Orang tua mana yang tak ingin melihat anak-anaknya bahagia? Bahagia melihat anak-anaknya menjadi
juara kelas? Bahagia melihat anak-anaknya menjadi juara olimpiade? Bahagia
melihat anak-anaknya menjadi dokter? Bahagia melihat anak-anaknya menjadi
pilot? Bahagia melihat anak-anaknya dapat berkuliah di luar negeri? Bahagia
melihat anak-anaknya menjadi seorang dosen? Bahagia melihat anak-anaknya bekerja
di perusahaan besar dan ternama di Indonesia? Lalu bagaimana jika dibalik
dengan keadaan yang tak seindah itu. Misalnya, melihat anak-anaknya berhenti
sekolah hanya untuk mengajar anak-anak jalanan? Resign dari pekerjaan dengan gaji puluhan juta demi membuat yayasan
untuk anak dengan berkebutuhan khusus. Apakah
orang tua masih bisa bahagia dan merelakan hal itu? Sebenarnya apa sih sukses itu menurut anak dan orang
tua? Apakah anak sukses untuk membahagiakan
diri-sendiri atau membahagiakan orang tuanya? Atau lebih tepatnya membuat orang tua tidak malu dan katanya
bangga.
Anak
adalah investasi dan harapan masa depan bangsa serta sebagai penerus generasi
dimasa mendatang. Dalam siklus kehidupan, masa anak–anak merupakan fase dimana
anak mengalami tumbuh kembang yang menentukan masa depannya, sehingga perlu
adanya optimalisasi perkembangan anak, karena selain krusial juga pada masa itu
anak membutuhkan perhatian dan kasih sayang
dari orang tua atau keluarga sehingga secara mendasar hak dan kebutuhan
anak dapat terpenuhi secara baik. Tidak hanya itu faktor eksternal yang berasal
dari lingkungan tempat tinggal juga memiliki pengaruh penting dalam
perkembangan anak (Wahyuni, 2016).
Baca Juga : Tebalan Si Pemalu
Zaman dahulu, orang tua kita percaya bahwa dengan banyak anak banyak rezeki. Apakah benar
seperti itu? Muncullah pertanyaan di Quora, “Bagaimana analisis dari banyak anak banyak rezeki
dari segi ekonomi?”. Jika kita telisik lebih jauh dan lebih
rinci. Banyak anak seharusnya banyak pengeluaran. Coba kita analisis sejak kehamilan
hingga anak tumbuh besar.
Susu ibu hamil :
Rp 80.000/bulan (9 kali/bulan)
Makanan bergizi :
Rp 500.000/bulan (9 kali/bulan)
Check up ke dokter kandungan : Rp 200.000/bulan (9 kali/bulan)
Baju, popok dan peralatan mandi bayi : Rp 500.000
Mainan :
Rp 50.000/bulan
Baju setiap satu tahun sekali : Rp 100.000/bulan
Biaya masuk TK :
Rp 1.050.000 (karena Taman Kanak-Kanak bukan termasuk program pendidikan wajib 12
tahun yang dicanangkan pemerintah, sehingga tidak gratis).
Itu belum termasuk printilan-printilan
(hal-hal) kecil yang mungkin luput dari perhitungan. Seketika muncul
pernyataan, “duh perhitungan banget jadi
orang tua”. Loh, sudah disebutkan
di atas bahwa saat ini kita membahas bagaimana analisis ekonomi dari banyak
anak maka banyak rezeki. Apakah menguntungkan atau malah lebih merugikan?
Rincian diatas sudah menyentuh angka jutaan rupiah loh. Mungkin istilah banyak anak banyak rezeki pantas diterapkan di
zaman dulu dengan harga bahan pokok, pendidikan dan layanan kesehatan yang
cukup murah (tidak bermaksud menyinggung zaman Pak H*rt*). Tak kehilangan akal,
ada orang tua yang mau mengajarkan anak secara mandiri di rumah. Dengan istilah
kerennya adalah home schooling dengan
alasan agar lebih intensif berinteraksi dengan keluarga. Anda sebagai orang tua
benar-benar sayang atau ngirit bahkan
pelit? Home schooling memang ada plus dan minus-nya termasuk anak menjadi berkurang intensitasnya untuk
berinteraksi dengan teman sebayanya dan orang tua kedua, yaitu guru. Terserah,
itu hak orang tua yang membiayai dan anak yang melaksanakannya. Yang penting
tidak ada pihak yang dirugikan.
Lalu muncul pernyataan lagi, “loh tapi kan kalau banyak
anak nanti kalau anaknya sukses semua alias
jadi orang semua kan orang tua juga yang seneng sekaligus kecipratan”. Lalu bagaimana jika
tidak semua anak yang sukses? Banyak kita mendengar berita
tentang anak yang membunuh ayah/ibunya sebanyak orang tua yang membunuh
anaknya. Kekerasan yang dialami anak sangat tinggi. Hal
ini sebagaimana diungkapkan Sri Lestari (2012) dalam Mardiyati (2013), berdasarkan data Susenas 2006 yang
menyebutkan angka korban kekerasan pada anak mencapai 2,29 juta (3%) dengan jumlah
kasus di pedesaan lebih tinggi dari pada perkotaan. Bila dilihat dari sisi
pelaku kekerasan, maka sebesar 61.4% dilakukan oleh orang tua. Pelaku
berikutnya adalah tetangga (6,7 %) family (3,88%), guru (3%), rekan (0,8%) dan
majikan 0,4%).
