Skip to main content

Elasmobranchii

 

Biskuit Tulang Ikan Patin (Pangasius sp.)


makalah biskuit tulang ikan patin
Makalah Biskuit Tulang Ikan Patin (Pangasius sp.)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Pengolahan sumberdaya perikanan terutama ikan belum optimal dilakukan sampai dengan pemanfaatan limbah hasil perikanan, seperti kepala, tulang, sisik, dan kulit. Seiring dengan berkembangnya industri perikanan, limbah yang dihasilkan dari produksi perusahaan juga meningkat. Pada usaha pengolahan ikan hampir selalu dihasilkan limbah berupa padatan (tulang, kepala) dan cairan yang secara langsung maupun tidak akan memberikan dampak kurang baik terhadap lingkungan karena menimbulkan pencemaran. Limbah padat yang berasal dari usaha industri perikanan maupun pengolahan rumah tangga cukup besar, salah satunya adalah tulang ikan. Limbah perikanan yang berasal dari tulang ikan patin sebagai salah satu contoh masih belum diolah dan dimanfaatkan. secara maksimal.
Masalah limbah ini harus ditangani dan diatasi dengan baik dan terencana sehingga dapat mengurangi biaya yang harus dikeluarkan serta menghindari terjadinya pencemaran lingkungan. Proses penanganan limbah industri perikanan yang umum dilakukan adalah pengolahan menjadi pakan ternak, penimbunan dan pembakaran.
Salah satu bentuk pengolahan tulang ikan patin yang dilakukan adalah penepungan. Tepung tulang ikan adalah suatu produk padat kering yang dihasilkan dengan cara mengeluarkan sebagian besar cairan atau seluruh lemak yang terkandung pada tulang ikan (Kaup et al., 1991).
Tulang ikan patin yang telah diolah menjadi tepung memiliki kandungan mineral tinggi terutama kalsium dan fosfor. Hal tersebut dapat menjadi sumber alternatif pemanfaatan limbah hasil perikanan kususnya tulang ikan sebagai sumber kalsium dan fosfor. Pengolahan tulang ikan patin menjadi tepung dengan kandungan kalsium dan fosfor yang tinggi dapat diterapkan kedalam salah satu bentuk produk pangan yang mudah diterima oleh masyarakat Indonesia. Pemilihan bentuk diversifikasi produk yang dipilih adalah biskuit dikarenakan produk ini sudah dikenal luas oleh masyarakat Indonesia untuk semua golongan umur dan tingkat sosial masyarakat. Selain itu biskuit umumnya merupakan bahan pangan yang relatif murah harganya sehingga banyak disukai dan dikonsumsi oleh masyarakat dari berbagai kalangan.

1.2. Rumusan Masalah
1.      Bagaimana karakteristik fisik tepung tulang ikan patin (Pangasius sp.)?
2.      Bagaimana karakteristik kimia tepung tulang ikan patin (Pangasius sp.)?
3.      Bagaimana solubilitas kalsium dan fosfor biskuit?
4.      Apa kandungan gizi biskuit tepung tulang ikan patin?

1.3. Tujuan Pembahasan
Sesuai dengan permasalahan yang sudah dirumuskan maka penulisan ini bertujuan untuk:
1.      mendeskripsikan karakteristik fisik tepung tulang ikan patin (Pangasius sp.).
2.      mendeskripsikan karakteristik kimia tepung tulang ikan patin (Pangasius sp.).
3.      mendeskripsikan solubilitas kalsium dan fosfor biskuit.
4.      mengetahui kandungan gizi biskuit tepung tulang ikan patin.

1.4. Manfaat Hasil Penulisan
Hasil penulisan ini diharapkan bermanfaat bagi pembaca terutama mahasiswa perikanan dan pembudidaya ikan patin serta masyarakat umum agar mengetahui manfaat tepung tulang ikan patin yang dapat digunakan sebagai salah satu pilihan bahan pangan untuk memperbaiki kualitas gizi masyarakat serta sebagai salah satu inisiatif usaha untuk memperoleh keuntungan finansial dan untuk pengembangan ilmu perikanan. Selain untuk campuran bahan pembuatan biskuit, diharapkan masyarakat dapat berinovasi membuat olahan makanan baru yang terbuat dari tulang ikan patin.


BAB II
LANDASAN TEORI
2.1. Ikan Patin
Ikan  patin  merupakan  salah  satu jenis ikan yang bernilai ekonomis tinggi, dengan rasa daging yang enak. Ikan patin memiliki banyak kelebihan daripada ikan air tawar lainnya, diantaranya ikan patin termasuk salah satu ikan yang rakus  terhadap makanan, dalam enam bulan ikan patin sudah bisa mencapai panjang 35-40 cm, tempat pemeliharan ikan patin tidak memerlukan air yang mengalir, bahkan di perairan yang kandungan oksigennya rendah ikan patin masih dapat hidup dan berkembang. Ikan patin banyak ditemukan di sungai dan danau karena  ikan ini merupakan ikan yang hidup di perairan umum (Khairuman dan Suhendra, 2002). Ikan patin memiliki kulit berwarna hitam di bagian atas dan putih di bagian bawah, seperti pada Gambar 1.
 
ikan patin
Gambar 1. Ikan patin

 Klasifikasi ikan patin (Pangasius sp.) menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut :
Filum               : Chordata
Subfilum         : Vertebrata
Subkelas          : Teleostei
Ordo                : Ostariophysi
Famili              : Pangasidea
Genus              : Pangasius
Spesies            : Pangasius sp.
Ikan patin memiliki badan yang memanjang berwarna putih seperti perak dengan punggung berwarna kebiru-biruan. Panjang tubuhnya dapat mencapai 120 cm. Ikan patin tidak memiliki sisik, kepala relatif kecil dengan mulut terletak di ujung kepala agak sebelah bawah. Pada sudut mulutnya terdapat dua pasang kumis pendek yang berfungsi sebagai peraba (Susanto dan Amri, 1997).
Ikan  patin cukup potensial dibubidayakan di berbagai media pemeliharaan yang berbeda seperti kolam, keramba dan jala apung. Budidaya ikan ini meliputi dua kegiatan yakni pembenihan dan pembesaran. Kegiatan pembenihan  merupakan upaya  untuk  menghasilkan  benih  pada  ukuran tertentu. Pembesaran merupakan kegiatan untuk menghasilkan ikan yang siap dikonsumsi, meskipun ukuran ikan yang dikonsumsi biasanya berbeda sesuai dengan kebutuhan pasar (Susanto dan Amri, 1997).

