Teringat satu baris lagu Kata Pujangga dari Raja Dangdut,
Rhoma Irama. “Hidup tanpa cinta bagai taman
tak berbunga”. Seakan hidup tidak berguna lagi jika tidak memiliki cinta. Benar
begitu? Nyatanya, kita sebagai manusia tidak sepenuhnya tak mampu hidup tanpa
cinta. Ada hal yang lebih penting dibandingkan cinta. Seperti pernyataan dari
seorang penyair berkebangsaan Amerika, Wystan Hugh Auden. “Ribuan orang hidup tanpa cinta, tetapi tak satupun yang hidup tanpa air”.
Ya, air adalah kehidupan dan air bersih
berarti kesehatan, ucap Audrey Hepburn. Apakah air lebih penting dibandingkan
cinta? Mari kita telusuri bersama.
Menengok foto diatas, nampaknya tak ada yang salah. Sayangnya,
dua anak perempuan itu tak hanya sekadar bermain air atau berenang di laut. Namun
kegiatan berendam di dalam air tersebut, mereka artikan sebagai mandi. Ya, karena
minimnya air di Pulau Gili Ketapang. Pulau Gili Ketapang merupakan pulau karang yang
terletak di sebelah utara wilayah
Kabupaten Probolinggo, dengan kondisi daerah yang khas pesisir dan penduduk
Suku Madura. Permasalahan
penduduk di Pulau Gili Ketapang diantaranya: ketersediaan penerangan dan listrik, limbah domestik, lingkungan,
sarana dan prasarana fisik/non
fisik, kerusakan ekosistem perairan, sumber daya manusia dan ketersediaan
air bersih (Ikhwani dan Koswara, 2011).
"Selama ini kita hanya fokus kepada
kehidupan di daratan yang luas. Sampai kita melupakan bagaimana dengan mereka
yang hidup di kawasan pesisir pantai."
Jika kita melihat lebih
jauh lagi kehidupan masyarakat pesisir dan pulau kecil. Air yang digunakan
untuk mandi oleh masyarakat Gili Ketapang itu tak sepenuhnya bersih. Sampah terlihat
menutupi bibir pantai karena minimnya lahan dan teknologi. Permasalahan klasik
yang dirasakan penduduk pulau kecil.
Penduduk Gili Ketapang mengandalkan air tanah dan air hujan sebagai sumber air
bersih. Menurut Pryambodo dan Prihantono (2019), dengan jumlah penduduk mencapai
8.583 jiwa menjadikan Pulau Gili Ketapang menjadi salah satu pulau kecil yang berpenduduk
padat (Undang-undang
Nomor 56/PRP/1960)
dengan kepadatan
mencapai 12.356 jiwa/km2. Semakin tergerusnya
lahan penyerapan air dan beralih fungsi menjadi kawasan pembangunan. Tentu saja
akan berdampak pada jumlah ketersediaan air tanah sebagai sumber air bersih yang
semakin terbatas. Menurut Ramdhan
et al. (2019), jumlah
ketersediaan air sangat berkaitan dengan curah hujan dan penggunaan lahan di
Pulau Gili Ketapang. Lalu bagaimana jika hujan tidak turun?
Penyediaan
air bersih dan sanitasi yang terjangkau merupakan salah satu tujuan Sustainable Development Goals (SDGs) 2030.
Pulau Gili Ketapang terletak kurang
lebih 3.8 mil laut dari daratan utama. Letak geografis ini mengakibatkan Pulau Gili Ketapang terisolasi dari daratan utama,
sehingga timbul berbagai permasalahan
salah satunya adalah ketersediaan air
bersih. Kesenjangan air bersih ini tidak sesuai dengan luas perairan laut yang ada di Indonesia, yaitu
sekitar 5,9 juta km2. Hal ini dikarenakan
kandungan air laut yang terdiri dari campuran dari 96,5% air murni dan 3,5% material lainnya seperti garam-garaman.
Sehingga air dengan kandungan garam tinggi tersebut
tentunya tidak dapat dikonsumsi.
Kenaikan Muka Laut Sebagai
Potensi Penyediaan Air Bersih?
Kita ketahui bersama bahwa saat ini manusia begitu gencar menyuarakan
isu perubahan iklim (climate change).
Bagaimana dampaknya terhadap makhluk hidup termasuk mereka penduduk pulau
kecil. Suhu permukaan bumi cenderung menghangat dengan laju
0,150C/dekade (IPCC, 2014 dalam Supriyadi et al., 2019). Hal ini mengakibatkan perubahan curah hujan, melelehnya salju dan es yang kemudian mengubah sistem
hidrologi, serta mempengaruhi sumber daya air secara kuantitas dan
kualitas. Indonesia sebagai negara kepulauan
memiliki potensi keterpaparan yang besar terhadap perubahan iklim contohnya adalah peningkatan
curah hujan, kekeringan
ekstrim, gelombang pasang ekstrim dan kenaikan muka laut.