Secara umum faktor penyebab terjadinya
kekerasan dalam rumah tangga dapat digolongkan menjadi dua faktor, yaitu faktor
eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal adalah faktor-faktor yang
datang dari luar diri pelaku kekerasan. Seorang pelaku yang awalnya bersifat
normal atau tidak memiliki perilaku dan sikap agresif bisa saja mampu melakukan
tindak kekerasan jika dihadapkan dengan situasi dibawah tekanan (stress), misalnya kesulitan ekonomi yang berkepanjangan atau
perselingkuhan atau ditinggalkan pasangan atau kejadian-kejadian lainnya.
Sedangkan faktor internal adalah faktor yang bersumber pada kepribadian dari
dalam diri pelaku itu sendiri yang menyebabkan ia mudah sekali terprovokasi
melakukan tindak kekerasan, meskipun masalah yang dihadapinya tersebut relatif
kecil (Mardiyati, 2013).
Anak adalah peniru terbaik. Jika
anak mendapatkan pengalaman buruk dalam hidupnya termasuk korban kekerasan maka
kemungkinan besar akan menjadi pelaku kekerasan di masa depan. Menurut Dutton (2005) dalam Margaretha et al. (2013), mengapa korban KDRT (kekerasan dalam rumah tangga)
masa kanak bisa menjadi pelaku KDRT di masa dewasa? menurut info berita terkini
hari ini.
Laki-laki yang menyerang atau berlaku agresif pada pasangannya memiliki
kemungkinan yang lebih tinggi melaporkan pernah mengalami kekerasan fisik
maupun pelecehan fisik pada masa kanak-kanak di lingkungan keluarganya.
Orang tua sebagai pelaku kekerasan terhadap anak
tertinggi. Orang tua sebagai pembunuh
anak. Membunuh anak bukan hanya dalam pengertian mengambil nyawa atau melukai
fisik anak. Namun membunuh mental anak
adalah perilaku biadab yang tak bisa dimaatkan. Misalnya saja jika anak pertama
“katanya” lebih sukses daripada anak kedua. Anak pertama sudah menjadi bupati
sedangkan anak kedua hanya menjadi petani. Apakah orang tua bisa memperlakukan
dengan adil? Nyatanya kebanyakan orang tua lebih bangga dengan menceritakan
kisah kesuksesan anak pertama dibandingkan anak kedua. Apakah orang tua bisa
berlaku adil?
Kontrasepsi Daripada Aborsi (Maaf lupa sumbernya, dari Twitter) |
Jangan hanya malas dan merasa rugi membeli alat kontrasepsi.
Orang tua rela memiliki banyak anak, urusan makan apa bisa dipikir nanti katanya.
Nanti jika dilanda kemiskinan, yang akan disalahkan pemerintah? Pemerintah lagi
pemerintah lagi. Padahal pemerintah sudah menggembar-gemborkan program KB (Keluarga
Berencana) dua anak lebih baik untuk menekan angka kelahiran. Karena kita
ketahui bersama bahwa Indonesia adalah negara terpadat keempat di dunia dengan
jumlah populasi sebanyak 270 juta orang. Ingat, anak tidak pernah meminta untuk dilahirkan. Tapi bukan berarti
dengan cara menggugurkan kandungan alias aborsi
loh, hmm. Jangan hanya orang tua yang
menuntut anaknya menjadi cerdas. Namun sebagai orang tua juga harus menjadi
orang tua yang cerdas. Karena anak
berhak dilahirkan dan dididik oleh orang tua yang cerdas.
Seperti melempar bola dengan
menyekolahkan anak hingga tingkatan tertinggi. Serta menantikan bola datang
menghampiri kembali berupa kesuksesan anak dengan gaji tingginya. Layaknya
bumerang, entah hal baik ataukah hal buruk yang akan kembali. Dari kecil anak
selalu didoktrin untuk belajar sangat giat agar pintar alias juara
kelas dan lebih mudah mencari kerja. Kalau anak memiliki keahlian dibidang seni
katanya, “kamu mau jadi apa kerjaannya gambar terus?”. Apakah dengan menjadi
seniman tidak masuk standar kesuksesan versi orang tua? Setiap anak memiliki potensinya
masing-masing. Menurut Akhirin (2015), potensi dasar manusia ada empat, yaitu: jasmani, akal, nafs dan ruh. Sudah selayaknya orang
tua harus lebih bijak dengan potensi dan pilihan hidup anak nantinya. Tugas
orang tua hanya mengarahkan agar anak tidak melenceng dari segi norma kehidupan
termasuk norma agama. Jangan paksakan keinginan pribadi dengan keinginan anak.
Karena nantinya yang akan menjalani
kehidupan adalah anak itu sendiri bukan orang tua.