2.2. Tulang Ikan
Tulang ikan  yang  memiliki  proporsi  10%  dari  total susunan tubuh ikan  merupakan salah satu limbah pengolahan ikan yang memiliki kadar kalsium dalam jumlah tinggi. Tulang ikan banyak mengandung kalsium dalam bentuk  kalsium fosfat sebanyak 14%  dari total susunan tulang (Subasinghe, 1996). Tulang ikan berbentuk seperti pohon yang bercabang sebagaimana terlihat dalam Gambar 2.
 
tulang ikan patin
Gambar 2. Tulang ikan patin

Menurut Lovell (1989), beberapa mineral pada ikan merupakan unsur pokok dari jaringan keras seperti tulang, sirip dan sisik. Navarro (1991) dalam Martinez et al. (1998) menjelaskan bahwa kandungan mineral ikan bergantung pada spesies, jenis kelamin, siklus biologis dan bagian tubuh yang dianalisis. Martinez et al. (1998) menambahkan bahwa kandungan mineral juga bergantung pada faktor ekologis seperti musim, tempat pengembangan, ketersediaan jumlah nutrisi, suhu dan salinitas air. Unsur utama dari tulang ikan adalah kalsium, fosfor dan karbonat, sedangkan yang terdapat dalam jumlah kecil, yaitu magnesium, sodium, stronsium, fitat, klorida, hidroksida dan sulfat (Halver, 1989). Persentase berat kalsium pada ikan secara umum adalah 0,1-1% dengan rasio kalsium dan fosfor adalah 1,6 : 0,7 (Lovell, 1989).
Menurut Winarno (2002), tulang merupakan jaringan pengikat yang sangat khusus bentuknya. Tulang dibentuk dalam dua proses yang terpisah, yaitu pembentukan matriks dan penempatan mineral kedalam matriks tersebut. Tiga jenis komponen seluler terlibat didalamnya dengan fungsi yang berbeda-beda yaitu osteoblast dalam pembentukan tulang, osteocyte dalam pemeliharaan tulang, dan osteoclast dalam penyerapan kembali tulang. Osteoblast membentuk kolagen tempat mineral- mineral melekat. Mineral utama di dalam tulang adalah kalsium dan fosfor, sedangkan mineral lain terdapat dalam jumlah kecil, yaitu natrium, magnesium dan flour. Tulang mengandung kurang lebih 36% kalsium, 17% fosfor dan 0,9% magnesium (Maynard dan Loosli, 1956).

2.3. Tepung Tulang Ikan
Tepung tulang merupakan sumber kalsium dan fosfor yang baik. Menurut Anggorodi (1985), tepung tulang dapat diperoleh melalui tiga proses, yaitu :
1.    Pengukusan. Tulang dikukus kemudian dikeringkan dan digiling untuk menghasilkan tepung tulang.
2.    Pemasakan dengan uap di bawah tekanan. Tulang dimasak dengan tekanan kemudian diarangkan dalam bejana tertutup sehingga didapat tulang dalam bentuk remah dan dapat digiling menjadi tepung.
3.    Abu tulang yang diperoleh dari pembakaran tulang.

Menurut Anggorodi (1985), protein tepung tulang yang diperoleh dengan pengukusan mutunya lebih rendah karena kandungan gelatinnya tinggi. Tepung tulang yang  diperoleh  dengan cara pemasakan dengan tekanan dan pengeringan (steam bone meal) rata-rata mengandung 30,14% kalsium dan 14,53% fosfor. Tepung tulang yang diperoleh dengan cara pengukusan akan kehilangan protein. Selain itu kandungan fosfor serta kalsiumnya rendah. Komposisi tepung tulang ini terdiri dari 26% protein, 5% lemak, 22,96% kalsium dan 10,25% fosfor (Morisson, 1958). Tepung tulang ikan memiliki tekstur layaknya tepung terigu namun berwarna putih kekuningan, seperti pada Gambar 3.
 
tepung tulang ikan patin
Gambar 3. Tepung tulang ikan patin

Protein pada tulang ikan sebagian besar terdiri dari kolagen. Kolagen adalah protein yang banyak terdapat pada jaringan tubuh, dapat ditemukan pada kulit, jaringan pengikat dan tulang serta merupakan protein struktural tubuh. Kolagen merupakan protein dari golongan protein fibril/skleroprotein yang struktur molekulnya berbentuk serabut. Protein ini tidak larut dalam pelarut-pelarut encer, baik larutan garam, asam, basa ataupun alkohol (Winarno, 1985).
Secara nutrisi kolagen bukanlah protein yang baik. Komposisi asam amino kolagen tidak ideal (terlalu banyak Pro, Gly, Ala), selain itu kolagen pada kondisi alami sulit dicerna oleh tripsin dan kemotripsin. Kolagen menjadi lebih mudah dicerna dalam bentuk yang sudah terdenaturasi (Alais dan Linden, 1991).

