksi-reaksi kimia pasa sistem biologi. sebagian besar reaksi tersebut tidak dikatalis oleh enzim (Indah, 2004). E