Referensi:
Akhirin. 2015. Pengembangan potensi
anak perspektif pendidikan Islam. Jurnal Tarbawi. 12 (2): 205-222.
Mardiyati, I. 2013. Dampak trauma kekerasan
dalam rumah tangga terhadap perkembangan psikis anak. Jurnal Studi
Gender dan Anak. 26-35.
Margaretha, R. Nuringtyas dan R. Rachim. 2013. Trauma kekerasan masa kanak dan kekerasan dalam relasi intim.
Makara Seri Sosial
Humaniora.
17 (1): 33-42.
Putri, R. L. 2019. 10 negara
dengan penduduk terpadat, Indonesia nomor berapa?. https://www.economy.okezone.com/amp/2019/11/23/470/2133563/10-negara-dengan-penduduk-terpadat-indonesia-nomor-berapa?/.
Diakses pada 24 Februari 2020 pukul 01:20 WIB.
Wahyuni, H.
2016. Faktor resiko gangguan
stress pasca trauma pada anak korban pelecehan seksual.
Jurnal
Ilmiah Kependidikan. 10 (1): 1-13.
Banyak anak banyak rejeki, statement itu menurut sy ada benernya.. Karena dalam sudut pandang agama memang setiap anak punya rejekinya masing² .. Dan biasanya Tuhan bisa saja menitipkan rejeki anak itu melalui orang tuanya, atau bahkan melalui orang lain ..
ReplyDeleteJadi kalo secara logika dalam analisis ekonominya memang terlihat banyak pengrluaran, tapi bukankah itu mengindikasikan akan segera datang pemasukan-pemasukan alias rejekinya si anak,.
Terima kasih kakak untuk pendapatnya 😊 Sebelumnya saya ingin menyampaikan bahwa saya tidak "mewajibkan" diri saya untuk menyangkutpautkan segala sesuatu dengan agama. Termasuk permasalahan anak yang saya bahas di artikel ini. Saya adalah manusia penuh dosa yang berusaha memperbaiki diri 😊 Pernyataan ini bukan bermakna bahwa saya adalah orang anti agama atau bahkan ateis. Alasannya karena saya hidup di negara yang heterogen dengan beragam agama. Walaupun saya berasal dari golongan "katanya mayoritas". Saya akan selalu menjunjung tinggi toleransi. Jika pernyataan "banyak anak banyak rezeki" dihubungkan dengan agama, berarti hanya untuk salah satu agama tertentu, benar begitu? Sedangkan misalnya saja untuk Imam Katolik yang memilih untuk selibat (tidak menikah) agar seluruh hidupnya hanya digunakan untuk mengabdi kepada Tuhan. Apakah akan memiliki anak? Kemungkinan besar tidak. Jika segala sesuatu dihubungkan dengan agama, maka selesai sudah pembahasannya, apapun itu. Karena agama tidak akan bisa ditentang. Karena agama adalah kepercayaan masing-masing 😊 Mengapa saya memilih untuk membahasnya berdasarkan logika? Karena memiliki anak bukan hanya sebatas "kawin" (maaf kasar). Namun bagaimana kesiapan calon orang tua dari segi fisik, mental dan finansial. Nyatanya dengan tingginya minat nikah muda juga berbanding lurus dengan tingginya tingkat perceraian. Bisa cek lebih lanjut di artikel saya yang berjudul "Saya Menikah" (https://melyndadwipuspita.blogspot.com/2020/01/saya-menikah.html?m=1). Belum lagi pelaku terbanyak kekerasan kepada anak adalah orang tua 😊 Alhasil anaklah yang menjadi korban. Saya tau pemerintah tidak serta-merta membuat program KB tanpa memikirkan sebab-akibat yang ditimbulkan. Maka sebelum memutuskan untuk memiliki "anak yang banyak", harus memikirkan matang-matang bagaimana kedepannya 😊
DeleteTerima kasih, semoga dapat diterima 😊
Sudahlah, skenario Allah dalam mengatur rejeki hambanya itu gak bisa ditebak, bahkan terkadang di luar logika manusia.. 🤔
ReplyDeleteTerima kasih kak untuk kesediaannya memberikan pendapat 😊
DeletePertama, saya ingin bertanya, kata "sudahlah" kakak tujukan kepada siapa? Kedua, dengan pernyataan sudahlah akan berindikasi untuk pasrah, benar begitu? Ketiga, saya sebagai makhluk yang beragama juga mengetahui bahwa Tuhan sudah mengatur rejeki hamba-Nya. Namun bukan berarti harus pasrah dengan keadaan. Benar? Hewan saja ditakdirkan untuk memakan binatang lain. Tapi apakah ia hanya duduk menantikan mangsanya datang? Tentu tidak, ia harus menggunakan strategi dan instingnya dalam berburu. Apalagi manusia yang katanya makhluk paling sempurna dibandingkan makhluk lain yang ada di bumi. Saya menghargai opini kakak. Sangat baik 😊 Karena setiap orang memiliki alibinya masing-masing. Jadi setiap individu harus saling menghargai. 😊 Silakan jika ingin berdiskusi 😊