2.4. Kalsium
Sumber kalsium baik pada manusia maupun hewan adalah makanan yang telah mengalami pencernaan di dalam saluran makanan. Suatu keadaan yang bersifat asam adalah sangat diperlukan agar kalsium dapat dengan baik diserap oleh usus. Absorpsi kalsium terjadi di bagian atas dari usus halus, karena di tempat inilah keadaannya lebih bersifat asam daripada bagian lainnya dari usus (Piliang dan Djojosoebagio, 2006).
Terdapat tiga bentuk kalsium dalam darah, yaitu : (1) Kalsium yang terikat dengan protein (protein bound calcium atau nondiffusible calcium). Keadaan ini memungkinkan kalsium untuk berikatan dengan albumin dan sebagian kecil lagi berikatan dengan globulin. (2) Kalsium dalam bentuk ion (Ca2+) dan (3) kalsium kompleks  yaitu  yang  berikatan  dengan fosfat, bikarbonat atau sitrat (Piliang dan Djojosoebagio, 2006).
Tubuh manusia mengandung lebih banyak kalsium daripada mineral lain. Menurut Winarno (2002), diperkirakan 2% dari berat badan orang dewasa atau sekitar 1,0-1,4 kg terdiri dari kalsium. Sekitar 99% berada dalam jaringan keras yaitu tulang dan gigi terutama dalam bentuk hidroksiapatit {(3Ca(PO3).Ca(OH)2}. Kalsium tulang berada dalam keadaan seimbang dengan kalsium plasma pada konsentrasi kurang lebih 2,25-2,60 mmol/l atau setara dengan 9-10,4 mg/100 ml (Almatsier, 2002).

2.5. Fosfor
Fosfor banyak sekali ditemukan baik di hewan maupun tanaman. Unsur ini  dijumpai di dalam semua sel tubuh, dalam cairan tubuh dan dalam hampir semua  makanan. Dilihat dari segi fisiologi, fosfor memegang peranan di dalam proses  kontraksi otot, pada pembentukan tulang (osifikasi) dan aktivitas sekretosis. Selain itu fosfor memegang peranan penting dalam pembentukan fosfat yang sangat diperlukan dalam transformasi energi (Piliang dan Djojosoebagio, 2006).
Penyebaran fosfor di dalam tubuh dilakukan dengan bantuan peredaran darah dan cairan antar sel (intercellular fluid). Bentuk fosfor yang diserap melalui usus terdiri dari ikatan atau senyawa fosfat anorganik dan fosfat organik. Senyawa-senyawa fosfat ini dibebaskan dari makanan setelah mengalami hidrolisis selama proses pencernaan terjadi (Piliang dan Djojosoebagio, 2006).
Proses absorpsi fosfor dan kalsium saling berpengaruh erat sekali. Menurut Sediaoetama (2006), untuk absorpsi kalsium yang baik diperlukan perbandingan Ca:P dalam hidangan 1:1 sampai 1:3. Selanjutnya menurut Guthrie (1975) batasan bagi rasio perbandingan Ca:P adalah dibawah 1:2. Perbandingan Ca:P lebih besar dari 1:3 akan menghambat penyerapan kalsium, sehingga hidangan yang demikian akan menimbulkan penyakit defisiensi kalsium, yaitu rakhitis (Sediaoetama, 2006).
Allen dan Wood (1994) menyatakan bahwa baik jumlah fosfor bahan pangan maupun rasio Ca:P tidak mempengaruhi penyerapan kalsium pada orang dewasa atau bayi dengan berat di bawah normal. Hal tersebut serupa dengan pernyataan dari Almatsier (2002), bahwa bukti nyata terhadap anggapan adanya pengaruh rasio Ca:P ini belum ada sampai sekarang. Pada umumnya rasio kalsium : fosfor dalam makanan antara 1:1 dan 1:2.

2.6. Biskuit
Biskuit adalah kue manis berukuran kecil yang terbuat dari tepung terigu. Menurut Standar Nasional Indonesia (1992), biskuit adalah produk pangan kering yang dibuat dengan memanggang adonan yang mengandung bahan dasar terigu, lemak dan bahan pengembang dengan atau tanpa penambahan bahan tambahan lain yang diizinkan. Sedangkan menurut Charley (1982) biskuit yang bermutu baik adalah biskuit yang memiliki kulit berwarna coklat keemasan dengan tanpa adanya noda-noda coklat, bentuknya simetris serta bagian atasnya rata dan halus. Biskuit tulang ikan memiliki bentuk yang bermacam-macam sesuai selera, seperti bulat, persegi dan bunga sebagaimana terlihat pada Gambar 4.
biskuit tulang ikan patin
Gambar 4. Biskuit tulang ikan patin

Biskuit yang baik adalah biskuit yang memiliki kandungan nutrisi yang dapat bermanfaat bagi tubuh. Persyaratan mutu biskuit menurut Standar Nasional Indonesia tahun 1992 (SNI 01-2973-1992) seperti terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Syarat mutu biskuit (SNI 01-2973-1992) tahun 1992
Kriteria Uji (Parameter)
Syarat Mutu
Kadar air (% b/b)
Maksimum 5,0
Kadar protein (% b/b)
Minimum 9,0
Kadar abu (% b/b)
Maksimum 1,5
Bahan tambahan makanan
- Pewarna dan pemanis buatan

Tidak boleh ada
Kadar cemaran logam
- Tembaga (mg/kg)
- Timbal (mg/kg)
- Seng (mg/kg)
- Merkuri (mg/kg)

Maksimum 10,0
Maksimum 1,0
Maksimum 40,0
Maksimum 0,05
Cemaran mikroba
- TPC (koloni/g)
- Coliform (APM/g)
- E. coli (APM/g)
- Kapang (koloni/g)