Semakin tingginya
permukaan air laut akan semakin menurunkan salinitas (konsentrasi larutan garam) air laut.
Jika kita beranggapan dengan terjadinya penurunan level salinitas akan
berdampak baik bagi peningkatan sumber air bersih. Hal ini sangatlah salah.
Karena semakin rendah salinitas akan mempengaruhi makhluk hidup akuatik dalam beradaptasi. Salinitas yang rendah dari baku mutu tidak cocok untuk media pertumbuhan biota laut secara optimal, salah satunya adalah karang. Maka tak heran jika kita sering mendengar
berita tentang pemutihan terumbu karang (coral
bleaching). Seperti halnya yang tampak pada foto, menggunungnya karang di
Gili Ketapang. Dan hanya bisa dimanfaatkan sebagai bahan bangunan.
Air Laut dan Kulit Kerang
![]() |
Ilustrasi Reverse Osmosis
(Sumber: Dokumentasi pribadi, 2019)
|
Laut tak selamanya dianggap
sebagai tempat untuk menikmati keindahan alam saja. Dengan cara mengurangi salinitas air laut maka barang tentu manusia
terutama penduduk pesisir dan pulau kecil dapat memanfaatkannya. Proses reverse osmosis (osmosis terbalik) air
laut menjadi potensial dalam penyediaan air bersih. Namun
tentunya dalam proses ini terdapat beberapa kendala. Diantaranya fouling dan pembentukkan kerak pada membran. Oleh sebab itu, diperlukan pre-treatment untuk mengurangi hal tersebut. Pre-treatment yang
dapat dilakukan dapat berupa filtrasi, adsorbsi, koagulasi dan
flokulasi. Limbah cangkang kerang mengandung kitosan yang berpotensi
menjadi koagulan. Kitosan lebih efektif dan efisien
dibandingkan dengan tawas. Selama ini
cangkang kerang yang dimanfaatkan
hanya 20% dan terbatas sebagai bahan baku kerajinan dan pakan ternak (Mu’minah, 2008). Dengan memanfaatkan cahaya matahari sebagai sumber tenaga
yang ketersediaannya tak pernah habis ini. Proses reverse osmosis dapat dijadikan sebagai salah satu solusi untuk mengolah
air laut menjadi air tawar yang layak pakai.
“Indonesia itu indah, air laut melimpah.
Air bersih itu anugerah, walau jumlahnya secercah.“
-
Melynda Dwi Puspita -
Referensi:
Hamuna, B., R. H. R. Tanjung, Suwito, H. K. Maury dan Alianto. 2018. Kajian kualitas air laut
dan indeks pencemaran berdasarkan parameter fisika-kimia di perairan Distrik Depapre, Jayapura. Jurnal Ilmu Lingkungan. 16 (1): 35-43.
Ikhwani,
H. dan A. Y. Koswara. 2011. Kajian kebijakan pengelolaan pulau kecil (Pulau
Gili Ketapang) di Kabupaten Probolinggo Jawa Timur. Prosiding Seminar
Nasional Manajemen Teknologi XIV.
Latuconsina, H. 2010. Dampak pemanasan
global terhadap ekosistem pesisir dan lautan. Jurnal
Ilmiah Agribisnis dan Perikanan. 3 (1): 30-37.
Mu’minah.
2008. Aplikasi kitosan sebagai koagulan untuk penjernihan air
keruh. Tesis. Program Pascasarjana ITB Bandung.
Pryambodo, D. G. dan J. Prihantono. 2019. Pendugaan potensi volume akuifer menggunakan metode geolistrik di Pulau
Gili Ketapang, Probolinggo, Jawa Timur. Eksplorium. 40
(1): 53-62.
Ramdhan, M., S. Husrin, D. G. Priyambodo, J. Prihantono, S. N. Amri, H. Prihatno, N. Sudirman, Hasanuddin dan S. Iswahyudi. 2019. Simulasi daya dukung lingkungan di
Pulau Gili Ketapang-Probolinggo dengan mengandalkan curah hujan sebagai
pemenuhan kebutuhan air. Jurnal Kelautan Nasional. 14
(1): 25-32.
Supriyadi,
I. H., A. J. Wahyudi, Suyarso,
dkk. 2019. Masyarakat Pesisir: Adaptasi Terhadap Dampak
Perubahan Iklim 2019. Pusat Penelitian
Oseanografi – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia:
Jakarta.
#bwkehati #hariairsedunia #bwchallenge
Comments
Post a Comment