Maksimum 1,0x106
Maksimum 20,0
<3
Maksimum 1,0x102


BAB III
PEMBAHASAN
3.1. Karakteristik Fisik Tepung Tulang Ikan Patin (Pangasius sp.)
Analisis fisik yang dilakukan terhadap tepung tulang ikan patin (Pangasius sp.) yang dihasilkan meliputi rendemen, derajat putih, daya serap air dan densitas kamba sebagaimana disajikan pada Tabel 2. 
Tabel 2. Karakteristik fisik tepung tulang ikan patin (Pangasius sp.)
Karakteristik
Metode Pembuatan
Metode kering
Metode basah
Rendeman (%)
81,73
91,83
Derajat putih (%)
62,82 ± 0,27a
62,31 ± 0,50a
Daya serap air (%)
48,54 ± 0,73a
62,77 ± 1,42b
Densitas kamba (g/ml)
0,80 ± 0,01a
0,79 ± 0,02a
Angka-angka pada baris yang sama diikuti huruf superscript berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)

Menurut Kaya (2008), rendemen merupakan hasil persentase antara produk akhir (tepung tulang ikan patin) yang dihasilkan dengan produk awal (tulang ikan patin). Rendemen sangat penting diketahui untuk mendapat gambaran suatu produk dapat dimanfaatkan dengan baik atau untuk mengetahui nilai ekonomis dari produk tersebut. Semakin tinggi rendemen suatu produk dapat dikatakan bahwa produk tersebut memiliki nilai ekonomis yang tinggi pula. Rendemen tepung tulang ikan patin yang diperoleh untuk metode kering sebesar 81,73%; sedangkan untuk metode basah sebesar 91,83%. Hasil tersebut menunjukkan bahwa metode basah mempunyai rendemen yang lebih besar. Hal tersebut dikarenakan pada saat pembuatan tepung dengan metode basah sampel tulang sudah mengalami proses pelunakan sehingga pada saat diolah menjadi tepung tidak banyak bagian yang terbuang dan menghasilkan tepung yang lebih banyak, sedangkan untuk metode kering tulang dalam keadaan keras sehingga pada saat akan diolah menjadi tepung banyak bagian yang terbuang dan pada saat diayak akan menghasilkan tepung dalam jumlah lebih kecil. Rendemen tepung tulang ikan patin sangat dipengaruhi oleh kualitas filleting ikan patin tersebut. Kualitas filleting ini menunjukkan sedikit banyaknya sisa daging yang menempel pada tulang. Semakin baik kualitas filleting ikan, semakin sedikit daging yang tertinggal dan semakin tinggi rendemen tepung tulang ikan tersebut begitu juga sebaliknya.
Menurut BPPIS (1989), derajat putih suatu bahan merupakan daya memantulkan cahaya dari bahan tersebut terhadap cahaya yang mengenai permukaan. Menurut Faridah et al. (2006), semakin tinggi derajat putih tepung berarti semakin banyak pula cahaya yang dipantulkan di dalam Whiteness-meter. Selanjutnya dikatakan oleh Desrosier (1988), pengeringan bahan pangan akan mengubah sifat-sifat fisik dan kimia bahan pangan tersebut dan diduga dapat mengubah kemampuannya memantulkan, menyebarkan, menyerap dan meneruskan sinar sehingga mengubah warna bahan pangan.
Pengukuran nilai derajat putih tepung tulang ikan yang dihasilkan dari metode kering dan basah berturut-turut  adalah 62,82% dan 62,31% dibandingkan dengan barium sulfat (BaSO4). Metode pembuatan tepung tulang ikan patin tidak berpengaruh nyata terhadap nilai derajat putih. Derajat putih tepung tulang ikan patin masih kecil, dikarenakan dalam pembuatan tepung tulang ikan patin tidak menggunakan bahan-bahan tambahan (pemutih) untuk memutihkan tepung tulang ikan patin. Buckle  et al. (1987) menyatakan bahwa tepung yang dijual secara komersial biasanya menggunakan pemutih karena konsumen sangat menyukai warna tepung yang putih. Desrosier (1988) mengatakan bahwa warna bahan pangan bergantung pada kenampakan bahan pangan tersebut dan kemampuan dari bahan pangan untuk memantulkan, menyebarkan, menyerap atau meneruskan sinar tampak. Pengeringan bahan pangan akan mengubah sifat-sifat fisik dan kimianya dan diduga mengubah kemampuannya memantulkan, menyebar, menyerap dan meneruskan sinar sehingga mengubah warna bahan pangan.
Tepung tulang ikan merupakan produk dengan kadar air yang rendah, oleh sebab itu analisis daya serap air perlu diketahui terhadap tepung tulang ikan yang dihasilkan. Daya serap air adalah nilai rata-rata penyerapan air. Penyerapan air dapat berhubungan dengan tekstur tepung tulang yang dihasilkan. Daya serap air tergantung pada jumlah dan keadaan alami komponen hidrofilik protein, disamping itu tergantung juga pada pH dan denaturasi protein (Lin dan Zayes, 1987). Beberapa denaturasi menyebabkan pembalikan sisi hidrofobik ke bagian luar sehingga menurunkan daya serap air (Lehninger, 1984). Hasil analisis daya serap air tepung tulang ikan patin yang dihasilkan dari metode kering dan basah berturut-turut adalah 48,54% dan 62,77%. Metode kering menghasilkan tepung tulang ikan patin dengan nilai daya serap air lebih rendah dan berbeda nyata dengan metode basah. Daya serap air yang berbeda menunjukkan bahwa tingkat denaturasi protein yang terjadi pada kedua metode berbeda pula, yaitu pembalikan sisi gugus hidrofilik ke bagian dalam dan hidrofobik ke bagian luar dari metode kering lebih besar dari metode basah.
Densitas  kamba  (bulk density) merupakan sifat fisik bahan pangan yang dipengaruhi oleh ukuran bahan dan kadar air. Densitas kamba dinyatakan dalam satuan g/ml. Nilai densitas kamba yaitu jumlah rongga yang terdapat diantara partikel-partikel bahan. Menurut Wirakartakusumah  et al. (1992), dalam volume yang sama, tepung yang memiliki densitas kamba yang lebih tinggi memiliki berat yang lebih tinggi daripada tepung yang memiliki densitas kamba yang rendah. Hasil analisis densitas kamba tepung tulang ikan patin yang dihasilkan dari metode kering dan basah adalah 0,80 g/ml dan 0,79 g/ml. Nilai tersebut menunjukkan bahwa pada volume 1 ml, berat tepung berturut-turut adalah 0,80 g dan 0,79 g. Metode pembuatan tepung tulang ikan patin tidak berpengaruh nyata terhadap densitas kamba. Pengetahuan tentang densitas kamba berguna bagi keperluan penyimpanan dan transportasi. Semakin besar nilai densitas kamba suatu tepung maka semakin kecil ruangan penyimpanan atau pengemasan dan biaya transportasi. Nilai densitas kamba dipengaruhi oleh ukuran partikel, kekerasan permukaan dan metode pengukuran. Kecenderungan nilai densitas kamba tepung berbanding terbalik dengan kadar air, yaitu semakin rendah kadar air menyebabkan semakin tinggi kekambaan tepung atau semakin rendah densitas kambanya. Wirakartakusumah et al. (1992) menyatakan bahwa suatu bahan pangan bersifat kamba jika nilai densitas kambanya kecil, berarti untuk berat yang ringan dibutuhkan ruang (volume) besar.

3.2. Karakteristik Kimia Tepung Tulang Ikan Patin (Pangasius sp.)
Analisis kimia terhadap tepung tulang ikan patin (Pangasius sp.) meliputi kadar air, abu, kalsium, fosfor, nilai pH sebagaimana disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Karakteristik kimia tepung tulang ikan patin (Pangasius sp.)
Parameter
Tepung tulang ikan patin
Tepung tulang ikan produksi ISA, 2002
Metode kering
Metode basah
Air (%)
6,53b
4,95a
3,6
Protein (%)
22,23a
20,53a
34,2
Lemak (%)
2,73a
2,09a
5,6
Karbohidrat
-
-
23,5
Abu (%)
56,38a
58,15b
33,1
Kalsium (mg/g bk)
264,53a
244,02a
11,9%
Fosfor (mg/g bk)
88,38a
71,96a
11,6%
pH 7,56
7,56a
7,88b
-
Angka-angka pada baris yang sama diikuti huruf superscript berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)

Air merupakan komponen penting yang dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk berkembang biak dalam produk pangan karena didalam pengolahan pangan, air sering dikeluarkan atau dikurangi dengan cara penguapan atau pengeringan. Nilai  aktivitas air (a) merupakan salah  satu faktor yang ikut berperan dalam pertumbuhan mikroorganisme. Masing-masing mikroorganisme membutuhkan jumlah air yang berbeda untuk pertumbuhannya. Purnomo (1995) menyatakan bahwa pada nilai a tinggi (0,91) bakteri umumnya tumbuh dan berkembang biak; khamir dapat tumbuh dan berkembang biak pada nilai a 0,87-0,91; sedangkan jamur lebih rendah, yaitu 0,80-0,87. Hasil analisis kadar air tepung tulang ikan patin yang dihasilkan melalui metode kering dan basah berturut-turut adalah 6,53% dan 4,95%. Hasil yang diperoleh tersebut ternyata masih lebih tinggi dari standar kadar air yang ditetapkan oleh International of Seafood Alaska [ISA] 2002, yaitu 3,4% serta hasil penelitian oleh Mulia (2004) yaitu sebesar 3,6%. Metode basah menghasilkan tepung tulang ikan patin dengan nilai kadar air yang lebih rendah dan berbeda nyata dengan metode kering. Perbedaan kadar air tersebut dipengaruhi oleh metode pembuatan tepung tulang ikan serta metode pengeringan tepung (Winarno dan Fardiaz, 1973).
Menurut Sulaeman   et al. (1995), kandungan abu dari suatu bahan pangan menunjukkan residu bahan anorganik yang tersisa setelah bahan organik dalam makanan didestruksi. Kandungan mineral ditentukan dengan menetapkan kandungan abu dari bahan tersebut. Abu sisa pembakaran itu dianggap sebagai mineral dari bahan pangan. Hasil analisis kadar abu tepung tulang ikan patin yang dihasilkan melalui dari metode kering dan basah berturut-turut adalah 56,38% dan 58,15%. Nilai kadar abu yang diperoleh tersebut masih lebih tinggi dari standar nilai kadar abu yang dikeluarkan oleh ISA yaitu 33,1%. Metode kering menghasilkan tepung tulang ikan patin dengan kadar abu yang lebih kecil dan berbeda nyata dengan metode basah. Kadar abu merupakan gambaran kasar dari kandungan mineral. Kadar abu tidak selalu ekuivalen dengan kadar mineral meskipun kadar abu merupakan gambaran kasar dari kandungan mineral (Apriyantono et al., 1989).
Menurut Rasyaf (1990), tepung  tulang  ikan  dapat  digunakan  sebagai  sumber  kalsium dan  fosfor karena mengandung kalsium 24-30% dan fosfor 12-15%, jumlah tersebut jauh lebih besar daripada kandungan kalsium dan fosfor pada tepung ikan. Tepung tulang yang kaya akan kalsium dan fosfor ini tentunya tepung tulang yang sudah diolah, terutama harus bebas hama yang berarti sudah disterilisasikan. Hasil analisis kadar kalsium tepung tulang ikan patin yang dihasilkan dari metode kering dan basah memiliki nilai berturut-turut sebesar 264,53 mg/g bk dan 244,02 mg/g bk. Martinez et al. (1998) menyatakan bahwa metode pembuatan tepung tulang ikan patin tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kandungan kalsium. Kandungan mineral juga bergantung pada faktor ekologis seperti musim, tempat pembesaran, jumlah nutrisi tersedia, suhu dan salinitas. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa metode kering menghasilkan kadar kalsium yang relatif lebih tinggi dari metode basah. Penggunaan suhu, waktu dan metode yang berbeda akan menghasilkan tepung tulang ikan patin dengan kadar kalsium yang berbeda pula. Hasil tersebut juga menunjukkan bahwa tepung tulang ikan dari sumber yang sama tetapi dengan cara pengolahan/pembuatan yang berbeda akan menghasilkan kadar kalsium yang berbeda pula. Protein yang terdapat dalam tepung tulang ikan patin adalah protein kolagen yang akan terdenaturasi akibat pemanasan pada saat proses pembuatan tepung menjadi gelatin yang mudah larut. Kelarutan dan keberadaan dari gelatin ini akan meningkatkan kelarutan dan keberadaan kalsium dari tepung tulang ikan patin. Hal tersebut diperkuat oleh pendapat dari Yoshie et al. (1997) yang mengatakan bahwa ketersediaan dan kelarutan protein ternyata mempengaruhi ketersediaan dan kelarutan mineral.
Halver (1989) mengatakan bahwa fosfor merupakan salah satu unsur utama pembentukan tulang ikan. Muchtadi et al. (1993) juga menjelaskan bahwa fosfor merupakan mineral kedua terbanyak setelah kalsium (sekitar 22% dari total mineral) dimana 85% diantaranya terdapat pada tulang.  Hasil analisis kadar fosfor tepung tulang ikan patin yang dihasilkan dari metode kering dan basah adalah 88,38 mg/g bk dan 71,96 mg/g bk. Hasil yang diperoleh memperlihatkan bahwa metode kering juga menghasilkan fosfor dengan kadar lebih tinggi daripada metode basah, dengan demikian penggunaan suhu, waktu dan metode yang berbeda akan menghasilkan tepung tulang ikan patin dengan kadar fosfor yang berbeda pula. Rasio antara Ca:P untuk metode kering adalah 3:1, sedangkan untuk metode basah adalah 3,4:1. Proses absorpsi menunjukkan bahwa Ca dan P saling berpengaruh erat sekali. Untuk absorpsi Ca yang baik, diperlukan perbandingan Ca:P di dalam rongga usus (di dalam hidangan) 1:1 sampai 1:3. Metode pembuatan tepung tulang ikan patin tidak berpengaruh nyata terhadap kadar fosfor. Perbandingan Ca:P lebih besar dari 1:3 akan menghambat penyerapan Ca, sehingga hidangan yang demikian akan mengakibatkan penyakit defisiensi Ca, yaitu rakhitis. Hidangan yang mudah menimbulkan penyakit rakhitis ini disebut hidangan rakhitogenik (Sediaoetama, 2006).
Nilai pH sangat memegang peranan penting dalam proses penyerapan zat gizi dalam tubuh. Nilai pH suatu bahan pangan akan mempengaruhi proses penanganan dan pengolahan bahan pangan tersebut. Almatsier (2002) menyatakan bahwa kalsium membutuhkan pH asam agar dapat berada dalam keadaan terlarut karena kalsium hanya bisa diabsorpsi bila terdapat dalam bentuk larut air. Hasil analisis nilai pH tepung tulang ikan patin yang dihasilkan dari metode kering dan basah memiliki berturut-turut sebesar 7,56 dan 7,88. Metode kering menghasilkan tepung tulang ikan patin dengan nilai pH yang lebih rendah dan berbeda nyata dengan metode basah. Menurut Labuza (1977) dalam Hardman (1989) ikatan protein terbesar adalah ikatan hidrogen antara grup C-O dan NH atau ikatan peptida. Pada pH kurang dari pH isoelektrik (<5,2-5,4) kemungkinan terlalu banyak muatan positif dan jika pH lebih besar dari pH isoelektrik terlalu banyak muatan negatif. Perubahan nilai pH/kekuatan ion dapat mengubah distribusi muatan diantara rantai sisi asam amino yang akan meningkatkan atau mengurangi interaksi protein.

3.3. Solubilitas Kalsium Dan Fosfor Biskuit
Menurut Almatsier (2002), kalsium membutuhkan pH asam agar dapat berada dalam keadaan terlarut. Kalsium hanya bisa diabsorpsi bila terdapat dalam bentuk larut air dan tidak mengendap karena unsur makanan lain seperti oksalat. Kelarutan merupakan salah satu syarat dalam penyerapan kalsium. Menurut Allen dan Wood (1994) kelarutan kalsium meningkat dalam lingkungan asam pada perut, tetapi ion terlarut akan bergabung kembali kemudian berpresipitasi dalam jejunum dan ileum dimana pH-nya mendekati netral. Hasil analisis nilai pH tepung tulang ikan patin berkisar pada nilai 6 sehingga memudahkan proses penyerapan kalsium. Menurut Lovell (1989), kalsium pada ikan terutama pada tulang membentuk kompleks dengan fosfor dalam bentuk apatit atau trikalsiumfosfat. Lutwak (1982) menambahkan bahwa bentuk ini terdapat pada  abu tulang  yang  dapat  diserap  dengan  baik  oleh tubuh, yaitu berkisar 60-70%. Pada umumnya persen solubilitas fosfor akan menurun seiring dengan peningkatan nilai pH atau derajat keasaman rendah. Fosfor dapat diabsorpsi secara efisien sebagai fosfor bebas di dalam usus setelah dihidrolisis dan dilepas dari makanan (Almatsier, 2002).

3.4. Kandungan Gizi Biskuit Tepung Tulang Ikan Patin
Kandungan gizi biskuit formulasi berdasarkan angka kecukupan gizi (AKG) rata-rata yang dianjurkan untuk per orang per hari untuk usia 19-29 tahun, berdasarkan diet sebesar 2000 kkal. Menurut Kaya (2008), informasi kandungan gizi biskuit sebagaimana disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Informasi kandungan gizi biskuit komersial dan tulang ikan patin

informasi gizi biskuit tulang ikan patin

Apabila seluruh zat gizi dapat diserap dengan baik oleh tubuh, konsumsi 7 keping (35 g) biskuit formulasi tepung tulang ikan patin menyumbang kebutuhan kalsium sebesar 14,92% dan fosfor sebesar 18,49%. Persentase didasarkan pada AKG zat gizi dengan nilai energi diet sebesar 2000 kkal.


BAB IV
PENUTUP
4.1. Simpulan
1.      Karakteristik fisik tepung tulang ikan patin yang dibuat dengan metode kering dan metode basah masing-masing menghasilkan nilai sebagai berikut: rendeman 81,73% ; 91,83%, derajat putih 62,82% ; 62,31%, daya serap 48,54% ; 62,77% dan densitas kamba 0,80 g/ml ; 0,79 g/ml.
2.      Karakteristik kimia dengan metode kering dan metode basah terhadap tepung tulang ikan patin (Pangasius sp.) masing-masing meliputi kadar air 6,35% ; 4,95%, protein 22,23% ; 20,53%, lemak 2,73% ; 2,09%, abu 56,38% ; 58,15, kalsium 264,53 mg/g bk ; 244,02 mg/g bk, fosfor 88,38 mg/g bk ; 71,96 mg/g bk dan nilai pH 7,56 ; 7,88.
3.      Hasil analisis nilai pH tepung tulang ikan patin berkisar pada nilai 6 sehingga memudahkan proses penyerapan kalsium. Sedangkan pada umumnya persen solubilitas fosfor akan menurun seiring dengan peningkatan nilai pH atau derajat keasaman rendah.
4.      Hasil uji perbandingan biskuit komersial dengan produk biskuit tepung tulang ikan patin memiliki nilai mutu yang lebih baik. Biskuit formulasi tepung tulang ikan patin menyumbang kebutuhan kalsium sebesar 14,92% dan fosfor sebesar 18,49%.

4.2. Saran
1.    Perlu dilakukan penelitian untuk mempelajari pengaruh metode penepungan dan pengolahan ke dalam bentuk produk pangan terhadap kandungan Ca dan P dalam bentuk ion.
2.    Perlu dilakukan aplikasi penambahan tepung tulang ikan patin ke dalam bentuk produk lain seperti kerupuk dan keripik.


DAFTAR PUSTAKA
Alais, C. dan Linden G. 1991. Food Biochemistry. London: Ellis Harwood.
Allen, LH. dan Wood, JR. 1994. Calsium and Phosporus. Dalam Modern Nutrition in Health and Disease ed. 8 vol 1. Shils EM, Olsen JA, Shilke M (eds). Lea & Febringer. USA.
Almatsier, S. 2002. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka.
Anggorodi, R. 1985. Ilmu Makanan Ternak Umum. Jakarta: PT Gramedia.
Apriyantono, A., Fardiaz D., Puspitasari, NL., Sedarwati dan Budiyanto, S. 1989. Analisis Pangan. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor.
Badan Penelitian Pengembangan Industri Surabaya (BPPIS). 1989. Pembuatan Prototipe Alat Uji Derajat Putih tepung Tapioka. Surabaya.
Buckle, KA., Edward, RA., Fleet GH., dan Wootton, N. 1987. Food Science. Edisi Kedua. Penerjemah: Purnomo H, Adiono. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI Press).
Charley, H. 1982. Food Science. 2nd ed. New York: John Wiley and Sons.
Desrosier, NW. 1988. The Technology of Food Preservation. Penerjemah: Muljohardjo M. Jakarta: Universitas Indonesia (UI Press).
Faridah, DN., Kusumaningrum, HD., Wulandari, N., dan Indrasti, D. 2006. Modul Praktikum Analisis Pangan. Bogor: Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Intitut Pertanian Bogor.
Halver, JE. 1989.  Fish Nutrition. New York: Academic Press, Inc.
Hardman, TM. 1989. Water and Food Quality. London: Elsevier Apllied Science.
International Seafood of Alaska (ISA). 2002. Analysis of Fish Meal. www.kodiak.com [5 April 2007].
Kaup, SM., Greger, JL. dan Lee, K. 1991. Nutritional Evaluation With Animal Model of Cottage Cheese Fortified With Calcium and Guar Gum. J. Food Sci. 56(3) : 692-695.
Kaya, Adrianus Orias Willem. 2008. Pemanfaatan Tepung Tulang Ikan Patin (Pangasius sp.) Sebagai Sumber Kalsium dan Fosfor dalam Pembuatan Biskuit. Tesis. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Khairuman dan Suhendra. 2002. Budidaya Patin Secara Intensif. Jakarta: Agro Media Pustaka.
Lehninger, AL. 1984. Principles of Biochemistry. Penerjemah: Thenawidjaja, M. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Lin, CS. dan Zayes, JF. 1987. Functionality of Defatted Corn Germ Proteins In a Model System: Fat Binding Capacity and Water Retention. J. Food Sci. 52:1308-1311.
Lovell, T. 1989. Nutrition and Feeding on Fish. New York: AVI Book Publishing by Van Nostrand Reinhold.
Lutwak, L. 1982. Dietary Calcium: Source, Interaction With Other Nutrients and Relationship to Dental, Bone and Kidney Disease. Dalam Beittz DC, Nansen RC (eds). Animal Products in Human Nutrition. New York: Academic Press.
Martinez, I., Santaella, M., Ros G. dan Periago, MJ. 1998. Content and in Vitro Availibility of Fe, Zn and P in Homogenized Fish-Base Weaning Food After Bone Addition. Food Chem. 63: 299-305.
Maynard, LA. dan Loosli, JK. 1956. Animal Nutrition. 4th (edition). New York: Mc Graw Hill Book Company.
Morrison, FB. 1958.  Feed and Feeding. Nineth Edition. Washington DC: The Morrison Research Council, National Academy of Science.
Muchtadi, D., Palupi, NS. dan Astawan, M. 1993. Metabolisme Zat Gizi. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Mulia. 2004. Kajian Potensi Limbah Tulang Ikan Patin (Pangasius sp.) sebagai Alternatif Sumber Kalsium dalam Pembuatan Mi Kering. Skripsi. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Piliang, WG. dan Djojosoebagio, S. 2006. Fisiologi Nutrisi. Volume II. Bogor: IPB Press.
Purnomo, H. 1995. Aktivitas Air dan Peranannya dalam Pengawetan Pangan. Jakarta: Penerbit Universitas indonesia (UI Press).
Rasyaf, M. 1990. Bahan Makanan Unggas di Indonesia. Yogyakarta: Kanisius.
Saanin, H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan. Jakarta: Bina Cipta.
Sediaoetama, AD. 2006. Ilmu Gizi:  untuk Mahasiswa dan Profesi, Jilid I. Jakarta: Dian Rakyat.
Standar Nasional Indonesia (SNI). 1992. Mutu dan Cara Uji Biskuit. SNI 01-2973-1992. Jakarta: Dewan Standarisasi Nasional.
Subasinghe, S. 1996. Inovative and Value-Added Tuna Product and Markets.  Infofish International. Number 1/96. January/February.
Sulaeman, A., Anwar, F., Rimbawan dan Marliyati, SA. 1995. Metode Penetapan Zat Gizi. Bogor: Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Susanto, H dan Amri, K. 1997. Budidaya Ikan Patin. Jakarta: Penebar Swadaya.
Winarno, FG dan Fardiaz, S. 1973. Dasar Teknologi Pangan. Bogor: Fakultas Teknologi dan Mekanisasi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Winarno, FG. 1985 a. Limbah Pertanian. Jakarta: Kantor Menteri Muda Urusan Peningkatan Produksi Pangan.
Winarno, FG. 2002 b. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Wirakartakusumah, MA., Abdullah, K. dan Syarif, AM. 1992. Sifat Fisik Bahan Pangan. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor.
Yoshie, Y., Suzuki, T. dan Clydesdale, FM. 1997. Iron Solubility From Seafoods With Added Iron and Organic Acid Under Stimulated Gastrointestinal Conditional. J. Food Quality. 20: 235-246.

Comments

Popular posts from this blog

Ikan Sebelah (Psettodes erumei)

1.   PENDAHULUAN 1.1   Latar Belakang Kekayaan alam laut Indonesia yang luas berpotensi menghasilkan hasil laut yang beraneka ragam dengan jumlah yang cukup besar yaitu sebanyak 6,26 juta ton per tahun. Hasil produksi perikanan laut ( marine fisheries ) di Indonesia mengalami peningkatan dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2012 mencapai 3,24 %, dimana pada tahun 2012 hasil produksi ikan laut sebanyak 5.829.194 ton. Hasil laut terutama ikan diolah untuk menjadi bahan pangan masyarakat (Purba et al., 2015). Tingkat konsumsi ikan Indonesia setiap tahun mengalami peningkatan, dimana pada tahun 2013 mencapai 35,62 kilogram per kapita dari tahun 2012, yaitu sebanyak 33,14 kilogram per kapita (Purba et al., 2015). Indonesia memiliki wilayah perairan tropis yang terkenal kaya dalam perbendaharaan jenis-jenis ikannya. Berdasarkan penelitian dan beberapa literatur diketahui tidak kurang dari 3.000 jenis ikan yang hidup di Indonesia.Dari 3.000 jenis tersebut sebanyak 2.700 jenis (90%) hidup di p

Teknik Pendinginan Produk Perikanan

BAB I PENDAHULUAN 1.1         Latar Belakang Setelah meratifikasi Montreal Protocol pada tahun 1992 dan Kyoto Protocol pada tahun 1996, Indonesia juga tidak luput dari permasalahan global yang dihadapi oleh industri pendinginan dunia sebagai dampak dari kedua perjanjian internasional di atas. Dengan demikian, penelitian di bidang refrigeran dan pendinginan sangat penting dan bermanfaat dilakukan di Indonesia. Jenis refrigeran yang cocok diteliti kemungkinan pemakaiannya di lndonesia adalah refrigeran hidrokarbon, karena selain bersifat alami (natural) hidrokarbon juga tersedia sebagai sumber daya alam yang relatif besar. Penggunaan refrigeran hidrokarbon juga dapat menghemat energi bila dibanding refrigeran R12 (Maclaine dan Leonardi, 1997 dalam Sihaloho dan Tambunan, 2005 ). Aisbett dan Pham (1998) dalam Sihaloho dan Tambunan (2005) menyatakan bahwa penggunaan hidrokarbon sebagai refrigeran pengganti CFC dan HFC dapatmemberikan penghematan biaya yang signifikan untuk

TVBN, TMA, TMAO dan Histamin

BAB I PENDAHULUAN 1.1         Latar Belakang Sebagai negara maritim, Indonesia memiliki garis pantai sepanjang kurang lebih 81.000 km. Luas wilayah laut, termasuk di dalamnya Zona ekonomi Eksklusif mencakup 5,8 juta kilometer persegi (Dahuri, 2001 dalam Haryono, 2005). Di dalam wilayah laut dan pesisir tersebut terkandung kekayaan sumber daya laut yang amat besar, mulai dari ikan, kepiting, udang, kerang dan berbagai sumber daya laut lainnya yang siap untuk dieksploitasi nelayan. Secara teoritis, dengan kekayaan laut yang demikian besar, nelayan mampu hidup berkecukupan (Haryono, 2005). Ikan dikenal sebagai suatu komoditi yang mempunyai nilai gizi tinggi namun mudah busuk karena mengandung kadar protein yang tinggi dengan kandungan asam amino bebas yang digunakan untuk metabolisme mikroorganisme, produksi amonia, biogenik amin, asam organik, keton dan komponen sulfur (Liu et al. 2010 dalam Radjawane et al. , 2016). Ikan termasuk dalam kategori makanan yang cepat busuk